Penulis : Dinda Pranata
Ada yang bilang, kenangan mantan itu seperti debu di sudut kamar—disangka sudah bersih, tapi tetap ada yang tersisa, menyelinap di sela-sela ingatan. Begitu juga dengan Trowulan, kecamatan kecil di Mojokerto, Jawa Timur. Namun, siapa sangka tempat ini menyimpan jejak kejayaan besar? Museum Trowulan, berdiri tahun 1942, tak sekadar bangunan tua. Ia menyimpan bisikan masa lalu, seolah memanggil nama-nama yang pernah kita dengar di pelajaran sejarah: Gajah Mada, Hayam Wuruk atau Airlangga.
Setelah membayar tiket masuk sebesar 7,000 untuk orang dewasa dan Rp 4,000 untuk anak. Aku mulai melangkah semakin dalam, tak peduli langit di atas begitu kelabu. Ketika berjalan aku menyadari, tak semua cerita masa lalu ingin tertinggal dalam diam—ada yang menunggu untuk diungkap kembali.
Antara Nama Mantan dan Nama Dalam Buku Sejarah Kolosal.
Memasuki museum, dua daun pintu lebar terbuka seperti lengan yang ingin memeluk. Di tengahnya, patung Buddha duduk bersila, senyumnya tenang—seolah berkata, “tenang, aku enggak galak kok.” Langkah pertama masuk ke lobi langsung disambut oleh tiga ruangan yang berjejer rapi. Satu di sebelah kanan dan dua ruang di sisi kiri, seakan sedang menunggu giliran tampil untuk kumasuki.
Kuberjalan memasuki sebuah ruang di sisi sebelah kanan yang bernama Ruang Relief Panji. Dalam ruang panji ini, ada banyak sekali ukiran-ukiran dinding dari batu yang berisi tentang Cerita Panji. Ukiran-ukiran dinding yang kita temukan di ruangan bernama relief dan ada dalam kotak-kotak kaca, seperti benda pemberian mantan yang kita anggap sangat penting. Sementara itu, cerita panji ini yang berkembang pada masa kerajaan Kediri dan semakin populer di masa Majapahit. Ceritanya tentang percintaan Raden Panji yang mencari tunangannya Putri Candrakirana.
Di sisi kiri, ada ruang koleksi Islam yang menyembunyikan kisah masa lalu. Di ruang ini nisan Fatimah Binti Maimun berdiri seperti pemandu wisata sunyi di Leran, Gresik. Juga, nisan-nisan dari Troloyo di Mojokerto turut berbisik, seolah berkata, “kami memang terbuat dari batu, tapi kami adalah bukti penyebaran agama Islam sebelum kau mengenal Wi-Fi.”
Baca juga: Pulau Bintang Vaadhoo Di Maldives Ini Akan Membuatmu Tidak Ingin Pulang. Apa Keistimewaannya ?
Berdekatan dengan ruang koleksi islam di Museum Trowulan, ada ruang koleksi batu yang lebih luas dari dua ruangan sebelumnya. Di dalamnya menyimpan berbagai cerita seputar kehidupan sehari-hari di area kerajaan Majapahit. Terakota dan keramik kerajaan dari tetangga berjajar rapi, bagai tamu kehormatan di pesta nostalgia. Selain itu ada juga arca-arca dewa yang berdiri tegak dalam diam namun bercerita, seolah ingin mengujiku dengan pertanyaan, “masihkah kau ingat nama kami seperti kau mengingat nama mantanmu?”
Jika mereka bertanya seperti itu, entah apa yang bisa kujawab. Namun, langkahku terus bergerak seolah sesuatu menarikku lebih dalam lagi.
Diamnya Arca yang Lebih Keras Dari Teriakan Mantan
Kakiku keluar ke arah belakang dari bangunan utama meninggalkan tiga ruangan yang sudah kueksplorasi. Di bagian belakang dari museum itu ada bale terbuka dengan tiang-tiang yang kokoh. Di bale itu terdapat banyak sekali arca-arca dari batu andesit mulai dari arca lembu nandi, arca dewa Ganesha, prasasti-prasasti tanpa nama ingin berbagi cerita padaku. Meski aku berusaha untuk mendengarnya, tetap saja keterbatasan ilmu yang kumiliki dalam menerjemahkan bahasa mereka jadi penghalang.
