Penulis : Dinda Pranata
Nah, pernah enggak sih kepikiran kenapa banyak yang pilih jurusan bukan karena cinta, tapi karena citra? Padahal, kalau urusan cinta aja susah, apalagi urusan milih jurusan yang bakal menentukan masa depan. Cieee!!
Kalau udah begini, orang tua biasanya muncul dengan berbagai argumen—yang kadang lebih banyak bikin pusing daripada membantu. “Nak, pilihlah jurusan yang ada masa depannya, jangan asal ikut-ikutan temen!” atau “Nak, jangan pilih jurusan ABCD, nanti kamu jadi pengangguran!” (padahal temennya juga galau dan senior sekolahnya juga banyak yang nganggur). Ciaaatt!
Kita lihat stereotip jurusan kuliah ini dengan kacamata dua teori yang (masih) cukup relevan!
Siapa yang Kuliah, Siapa Juga yang Bingung!
Siapa di antara kalian yang anak filsafat/sastra/ilmu sejarah/pertanian, pernah enggak dapat pandangan miring, “Gilak! Lu mau kerja apa kalau ambil jurusan itu?” atau “Astaga, lu ambil sastra pengen jadi penyair?” Eng ing eng! Pertanyaan itu mungkin sudah kaya lagu lama yang diputar terus-menerus.
Sebenarnya alasan mereka (pemberi stereotip) itu tidak sepenuhnya salah, karena ada alasan yang melatarbelakangi. Menurut teori ekspektasi dan nilai (Expectancy-value theory) yang dikembangkan oleh Atkison tahun 1950-an dan dipopulerkan oleh Jacquelynne Eccles. Ada faktor utama yang memengaruhi motivasi seseorang untuk memberi stereotip tertentu pada sebuah jurusan, yaitu expectancy (harapan akan sukses) dan value (nilai atau keuntungan yang dirasakan dari tindakan tersebut).
Baca juga: Hai Wisatawan: Paspormu Bukan Kartu Bebas Aturan Ya!
Ekspektasi
Ekspektasi atau harapan merujuk pada keyakinan seseorang mengenai sejauh mana mereka merasa mampu berhasil dalam suatu tugas atau, dalam konteks ini, dalam menjalani dan menyelesaikan studi di jurusan tertentu.
Pemberian stereotip ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu baik itu dari diri sendiri/keluarga/melalui pemberitaan. Misalkan saja nih ada calon mahasiswa yang tumbuh di sebuah keluarga, yang salah satunya anggotanya kuliah di jurusan kedokteran dan sukses, maka bukan enggak mungkin mereka akan ngembangin keyakinan yang sama. Begitu pun sebaliknya.
Selain pengalaman masa lalu/pemberitaan, dukungan sosial dan lingkungan juga mengambil peran terhadap pelabelan ini. Misalkan saja yang sempat rame, masalah dalam lapangan kerja. Permintaan akan lulusan IT lebih besar daripada daripada permintaan di bidang lain, akan mengakibatkan stereotip jurusan tertentu pun semakin tajam.
Nilai
Dengan adanya ekspektasi dan tetek bengek yang ikut, tentu seseorang akan menimbang-nimbang dan akhirnya memberi nilai pada jurusan tertentu. Nilai ini masih terbagi dari tiga jenis yang salah satu atau kesemuanya bisa masuk lho!
- Nilai Intrinsik atau nilai atas dasar ketertarikan secara pribadi terhadap sebuah jurusan. Misalkan jurusan perikanan sering kali kurang bernilai di masyarakat yang berfokus pada kemapanan finansial, tentu tidak akan menarik daripada jurusan ekonomi bisnis, hukum atau kedokteran. Sebaliknya, jurusan kedokteran sering mendapatkan citra positif karena memiliki nilai intrinsik yang bernilai tinggi, baik dari segi minat maupun prospek karier.
- Nilai Ekstrinsik: Nilai yang terkait dengan manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari jurusan tersebut, seperti gaji yang tinggi, status sosial, atau peluang karier. Stereotip yang menempatkan jurusan seperti hukum atau ekonomi sebagai jurusan “bergengsi” seringkali berdasarkan pada nilai ekstrinsik yang tinggi, seperti orang yang mengambil jurusan itu memperoleh potensi pendapatan besar atau status sosial setelah lulus.
- Nilai Utilitarian: Ini merujuk pada kegunaan atau manfaat praktis dari jurusan tersebut. Jurusan yang dianggap memiliki aplikasi praktis langsung di dunia kerja cenderung lebih dihargai. Sebagai contoh, jurusan IT atau manajemen seringkali lebih bernilai karena keterampilan yang dipelajari langsung dapat diterapkan di pasar kerja.
Memang apa masalahnya?
