Home / Pojokan

Review Bukan Pasar Malam: Dari Filsafat, Profesi Sampai Politik

Senjahari.com - 23/09/2024

Review Bukan Pasar Malam

Penulis : Dinda Pranata

Bukan Pasar Malam merupakan novel dari Pramoedya Ananta Toer yang terbit pada tahun 1955 dan mengalami cetak ulang setelah dilarang beredar tahun 1999. Buku ini tidaklah tebal seperti buku milik Pramoedya yang lainnya. Dengan ketebalan kurang lebih 106 halaman, buku ini bisa dinikmati dalam waktu sehari atau dua hari saja.

Seperti apa sih sinopsis dan review Bukan Pasar Malam?

Pramoedya Muda dan Kematian

Dengan sudut pandang “aku” yang di sini adalah Pramoedya saat muda, bekerja di kota besar sebagai seorang juru tulis harus mendapatkan kabar buruk dan mengharuskan dirinya pulang ke kota Blora. Kabar buruk itu ia terima melalui surat yang sampai padanya dengan mengabarkan bahwa sang ayah, terbaring sakit akibat TBC. Awalnya ia enggan pulang, namun keadaan ayahnya yang sekarat dan membuatnya mau tidak mau harus berkunjung ke Blora.

Dari Jakarta, ia pergi ke Blora dengan kereta api bersama dengan sang istri. Setelah sampai di Blora, ia menggunakan delman menuju rumahnya. Sesampainya di Blora, ia melihat keadaan rumah yang begitu buruk hampir-hampir bisa dikatakan rumahnya nyaris roboh. Ketujuh adiknya menyambut kedatangan tokoh aku ini, namun salah satu adik perempuannya tidak ikut menyambutnya dan memilih berada di dalam kamar karena penyakit TBC yang tertular dari ayahnya.

Tak lama setelah kedatangannya, ia menengok sang ayah yang ada di rumah sakit, hatinya tersayat melihat bagaimana ayahnya yang gagah itu jadi kurus karena penyakitnya. Ia jadi teringat bagaimana sang ayah, begitu disegani oleh orang meringkuk lemah di ranjang rumah sakit. Kondisi ini membuat pamannya menyarankan untuk pergi ke dukun. Namun, meski ke dukun pun ayahnya ternyata benar-benar tidak dapat tertolong. Akhirnya dengan berat hati “aku” membawa sang ayah untuk pulang ke rumah.

Baca juga: Resensi Pachinko. Wanita Imigran, Yakuza, Dan Kolonialisasi.

Selama merawat sang ayah di rumah, banyak pembicaraan yang begitu dalam mulai dari politik hingga filsafat yang mengguncang jiwa aku. Awalnya ayahnya menunjukkan perubahan baik dari kondisinya, namun perlahan kondisinya memburuk kembali, hingga akhirnya sang ayah harus meninggal.

Apa yang ada dalam novel ini?

Bukan Pasar Malam: Kisah Para Veteran Perang dan Kehidupannya

Ketika membaca ini, awalnya aku kira novel ini menceritakan tentang keadaan genting di masa revolusi menghadapi PKI. Meski berhubungan dengan kondisi genting paska revolusi, namun kisah novel ini lebih banyak menyorot kehidupan sosial para ex-pahlawan yang sudah membela negara paska revolusi terjadi.

Dalam novel Bukan Pasar Malam, pembaca akan diajak untuk bertemu dua tokoh utama yaitu ayah dan aku, yang mana posisi keduanya bisa dikatakan berimbang dalam isi cerita.

Aku dalam novel ini (Pramoedya) memberikan kritik keras terhadap pemerintah yang pada masa setelah revolusi PKI (ORBA), seolah melupakan para veteran perang dan pahlawan tak terkenal yang sudah membantu Indonesia.

Baca juga: Puisi Dan Kata "Njelimet" Di Dalamnya. Bagaimana Menikmatinya?

Kisahnya sudah banyak kita baca di berita nasional tentang para veteran perang yang masih berada dalam kemiskinan dan tidak mendapatkan hal yang setimpal atas jasanya.

Kritik yang diberikan oleh Pram tidak hanya masalah kondisi para veteran peran. Tapi, termasuk kondisi perekonomian dan perpolitikan yang lebih menguntungkan pihak-pihak yang pro terhadap penguasa kala itu.

Dilema Eksistensi Bak Jailangkung

Kutipan Bukan Pasar Malam Halaman 53

Pertanyaan yang pernah muncul dalam benakku saat melihat ayahku menghadapi sakaratul maut adalah, “mengapa manusia harus menghadapi kesendirian saat meninggal?”