Aku hanya bisa mengambil garis besar cerita tentang prasasti dan arca-arca tersebut di mana mereka adalah simbol-simbol dokumentasi tentang berbagai ritual upacara; dokumentasi hadiah/hibah dari raja untuk sebuah tanah bagi tempat beribadah; dokumentasi tentang bagaimana sebuah bentuk toleransi beragama begitu hebat di zaman itu.
Bahkan sebuah arca buddha berdampingan dengan arca dewa hindu, seolah berbisik padaku, “kami bersahabat dan ini yang mungkin tak kau miliki di zamanmu.”
Baca juga: Review Bukan Pasar Malam: Dari Filsafat, Profesi Sampai Politik
Entah itu hanya khayalanku atau memang itu yang ingin mereka tunjukkan padaku. Bahkan sekali lagi, diamnya sebuah arca lebih gaung dari teriakan mantanku ketika kami bertengkar. Sejenak kuberhenti setelah menuruni tiga undakan menuju bagian paling belakang dari museum itu, di mana aku bisa melihat pohon buah maja. “Mengapa mereka ingin menunjukkan ini padaku?” batinku sesaat.
Museum Trowulan Seperti Detektif Cinta yang Mencari Potongan Kenangan
Langkahku terhenti di depan pohon maja yang tua, seperti bertemu mantan di tempat tak terduga—diam-diam menatap, seolah ingin berbicara tapi terlalu angkuh untuk memulai. Daun-daunnya bergoyang pelan, bergumam dengan angin, seakan-akan menyimpan rahasia yang hanya bisa kupahami jika aku cukup berani bertanya. Langit mendung menambah aura sendu, seperti bayangan kenangan lama yang menolak pudar.
Di bawah pohon itu, aku merasakan getar samar, seakan setiap prasasti dan arca yang kulihat tadi adalah pesan-pesan usang. Seperti membaca catatan lama yang pernah kusembunyikan di laci, setiap huruf dari prasasti itu merangkai kisah-kisah masa lalu yang nyaris terlupakan.
Majapahit, kerajaan yang dulu megah, kini serupa mantan yang masih menyisakan jejak—jejak yang hidup kembali pada tahun 1815, saat Wardenaar mencatat peninggalan itu atas perintah Raffles. Lalu datang Belanda, ikut merapikan kepingan kenangan itu seperti merapikan foto lama yang berserakan.
Tahun 1924, dua sosok berbeda, R.A.A. Kromodjojo Adinegoro dan arsitek Belanda Henry Maclaine Pont, menggali lebih dalam, berusaha menemukan potongan-potongan kisah kerajaan Majapahit yang berserakan atau bahkan tersembunyi. Mereka mendirikan Oudheidkundige Vereeniging Majapahit (OVM), seperti rumah kenangan sederhana namun penuh cerita. Mereka bekerja sama, sampai sebuah badai melanda hubungan kerja sama itu.
Baca juga: Namaku Alam: Anak Tapol dan Kritik Pendidikan Sejarah
Jepang datang pada 1942, menawan Maclaine Pont dan membiarkan museum itu berpindah-pindah tangan, seperti hati yang lelah mencari pemilik baru. Belum lagi, kian hari rumah kenangan itu makin banyak berisi artefak yang terkumpul tak hanya dari wilayah Mojokerto. Akhirnya, museum itu berdiri lagi di Trowulan, tak jauh dari tempat awalnya. Koleksinya kian bertambah, seolah membuktikan bahwa kisah lama tak pernah benar-benar mati. Setiap arca dan prasasti, seperti mantan yang masih menyimpan kenangan, berbisik padaku, “cari tahu kepingan kisahku, karena mungkin masih banyak potongan yang belum ditemukan untuk menyempurnakan kisah tentang Majapahit.”
