Penulis : Dinda Pranata
Suatu hari Bu A menegur seorang bocah perempuan yang memasuki pekarangan rumahnya merusak bibit buah strawberry yang ia jual di depan rumahnya. Bu A ini kemudian menegur si bocah lembut tapi bocah malah menangis dan melaporkannya ke ibunya dengan mengatakan bahwa Bu A memarahinya. Lantas ibu bocah ini datang menemui Bu A dan meminta tanggung jawab sudah memarahi anaknya. Bu A kemudian menjelaskan bahwa dia tidak memarahi tapi menegur serta menunjukkan rekaman CCTV di depan tokonya. Mungkin ibu bocah ini kepalang malu dan lantas mengatakan “namanya juga anak-anak” tanpa meminta maaf pada Bu A.
Sering enggak sih mendengar cerita yang sebelas dua belas dengan cerita di atas. Kasus yang terjadi pada Bu A ini tidak hanya satu atau dua orang yang mengalami, tapi mungkin kita juga pernah mengalaminya. Sering kali kita mendengar kenakalan anak-anak dari hal sepele sampai hal besar hanya selesai dengan respon ‘namanya juga anak-anak’. Tapi tahukah bahwa ada problematika dalam jawaban namanya juga anak?
Kenakalan Anak = Kepolosan?
Kenakalan anak-anak bisa terjadi karena beberapa faktor mulai dari ketidaktahuan mereka, rasa ingin tahu yang besar, sampai faktor keluarga seperti pengabaian dari orang tua, pola asuh dan lainnya. Kondisi mereka yang ingin menguji segala hal inilah yang patut mendapat perhatian dan pengawasan dari orang tua agar tidak menyebabkan kerugian pada orang lain.
Mengajarkan anak pada batasan juga berarti kita melindungi mereka dari kekerasan sekaligus menghindari mereka menjadi pelaku kekerasan. Mengajarkan batasan artinya juga mengajarkan mereka pada konsekuensi ketika batasan itu dilanggar. Seperti hal yang sederhana, anak-anak belajar untuk tidak melempar barang karena akan merusak barang dan melukai orang. Jika mereka melakukannya dan ternyata barang atau ada yang terluka mereka wajib meminta maaf dan menerima konsekuensi mainannya tidak bisa dipakai lagi.
Bukankah kita sudah banyak mendengar kasus-kasus bullying dan kekerasan dengan pelaku anak, akibat kurang mampunya mereka dalam menghargai batasan orang lain. Sebut saja kasus yang dulu pernah ramai terjadi di salah satu SMPN di Malang, di mana korbannya sampai harus amputasi. Selain itu juga kekerasan seksual pada anak yang terjadi di institusi pendidikan yang marak terjadi, karena pola asuh yang masih menganggap tabu area-area seksual yang harus dijaga oleh anak-anak.
Baca juga: Pojok Literasi-Resensi The Danish Way Of Parenting: Pola Asuh Anak Berkarakter.
Namanya juga anak-anak, kan mereka cuma bercanda?
Ini pun berlaku saat anak-anak bercanda dengan teman-temannya. Ketika salah satu teman sudah tidak nyaman dengan candaan mereka, anak-anak harus belajar untuk berhenti melakukan candaan yang sama. Karena batasan temannya berbeda dengan batasan yang dia miliki, sehingga jika itu dilanggar maka akan ada konsekuensi dari sikapnya itu. Entah mereka harus ditegur guru atau meminta maaf.
Namanya Juga Anak Bukan Kartu Bebas Pinalti
Coba kita bayangkan kasus Bu A yang menegur seorang bocah perempuan karena merusak tanaman stroberinya. Apa yang Bu A dapatkan? Tanggapan kurang empati dari ibu si bocah. Sebagai penjual yang merasa rugi, lalu hanya mendapat kata-kata “namanya juga anak-anak” tanpa ganti rugi, rasanya pasti menjengkelkan, bukan?
Respon orang tua yang memaklumi kenakalan dan kesalahan anak sebenarnya bisa positif, asalkan bersamaan dengan contoh tentang konsekuensi dari tindakan mereka. Memaklumi bukan berarti membenarkan, tapi memproses kesalahan menjadi pelajaran yang lebih baik.
Ada beberapa alasan mengapa orang tua seringkali memaklumi kenakalan anak-anak meski itu merugikan orang lain. Pertama, mereka masih menganggap anak-anak itu polos dan tidak mengerti apa yang ia lakukan. Sayangnya, pakar psikologi anak, Sharon K. Hall, Ph.D, membantah anggapan ini. Ia mengatakan bahwa orang tua seharusnya mengajarkan anak tentang benar dan salah sejak dini, bahkan sebelum usia dua tahun.
