Penulis : Dinda Pranata
Di tengah hiruk-pikuk dunia maya, sebuah video muncul—seorang pria berdiri di tengah kerumunan, menyerahkan segepok uang pada seorang ibu penjual nasi kucing. Senyum puasnya tertangkap jelas, begitu juga caption berbunyi: “Karena peduli itu nyata.” Ribuan like dan komentar memujinya. Namun, tak lama kemudian, muncul komentar lain dari seorang anonim yang menyayat hati.
Komen anonim itu membuat kita berpikir ulang tentang batas antara kepedulian dan pencitraan yang jauh lebih tipis dari yang kita kira.
Maaf Hanya Uang Konten
“Maaf hanya uang konten,” begitulah komen anonim itu. Siang di akhir bulan itu terasa kelabu, saat Toni melihat linimasa sosial medianya yang penuh repost dari orang lain tentang aksi pria pemberi uang itu.
“Kenapa konten bagi-bagi uang ini banyak peminatnya?” tanyanya pada diri sendiri sambil menyeruput kopi hitam robusta yang baru saja diangkat dari mesin kopi. Monolognya ternyata terdengar oleh Rama, salah satu rekan satu devisinya, “konten bagi-bagi uang kan kelihatan bermoral, Bray,” sahut pria berambut gondrong yang ia kuncir kuda.
Sepatu pantofel hitamnya bergema di lantai keramik putih di ruang pantry. “Maksudmu?” tanya Toni. Matanya menyelidik setiap gerakan Rama yang melangkah maju menyalakan mesin kopi. Suara dengung mesin kopi beradu dengan suara Rama, “di dunia maya segalanya mungkin. Yang dulunya nggak kelihatan sekarang bisa kelihatan. Ya, sama lah dengan kalau orang bersedekah.”
Baca juga: Masyarakat Adat dan Para Pengabdi Modernitas

Dengung mesin berhenti dan kopi hitam meluncur dari pipet mesin. “Sebelum ada media sosial, sedekah itu masalah hati nurani, tapi setelah ada media sosial sedekah itu cuma perkara like dan adu pamer,” katanya. Toni masih mendengarkan suara Rama yang tegas namun tajam itu, “dua orang filsuf sosial bahkan menyebutnya sebagai moral grandstanding,”lanjutnya. Pemuda itu duduk di sebelah Toni.
“But, why?” tanya Toni lebih jauh, seolah ada yang memicu bibirnya untuk bertanya lebih jauh. “Konten bagi-bagi uang kan bisa dibilang receh. Kenapa mereka memilih ngonten moral grandstanding daripada yang lebih berbobot kayak konten edukasi atau tutorial how to?”
Rama terkekeh sambil menghirup aroma kopi hitam yang sudah ia campur dengan sedikit creamer. Setelah menyesap kopi krimnya, Rama menatap jauh ke dalam wajah Toni yang alisnya berkerut. “Kau mau alasan yang mendasar atau yang sebatasnya?” tanya Rama balik.
Toni memiringkan kepalanya. Mencerna perkataan Rama. “Karena bisa jadi alasannya tidak pernah kau duga dan bisa jadi juga ada di dalam dirimu.”
Deg! hati Toni terhenyak.
Baca juga: Siapa Kamu di Media Sosial?
Satu Tindakan, Ujungnya Menanti Tepuk Tangan
Setelah percakapan mereka siang itu di pantry, Toni jadi merenung lebih dalam lagi. Ia memandangi pohon mangga yang ada di terasnya. Hujan di malam itu yang rintik-rintik menemani suasana reflektif yang syahdu. Pemuda dua puluh delapan tahun itu menginginkan jawaban yang mendasar bukan hanya sebatas permukaan.
“Kau tahu bahwa manusia itu cenderung punya keinginan menunjukkan keberadaannya. Salah satu caranya dengan mendapatkan pengakuan atau validasi,” Rama membuka penjelasannya.
Toni dengan jantung berdebar menanti kata-kata selanjutnya. “Orang yang suka bagi-bagi uang, lalu orang yang paling berkoar-koar soal kemanusiaan dan yang lainnya, tidak semuanya paham apa yang mereka lakukan atau bicarakan. Sebagian dari mereka itu hanya ingin dapat pengakuan baik berupa like, popularitas bahkan return of money.”
“Jadi mereka nggak tulus gitu?” tanya Toni kemudian.
“Bisa jadi iya dan bisa jadi enggak. Kita tidak tahu sedalam apa ketulusan orang, hanya dari layar tujuh atau delapan inchi kan? Yang kita tahu hanya sebagian saja.” Rama tersenyum kecut seperti bisa merasakan ironi.
Baca juga: Munir Said Thalib: 18 Tahun Kematiannya Tak Kunjung Usai
“Apa kau masih ingat Doni Salmanan yang suka bagi-bagi uang pas zaman COVID-19 dulu?” Pertanyaan Rama ini membuat Toni harus memutar memorinya jauh ke belakang. Yang ia ingat Doni Salmanan adalah seorang crazy rich tapi, “AH! Penipuan Investasi berkedok trading itu?” pekik Toni dan Rama mengangguk.
“Aku merasa dia tidak benar-benar melakukan moral grandstanding sih, tapi …,” Toni menjawab dengan ragu-ragu. “Kau tahu alasan mengapa dia bagi-bagi uang ke orang-orang, alasannya karena ia ingin terkenal. Dia memberi impresi bahwa dia baik hati dan suka berbagi, tapi dari balik punggungnya ada masalah moral yang ia tutupi dengan perilaku baiknya.” Toni yang mengangguk-anggukkan kepala.
