Penulis : Dinda Pranata
Ketika SMP, aku punya seorang teman (sebut saja namanya AB) yang tiba-tiba datang menawarkan diri untuk mengerjakan tugas trigomometri yang paling bikin aku puyeng. AB ini di kelas memang pandai dalam bidang trigonometri dan aljabar. Beda banget denganku yang rada-rada lemot untuk materi teman-teman si matematika ini.
Sayangnya, tawarannya itu tak kuterima karena prinsip yang diajarkan oleh orang tuaku, lebih baik nilai jelek hasil sendiri daripada nilai bagus tapi hasil bohong. Prinsip itu masih aku pegang sampai sekarang.
Meski begitu, ada dorongan besar yang membuatku bertanya nih. Mengapa mereka yang pintar seperti si AB ini memilih mengerjakan pekerjaan teman yang ‘rada-rada’ ya?
Joki Tugas dan Bahasa di Baliknya
Yang mengikuti topik joki tugas ini, tampaknya sudah enggak asing dengan fenomena ini ya. Sadar atau tidak, fenomena perjokian ini bisa terjadi sejak kita masih kecil.
Ah, gimana sih? Anak kecil mah enggak tahu apa-apa kale!
Baca juga: Romantisasi Kriminal: Dari Kasus Brigadir J hingga Saiful Jamil
Begini, masih ingat ketika kita sekolah dan ada PR membuat prakarya. Alih-alih membiarkan anak mengerjakan sendiri tugasnya/mengawasi, orang tua akan (lebih) sibuk mengerjakan tugas prakarya itu. Ya, dengan harapan prakarya anak jadi maksimal dan mendapat predikat tertentu.
Dari satu perilaku kecil yang (mungkin) tidak disadari oleh orang tua, perilaku itu membuat anak akan terbiasa meminta orang lain untuk menyelesaikan pekerjaannya, karena sudah tahu ‘nikmatnya’ keberhasilan instan. Apalagi jika perilaku itu terjadi berulang dan menjadi kebiasaan.
Orang tua yang dengan bahasa implisitnya ‘ingin membantu’, pada akhirnya tidak membantu pada jangka panjang.
Namun di era seperti sekarang, rasa-rasanya bahasa implisit itu tak lagi terdengar. Para joki tugas ini, kian marak dan beragam jenis, yang secara terang-terangan muncul tanpa menggunakan topeng ‘dalih membantu’. Beberapa dari mereka bahkan berani memberi jaminan hasil bahwa mereka akan berhasil.
Sebut saja joki membuat slide power point, meresume jurnal, mengetikkan makalah sampai yang paling heboh joki menjadi peserta ujian kepegawaian.
Baca juga: Pria Dan Wanita Punya Sisi Maskulin Dan Feminim. Ini Penjelasannya!
Tapi, coba deh kita merenung sejenak. Bagaimana joki ini bisa berani mengambil pekerjaan jika mereka tidak punya kemampuan? Bukankah artinya mereka itu pintar?
Pintar Saja Tak Cukup, Tanpa ….

Saat kita bicara realita, memang terkadang sangat pahit seperti ampas kopi. Tapi apakah pahit itu tidak berguna? Ya, enggak dong! Sama seperti ampas kopi yang punya manfaat kalau kita tahu apa yang harus dilakukan
Dalam sebuah jurnal yang terbit tahun 2022, terdapat sebuah penelitian yang melihat fenomena joki di kalangan mahasiswa/pelajar. Berdasarkan penelitian itu ditemukan bahwa faktor ekonomi dan faktor hasrat diri sendiri (yang di dalamnya termasuk adanya rasa ingin tahu dan memanfaatkan orang lain dengan kondisi tertentu).
Menariknya nih! Hal ini pun diamini juga oleh jurnal studi pemuda tahun 2023 yang mengangkat isu tentang industri joki dengan mengambil sudut pandang penjoki-nya. Dalam jurnal ini pun, faktor ekonomi memegang peranan penting bagi seseorang untuk memutuskan menjadi seorang penjoki. Misalkan, apakah mereka seorang pegawai kontrak yang bisa sewaktu-waktu diberhentikan, ataukah mereka seorang lulusan universitas bergengsi namun terkendala dengan terbatasnya lapangan kerja. Untuk bisa menyambung hidup dengan gaji yang (mungkin) terbilang terbatas, akhirnya menyebabkan mereka mengambil kerja sambilan (freelance) sebagai seorang penjoki.