Invitasi dan Diskusi: Bukan Aku atau Kamu, tapi Kita
Kenangan mantan itu seperti jejak Majapahit, bukan sekadar milikku atau milikmu. Ia adalah kisah bersama, tercatat dalam sejarah yang tak mudah pudar. Dahulu Majapahit yang pernah berdiri megah, kini hanya tinggal puing. Tugas kita sebagai anak bangsa adalah mengumpulkan potongan-potongan kisah itu, menyusunnya kembali. Ini bukan hanya tugas arkeolog atau sejarawan, tapi juga kita semua, dari berbagai bidang.
Ilmu komunikasi menghubungkan potongan-potongan cerita itu, menyampaikan pesan dari masa lalu agar bisa dipahami oleh generasi kini. Ilmu kearsipan dan digitalisasi menyimpannya dalam file-file yang tertata rapi, memastikan bahwa cerita ini tak terhapus oleh waktu. Setiap bidang ilmu punya peran, karena sejarah bukan hanya tugas arkeolog atau sejarawan, tapi tanggung jawab kita semua.
Saat aku berbalik meninggalkan museum, aku bisa merasakan arca-arca itu seperti melambai, seolah berkata, “terima kasih telah datang. Ceritakan kisahku pada mereka yang datang setelahmu.” Tanpa kata, tanpa suara, tapi aku mendengarnya dalam getaran halus yang hanya bisa kurasakan.
Source:
https://regional.kompas.com/read/2023/09/16/203331078/museum-trowulan-di-mojokerto-daya-tarik-sejarah-dan-harga-tiket
https://direktorimajapahit.id/dokumen/5/museum-mojokerto-1914
Comment
Untuk seorang penulis berasa di museum berarti mengajaknya untuk berkelana ke masa lalu, kemudian menuliskannya jadi satu cerita yang enak dibaca orang. Mungkin tentang seseorang yang datang dari masa depan atau sebaliknya, untuk memecahkan satu kasus
Wah baru tau saya ada nisan Fatimah Binti Maimun yang berada dalam museum Trowulan ini dan kisahnya baru juga saya ketahui. Terus ternyata banyak kisah Kerajaan yang tersimpan dalam museum ini ya. Membaca cerita mba, saya jadi ikutan berimajinasi seperti sedang berada di sana hehehe
Huaaa kok setiap sisi Museum Trowulan ini jadipas banget sama ingatan mantan sih mbak. Bisa aja nih ilmu cocokologinya wkwk..Banyak ilmu dan informasi nyata yang bisa kita petik ketika mengunjungi tempat bersejarah, dan museum mengabadikannya dengan baik. Pankapan pengen banget bisa ke Museum Trowulan ini, tapi pastinya harus sama mantan yang sudah jadi suami haha..
Pas banget kok kak! Ke sananya saya juga sama mantan pacar yang udah ganti status kepemilikan pribadi. 😀
Wah menarik ya museum ini, saya baru tahu ternyata ada nisan Fatimah Binti Maimun juga di Museum Trowulan, Banyak cerita sejarah Kerajaan yang tersimpan di museum ini ya. Setelah membaca cerita Mbak, saya jadi pengen ke sana deh …
Seru banget bisa berkunjung ke Museum Trowulan ini, banyak pengetahuan terkait sejarah Majapahit. Koleksinya cukup lengkap ya
Klo di museum gini tuh ada pemandunya atau enggak kak?
Kayaknya lebih mengena kalau ada yang menceritakan gitu ya. Kadang kita kan tidak paham ya barang2 itu berkisah apa saja yang lebih mendalam.
Ada kak, biasanya di lobby bisa minta dipandu. Kemarin pas ke sana tournya nebeng sama rombongan guru-guru, jadi denger tipis-tipis penjelasan guide-nya. 😀
Kalau ada yang menjelaskan pada saat kita berkeliling pasti lebih nyaman lagi kali ya, kalau membaca terkadang ada kata atau narasi yang terlalu puyeng untuk kita pahami. Sejarah selalu asik karena kompleks dan unik untuk diketahui lebih banyak
Menarik ya cerita Museum Trowulan apalagi ada artefak kuno ish gemes deh
Sampai di bagian penutup cerita kunjungan ke museum Trowulan ini, buat aku tersenyum simpul. Suka sekali sama narasinya. Apalagi part pohon Maja. Aku sampai googling karena ingin tahu bentuknya dan penampakan si pohon ini seperti apa. Keberadaannya pun benar-benar pas sebagai inti dari cerita yang tersimpan dan menunggu dikunjungi lagi di museum ini. Aih … betah sekali aku baca ceritanya.