Baca juga: Adakah Ibu yang Baik? Sebuah Refleksi Untuk Pemahaman Kanan dan Kiri
Kedua, orang tua yang kelewat malu sehingga respon yang mereka berikan cenderung memaklumi kesalahan atau kenakalan anaknya. Contohnya adalah ibu si bocah yang meminta Bu A untuk memaklumi sikap anaknya. Yang perlu kita catat adalah meminta orang lain memaklumi kenakalan anak harus berbarengan dengan sikap tanggung jawab, entah itu meminta maaf atau mengganti kerugian. Bukan hanya sekedar meminta memaklumi tanpa ada sikap bertanggung jawab.
Ketiga, kurangnya waktu untuk memperhatikan dan mendisiplinkan anak sehingga mereka cenderung menerapkan pola asuh permisif. Pola asuh permisif cenderung tidak memiliki batasan yang jelas tentang perilaku baik dan buruk, sehingga saat anak melakukan kesalahan, orang tua cenderung memakluminya.
Masih banyak alasan mengapa orang tua menggunakan dalih “namanya juga anak-anak” saat menghadapi kenakalan anak-anak. Alasan itu termasuk latar belakang pendidikan, edukasi orang tua, dan lainnya. Namun problematika jawaban namanya juga anak, bisa berdampak pada kenakalan yang lebih besar, jika kenakalan/masalah yang sepele tidak kita selesaikan.
Lalu orang tua harus apa?
Keluarga adalah Payung Utama Anak
Aku sendiri, sebagai orang tua, punya pengalaman yang kurang menyenangkan dengan orang tua yang terlalu memaklumi kesalahan anaknya. Ketika anaknya diingatkan dengan lembut, orang tuanya marah karena menganggap sikapku terlalu keras, padahal anaknya sudah menyakiti fisik anakku. Namun, jika aku mengkomunikasikan perilaku anaknya pada anakku, si orang tua malah meminta untuk menegur langsung dengan alasan karena mereka tinggal di lingkungan yang sama. Situasinya jadi serba salah, bukan?
Meski dianggap suka mengadu, kita tetap perlu menegur langsung anak yang bersangkutan dan mengkomunikasikan perilaku anak itu pada orang tuanya. Alasannya kuat sekali, karena mereka adalah orang tua si anak. Apapun yang terjadi pada anak, tanggung jawab tetap ada di dua pihak, yang melakukan kesalahan dan walinya.
Beberapa orang meyakini, teguran dari orang lain mungkin lebih didengar daripada teguran dari orang tuanya. Namun, anggapan ini justru bisa menjadi pisau bermata dua bagi anak dan orang tua. Anak dan orang tua tidak akan membangun hubungan komunikasi yang konstruktif dan masalah yang lebih besar di masa depan seperti kasus-kasus perundungan.
Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa teguran dari orang tua memiliki pengaruh besar pada perubahan perilaku anak, terutama dalam keluarga yang sudah membangun komunikasi konstruktif antara anak dan orang tua. Sebab, orang tua memiliki kelekatan emosional lebih dalam daripada dengan orang lain, sehingga teguran atau masukan itu akan lebih meresap pada diri anak.
Invitasi dan Diskusi
Menjadi orang tua itu artinya kita harus siap bertanggung jawab. Bertanggung jawab untuk membesarkan dan mendidik, yang mana hal itu membutuhkan upaya sangat besar. Meski pada akhirnya anak-anak akan bersekolah dan membangun kehidupan sosial dengan masyarakat, bukan berarti kita boleh lepas tangan.
Sebagai orang tua, kita tetap perlu memantau namun jangan terlalu ketat, tentang bagaimana dan dengan siapa mereka membangun interaksi. Ini agar mereka tetap berada dalam lingkungan yang nyaman sebagai individu mandiri tapi tetap terlindungi.
Baca juga: Antara Anak, Belajar dan Merdeka. Ada Ibu yang Siap Jadi Stand Up Komedian
Ingat untuk tidak menjadikan dalih ‘namanya juga anak-anak’ untuk memaklumi kesalahan anak, agar mereka menjadi manusia yang bermoral dan berperilaku baik di masa depan.
Bagi kalian yang memiliki pengalaman serupa dengan judul di atas, yuk! Share di kolom komentar! Eitz komentarnya yang sopan ya, ini agar menjaga jejak digital kalian tetap bersih!
Happy Tuesday!
Source:
https://gaya.tempo.co/read/1837910/anak-jadi-pelaku-perundungan-ini-yang-perlu-dilakukan-orang-tua
https://www.alodokter.com/mengenal-pola-asuh-permisif-dan-dampaknya-bagi-anak
https://www.researchgate.net/
Comment
Emang sih diakui, orang tua pasti ngomong, namanya juga anak-anak kalo anak mereka salah. Padahal itu kan salah, yg ada anak makin seenaknya dan gak belajar dari kesalahan…
Saya kadang suka gedek ke anak-anak meskipun cukup suka kumpul dengan anak kecil. Kok bisa? Beberapa kali saya didatangi ponakan yang kemudian main di rumah. Seru banget padahal main sama anak-anak itu, tapi sayang sekali, masih banyak yang belum memberikan edukasi yang memadai tentang sopan santun dan batasan yang boleh dan tidak boleh. Saya sendiri merasakan, bagaimana kamar kadang begitu amburadul sepulang kerja dan beberapa alat ngonten hilang atau rusak karena ulah anak-anak. Mau mendisiplinkan? Namanya juga anak-anak. Uangel blas.
