Home / Jendela

Menikah Dengan Someone atau …?

Senjahari.com - 17/12/2024

menikah dan utang

Penulis : Dinda Pranata

Saat ini kamu sedang pacaran sama someone, bayangin deh gimana konsep pernikahanmu nanti. Lalu, coba klik salah satu gambar yang paling mencerminkan kamu.

Dari hasil itu, masih bertanya-tanya kenapa bisa begitu?

Gengsi atau Tradisi? Kok Gitu Amat Sih!

Nia meremas-remas jemarinya di pangkuan. Hati kecilnya berteriak, “tapi, Bu, uang kita sudah hampir habis untuk biaya lamaran kemarin,” Namun, kata-katanya itu hanya dijawab oleh gelengan kepala sang ibu. Ia memandang ke arah ayahnya mencari penguat argumen yang duduk di pojok, tapi sang ayah hanya diam seribu bahasa.

Nia hanya bisa menelan ludahnya. Di tengah perbincangan itu, perempuan 27 tahun tersebut teringat percakapan dengan calon suaminya-Deri-beberapa malam lalu. “Kita bisa buat pernikahan sederhana saja ya, yang penting keluarga dekat hadir semua,” ujar pria itu dengan nada memohon.

Namun karena tekanan dari keluarga, omongan kanan-kiri, dan bayang-bayang gengsi yang menjulang lebih tinggi daripada janur kuning di halaman, membuat semua itu terasa mustahil. Pernikahan bukan lagi soal ikatan dua hati, melainkan pertandingan yang menentukan siapa yang bisa mempertahankan ‘nama baik’ keluarga.

Baca juga: Di-Reject Gebetan sampai di-Respect Media Besar. Asus ExpertBook Bikin Eksper Segala Rasa

Tinggal menghitung jam saat Nia akan menjadi ratu sehari, berdiri di atas pelaminan bak mahkota emas. “Mungkinkah….,” kata-kata Nia menggantung seperti awan, seolah pikirannya terus berlomba.

Jejak Utang dalam Pernikahan

menikah dan utang 2

Beberapa tahun setelah pesta, lembaran-lembaran tagihan dari berbagai bank terus berdatangan tiap bulan dan tiap tahun, mulai dari bank A, B, dan C. Menikah dan utang datang bersamaan setelah pasangan ini hidup bersama. Jika mereka total, jumlah tagihan biaya pernikahan mereka mencapai 1,2 miliyar rupiah. Total nilai itu terpakai untuk sewa ballroom hotel xyz bintang lima dengan buffet makanan dan dekorasi floral impor senilai 800 juta rupiah, belum lagi hiburan dan dokumentasi senilai 400 juta rupiah.

Di pojok ruangan, Deri memandang layar ponsel dengan pandangan kosong. Rekening bersama yang mereka buat tertera jelas: Rp 100.000.000 per tahun. Angka yang setiap bulan digerogoti cicilan rumah, cicilan utang bank, listrik, sewa, bensin, dan makan. Nilai itu seolah hanya numpang lewat tanpa permisi di rekening mereka, yang hampir tidak bisa mereka tabung untuk biaya darurat.

“Enggak apa-apa, masih ada amplop dari tamu,” ujar ibu Nia, setelah tahu biaya tagihan. Senyumnya tipis, matanya sembunyi di balik rasa khawatir. Tapi amplop-amplop itu hanya sekadar tempelan luka. Beberapa lembar merah dan biru tak cukup untuk menjinakkan monster bunga bank yang terus membengkak.

Deri mendesah panjang, wajahnya tertunduk di antara jari-jari yang menggenggam rambut. “Kalau saja kita enggak pakai resepsi mewah…”

Baca juga: Stigma Kusta: Cermin Buta dalam Nista dan Kusta

Nia mengalihkan pandangan. Matanya jatuh tak berkedip di atas mejanya yang kosong. Ia seolah bisa mengingat angka-angka yang pernah ia coret dalam buku kecil: 50 tamu dengan harga 150 ribu per porsi untuk makanan, dekorasi, baju pengantin dokumentasi minimalis yang jika mereka jumlah nilainya bisa seratus kali lebih kecil daripada pernikahan mereka beberapa tahun yang lalu.