Baca juga: Kuliah Bisnis di Universitas Prasetiya Mulya: Lebih Asyik dari Main TikTok
Stereotip Jurusan Kuliah dan Lingkaran Setan
Teori kedua yang masuk atas fenomena ini yaitu Fenomenologi Konstruktivis. Teori ini memandang dunia seperti panggung drama, di mana makna dan pemahaman kita tentang dunia, termasuk soal jurusan, sebenarnya hasil ‘rekayasa’ sosial. Ada beberapa konsep besar yang merupakan inti teori ini:
Konstruksi Realitas Sosial:
Menurut Berger dan Luckmann, stereotip tentang jurusan itu bukan muncul karena kita tiba-tiba bangun tidur dan ting! muncul ide bahwa jurusan A itu keren atau jurusan B itu cupu. Enggak, kok! Pandangan tentang mana jurusan yang “oke” atau “nanggung” itu sebenarnya terbentuk lewat obrolan sehari-hari, curhatan di grup chat, cerita orang tua, sindiran halus dari teman, dan bahkan dari media sosial yang hobi banget nge-bash jurusan tertentu. Misalnya, kalau di lingkungan kita ada yang bilang jurusan ilmu sosial itu “kurang menjanjikan,” ya siap-siap aja deh, pandangan itu bakal nempel di kepala dan terus terdengar kayak resep turun-temurun.
Legitimasi dan Internalisasi:
Konstruksi sosial ini juga butuh “izin resmi” biar lebih valid. Berger dan Luckmann menyebutnya “legitimasi” dan “internalisasi.” Ibarat kata, stereotip jurusan itu kayak gosip yang lama-lama jadi ‘fakta’ karena banyak pihak yang terus menyebarkan lewat berbagai media, mulai dari orang tua, guru, sampe media massa. Terus, kalau udah bolak-balik dengar stereotip yang sama, kita jadi terbiasa dan akhirnya percaya bahwa itulah kebenaran sejati, padahal… belum tentu juga!
Misalnya nih, kalau di keluarga atau lingkungan kamu ada yang bilang, “Jurusan sastra? Mau jadi apa nanti? Penyair patah hati?”, lama-lama kamu bisa ikut mikir gitu juga. Mereka yang nekat ambil jurusan itu mungkin harus siap dengan omongan miring, sementara yang lain mending cari aman dengan pilih jurusan yang lebih “bermasa depan cerah,” biar orang enggak menganggap punya masa depan syuram.
Stereotip sebagai Pemaksaan Realitas
Akhirnya, stereotip ini jadi kayak ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya. Ketika banyak orang percaya jurusan tertentu enggak bakal kasih sukses, orang-orang pun jadi malas milih jurusan itu. Efek domino, lulusan jurusan itu sedikit, persaingan di pasar kerja makin ketat, dan… boom! Stereotip itu makin kuat. Lingkaran setan pun terbentuk, bikin kita susah lepas dari pola pikir sempit yang sama.
Baca juga: Antara Apel, iPhone dan Cinta di Semester Akhir Sekolah
Stereotip apapun termasuk pelabelan jurusan kuliah ini, tidak pernah menguntungkan baik untuk kita dan juga generasi selanjutnya. Banyak efek yang terjadi jika stereotip ini terus ada, yang next time akan kita bahas. Bukankah setiap orang ingin punya pendidikan tinggi? Tapi dengan memberikan stereotip macem ini, bukankah kita melakukan tindakan yang berkebalikan?
Jadi masih mau terus mencap jurusan ABC nganggur-able? Bagi kalian yang punya pendapat tentang fenomena stereotip ini bisa berbagi di kolom komentar. Eits! tetap berkomentar dengan sopan ya, semata-mata agar jejak digital kalian tetap bersih!
Happy Sunday!
Source:
kompas.com
mojok.co
Comment
saya jurusan sastra kak, tapi kerjanya di bagian keuangan dan administrasi, terus sekarang jadi content creator hehe
Di zaman skrang banyak yg lulusan kuliah yg nganggur. Apalagi yg lulusan smk. Klo tujuan cuman dapatin gelar aja sih kayanya gpp. Tapi ga ada jaminan buat kerja
Dulu jaman saya memang sepertinya begitu sih, kak.. apalagi orangtua dan keluarga sekitar, waaah.. kayak jurusan kuliah itu jadi sesuatu penentu banget untuk kehidupan di masa depan gitu..
Tapi kalau sekarang sepertinya sudah mulai mengalir sesuai dengan passion dan kemampuan ya.. apalagi tema-tema edukatif yang dulu sudah banyak bergeser dengan adanya kemajuan teknologi.
Sepertinya setiap anak lulus SMA ada saja yg bingung mau kul jur apa, sama kek saya dulu ya.