Saya tidak pernah mau menormalisasi kalimat “namanya juga anak-anak”. Iya anak-anak memang masih polos. Tapi, bukan semua hal harus dimaklumi. Makanya harus saya lihat dulu. Baru saya bisa bilang, “namanya juga anak-anak”.
Dengan sering menggunakan kalimat ini, kita justru mengajarkan anak untuk tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Mereka akan tumbuh dengan mindset bahwa kesalahan itu wajar dan tidak perlu diperbaiki.
Berdasarkan dari sederet pengalaman pribadi, aku sungguh benci normalisasi “namanya juga anak-anak”. Klo si anak melakukan srsuatu yg enggal sopan atau malah berbahaya, kan enggak bisa seperti itu. Justru anak harus diberitahu sejak dini kan ya?
Ih aku termasuk yang kesal loh kalau ada orang tua yang memaklumi kelakuan anaknya dengan bilang, “namanya juga anak2.” Kalau sudah begitu aku sering balas lagi, “Tapikan anak2 punya orang tua yang sudah dewasa dan bisa mengarahkan.” Terserah deh orang tuanya mau kesal or gak..
Aku langsung gak setuju sih kalo denger kalimat ini, haha.. Soalnya pernah kejadian anak tetangga main dideket motorku, dan GUBRAK, jatohlah motornya. Padahal, udah dibilangiiin, jangan maen deket motor. Untung aja anaknya gpp, tapi sayap motornya pecah dong. Langsunglah keluar itu bapaknya dan bilang kalimat itu, hadehh.. Tapi tetep dong aku minta ganti rugi, karena kalimat ‘namanya juga anak²’ gak akan ngembaliin kondisi motorku, wkwk..
Wkwkwk… “namanya juga anak-anak” emang toxic
Kadang kalo anak kita yg salah dikejar mulu giliran anaknya dia berulah ngomongnya bgitu.. permission banhet ke anak sendiri heran…
anak-anak emang masih kecil sih, tapi gak harus dibela segitunya juga dong kalau salah, apalagi sudah tahu anaknya salah disertai dengan bukti, malah minta pemakluman tanpa adanya minta maaf. Duh, rasa empati mana ya kalau kayak gini? Jadi gemes sendiri juga nih.
Justru karena masih anak-anak, seharusnya diajarkan yang benar. Kalau sejak kecil sudah dibiasakan dengan alasan tak bertanggung jawab begitu, jangan heran kalau besarnya nanti jadi troublemaker.
Kebayang masa depan anak-anak yang oleh orang tuanya selalu dimaklumi dengan kata-kata ‘namanya juga anak-anak’, sepertinya mereka akan tumbuh dengan rasa empati dan tanggung jawab terhadap lingkungan dan sesama. Nauzubillah
anak-anak yang belum baligh tak punya dosa lebih mulia daripada kita orang tua, semoga kita menjadi orang tua yang tak menyia-nyiakan kemuliaan anak dengan terus membentuknya menjadi orang yang mulia
Namanya juga anak-anak itu digunakan ketika si anak berbuat sesuatu, tetapi tidak merugikan orang lain. Misal, tantrum di tempat umum dan masih tetap dijaga ortunya. Tapi kalau itu tantrum sambil merusak dagangan/properti orang, ya itu bukan lagi kewajaran. Karena ada pihak lain yang dirugikan. Dari pandanganku gitu ya
Bener banget, hal-hal kayak gini memang perlu diedukasiin ke semua orang tua. Karena jika anak salah yaa tetap salah, harus dinasehatin dan tidak bisa dibenarkan perlakuannya. Setuju bangett
Bilang ‘namanya juga anak-anak’ itu gampang banget, tapi ngga menyelesaikan masalah. Kita harusnya tetep berusaha ngajarin anak buat bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dulu ucapan kayak gitu selalu jadi andalan para ortu manakala anak-anak melakukan kesalahan. Setiap apapun kesalahannya. Alhamdulillah sekarang banyak yang mulai ngerti dengan penggunaannya. Gak semua kesalahan anak bisa dimaklumi dengan perkataan itu. Termasuk aku dan suami. Saat anak salah fatal, membahayakan, atau yang di luar batas, kami pasti marah, dan berujung ngasih nasehat. Tapi kalo salahnya masih dalam batas, ya kami maklumi, namanya juga anak-anak.
Setujuuuu. Aku sebagai ibu pun nggak mernomalisasi “namanya juga anak2”. Justru karena masih anak2 itu kudu diluruskan mana yang bener mana yang keliru.
Saat anak salah, maka orang tua masih memegang tanggung jawab besar.
Pokoknya nggak mudah memang tugas ortu untuk membimbing anak, tapi ya memang udah sepaket dengan konsekuenski ketika pertama kali memutuskan melahirkan anak.
17 Responses