Pertanyaan ini juga menjadi salah satu tema utama dalam novel ini, yang menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk yang pada akhirnya akan kembali kepada kesendirian saat kematian tiba.

Pengalaman ini rupanya juga pernah Pak Pram rasakan ketika menyaksikan ayahnya meninggal. Saat lahir, kita datang ke dunia tanpa membawa apa-apa, dan saat kembali pada-Nya, kita pun akan pergi tanpa apa-apa. Kesendirian ini seolah menjadi kenyataan tak terelakkan dalam siklus hidup manusia.

Pernyataan tentang eksistensi manusia inilah yang menyoroti ironi kehidupan manusia dengan sangat tajam. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan dan interaksi sosial yang kompleks, pada akhirnya setiap individu harus menghadapi momen paling pribadi dan sunyi dalam hidupnya—kematian.

Hal ini membuat kita merenungkan makna kehidupan yang sejati, sekaligus mengingatkan bahwa dalam kesendirian itu, esensi manusia sebagai individu menjadi semakin jelas terlihat.

Apa yang Senja Hari rasakan ketika membaca ini?

Review Bukan Pasar Malam by Senja Hari

Ketika membuat review Bukan Pasar Malam (dan sampai tulisan ini kuketik) jujur bukan sesuatu yang mudah. Untuk mendapatkan insight review Bukan Pasar Malam yang cukup, Aku membaca buku ini sebanyak dua kali dalam kondisi emosional yang berbeda. Pertama aku membaca dalam kondisi emosi yang cenderung netral (normal tanpa ada perasaan emosional) saat pertama kali membelinya. Kesan pertama dalam kondisi normal aku sulit mencerna alur dari novel ini, selain karena bahasanya yang masuk dalam tata bahasa, isinya pun cenderung sangat filsafat sehingga dalam kondisi normal dan bukan pembaca aktif akan kesulitan mencernanya.

Lalu kedua kalinya aku membaca beberapa hari setelah meninggalnya papa. Pada momen ini ada rasa ‘klik’ yang tercipta ketika membaca kedua kalinya. Aku merasa bisa memahami novel Bukan pasar Malam ini lebih baik. Itu karena pengalaman emosional pembaca dan buku yang kubaca berada dalam satu frekuensi yang sama.

Pada pembacaan pertama, aku bisa mengambil point-point penting dari buku ini. Mulai dari kritik perpolitikan yang cenderung tidak bijak pada orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah orde baru; Lalu kenyataan veteran perang yang masih ada yang berada dalam kemiskinan; Ketimpangan perekonomian yang membuat masyarakat kelas menengah ke bawah makin sulit dan susah terangkat.

Pada pembacaan kedua, aku mengambil point-point penting yang sifatnya lebih emosional. Mulai dari kenyataan bahwa manusia tetap akan sendiri ketika kematiannya; perbedaan mendasar dari kematian dan kelahiran (satunya identik dengan kesedihan, satunya lagi rasa bahagia); termasuk realita kehidupan yang tak terbantahkan bahwa di dunia ini, pandangan subyektifitas masih mendominasi.

Invitasi dan Diskusi

Meski Bukan Pasar Malam ini bukunya tipis banget, tapi jangan salah bahwa buku ini termasuk buku yang kaya akan makna. Tebalnya hanya 104 halaman, tapi perlu pembacaan yang berulang supaya pembaca bisa benar-benar dapat insight yang berbeda. Sisi dukanya ketika membaca buku ini malah bikin aku teringat mendiang papa dan segala upayanya buat namatin aku sekolah.

Oh, dad! We love you!

Apa ada yang sudah membaca buku ini? Kesan kalian pas baca buku ini gimana sih?

Dan bagi yang belum membacanya, kalian bisa jadikan buku ini sebagai buku wishlist. Aku bisa jamin pak Pram selalu bisa membuat pembaca buka kamus dengan kosakatanya yang kaya.

Mau ninggal komentar tentang buku-buku yang kamu baca juga boleh! Eits, tapi komennya yang sopan ya. Ya, semata-mata biar jejak digital kalian tetap baik.

So, happy monday!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Luar biasa ya karya pak Pram ini.. terbukti hanya dengan mempersembahkan sebuah buku (kalau boleh dibilang buku saku) yang tak setebal buku lainnya tapi mampu mencipta makna yang begitu berguna.

Karena ide dan pemikirannya itu yang dijabarkan melalui cerita dan dibuat sebuah buku kita jadi paham tanpa merasa digurui ya…
Penulis tingkat tinggi mah lain ya bahasannya serta idenya itu emang luar biasa. Brilian!

