Penulis : Dinda Pranata
Sejak menjadi orang tua, banyak sekali kekhawatiran yang melanda kita. Mulai anak masih seusia jagung bahkan sampai anak menikah atau punya cucu, rasanya orang tua tetap tidak bisa lepas dari kekhawatiran. Salah satunya ketika anak balita kita mulai mengenal lingkungan dan perlahan masuk pada fase bersosialisasi.
Pada saat anak bersosialisasi dan mengenal lingkungan inilah, para orang tua harus berhati-hati. Hmm, bukan untuk menakuti ya! Tapi memang bersosialisasi dan mengenal lingkungan inilah di mana fase anak akan belajar dari luar lingkup keluarga. Lalu apa hal yang mendebarkan bagi orang tua?
“Mendiagnosis” Tingkat Kepercayaan Berlebih
Ketika bergaul dengan banyak orang tua—baik di lingkungan rumah maupun sekolah anak—aku paling ekstra hati-hati pada orang tua yang bilang, “aku percaya banget sama anakku. Dia tidak akan pernah melakukan kenakalan di luar rumah.”
Lo, kenapa mbak? Kan orang tua kaya gitu pasti baik banget? Panutan lo!
Meski tidak semua, tapi beberapa orang tua yang percaya anak 100% baik di luar rumah, memiliki persepsi yang keliru tentang membangun kepercayaan pada anak. Mereka akan cenderung percaya jika anak yang baik di dalam rumah pasti akan baik di luar rumah. Namun, sayangnya dalam prakteknya tidak semanis itu.
Baca juga: Adakah Ibu yang Baik? Sebuah Refleksi Untuk Pemahaman Kanan dan Kiri
Kok bisa begitu, mbak?
Meski sudah membekali anak dengan konsep baik-buruk, bukan berarti orang tua bisa seratus persen melepas anak tanpa pengawasan. Walau anak kita sudah berbekal moral yang baik di dalam rumah, apakah orang tua bisa menjamin kawan-kawannya serupa dengan anak-anak kita? Jawabnya ‘kan belum tentu. Hal baik dan buruk yang anak-anak kita dapatkan dari pergaulan—jika kita lalai—efeknya akan terbawa sampai dewasa.
Bukankah sudah banyak kasus-kasus bullying yang masih belum terselesaikan dengan baik dan beberapa orang tua pelaku masih enggan mengakui bahwa anaknya melakukan hal-hal tak baik kepada orang lain. belum lagi kecelakaan akibat perbuatan anak-anak yang sudah tidak bisa ditolerir seperti mencuri, merusak properti orang sampai melukai orang/anak lain. Ini bukan sekedar asumsi, bapak-ibu. Ada beberapa faktor yang mendasari bagaimana persepsi keliru ini bisa terjadi.
Terlalu Percaya Pada Anak, Siapa yang Rentan?
Kesalahan persepsi tentang bagaimana kita (orang tua) seharusnya mempercayai anak, terjadi karena beberapa faktor. Pertama trauma yang terjadi pada orang tua. Orang tua yang mengalami trauma tertentu bisa mengakibatkan keinginan untuk melindungi anak. Melindungi ini bisa terlalu membatasi atau terlalu longgar/cenderung memberi kepercayaan berlebih. Misalkan, masa kecil orang tua dibesarkan dengan pola asuh otoriter, kemungkinan bisa berkembang menjadi orang tua terlalu percaya pada anak, karena tidak ingin anaknya merasakan pengekangan sepertinya. Meski belum banyak penelitian yang menunjukkan kecenderungan ini tapi beberapa penelitian setuju dengan pandangan ini.
Baca juga: Review Super Parent: Mengasuh, Mengasihi dan Empati
Kedua, jumlah anak yang orang tua miliki. Dalam satu keluarga jika memiliki anak lebih dari satu atau dua, orang tua sulit fokus dalam mengelola aturan dalam rumah. Tiap anak memiliki karakter yang berbeda menyebabkan penanganan antara satu anak dan lainnya bisa berbeda dan tentu menimbulkan dilema tersendiri bagi orang tua. Contoh sederhana kita aturan makan permen di rumah. Si sulung yang giginya sehat diperbolehkan makan dua permen sehari, tapi karena si adik punya masalah gigi maka si adik tidak boleh makan satu permen sehari. Tentu si adik yang merasa tidak adil ini akan tantrum atau rewel sehingga pada suatu titik (orang tua lelah, sedang sakit atau sibuk) akan memperbolehkan makan permen.