Pintar saja tak cukup untuk memberimu makan, tapi kau juga harus oportunis. Kurang lebih frasa ini cocok untuk para penjoki. Mereka memiliki otak dan kemampuan yang cukup bagus, tapi mereka juga harus oportunis dalam melihat realita kehidupan yang tidak seindah kemampuannya. Kondisi ekonomi yang melilit penjoki tidak mungkin berdiri sendiri dong! Ada faktor lain juga yang menyebabkan industri joki ini meningkat dan terlihat secara kasat mata. Apa itu?
Baca juga: Apakah Kamu Ahli Kode atau Ahli ...?
Industri Joki Akademik Sebuah Komoditas: Ada Permintaan, Ada Barang
Masih ingatkah dengan teori ekonomi “ada permintaan, ada barang.” Industri perjoki-an ini seperti sebuah komoditi tidak hanya di kalangan akademisi, namun juga di kalangan pencari kerja. Selama ada permintaan terhadap jasa itu, industri itu akan tetap ada.
Masak iya sih joki bisa nyasar ke wawancara kerja?
Yang kumaksud bukan wawancara kerja, tapi terlebih ujian tulis dalam melamar kerja. Bukankah kasus yang sempat rame termasuk dalam industri perjokian? Meskipun tertangkap, namun masyarakat yang mengetahui itu akhirnya mempertanyakan integritas dari lembaga/perusahaan/instansi yang kebobolan oleh joki kan.
Kondisi permintaan joki yang kian meningkat ini pun ada faktor pendorongnya. Misalkan saja banyak lulusan dari universitas yang tidak disertai dengan kemampuan/skill yang cocok dengan permintaan kerja zaman sekarang. Ketersediaan dan syarat permintaan pekerja yang menyulitkan para pencarinya. Lalu dari segi mahasiswa-nya, mereka masuk universitas karena hanya mengejar gelar atau tidak sesuai dengan minatnya. Ini termasuk syarat kelulusan yang hanya menekankan pada satu cara yaitu skripsi atau desertasi.
Lalu mahasiswa/siswa/siapapun yang ingin mencicip joki/ menjadi joki sebaiknya bagaimana?
Baca juga: Siapa Kamu di Media Sosial?
Industri Joki Akademik dan Jawaban yang Tidak Selalu Mudah
Ingatlah beberapa hal ini sebelum terjun pada industri joki baik sebagai penjoki atau pengguna jasa joki akademik :
- Semua hal ada harganya: Sadari bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis, bahkan toilet umum yang bersih pun ada yang berbayar kan. Sama halnya jika kita ingin menjadi joki/pengguna joki untuk tugas sekolah/kuliah/mencari kerja di sebuah instansi. Penjoki dan konsumen joki akademik itu pun punya harga, jika tertangkap tidak hanya penjoki-nya yang terseret tapi juga pengguna jokinya pun terlibat dalam kasus hukum. Ini termasuk citra dari instansi, perusahaan termasuk almamater sekolah/universitas yang terkena imbasnya.
- Tidak ada hasil yang instan: Semua ada proses dan setiap orang punya waktu dalam berproses. Ada orang yang punya kemampuan belajar cepat lalu peningkatan belajarnya juga turunnya drastis. Ada yang proses belajarnya lama tapi peningkatan hasilnya cepat. Dan, ada juga yang proses belajarnya jalan di tempat tapi peningkatan hasilnya bertahap. Semua punya ritmenya, dan semua hasil yang diperolehnya tidak instan. Yang terpenting dari hasil adalah bagaimana kita berproses dan menghasilkan mutu yang baik.