Wahh bagus nih kayanya alur ceritanya dan klimaknya. Apalagi seputar PKI ini, kayanya seru sih nih…

Saya belum pernah membaca novel-novel Pramoedya. Anak-anak saya yang pernah. Tapi, untuk novel yang ini kayaknya belum pernah mereka baca. Kayaknya kalau saya yang baca harus pelan-pelan supaya bisa menghayati tulisan Pramoedya.

salah satu wishlist ku pengen kelarin baca salah satu buku Pramoedya Ananta Toer :’)

tukang jalan jajan

Buku “Bukan Pasar Malam” ini adalah sebuah perjalanan intelektual yang menarik. Penulis berhasil menggabungkan berbagai disiplin ilmu, dari filsafat hingga politik, menjadi sebuah narasi yang koheren dan mudah dicerna. Pembahasannya yang mendalam sangat membuka wawasan saya. Sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin memperdalam pemikiran kritis dan memahami kompleksitas dunia saat ini.

awalnya aku tertarik pas lihat ttg roman sejarah, tapi pas baca ttg dukanya, aku jadi ragu sekaligus bertambah penasaran. kayanya sih akan dimasukkan ke daftar dulu, tp bacanya kl mental benar-benar siap hehe

Pak Pram sudah tidak perlu diperdebatkan kualitasnya. Kekayaan literaturnya juga luar biasa. Yg menyenangkan dari membaca buku lawas (meski edisi baru) adalah mengenang kembali apa yang dulu pernah ada tapi sekarang sudah langka/ tiada lagi.

Jadi paham kenapa akhirnya dulu sekali, buku Pram yang ini juga sampai dilarang cetak ulang. Mungkin karena pesan yang didapat lewat proses pembacaa pertamamu itu ya. Bisa jadi memang ketidakadilan yang dibangun penguasa, mau ditutupi agar generasi selanjutnya nggak lagi menyadari.

Turut berduka atas kehilangan salah satu orang terkasihmu, ya.

Hmm … kepikiran nggak sih, kenapa ya jaman dulu itu penyakit TBC paling mengancam nyawa? Bahkan di beberapa film Jepang baik animasi maupun seri lama pun, penyakit ini sering dimunculkan sebagai pertanda kalau kematian akan menghampiri si pesakit dalam waktu sesingkat-singkatnya. Penyakit pernapasan kan? Seperti yang juga bikin kita panik dan waspada sepanjang pandemi beberapa tahun ke belakang.

Suka banget nih sama novel-novel yang kayak gini. A
Ceritanya bikin makin sadar kalau hidup itu ada cobaannya, salah satunya orang tua yang sakit.

RIFQI FAUZAN SHOLEH

Wah, review kamu dalem banget, jadi penasaran sama Bukan Pasar Malam! Kayaknya harus baca dua kali juga nih buat bener-bener paham makna di baliknya!

Maria Tanjung sari

Aku belum pernah mambaca buku maupun novel karya Pramoedya Ananta Toer tapi pastinya buku-buku beliau sarat akan makna kehidupan ya kak meskipun dilarang beredar di pasaran di tahun-tahun tersebut

Saya baru tau ada buku dari Pramoedya dengan judul ini. Tertarik untuk membacanya nih.

Langsung teringat para veteran di kampung saya yg hidupnya memang dibawah garis kemiskinan. Mereka semangat cerita bagaimana dulu berjuang melawan Belanda, melawan Jepang sampai gerombolan. Tapi sampai kematiannya tidak ada penghargaan sama sekali.
Katanya pemerintah daerah yg tidak memperjuangkan keberadaan mereka. Entahlah mana yg benar…

Agustina Purwantini

Saya sudah pernah membaca buku ini beberapa tahun silam. Pokoknya lama sekali, kayake pas SMA. Yang saya baca edisi lama. Cover asli. Karena bapak saya suka baca fan suka tulisan Pram, jadinya saya mau tak mau familiar dengan Pram.

Kritik sosial yang menembus waktu. Sudah lebih setengah abad berlalu tapi masih relevan dengan kondisi bangsa dan negara ini.

Rasanya kangen ya punya penulis yang bisa membuat karya berkualitas, yang bikin kita banyak merenung setelah membaca buku2nya. Itulah yang dimiliki penulis senior terutama Pak Pram ini.
Kyknya menarik nih bukunya, jujurly baru denger judul yang ini. Selain kisah kehidupan sebagai tema besar, ternyata ada juga sindiran alus soal politiknya ya mbak TFS

Andri Marza Akhda

Buku ini sangat mewakili pahlawan pahlawan yang tidak terkenal dan terlupakan. Orde Baru saat itu benar benar keos ya. Meski pembangunan dilakukan di mana mana, tapi banyak aspek politik yang dilupakan. Mirip mirip kek sekarang sih, cuma sekarang pake topeng “Merakyat” saja

Buku-buku Pram sangat penting untuk dibaca. Novel sejarahnya berhasil menjadi pusat perhatian di kalangan petinggi di negeri ini.