Kini, pilihan tinggal satu: segera melunasi utang itu. “Tapi bagaimana caranya?” batin Nia sekali lagi

Menikah dengan Seseorang atau Menikah dengan Utang?

Nia tidak memiliki pilihan selain menghubungi Sari untuk meminta bantuan. Salah satu teman dekat mereka yang hidupnya sangat tenang tanpa lilitan utang. Esok harinya itu mereka berkunjung ke rumah sahabat lama. Rumah itu tidak besar juga tidak sempit, memiliki pelataran rumah yang asri.

Sari menikah dua tahun setelah Nia dan Deri menikah, dalam sebuah acara pernikahan kecil di halaman depan rumah orang tua sari. Foto pernikahan yang terpasang di dinding rumah Sari, berisi senyum dan pelukan hangat keluarga terdekat. Mereka berbincang-bincang sejenak.

“Kamu tahu apa yang paling aku ingat dari pernikahanku? Bukan dekorasi, bukan makanan. Tapi, waktu ayahku mendoakanku dengan Rajasa sambil menangis bahagia,” ujar Sari, matanya berbinar.

Baca juga: Healing Jiwa, Dompet Terluka

Nia memejamkan mata. Di pesta mewahnya, doa seperti itu tenggelam di antara suara musik, gemerlap lampu dan keriuhan tamu yang sibuk berfoto.

Sari melanjutkan, “seringkali pernikahan bagi sebagian orang adalah ajang adu kelas sosial. Nggak jarang menikah dan utang datang bersamaan.” Wanita berparas ayu itu menatap sayu Nia yang ada di depannya.

Pernikahan Adalah Janji tapi Juga Tentang Materi

Nia menatap gaun putih berpayet di lemari ketika ia pulang dari rumah Sari. Kilauannya masih seindah dulu, namun kini hanya mengingatkannya pada cicilan yang belum lunas. Tangannya menyusuri renda halus itu, dingin seperti kenangan yang menyertainya. Di sudut kamar, album foto pernikahan terbuka pada halaman di mana ia dan Deri tersenyum di pelaminan megah. Lampu kristal, dekorasi bunga mawar impor, dan kerumunan tamu yang tak semua ia kenal. Senyum mereka tampak bahagia, tapi Nia ingat betul rasa sesak di dadanya.

Untuk itu, Nia dan Deri berjanji untuk mengajarkan anaknya kelak, tips tentang pernikahan yang bisa kalian klik berikut.

Malam semakin larut, Nia masih terduduk di meja makan dengan buku-buku besar terbuka dan kalkulator yang masih menyala. Ia harus menghadapi ini dan biarlah ini menjadi ceritanya dan Deri yang tak harus terulang pada orang lain.

Source:
Sholahudin, U. (2019). Selebrasi Pernikahan Artis dalam Perspektif Teori Masyarakat Konsumsi Baudrillard. Journal of Urban Sociology, 2(2), 57-70. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Diakses dari https://journal.uwks.ac.id/index.php/sosiologi/article/view/991/794
kompas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Hmmm. Menikah klo memang sudah siap semua dan terutama mental sih. Tapi klo urusan karena utang sih, selama oke oke aja sih. Gak masalah juga, klo sama sama suka, hehhe

Jadi inget pernikahan saya dulu. Kita awalnya pengen resepsi sederhana, tapi memang susah ternyata, karena pernikahan di Indonesia rata-rata bukan hanya tentang pernikahan 2 orang, tetapi pesta besar 2 keluarga. Akhirnya mau-mau tak mau kita ngikutin kemauan keluarga.
Berbahagialah pasangan yang suaranya mau didengar oleh keluarga tentang resepsi pernikahan impian yang sederhana dan lebih fokus untuk mempersiapkan kehidupan setelah resepsi pernikahan

Tukang Jalan Jajan

Kisah Nia dan Deri menyentuh! Gengsi seringkali membutakan, pernikahan jadi ajang pamer bukan momen sakral. Padahal, esensi pernikahan ada pada janji suci dan kebersamaan, bukan kemewahan yang berujung utang.