“Berawal satu tindakan tapi keterusan cari tepuk tangan,” gumamnya. Suaranya berlomba dengan suara hujan malam itu.
Dunia Di Mana Ada Istilah “Pahlawan Instan”
Toni menyadari di dunia yang katanya “smart” ini nyatanya jauh dari kata “smart” yang sesungguhnya, di mana orang yang harusnya bisa memilah-milah informasi tapi malah kerbawa arus. “Aku ingat bapak pernah bilang, jadi pahlawan dulu itu sulit. Mereka harus bergerilya bawa bambu rucing atau parang dan setelah tewas baru mereka mendapat nama,” gumam Toni.
Ia mendesah sekali lagi, “tapi Pak, lihat sekarang. Banyak orang yang melakukan moral grandstanding biar jadi pahlawan, contohnya mereka bagi-bagi uang yang sebenarnya asalnya tidak jelas. Bahkan dengan modal kamera dan tanya ‘hei google’ mereka bisa jadi pahlawan untuk isu-isu penting. Andaikan …,” ia tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Baca juga: Yang Dilihat Postingan, Yang Dihakimi Kehidupan
“Tapi, Le! Kalau kau bicara hanya pada apa yang kau tahu, tidak akan ada orang yang marah, kecuali kau memberi ruang agar orang itu marah padamu. Lagipula, fokus pada apa yang kau bisa lakukan lebih baik. Misal mau memberi uang tak perlu kau bawa ruang kosong untuk kamera. Cukupkan langit sebagai mata Tuhan yang melihatmu. Tidak ada gunanya menjadi terlihat baik tanpa benar-benar menjadi baik.” Toni seolah bisa mendengar suara bapaknya berdengung di sekitar telinganya.
“Andaikan bapak bisa hidup di zaman ini, pasti bapak bisa lebih cepat terkenal sebagai pahlawan daripada gugur menjadi korban demostrasi tahun 1998,” desahnya lagi.
Sekali lagi angin seolah mengantarkan desahnya pada langit malam lewat daun pohon mangga yang bergerak samar.
Comment
Artikel ini bener-bener bikin aku mikir soal moral grandstanding di dunia maya. Ini relate banget dengan era sekarang. Contoh yang sering kita liat adalah pemberian uang yang diposting seolah menjadi tindakan heroik, padahal kadang cuma untuk cari perhatian dan validasi *hahah.
Tapi hal-hal seperti ini tentunya ada positif dan juga ada negatifnya memang.
Begitulah zaman now 🙁 Konten-konteng uang dan eksistensi diri telah memberi semakin marak dan menjadi pencitraan demi tujuan tertentu. Senang kalau kontennya memang berfaedah dengan pesan moral natural. Beda dengan konten murahan bak pahlawan kesiangan, malas liatnya.
Sekarang jadi makin susah membedakan mana amal beneran dan mana hanya pansos ya
Kalaupun ingin bersedekah lebih baik tidak disorot kamera ya kak. Namun saya masih ingat dengan quotes “it’s to good to be true” yang memang nampaknya kelihatan wah.. namun jika berujung kesedihan buat apa? Kadang sesuatu yang instan itu juga kurang baik ya
Makin banyak saja orang yg bersedekah hanya karena konten atau sekedar pencitraan. Semoga makin banyak juga orang2 yg benar-benar tulus ikhlas bersedekah membantu sesama.
Konten sedekah bikin pro kontra sih, di satu sisi memang bagus karena membuat pihak lain tergerak untuk membantu orang yang membutuhkan yang bahkan tak terjamah bantuan pemerintah. Di satu sisi si pembuat konten jadi terlihat tidak murni membantu, karena mereka hanya mengandalkan ide konten seperti itu dalam sosmednya
Kalau ada konten seperti ini, saya lebih menyoroti para penerimanya. Bagaimana perasaan mereka menjadi pihak yang dikasih(an)i. Apa mereka senang, sedih, atau tersinggung? Setahu saya, sedekah memang tidak harus selalu dilakukan sembunyi-sembunyi. Namun, kalau sudah bersinggungan dengan hal berbau “konten”, semuanya menjadi bias.
aku juga sering bertanya-tanya seperti ini, namun yang bisa mempertimbangkan pahala itu diterima atau engga hanya Allah ya
Nah, pembahasan dalam banget disampaikan dengan sedemikian menarik. Moral story dari tulisannya cukup gamblang dan mudah dicerna. Semoga saja, setiap orang yang mau berbuat baik niatannya beneran lurus ya dan bener baiknya kalau mau mendidik orang untuk bangkit dari kesulitan baiknya dibekali pengetahuan serta keterampilan bukan hanya uang semata. Thanks tulisannya sangat menginspirasi sekali.
postingan ini menjadi gambaran sebagian kecil yang berpotensi menjadi bagian besar dari potret karakter bangsa yang tak kenal apa itu empati dan sadar diri. semoga, saya, kita semua terus berupaya dan terus bermuhasabah untuk menjadi sebaik-baik manusia. aamiin
Mau miris tapi kenyataannya konten dengan uang ini justru malah memikat followers. Jadi memang membuktikan keseragaman pola pikir mayoritas rakyat kita yang sangat suka makan Mie Instant pun hasil instan.
11 Responses