Ketiga, kultur sosial ekonomi orang tua. Persepsi yang kurang tepat tentang kepercayaan ini juga tumbuh dari lingkungan keluarga dengan sosio ekonomi yang rendah. Minimnya tingkat pendidikan dan lingkungan tumbuh keluarga pola asuh juga mempengaruhi bagaimana sebuah keluarga menerapkan pola asuh ini. Sebagai contoh di lingkungan dekat tempat tinggalku (yang berdekatan dengan pasar tradisional) banyak kujumpai, anak-anak seusia SD/SMP yang dengan berani serta tanpa memiliki surat izin untuk mengendarai motor. Parahnya lagi mereka tidak mengenakan safety tools seperti helm ketika berkendara di jalan raya. Meski orang tua bisa saja percaya bahwa mereka sudah mampu mengendarai kendaraan, tapi melepaskan anak yang kondisi psikis yang labil beresiko lebih besar.
Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua terhadap fenomena ini?
Partnership Orang Tua dan Anak
Sebelum kebablasan memberikan kepercayaan kepada anak, berikut beberapa hal yang perlu orang tua ketahui:
- Kembangkan komunikasi dan empati antara orang tua dan anak
Komunikasi yang sehat melibatkan komunikasi dua arah di mana ada pendengar dan pembicara. Orang tua perlu mendengarkan anak dengan baik, jangan sampai hanya ingin di dengar tanpa mau mendengar alasan di balik perilaku anak. Pahami bahwa setiap manusia baik orang dewasa atau anak-anak, sama-sama berhak didengar. Komunikasi yang sehat juga bermanfaat untuk mempererat hubungan anak dan orang tua, sehingga orang tua tidak perlu repot terus memarahi anak jika sudah mengetahui ‘celah’ untuk menasehati anak. Dengan komunikasi dan empati, orang tua tidak menjadi pihak yang selalu percaya tapi juga kritis terhadap kondisi apapun di sekitar anak.
Baca juga: Jangan Membuat Masalah Kecil Dalam Mengasuh Anak Jadi Masalah Besar. Ini Resensinya!
- Jadilah contoh yang disegani bukan hanya dihormati
Menjadi contoh yang disegani anak lebih baik daripada hanya sekedar dihormati atau bahkan ditakuti. Untuk menjadi sosok yang disegani anak sangat membutuhkan usaha ekstra di mana orang tua tahu proporsi kapan harus memberi ketegasan dan kapan memberi kelonggaran. Sosok yang disegani bisa menjadi teman tapi juga bisa menjadi penuntun yang bijak bagi anak. Lalu bagaimana melakukannya? tentu di mulai dari membangun komunikasi dan memberi contoh secara sehat dalam rumah. Ingat bahwa anak adalah peniru ulung. Melihat bagaimana ayah dan ibu mengatasi konflik, secara perlahan anak pun akan mengembangkan gaya penyelesaian masalah yang serupa.
3. Mengembangkan Literasi Pola Asuh
Menjadi orang tua bukan berarti kita tahu segalanya. Zaman terus bergerak dan sangat dinamis, begitu pula dengan pola asuh dari zaman ke zaman yang pasti akan mengikuti perkembangan anak di tiap generasi. Adanya trauma dari orang tua serta lingkungan tinggal, terkadang menjadi kendala orang tua untuk mengubah menerapkan pola asuh yang lebih baik. Untuk itu kita sebagai orang tua (baik ayah dan ibu) perlu terbuka dan saling mendukung peran masing-masing dalam mendidik anak. Jangan sampai kita abai atau terlena dengan menerapkan kepercayaan berlebih pada anak.
