Penulis : Dinda Pranata
“Yang penting punya dulu, Pak! Lumayan diskon mobil ini cuma ada di akhir tahun lho, bangun garasi kan masih bisa nanti.”
Kata-kata itu terlintas jelas dalam benakku saat aku berdiri di sebuah dealer mobil. Aku berjalan keluar dari dealer, sampai tiba di depan sebuah rumah, terpinggirkan namun orang masih bisa melihatku dari berbagai sisi. Di pinggir jalan itulah aku tidur, tanpa atap atau tempat yang bisa kusebut “garasi”.
Lambat laun aku yang dulunya berkilau, mulai merasakan beban—tak hanya dari badan yang berat, tapi juga dari pandangan orang-orang yang menyebutku “pemuas ego.” Hingga suatu hari, aku mendengar suara dari dalam lebih dari yang kubayangkan
Mobil di Kritik Karena Ego Pemilik
Aku tak pernah membayangkan akan menjadi bagian dari fenomena sosial yang menjawab kebutuhan sekaligus memunculkan ketidaknyamanan. Mobil-mobil seperti aku, yang semula menjadi lambang kebanggaan, kini terjebak dalam dilema besar—apakah aku laik mendapat sebutan barang pribadi tapi tinggal di ruang publik?
Aku melihat banyak mata menatapku sinis, mulai orang asing hingga beberapa penghuni perumahan. Selentingan suara dari beberapa orang yang berdiskusi membuatku menyerap informasi penting.
Baca juga: Siapa Kamu di Media Sosial?
“Dalam konteks budaya Indonesia, kita itu cenderung punya kolektifitas yang tinggi. Satu sisi itu baik satu sisi juga jadi bikin ribet,” kata pemuda berambut keriting di belakangku. “Bukannya bagus, kan ada gotong royong. Saling bantu gitu,” sahut temannya yang bersandar pada punggungku.
“Kalau nempatin mobil, kayak di belakangmu itu. Bikin ruwet, Bray!” serunya. “Kolektif sih kolektif, tapi kalau beli mobil nggak punya garasi bikin orang nggak bisa lewat. Lagipula ini kan jalan umum bukan jalan pribadi. Jalan yang luasnya nggak seberapa, mau lewat aja perlu usaha.”
Beli Mobil, Garasi Nihil

Lain halnya dengan dua orang wanita yang sedang lewat dan sekedar duduk di bawah pohon tempat aku bernaung. “Lu tahu pak Drajat kan, tuh yang punya mobil merah ini,” kata salah satu wanita itu dengan menunjukku. Si teman wanita yang sedang asik melahap es itu mengangguk. “Dia beli mobil ini biar terlihat wah gara-gara anaknya udah jadi orang sukses. Tapi lucunya sih, dia beli mobil tapi garasi nihil,” lanjut wanita berambut pendek itu.
“Ya lu tahu sendiri kan. Punya kendaraan dari jaman dulu itu udah jadi simbol status. Apalagi kalau ketambahan sama modernitas di zaman penjajahan dulu. Jadinya muncul asimilasi dilema kayak sekarang,” jawab wanita yang menjilati es itu. “Homi Bhabha, si filsuf itu bilangnya sebagai mimikri. Orang bisa punya mobil supaya bisa ‘naik kelas’ tapi di satu sisi mereka nggak punya kelengkapan naik kelas berupa garasinya,” tukasnya lagi.
Akibatnya ya seperti sekarang. Jalanan jadi saksi diam ketidaksesuaian ini: mobil-mobil tak berumah, melahirkan parkir liar, kemacetan, hingga konflik sosial. Dan aku, yang dulunya simbol kebanggaan, kini hanya menjadi bagian dari asimilasi dilema yang kata Homi Bhabha sebagai ambivalensi.
Baca juga: Efek Hari Ulang Tahun-Terdengar Bahagia Tapi..
Sekali lagi ada dengungan di dalam mesinku, “kamu akan tergantikan.” Tapi tergantikan oleh apa?
Nasib Mobil Tak Berumah
Aku, mobil yang pernah menjadi bintang showroom, kini berdiri di jalanan, mengintip dan menjadi realitas budaya konsumsi yang berlapis. Tidak semua orang yang membeli mobil karena kebutuhan atau pemenuhan ruang kosong di rumah. Di balik kilauan cat metalik dan plat nomor baruku, ada ironi: mobil-mobil ini hanya menjadi deklarasi status ‘naik kelas’ yang tak jarang mengorbankan ruang publik.