Duuuh ikut terbawa ke masa lalu baca ini 😄👍. Yg aku suka tiap kali datang ke museum, karena seolah bisa kembali ke masa lalu. Melihat peninggalan lama, cerita2 tertulis, selalu aku bayangin seperti apa kehidupan di masa lalu. Menarik banget.
Yg senengnya museum di Indonesia ini murah2 tiketnya, tp sayang banget sepi. Ntah krn kurang promosi, atau orang2 ga suka melihat museum. Padahal menurutku ya mba, museum itu cara terasyik untuk belajar sejarah . Drpd baca buku sejarah yg kebanyakan teori 😄
Terbius dengan diksi-diksi yang aduhai indahnya, mana mantan kebawa-bawa lagi.. eaa..
Wisata edukasi seperti ke Museum Trowulan ini memang sepatutnya banyak disebarluaskan biar masyarakat banyak yang tahu, HTM-nya murah meriah, recommended banget untuk dikunjungi
Museum Trowulan ini sangat menarik sekali buat dikunjungi serta dijelajah banyak sejarah yang worth it buat diketahui. Bahkan di tangan blogger jelajah museum jadi kian bermakna.
Cerita dan tulisannya dikemas semenarik ini 🤩 terima kasih sudah kasih informasi, next mau banget berkunjung ke museum yang satu ini.
Begitu nama Museum Trowulan disebut saya langsung teringat pelajaran sejarah dulu. Dan ternyata memang berhubungan dengan kerajaan Majapahit dan tokohnya seperti Hayam Wuruk, Gajah Mada dan Airlangga. Kapan-kapan ingin juga bisa melihat langsung isi museum Trowulan yang menceritakan kejayaan Majapahit zaman dulu.
Ini nulis reviewnya juga makin saya merasa baper. Karena berasa diceritain hehehe. Kalau datang ke museum suka berasa kayak diajak masuk mesin waktu, ya
Selalu tertarik dengan cerita-cerita mengenai sejarah, makanya aku suka banget pergi ke museum dan berlama-lama di sana seakan berbincang dengan masing-masing bukti sejarah, mengira dan berandai-andai apa yang sedang ingin disampaikan mereka
Baca ini serasa diajak ikut serta ke era jayanya Majapahit. Terima kasih sudah datang dan menuliskan kenangan akan kerajaan besar ini.
Aku asli Kediri tiap mudik berencana ke sini tapi enggak jadi-jadi..dulu pas kecil aja diajak ortu tapi belum ngeh sama kisahnya
Wkwkwk… ternyata lebih nyaman bareng arca daripada bareng mantan.. diamnya lebih menenangkan
Bisa aja nih yg bikin artikel hihi
Bacanya bikin kita berasa lagi berkunjung ke museum trowulan secara virtual sambil nahan buat ga inget mantan hahaha
Wkwkwk… ternyata lebih nyaman bareng arca daripada bareng mantan.. diamnya lebih menenangkan
Bisa aja nih yg bikin artikel hihi
Bacanya bikin kita berasa lagi berkunjung ke museum trowulan secara virtual sambil nahan buat ga inget mantan hahaha
Terima kasih telah mrnulis cukup detil. Bikin aku tahu isi Museum Trowulan dengan cukup baik. BTW kedatangsn penjajah Jepang memang selalu bikin kacau.
Ya bener kalo kenangan mantan seperti jejak Majapahit. Bukan sekedar miliki sendiri tapi milik Bersama. Eaa. Museum Trowulan saying banget dilewatkan, bukan Cuma sekadar bangunan tua, tapi juga menyimpan bisikan masa lalu yang perlu kita telusuri.
Aku belum pernah ke museum, tetapi saya suka dengan cerita cerita sejarah. Apalagi cerita tentang Majapahit ini, banyak yang mengangkatnya sebaai tema dalam novel sejarah. Saya jadi pengin ke museum trowulan.
Museum trowulan cucok banget nih dikunjungi bersama keluarga, seru banget disana ya
24 Responses