Invitasi dan Diskusi
Mendidik anak memang tidak pernah mudah. Pun tidak ada sekolah khusus untuk menjadi orang tua selain trial and error bersama pasangan. Meski kenyataan mempercayai anak sangat penting bagi tumbuh kembangnya, rasanya tidak bijak jika orang tua terlampau percaya pada anak seratus persen ketika dia tidak berada dalam pengawasan/ jangkauan orang tua.
Meletakkan kepercayaan berlebih pada anak bisa membahayakan bagi perkembangan anak seperti degradasi moral, bullying dan perilaku menyimpang lainnya. Selain berdampak pada anak, overtrusting juga berdampak pada orang tua. Mereka jadi tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak, kerentanan emosional saat anak bertindak tidak sesuai dengan apa yang mereka percayai, dan termasuk kesan lepas dari tanggung jawab sebagai orang tua yang seharusnya.
Baca juga: Pojok Literasi-Resensi The Danish Way Of Parenting: Pola Asuh Anak Berkarakter.
Alih-alih menyampaikan bahwa anakku tidak akan pernah melakukan tindakan ABC, akan lebih bijak jika orang tua mulai menyampaikan bahwa anak-anak masih dalam pengawasan agar terlepas dari tindakan ABC.
Bagi kalian yang memiliki pengalaman tentang overtrusting pada anak atau memiliki kiat-kiat khusus parenting, bisa berbagi di kolom komentar ya. Ini juga termasuk kalian yang ingin berbagi pengalaman terkait ilmu parenting, bisa juga berbagi. Eitz! Ingat untuk menggunakan bahasa yang sopan demi jejak digital kalian tetap bersih ya!
Happy Monday!
Source:
Franz, Molly R., et al. “Parenting Behaviors of Mothers with Posttraumatic Stress: The Roles of Cortisol Reactivity and Negative Emotion.” Journal of Family Psychology, no. 1, American Psychological Association (APA), Feb. 2022, pp. 130–39. Crossref, doi:10.1037/fam0000865.
https://www.idntimes.com/life/family/tresna-nur-andini/risiko-jika-orangtua-terlalu-percaya-pada-anak-c1c2
https://kumparan.com/tara-fasas/intergenerational-trauma-alasan-pola-asuh-orang-tua-yang-buruk-1zMu1LpEyiu/4
Comment
Jadi inget, dulu wkt sekolah, aku punya temen yg kalo di sekolah urakan badung banget. Tapi ternyata pas di rumah anaknya super alim, anak mami banget. bisa 2 kepribadian gitu ya. Jadi kepikiran, anakku kayak mana ya kalo diluaran sana. mudah2an sih sifatnya di rumah maupun diluar teteup sama
Aahhh setuju banget! Sebagai orang tua pasti khawatir sama anak, apalagi jika anak sudah belajar dari lingkungan selain dari keluarga. Anak juga bisa punya dua sisi. Sikap yang ditunjukkan kepada orang tua, bisa jadi berbeda ketika sedang bersama dengan temannya. Tetap orang tua harus lebih aware dengan pergaulannya.
Hal yg kutakutkan, salah satunya, anakku tampqk alim di rumah tapi liar di luaran. Namun, sejauh ini tampaknya justru sebaliknya. Dari berbagai laporan/testimoni/penyelidikanku, malah anakku lebih betadab klo di luar tumah, eh klo ke saya kok kurang ajar, malas2an ..
Kebetulan nih anak sulungku perempuan sudah masuk semester 3 kuliah di Bandung dan ngekos. TInbgkat kepercayaan orangtua pada anak memang sedang diuji. Insya Allah kami percaya padanya dan terus berkomunikasi lewat telepon, VC dll. Ada was-was juga tentunya tapi kita pantau terus. Semoga amanah dan baik-baik saja dalam lindungan Allah SWT aamiin.