- Belajar itu seumur hidup, bukan hanya di bangku sekolah: Meskipun kita lulusan terbaik, ketika masuk di industri kerja, banyak hal baru yang akan kita dapatkan. Di kertas kita mungkin adalah lulusan terbaik, tapi di industri kerja kita tetap siswa/pembelajar. Ada situasi naik turun yang tidak terduga, jika kita tidak kompeten di bidang yang kita pelajari, mungkinkah kita bisa bertahan dalam tugas-tugas yang dapatkan. Apalagi yang masuk dengan jalur joki!
Solusi yang Perjokian Akademik
Fondasi di atas tidak selalu mutlak bagi semua orang, tapi sebagian besar terjadi pada orang lain. Selain berpegang pada fondasi di atas, peran serta kita sebagai masyarakat termasuk pemerintah perlu saling mendukung. Kira-kira apa saja ya?
- Pencari pekerja, perlu mempersingkat prasayat pencari kerja: Ini banyak terjadi pada lowongan kerja yang bertebaran di publik. Misalkan ia menginginkan seorang staff design packing tapi yang dicari orang dengan keahlian misal bisa corel, bisa adobe ilustrator, adobe photoshop, bisa editing video, bisa bahasa asing, mengerti pembukuan, jujur, dll. Kualifikasinya terlalu lebar dan tidak fokus. Alih-alih menyebutkan hal-hal tak penting, coba mulai fokuskan kualifikasi misal bisa adobe dan corel atau salah satunya. Dengan begitu pencari kerja tidak akan membuang waktu untuk menjajal peruntungan pada hal yang jelas tidak pada kualifikasinya.
- Pencari kerja kembangin kualitas diri, daripada fokus ngeluh sana-sini: mungkin terdengar begitu keras ya, tapi begini teman. Alih-alih sibuk dengan ngeluh sana-sini, atau koar-koar di medsos tentang perusahaan yang menggaji murah, apakah perusahaan itu lantas akan menggaji kita lebih tinggi? Kalau video kita viral mungkin saja, tapi kalau tidak bisa jadi kita yang jadi bulan-bulanan. Coba kembangin skill, sekarang sudah banyak video youtube bertebaran tentang tips-tips ini itu, enggak harus pergi kuliah lagi atau kursus. Ini juga berlaku pada yang baru saja lulus kuliah, jika memang kualifikasi/kemampuan perusahaan tidak sesuai denganmu, jangan buang waktu untuk fokus pada hal yang akan membuatmu menyesal.
- Pemerintah juga perlu menyederhanakan perihal aturan-aturan tentang pekerja, perusahaan dan akademik dengan fokus pada hal yang substansial. Generasi muda saat ini membutuhkan dua hal penting pengembangan skill dan waktu yang lebih fleksibel. Semakin pemerintah memodifikasi aturan yang sebenarnya enggak substansial semisal mengatur penggunaan seragam berdasarkan hari lah, mengatur penggunaan sepatu dengan model tertentu, akan lebih baik menyederhanakan aturan yang lebih substansif seperti kesejahteraan karyawan dan perusahaan yang sampai saat ini cenderung berat sebelah.
- Seperti komoditas, industri joki akademik ini perlu dihilangkan agar tidak banyak orang yang mengkonsumsinya. Seperti menyiapkan forum layanan aduan terkait bidang usaha yang terindikasi dengan industri joki akademik. Misalkan bidang usaha yang bergerak di bidang konsultan pendidikan. Jika usaha ini terindikasi membuka layanan sama seperti industri joki, pemerintah bisa mencabut izin usaha itu dan penindakan terhadap pemilik usahanya.
Invitasi dan Diskusi
Secara garis besar, perjokian ini terjadi karena faktor ekonomi dan ketimpangan antara kompetensi lulusan dengan lapangan kerja yang ada. Pemerintah bersama masyarakat perlu turun tangan agar tercipta kondisi perekonomian yang sehat. Perekonomian yang sehat pun bukan berarti lepas dari masalah. Tidak ada jawaban yang selalu mudah, jika kita sendiri tidak mau berupaya menyelesaikan. Namun dengan kondisi masyarakat yang sehat dan edukatif penyelesaian masalah pun jadi lebih fokus pokok permasalahannya.