Pemilikku tak sadar bahwa aku belajar dari bisik-bisik mereka yang lewat tentang cerita tentang budaya komunal dari Emile Durkeim. Ternyata budaya kearifan lokal itu bisa membentuk persepsi kita tentang ruang bersama seperti jalan publik. Di Indonesia, misalkan tercermin dalam tradisi gotong royong, di mana ruang publik dianggap dapat digunakan bersama tanpa batas tegas antara hak pribadi dan kepentingan umum.
Namun, persoalan ini tidak hanya tentang ruang. Masyarakat pasca-kolonial seperti yang pernah terjadi di Indonesia, sering berada di antara persimpangan nilai kearifan lokal dan modernitas. Kepemilikan mobil tanpa garasi adalah simbol hibriditas dan ambivalensi: sebuah usaha menunjukkan status modern melalui kepemilikan kendaraan mewah, namun dengan pola konsumsi yang tidak selalu sesuai dengan infrastruktur yang tersedia.
Aku tetap berdiri di pinggir jalan, mengamati. Suara tadi benar, mungkin ada yang akan menggantikan posisiku. Tapi siapa? Mobil listrik tanpa suara? Atau kesadaran kolektif yang akhirnya memberi ruang pada semua? Waktulah yang akan menjawab.
Baca juga: Kamu Pintar, Enggak Harus Ikut Industri Joki Akademik! Tapi ....
Bagaimana menurut kalian? Apa kalian memiliki pengalaman dengan orang dengan parkir sembarangan baik di rumah atau di tempat lain? Kalian boleh berbagi di kolom komentar kok, tapi tetap dengan bahasa yang sopan tanpa menyudutkan ya. Semata-mata agar jejak digital kalian tetap bersih.
Happy Tuesday!
Source:
https://otomotif.kompas.com/read/2022/04/25/070200415/mobil-parkir-sembarangan-di-perumahan-ini-hukum-dan-sanksinya
https://www.kompas.tv/regional/123908/viral-bahu-jalan-dijadikan-garasi-buat-mobil-pejabat-ini-kata-kadishub-kota-mataram
Comment
Alhamdulillah belum pernah kejadian ada tetangga yang membeli mobil tanpa garasi. Tapi beberapa kali pernah kejadian kendaraan susah melewati jalanan perumahan warga karena ada salah satu warga yang memarkir mobilnya di jalan karena rumahnya kecil dan tidak punya garasi.
Kalau aku pernah punya pengalaman unik, Mbak. Jadi kami punya rumah di kampung yang jarang dilihat. Pas mudik aku dapati itu ada mobil tetangga parkir di terasku. Tanpa permisi lewat WA atau ke satpam kan bisa. Dan itu sering. Walhasil aku langsung gembok tu pagar rumah. Pusing pusing dah dia, wkwk.
Beberapa tetangga seperti ini, bahkan ada yang sampai mobil berjajar 3 di luar, sedangkan ada carport cukup 1 mobil. Padahal memiliki mobil juga ta seindah tampaknya, ada biaya lain yang mungkin lupa diperhitungkan seperti biaya service, STNK terlebih jika ikut asuransi, belum lagi biaya bahan bakar untuk operasional.
Kalau belum punya garasi dan keukeuh pengen punya mobil, bisa cari penyewaan lahan untuk garasi. Sudah banyak orang yang menyadari peluang usaha dalam hal ini.
Waaaah aku malah ambil kesempatan mba utk orang2 yg ga punya garasi begini 🤭😄. Pas mama mertua meninggal, rumah mama itu jd kosong. Suamiku ga mau tinggal di sana krn terlalu gede. Akhirnya kami sepakat sewain garasi buat orang2 di sekitaran daerah situ yg punya mobil tp terpaksa parkir luar 😄. Lumayan mba. Garasinya bisa cukup 4 mobil. Jadi orang2 yg nyewa pegang kunci pintu pagar supaya bisa buka tiap saat.
Jujur aku juga tipe yg ga setuju yaa punya mobil tp ga ada garasi. Ngerasa sayang aja kalo mobil jd jelek kena hujan panas 🤣. Jd kalo aku siiih, pasti nyediain garasinya pas beli mobil. At least seandainya ga ada, ya mending cari sewa garasi, kayak yg aku lakuin skr 😁
Sering liat nih sindiran di medsos. Punya mobil elit, bikin garasi syulit hihi. Banyakan sih yang tinggal di perkotaan ya yang kayak gini. Punya mobil, tapi mobilnya hanya di parkir di pinggir jalan. Antara ga tahu aturan atau ga tau malu sama besar kayaknya
6 Responses