Sebagai orang tua kita harus benar-benar membangun komunikasi dengan anak sebaik mungkin dan dua arah agar saling memahami, thank you kak sudah diingatkan
Sepakat banget untuk selalu cek dan ricek dengan apa-apa informasi yang kita terima tentang anak. Bukan berarti tidak percaya kepada anak, tetapi akan sangat bijak jika kita bertabayun atau croscek informasi agar keputusan kita menjadi bijak nantinya
senang banget baca-baca artikel parenting seperti ini, bagus banget mba dan sangat bermanfaat untuk saya sebagai calon ibu, saya termasuk orang yang memang ga mudah juga percaya sama orang termasuk apa yang dikatakan anak-anak semisal keponakan saya di rumah, kalau ada apa-apa. Meskipun saya tidak mengucapkannya secara langsung tapi ya itu sesuai dengan yang mba jelaskan, saya biasanya melakukan komunikasi yang mendalam untuk tahu kejujurannya atau sebaliknya, membaca ini makin tahu tindakan apa lagi yang harus dilakukan
Setuju sih, sebelum memberi kepercayaan pada anak, ortu masih harus mengembangkan komunikasi dan empati kedua belah pihak. Orang tua harus menjadi sahabat yang bisa mendengarkan anak dengan baik hingga anak merasa nyaman untuk ngobrol apa saja sama ortunya.
Saya rasa, seringkali kita sebagai orang tua atau pengasuh terjebak dalam dilema antara ingin melindungi anak dan memberikan mereka kebebasan untuk belajar dari kesalahan. Mungkin kita bisa lebih sering bertanya pada diri sendiri, “Apa sebenarnya yang saya takutkan?”, dan dari situ mencari cara untuk mengatasi ketakutan tersebut sambil tetap memberikan kepercayaan pada anak.
Setuju banget.. Anak kalau sudah di luar rumah pasti mendapatkan pengaruh lingkungan. Dan tidak selalu baik, untuk itu kita tidak boleh terlalu percaya.
Sepakat, nih. Sebelum terlalu memercayai anak, kita sebagai orang tua harus selalu croscheck informasi terlebih dahulu.
percaya pada anak sih sah-sah aja, tapi emang gak boleh 100% juga dong ya percaya pada mereka.
kita bisa yakin anak kita baik-baik saja, tapi kita juga gak boleh membantah jika anak kita melakukan kesalahan, intinya sih memang bangun komunikasi yang baik.
Menurutkku menaruh kepercayaan sama anak sih perlu ya biar anak merasa diharga, tetapi tetap harus dipantau, jangan lengah biar anak gak jadi pribadi yang playing victim…
Iya banget, ke anak kita memang harus percaya. Supaya anak juga jadi punya rasa tanggung jawab. Tapi ya bener, jangan terlena dan jangan terlalu percaya. Sebab bisa jadi boomerang ya ke kita dan ke si anak itu sendiri. Aku dulu pernah selalu percaya, eh ternyata, semakin besar jadi ada bohongnya juga. Sejak itu gak selalu percaya. Aku sering ngetes mereka. Misal dengan nanya sesuatu yang sudah aku tahu dari pihak lain, ke anak aku. Ada kalanya mereka jujur. Dan ada kalanya juga mereka bohong. Saat bohong, aku langsung tegur. Mereka minta maaf. Aku kasih pengertian ke mereka kalo bohong, suatu saat pasti ketahuan. Dan ngasih pengertian juga ke mereka kalo mereka jangan menyia-nyiakan kepercayaan orang. Bisa bahaya yang akhirnya merugikan mereka sendiri. Semoga deh mereka gak banyak bohong lagi.
Benar-benar ilmu mendidik dan membersamai anak itu nggak mudah. Setelah anak mulai besar dan perlahan-lahan meminta space untuk bersosialisasi dengan lingkungan di luar rumah, tantangan yang dihadapi bukannya berkurang malah makin meningkat sih, sebenarnya. Kebayang bagaimana value keluarga harus terus dijaga sembari memperhatikan lingkungan pertemanan. Sepakat soal memberi rasa percaya tapi bukan sepenuhnya melepas begitu saja.
Ini yang sedang kami alami
Kepercayaan pada anak menjadi salah satu kunci ikatan anak dan ortu makin kuat
Namun, saya tidak pernah lupa untuk selalu crosscheck ke pihak terkait untuk setiap hal yang diceritakan oleh si anak
16 Responses