Nah iya, kisah Deri dan Nia ini sebagian besar terjadi karena gengsi keluarga. Padahal menikah ada baiknya sederhana saja, syukurnya setelah masa pandemi mulai bermunculan nih tren nikah cukup di KUA dan resepsi intimate sama sanak saudara dan teman dekat. Tentunya lebih efektif dan masuk akal, ketimbang harus mengadakan pesta meriah nan mewah, namun setelahnya pusing mikirin bayarin hutang.

Base on pengalaman, aku nikahan di halaman rumah pakai dekorasi sederhana dan mengundang yang terdekat sehingga cukup mengeluarkan budget sesuai dengan tabungan tersedia. Acara selesai, tidak ada hutang. Uang amplop bisa dibagi sama orangtua, buat bekal menempuh hidup baru juga. Sederhana, sesuai kemampuan dan tidak menciptakan hutang, lebih menentramkan.

Agustina Purwantini

Pasangan pengantinnya sudah punya rencana baik, eh intervensi orang tua bikin bubar segalanya. Maka pasamgan pengantin memang harus kuat bertahan…

Agustina Purwantini

Pasangan pengantinnya sudah punya rencana baik, eh intervensi orang tua bikin bubar segalanya. Maka pasamgan pengantin memang harus kuat dan bisa bertahan, juga berargumen. ..

I feel you Niaaa, sebagai anak Perempuan pertama yang menikah duluan emang kerap demikian. Padahal aku ngga mau tuh nikah gede2an. Aku pengen yang hangat, dekat, dan intim bersama teman dan keluarga. Tapi gimana yaa, balik lagi ke keluarga sih. alhamdulillah kami ngga sampe utang sih. tapi untuk anak-anakku aku ingin sesuatu yang sederhana namun tetap terkenang.

Nurul Fitri Fatkhani

Tidak dipungkiri, pernikahan bagi orang kita itu jadi ajang adu gengsi. Kadang kedua mempelai gak kenal semua tamu undangannya karena tamunya sebagian besar kenalan dari orang tuanya hehehe

Eh tapi sekarang lagi ngetrend nikah hanya di KUA aja. Konsepnya hanya dengan keluarga terdekat. Bagus juga ya, biaya nikahnya bisa dipakai untuk nyicil rumah.

Menikah itu memang terkadang ribet antara dua keluarga, kita sebagai pasangan harus banyak berkompromi dengan keinginan mereka dan menemukan jalan tengah. Menikah harusnya jadi sesuatu yang menyenangkan dan tidak malah merenggangkan yang sudah terpaut.

Memang ya acara pesta pernikahan itu sebaiknya disesuaikan dengan kesanggupan dananya. Sederhana namun khidmat jauh lebih berarti dibandingkan dengan perhelatan mewah namun mencekik leher. Berbagai cicilan menghantui setiap bulannya. Ngeriiii! Semoga bisa mendapatkan pelajaran dari cerita tersebut.

Salah satu hal yg memang menjadi ‘beban’ dalam pernikahan adalah pesta atau resepsi pernikahan karena biayanya yg besar. Jadi memang perlu bersikap bijak dlm menentukan seperti apa resepsi mau diadakan

Aku langsung keinget sama novel yang judulnya Berburu Restu karya Dimas Abi. Di buku itu, terpampang nyata bagaimana banyak sekali sanak saudara dan keluarga yang dengan gengsinya, teguh untuk menyelenggarakan pesta pernikahan meriah. Sementara calon pengantinnya, setengah hidup memperjuangkan biar nikah cukup di KUA dan gelar resepsi seadanya saja. Secara yaaa, biaya yang harus diperjuangkan untuk penuhi kebutuhan hidup setelah pernikahan itu yang bakal jadi tantangan besar selepas pesta.