Saya belum baca bukunya sih, sepertinya bahasannya cukup berat ya karena pernah dilarang beredar saat orde baru
Karya-karya Pak Pram ini memang legenda dan menghadirkan fakta

Irhan Hisyam Dwi Nugroho

wah karya novel ya baru baca review novel ini kok keren banget ya. yang bagian kita terlahir didunia ini sendiri meninggal pun akan kembali sendiri. bener bener karya novel yang sangat luar biasa pengen deh sekali baca buku ini

Wah, saya belum pernah membaca buku ini, jadi penasaran juga jadinya. Terima kasih sharing review bukunya yaa…

Kalau melihat buku yang judulnya seperti ini, jadi ingat momen-momen ke perpustakaan saat masih SD. Jadi kepikiran nasib veteran perang yang pastinya sudah tua tapi hidup di bawah garis kemiskinan. Dulu mereka berjuang mati-matian membela negara, namun sekarang negara acuh pada mereka.

Yuvina Zaharany

Akhir-akhir ini aku lagi suka banget baca novel. Hal ini sebagai acuan aku untuk meningkatkan minat baca. Baca reviewnya Aku jadi penasaran dengan kisahnya. Tapi mungkin akan dibaca kalau udah mulai terbiasa membaca karena kelihatannya cukup berat konfliknya

Buku ini saya baru dengar judulnya, tidak sepopuler yg lain. Ok, masuk ke daftar bacaan berikutmya

Wah ini buku sekali duduk ya?
Jadi penasaran sama bukunya. Biasanya buku sekali duduk tuh ceritanya lebih ringkas dan maknanya dalem banget. Penasaran deh!

Buka pasar malam memgingatkan aku pada buku khotbah diatas bukit…
Bukunya tipis tapi kaya makna dan ilustrasi
Bacanya harus mau berulang supa bisa menangkap setiap makna yang mau disampaikan

Aku belum pernah habis baca bukunya pram. Penulis bilang kalau bukunya tipis jadi pengen cari nanti kalo ke toko buku.

Wah aku belum pernah baca buku pramoedya sih tapi kayaknya buku beliau ini kategori yang berat ya untuk dibaca

FIRSTY UKHTI MOLYNDI

bagus nih bukunya. kira2 udah ada belum ya di perpus digital? halamannyaa dikit bisa dibaca sekali duduk

Walaupun tipis tapi punya banyak makna, tentu bisa memberikan manfaat buat pembaca. Apalagi ini bukunya terbilang legend juga ya kak

Aku dulu suka buku atau novel terbitan lama. Kadang tuh sampai bingung karena kadang ada makna tersirat di dalamnya. Kapan-kapan coba nyari deh Bukan Pasar Malam ini di Perpusda

Baru tahu kalau ternyata buku ini pernah dilarang. Kritik pada sebuah pemerintahan memang akan selalu mendapat sorotan tanpa diminta ya. Jadi penasaran dengan apa yang ada dialog antara aku dan ayah di sana. Saat-saat terberat anak adalah melihat pahlawannya harus tak berdaya di depan mata.

Novel karya Pramudya ini kebanyakan emang temanya serius harus kita pahami dlu nih alur ceritanya sperti apa tapi kbnyakan smua karyanya bagus2

Bukan Pasar Malam yang tahun terbitnya 1955, tentulah membawa kisah pahit getirnya pada masa perjuangan. Indonesia yang baru saja merdeka, tentu masih banyak sekali PR yang harus diselesaikan. Ditambah lagi dengan masalah intern dengan adanya kudeta PKI.
Betapa kelam dan bisa jadi hubungan orangtua – anak pada masa itu memengaruhi pola pengasuhan juga yaa..

Serasa perjuangan sekali melahap novel lawas 104 halaman.
Dan kenangan yang tertinggal, tlah dibagikan melalui artikel ini.
Haturnuhun.

Saya belum pernah membacanya kak…diliat dari ulasannya sepertinya tema yang diangkat cukup kritis, tragis dan mengundang histeris keadaan saat itu ya

Zeneth Thobarony

Wow, punya buku Pram yang cover ini ya. Aku jujur cuma punya Tetralogi Buru. Bingung selanjutnya mau koleksi buku Pram yang mana. Kayaknya aku consider buat koleksi “Bukan Pasar Malam” ini

37 Responses