Kalian punya komentar atau pengalaman terkait dengan joki tugas itu? Kalian bisa komen di kolom komentar ya. Eits! Tetap komentar dengan bahasa yang sopan ya, agar jejak digital kalian tetap bersih.
Happy Monday!
Source:
Larasati, Dewi., Osmawati, Yani. 2022. Analisis Teknik Netralisasi Joki Tugas Perkuliahan Online Pada
Masa Pandemi Covid-19 di Jakarta Selatan. Jurnal Anomie, 4(3), 163-179
Fahmi, Ridwan Tajul., Rofiqiah, Hifni Azizatur. 2023. Joki Skripsi: Jalan Pintas Pemuda
Menghadapi Ketidakpastian Dunia Kerja. Jurnal Studi Pemuda, 12(1), 1-13
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7411974/kunci-menghindari-pengguna-jasa-joki-tugas-salah-satunya-sadar-diri
https://www.idntimes.com/news/indonesia/dini-suciatiningrum/viral-joki-skripsi-dinormalisasi-ada-guru-ikut-tawarkan-jasa?page=all
Comment
Paling banyak si joki game push rank, wkkwk. Tapi selama hasilnya memuaskan dan hasilnya besar, why not ?? Kwkwkkw
Ikut mengomentari komentar sebelumnya.
Teman anakku yang SMP sudah dapat banyak uang (utuk ukuran anak sekolah) dari joki game push rank..Duh. Tapi aku dah ingatkan anakku untuk tidak ikutan memakai jasanya atau bahkan mengikuti jejaknya.
Sedangkan anakku saja bikin tulisan (karya tulis) aku biarkan bikin sendiri, padahal kalau iseng kubaca duh malu sendiri, emaknya bisa nulis dia acakadut kalau cerita. Tapi biar saja…diajak berlatih tanpa ikut membantu atau joki-in karena yes, setuju aku: ‘Tidak ada jawaban yang selalu mudah, jika kita sendiri tidak mau berupaya menyelesaikan.”
Oia, kini yang marak di Jakarta tuh joki Strava…duh, ada-ada aja, demi FOMO di sosial media sampai menempuh segala cara
Perjokian memang ga ada habisnya ya selama masih banyak permintaan. Yang lagi ramai di tes online jalur mandiri PTN waktu itu saja masih bergulir. Entah bagaimana ya solusinya, kok masih ada aja jekadian dari tahun ke tahun. Semoga saja orang-orang cerdas yang menjadi joki segera sadar dan tidak melakukan perbuatan negatifnya lagi.
Proses belajar memang tidak ada yang instant, perlu untuk cari tahu cara yang tepat agar proses belajar semakin mudah dan cepat.
Joki skripsi ini ngenes banget ya. Meski udh ada sejak dulu kala tapi tetap aja bikin mahasiswa enggak jujur. Malah daku pernah baca di sebuah web kalau ada mahasiswa yg jadi joki skripsi eh dia malah enggak lulus kuliah gara2 terlalu sibuk bikinin skripsi orang lain.
Btw daku juga pernah nulis tentang joki dan kejujuran tapi dari sisi parenting. Ortu kudu teges dan ngajarin anak untuk jujur biar gak main joki2an.
Tanpa disadari ternyata kita telah melegalkan joki akademik bahkan sejak SD. Soalnya guru juga hanya menilai hasil yang bagus, nggak menganalisis mana yang beneran hasil tangan sendiri. Jadinya, apapun caranya yg penting prakaryanya bagus, huhu.
Joki akademik itu sama aja kayak mencuri kemenangan orang lain. Gak fair buat yang bener-bener belajar. Selain itu, ini juga merusak integritas akademik. Lebih baik jujur dan hadapi tantangan belajar dengan kepala tegak. Masa depan cerah menanti mereka yang punya integritas!