Ngeri banget mendengar kalimat menikah dengan seseorang atau menikah dengan hutang
Ya Allah sampai segitunya ya demi gengsi
Semoga tidak diulang lagi oleh yg lain. Kasihan. Artikel ini sangat bermanfaat

Sekarang banyak anak muda yang melek finasial menikah cukup di KUA dan dihadiri keluarga tapi buat generasi old tentu aja ada paikologia lain yang dipertimbangkan, di KUA doank dikira hamidun duluan, atau ada juga tradisi yang memang harus dilestarikan supaya gak hilang
Pada dasarnya semua yang berlebihan itu yang tidak bijak dilakukan..

Dulu, saat kami mau menikah ada prinsip dan bikin kesepakatan. Pertama, untuk acara resepsi tidak terlalu mewah, namun tetap membuat tamu nyaman dan terkesan. Kedua, uang yang masih tersimpan (di tabungan masing-masing) akan dibelikan rumah. Jadi, jangan pernah utang hanya untuk gengsi. Alhamdulillah…

Aduh serem ya kak kalau harus menikah dengan hutang, memang kalau menuruti gengsi tuh gak bakal ada habisnya. Cerita yang inspiratif buat para calon pengantin, nih.

Menohok bagi mereka yang masih berpikir pernikahan mewah dengan cara berhutang. Yang merasa sulit menahan malu jika tidak memberikan pesta pernikahan terbaik.
Saya pribadi lebih suka menikah saja, kalau pun ada pesta, sesederhana mungkin, karena pada dasarnya di pesta pernikahan akbar, yang benar2 kenal hanya sedikit persen, atau jika pun kenal sebagian besar juga tak bisa benar2 menyambut mereka.

Lifestyle Blogger

menikahlah ketika kita sudah siap dengan risikonya susah dan senangnya, jangan samapi juga acara pernikahan meninggalkan utang besar karena gengsi atau mikirin omongan orang

Menikah itu murah yang mahal itu resepsinya apalagi melibatkan dua keluarga yang masing-masing memiliki keinginan. Tapi balik lagi kita ingin memulai hidup baru yang bagaimana, berhutang atau hidup tanpa ada hutang. itu pilihan masing-masing pasangan pengantin.

Jadi keinget dulu mau nikahan private aja dengan sedikit undangan, apa daya aku dan suami sama2 anak pertama, ortu sama2 pertama kali mantu hehe.
Kalau anak zaman now sih yang ortunya dah paham udah banyak yang diizinkan nikah dengan sederhana aja bahkan cukup di KUA yaa.
Yes nikah gak cuma soal janji tapi materi juga penting buat mempersiapkan masa depan yang lebih baik ya,

lagi di posisi ini dan memang lagi mikirin ini nanti nikahnya beneran sama dia apa enggak yaa, terus konsepnya gimana yaa, huwaa bingung banget

Benar.. dan saya pernah mengalaminya hahaha..
Tapi terkadang memang faktanya sulit, maksud hati dan sepakat sederhana, namun saat diurai kesederhanaan itu juga terkadang tidak sesuai dengan kesederhaan yang sesunggunya ^^

Kurang ini dan itu, masa sih cuma gini dan lain sebagainya.. tapi memang sebaiknya perlu dipersiapkan dengan konsep yang matang, termasuk sebisa mungkin tidak meninggalkan hutang.

Tapi memang masih banyak banget ya yang gengsi dengan pesta akbar untuk pernikahan, karena katanya sekali seumur hidup. Jadi ingat dulu pas nikah, gak ada siapapun yang bisa berbagi untuk apa-apanya, kecuali ibu, untung aja gak sampe ngutang….

Keren bangett.. Ceritanya related dgn masa-masa skrg yaa, umumnya masyarakat menikah mengadu kelas sosial alih-alih ya menambah utang.. Kita bisa kok menjadi bodo amat dgn pernikahan yg sederhana saja, tanpa memikirkan bgmna org lain menilai kita.. Karena kehidupan stlh menikah jauh lebih penting daripada sekadar pesta yg sehari/dua hari ini..