Saya milih jurusan karena adanya itu. Huhu. Dulu, faktor biaya, kurang siap masuk PTN favorit, dsb. Namun, bagaimanapun sudah belajar lama di kampus, jadi suka dan skill lebih fokus.
Alhamdulillah gak menyesal. Hoby saya sejalan dengan jurusan, jadi bisa berprofesi sesuai ilmu yg pernah dipelajari. Allah Maha Baik.
Padahal apalah saya kalau mengingat kemampuan saya memasuki Perguruan tinggi bertahun lalu.
Eh, jadi ingat dulu ditanya mau kerja apa kalau ambil jurusan ini! Tapi yang penting, pilih jurusan yang bikin hati senang.
Padahal jurusan apa saja ternyata bisa diterima jadi jurnalis ya
Malahan di kampung, jurusan pertanian bisa kerja di rumah sakit tuh…
Menandakan jurusan gak selalu jadi jaminan kerja. Meski baiknya ya kerja sesuai jurusan yg diambil. Jadi linier
Aku dulu milih jurusan karena ada yang kusuka. Eh sekarang kerjanya apa, hahaha. Bukan berarti jurusan yang diambil jelek. Cuma memang baiknya milih yang sesuai sama nurani biar enak jalaninnya
Di Indonesia ini, masih bisa background pendidikan apa tapi kerjanya apa. Entah kenapa masih ada stereotipe seperti itu ya. Beda sama negara tertentu yang pekerjaan harus sesuai dengan backgroundnya.
Jurusan kuliah menurut daku bukan jadi faktor utama kenapa bisa nganggur. Karena ada faktor x lainnya seperti kemauan diri, skill, dan bakat. Jadi semisal nantinya gak sesuai jurusan, tetapi pasti ada manfaatnya jurusan kuliah tersebut suatu saat nanti
Udah gitu yg komentar julid anak-anaknya gak dikuliahkan. Padahal jurusan apa pun itu bisa banget lho menghasilkan. Mungkin tidak sesuai jurusan, tapi setidaknya ada pendidikan dan pengalaman. Cara pikirnya pasti beda.
tapi memang kita juga nggak boleh menutup mata untuk memilih program studi yang banyak dibutuhkan di dunia kerja dan usaha
Nyatanya, bnyk mahasiswa kita yg emg pny latar belakang berbeda antara kuliah dan kerjanya. Ini emg salah sistem pendidikan di Indonesia yg notabene nggak ngasih tes minat bakat sblm kuliah. Hny org berduit yg bs mengakses tes minat tsb. Yg lain mah apa kata peluang di muka deh. Apa adanya aja asal bs kuliah meski ga smuanya spt itu.
Wih nganggur able, aku rasa nggak ada ya yang seperti itu
Memang masih banyak stereotipe tentang jurusan kuliah seperti ini ya
Setuju.
Masku juga ngalamin ini, karena menurut orangtua, untuk jurusan tertentu tuh gak perlu laah..sampek susah susah ambil S1. Cukup ikut kursus aja.
Kayak jurusan Bahasa Inggris.
Dulu masku suka banget sama Bahasa.
Tapi karena stereotype orangtua adalah ‘Anak laki harus jurusan lakik ((Teknik))”
Jadi, gak dibolehin tuh ambil jurusan sosial apalagi bahasa.
Sedih yaa..
Semoga orangtua sekarang lebih terbuka pandangannya untuk masa depan dengan prospek bidang keilmuan tertentu.
setuju banget sama artikel ini, terimakasih sudah berbagi ya kak :’)
Pernah denger ada mahasiswa ambil jurusan agroteknologi hanya karena namanya yang keren. Bukan karena minatnya. Bakal bingung dah kalau emang gak tertarik dengan jurusannya.
Hempaskan stereotipe, karena nanti menjadi ajang pembenaran, padahal setiap orang bisa berprestasi dari jalur manapun dan yang penting bermanfaat untuk sesama
Besar kecil peran yang diambil tidak masalah karena setiap orang punya jalannya masing-masing
Ngomongin kuliah dan kerja, selalu aja masih ada yang salah jurusan. Maunya kerja di A setelah lulus, eh kuliahnya B, Tap ga jarang juga dari salah jurusan, masa depannya makin cerah dari rencana
suka banget dengan istilah jurusan ABC nganggur-able, hehehe. kepikiran sih kak? wkwkwk. iya bener sih gak ada jurusan yang sebetulnya nganggur-able, semuanya balik lagi ke si sarjananya. Jurusan apapun bagus kok, bahkan gak sedikit yang kuliah jurusan apa kerja dimana, hehehe saya misalnya. Tapi, kuliah bukan hanya soal mendapat pekerjaan sesuai jurusan, tapi soal mengubah pola pikir, habit dan cara pandang. itu yang membedakan dengan sekolah SMA
20 Responses