Mungkin pertanyaanku ini akan sedikit mengulik siis lain dari alasan orang menyewa joki atau menjadi oknum joki. Sistem pendidikan kita terlalu banyak mau dan tujuan akhirnya bukan sesungguhnya untuk pengembangan karir sesuai minat bakat juga karakter, melainkan “bisa kerja jadi ini dan itu kalau lulus dan nilaimu segitu” nggak sih? Banyak banget soalnya yang harus dipelajari seorang siswa di sekolah dan ada tuntutan nilai sekian sekian yang sebenarnya melelahkan. Makanya memicu bagi yang pintar ya kenapa nggak jadi joki, selain bisa dapat uang alias bayaran. Pun yang sewa, demi bisa lulus alias bebas dari tuntutan mata pelajaran atau mata kuliah tertentu yang melelahkan untuk dipelajari padahal belum tentu termanfaatkan juga di kehidupan seseorang, kalau dia nggak nyemplung ke bidang tertentu. Gitu bukan sih? Kalau salah, mohon dikoreksi ya, Kak.
Wah saya kurang bergaul sepertinya, tapi memang sering denger dari beberapa postingan di LinkedIn, katanya seringkali pekerjaan yang dipost itu justru menerima orang yang mereka kenal. Terutama kalau kenal senior yang tahu dia butuh pekerjaan itu. Namun, ini agak abu2 sih, soalnya yang ditawarin langsung pun memang punya skill.
Ya, gabungan antara skill dan kenal orang dalam ya. Haha. Perusahaan juga pasti milih yang punya skill dan kenal, ketimbang ada skill tapi orang asing.
Wuih ternyata joki itu bisnisnya lumayan cuan ya kak, gak heran banyak yang tertarik karena memang pemintanya juga banyak
di mana ada permintaan dan kemalasan, tentu ada peluang 😀
Menariikkkkk bangeeettt ini tulisannyaaa aku sukaa. Kalau dari perspektif ekonomi, joki akademik ini tercipta karena ada permintaan juga sekaligus penawarannya. Jadi memang keduanya udah saling membutuhkan satu sama lain. Yang satu butuh karena tingkat kemalasan yang sangat tinggi, di sisi lain ada “supply” orang orang pintar yang punya energi lebih, namun bingung mau naruh di medium mana. Jadinya? Open joki lah. Kapan lagi kamu belajar, makin pinter, eh dapet duit pula. Sedangkan kliennya, makin bodoh lah dia. Hmmmm
Urusan joki menjoki ini sepertinya sudah terlalu banyak ya di berbagai lini kehidupan sekitar kita. Mulai dari urusan sekolah, kuliah, sampai ke mencari pekerjaan. Banyak yang perlu dirubah sih pola pikir di masyarakat yang kadang terlalu mengagung-agungkan nilai akademis. Padahal saat bermasyarakat dan bekerja, faktor-faktor lain seperti kejujuran, integritas, ulet, dan lainnya jadi poin penting yang perlu dipertimbangkan.
Dulu pernah kepikiran jadi joki waktu belum dapat kerja. Tapi makin ke sini makin sadar bahwa joki itu nggakada gunanya daan bikin kualitas akademik kita makin menurun. Jadi kita bakal hidup sama generasi yang nggak berkualitas.
Aku sih nggak pernah pake jasa joki gini. Tapi jadi joki sih pernah. Ya bikin skripsi org lain lah. Haha. Aku butuh duit, dan dia pgn skripsinya cepat kelar. Win2 solution. Urusan sidang, ntar kita briefing meski dia jg hrs mengerti apa yang kita tulis. Nanti kalo hasilnya meleset, ya itu udh risiko yg minta kerjain. Salah siapa yang belajar sendiri. Wkwk
Masih marak ya perjokian ini ternyata. Iya tanpa sadar kita orang tua sering mau anaknya serba instan dan cepat. Tugas dibuatin biar bagus dan selesai cepat. Peer banget sih ini buat ortu untuk berubah
Yang lagi tenar sekarang joki skripsi. Ada yang bilang karena gaji dosen kecil, juga karena banyak dosen mempersulit mahasiswanya untuk lulus. Sampai ada mahasiswa keluar kuliah padahal udah usaha keras banget. Kalau gini kan jadi mikir mereka yang mau kuliah.