Ini kisah fiktir atau nyata, memang relate banget dengan kehidupan nyata. Ada kerabat saya yang sebenarnya tidak mampu secara ekonomi, tapi dikompori kerabat lainnya yang gengsinya tinggi.
Akhirnya menikahkan anak sulungnya dengan sangat mewah di kampung pelosok. Hasilnya?
Hutang yang menumpuk mampu membuat orang berubah. Si ortu yg dulu bikin pesta mewah itu kini terkenal suka menggelapkan bebagai uang dan hutang. Sampai-sampai harta peninggalan nenek pun dia banyak ambil tanpa izin.

Hutang dan kesulitan bisa mengubah orang jadi sangat serakah dan lupa harga diri.

Oh ya Kak, coba nulis di aplikasi KBM, pasti cuan nih. Bagus soalnya penuturan ceritanya.

Terima kasih buat apresiasinya, kak Im.. 🙂
Saya malah baru tahu ada aplikasi KBM ini. Setelah search ternyata ini seperti wattpat ya. 😀

Yang penting dalam sebuah pernikahan adalah setelah akad nikah, bukan pesta saat akad didepan penghulu. Itu yang jarang dipahami banyak orang.

Malam semakin pekat, dan kesunyian hanya dipecahkan oleh suara lembut dari lembaran kertas yang dibalik Nia atau bunyi tuts kalkulator yang ditekan. Matanya lelah, tapi tekadnya tetap kuat. Ada beban yang ia pikul, lebih berat dari angka-angka di buku besar yang kini berserakan di depannya. Ini bukan hanya tentang pekerjaan atau perhitungan bisnis biasa—ini adalah keputusan yang akan mengubah segalanya.

Setiap putusan/tindakan pasti ada konsekuensinya ya.. Itu sebabnya kita harus benar-benar hati-hati dalam memutuskan/mengambil tindakan. Terima kasih sharing nya ya .. semoga menjadi bahan renungan utk calon2 Pasutri..

Mungkin banyak yang mengalami seperti Nia. Syukurnya, Nia dan pasangannya sadar akan bagian yang kurang dari pernikahan mereka. Semoga yang tengah berada di posisi seperti Nia, mendapatkan solusi atau jalan terbaik, aamiin

Kalau aku mending nikah dengan konsep yang sederhana aja deh. Yang penting kan Ijab kabulnya

Kalo dari kisah Nia ini jadi keinget sama postingan TT, bahwa sebenarnya biaya nikah itu gak mahal, karena kan bisa di KUA. Tapi yang bikin mahal adalah gengsi alias si resepsi. Masuk akal ya

Dulu ada sepupu mau nikah meriah tapi budget medit. Hasilnya diomongin dah tuh apaan pesta makanan gak enak dekor aneh dll.

Bicara pernikahan di tahun 2025 rasanya beda banget saat ngomong yang sama di 2011
Pernikahan gak cuman bewara ke semua orang tapi setelah ijab kabul yang berat

Itulah menikah itu harus siap segalanya. Utamanya kesiapan mental, yang keduanya siap finansial agar rumah tangga tidak rentan akibat hutang..

biaya pernikahan ini memang besar banget kalau memang impiannya pengen dirayakan besar-besaran. akan lebih berat lagi kalau misal orang tua merupakan pejabat dengan banyak relasi jadi kadang mau tidak mau harus diadakan di gedung

Rika Widiastuti Altair

Kisah yang cukup menyentuh dan jd pembelajaran. Di lingkunganku masih banyak yang rela berhutang demi pesta pernikahan. Padahal esensi menikah bukan sebuah pesta.

Jadi inget beberapa waktu lalu baca berita di sebuah media online, kalau saat ini sedang trend menikah di KuA. Karena memang biaya lebih murah dan pesta juga diadakan sederhana di rumah. Saya setuju ini sih, karena setelah prosesi pernikahan masih ada kehidupan yang harus dilanjutkan.

39 Responses