Banyak ya jadi inget dulu sekolah sering ada yang minta bantu kerjain tugas, apalagi klo dah masuk kuliah banyak yang beli TA/skripsi ak sih g ada duit mending kerjain sendiri
Miris banget ya baca berita tentang paragraf perjudian ini terutama untuk tugas kuliah anak-anak generasi sekarang. Tentunya ada banyak faktor yang membuat bisnis Perjokian ini semakin marak dan sebagai orang tua tentunya kita harus selalu berusaha untuk menanamkan nilai-nilai yang baik kepada anak agar tidak terjebak dalam urusan joki ini
Jadi inget dulu pas ikut ujian masuk ke perguruan tinggi, para pengawasnya memperhatikan betul wajah-wajah para peserta, beberapa yang terasa berbeda dengan kartu ujiannya ditanya langsung dong, termasuk temanku yang di kartu tanpa kacamata, eh pas ujiannya pake kacamata, ya dicurigain lah sebagai joki .. haduh
Saya punya teman yang pintar, anggap saja si A, dia cerita pernah diminta teman yang bernama si B untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Padahal jurusan kuliah mereka berdua sangat beda jauh. Kaget wkwkk, padahal si B kuliah di kampus top. Kagetnya juga, padahal si B termasuk yang ekonominya biasa-biasa saja, kok bisa sampai berpikiran untuk minta joki tugas ke temen. Dari situ saya melihat kalo faktor terbesar orang cari joki tugas bisa jadi karena faktor ‘malas’. Semoga industri joki ini bisa diatasi dan segera dihilangkan.
Aku cukup shock ketika salah satu orang terdekatku mengatakan bahwa skripsinya kemarin dikerjakan oleh joki, begitu pun syarat kelulusan lainnya, sperti TOEFL dan lain-lain.
Jumlah uangnya kalau sendiri yaaa, lumayan. Tapi karena berkelompok ((si doi ini punya geng yang sama-sama mau lulus cepet)), jadi terasa lebih ringan dan beneran cepet selesai.
Tanpa ketauan.
Atau memang sebenernya dosen tau, hanya membiarkan praktek sperti ini karena kaitannya adalah akreditasi. Dan ini terjadinya di kampus swasta.
Dan kata si doi, “Aku carinya di IG..pake keyword tertentu and voilaaa.. ketemulah joki yang trusted.”
WOW sekali bukaaan…??
((merasa ingin berkomentar, tapi karena uda lewat kejadiannya, aku cuma melongo))
Masih adanya joki ini karena masih ada yang mencarinya ya. Karena kalo dibutuhkan, ya tetep hijau pasarnya
Aku pernah jadi joki lagi huhu..
Joki bahasa buat ujian temenku yang ujian masuk sekolah keperawatan tapi setelah masuk aku tiap dimintain tolong gak lagi mau takut ada apa2 soalnya sekolahnya dinas hahaha
Mending ngerjain sendiri sih meski hasilnya nggak sebagus yang paling pinter misalnya. Bisa juga belajar bareng biar sama-sama paham. Cuman memang ya nggak dipungkiri masalah Joki akademik ini memang masih ada.
ketika kita terbiasa nggak dilatih berpikir sendiri sejak dini maka kita akan selalu mudah untuk menentukan hal yang paling tidak bikin otak pusing mikir, solusinya adalah joki.
Bener banget, menjadikan joki bukan ajang untuk mencari rezeki juga, justru malah berujung menutup rezeki kl ketauan..
Masalah perjokian ini agak lucu memang, karena pengen naik level di game pake joki game, bahkan untuk menaikkan strata sosial ada pula joki Strava. Sungguh aneg tapi nyata
Joki tu malah jadi bikin anak ga mandiri, bersykurnya sekarang udah ada internet, tinggal kitanya melatih agar anak bisa menggunakannya dengan benar
Di Indonesia selalu ada aja inovasi joki ya, yang terbaru joki strava, hehe … Tp jujur, sedih banget lihat fenomena joki skripsi makin merebak, bahkan ada yg sampai jadi pembicara saat ada materi kewirausahaan.
saya baru tahu ada bisnis joki baru-baru ini ketika saya banyak mutualan dengan orang-orang yang umurnya lebih muda dibanding saya. ternyata itu banyak peminatnya. sayang sekali ya. seharusnya lebih bangga mengerjakan sendiri.
31 Responses