Penulis : Dinda Pranata
“Mau makan di mana?” Tanya Jono sambil matanya menatap lurus ke depan. Sesekali mata bulat pria itu menatap si Estri yang memandangi ponselnya, di sebelah kemudinya. Tak lama kemudian, “terserah,” jawab Estri. Jono memiringkan kepalanya, berusaha mencari daftar nama tempat makan yang menurutnya asik.
Sesampainya di tempat pilihan Jono mereka pun makan seperti biasa. Namun, saat bercakap-cakap si Jono merasa ada yang aneh dengan Estri. Jono pun bertanya kenapa dan “pikir aja sendiri!” jawab Estri ketus. Di sini lah drama pasangan pun dimulai, drama kata terserah dan miskomunikasi yang seringkali lebih plot twist dari drama korea. “Kenapa sih harus ….” batin Jono frustasi.
Plot Twist dengan Judul “Terserah”
Jono pun menceritakan drama pasangan ini pada sahabatnya Luki. Sahabat prianya ini cuma bisa tertawa terbahak-bahak dengan cerita Jono. “Astaga, Bray! Lu polos amat dah! Kalau cewek lu bilang terserah itu artinya lu harus effort dan tanya dia lebih jauh,” jawab Luki sambil geleng-geleng.
“Ya, kan bisa bilang kalau dia mau makan di tempat kayak apa sih! Masak aku harus nebak-nebak. Lha, aku kan bukan dukun!” gerutunya penuh kesal.
“Itulah yang para ahli bilang budaya High-Context,” kata Luki sambil menyeruput kopi panasnya. Mendengar istilah itu, Jono mengerutkan dahinya. “Kayak sebagian besar orang di Indonesia yang lebih suka menggunakan kode-kode tersembunyi. Ya… bahasa ambigu gitu deh dalam berkomunikasi.”
Baca juga: Sapu Jagad Ala Keyboard Warrior: Menyikat atau Menyudutkan?
“Lha, kata terserah kan nggak semuanya ujungnya drama, Bro,” sahut pria tuga puluh tahun itu. “Ya, gak semua kata terserah itu buruk. Tapi kalau kayak kasus lu ya plot twist-nya ada aja bahkan ngambeknya bisa berhari-hari,” kekeh Luki. Jono mengangguk. “Gue pernah baca teori itu lho. Seingat gue itu teori dari Edward T. Hall sekitar tahun 1960-an.”
Jono mengerutkan dahinya dan mencoba untuk mendengarkan cerita si Luki. “Jadi dari penelitian bapak itu ada dua jenis budaya nih, Bray! Ada budaya High-Context, yang mana kita sering pakai kode-kode, basa-basi panjang, dan yang terpenting, kritik disampaikan dengan halus. Kayak ….”
Suara Luki terhenti, karena si Jono memotong pembicaraannya, “Kayak kata terserah dan miskomunikasi yang terajdi sama aku.” Si Luki mengangguk. “Sementara itu, dalam budaya yang Low-Context, biasanya cenderung to the point, tanpa embel-embel. Misal kalau lagi malas mikir orang LC bakal bilang terserah lu deh, aku ikut aja asal tempatnya asik buat nongkrong,” lanjut si Luki.
“Dan kasus lu itu hanya sebagian dari efek samping dari kebiasaan menggunakan bahasa ambigu yang nggak penting lho!” Si Luki menghela nafas sementara itu si Jono masih memandangi sahabatnya itu penuh tanda tanya.
Kata Terserah dan Miskomunikasi
Luki mengalihkan mata pada cangkir kopinya, mengaduknya lalu menatap Jono yang tampak kebingungan. “Nah, ini dia, Bro! Budaya kita ngajarin kalau ngomong harus halus dan kalau bisa kreatif biar nggak nyakitin hati orang. Akhirnya, orang jadi sering pakai kata terserah buat menghindari konflik.”
Baca juga: Apakah Kamu Ahli Kode atau Ahli ...?
Jono menghela napas. “Iya sih, tapi kalau ngomong blak-blakan juga bisa bikin orang sakit hati.”
“Itu masalahnya!” Luki menepuk meja pelan. “Kita kebiasaan pakai bahasa yang ambigu. Akhirnya, pesan yang mau kita sampaikan nggak terjadi. Misalkan kalau kita menyampaikan kritik sering kan kata terserah dan miskomunikasi terjadi? Padahal kalau nggak pakai kata itu, penyampaiannya tepat, kritik itu bisa bikin kita berkembang dan kita nggak terjebak sama teka-teki.”
“Makanya ada fenomena no viral, no justice,” lanjut Luki. “Orang baru sadar dan berbenah kalau udah ramai di media sosial. Tapi kalau adem ayem, kasus-kasus yang nggak viral itu tidak terselesaikan,”
Jono termenung dan setuju dengan si Luki. Ingatannya kemudian melayang ke momen saat ceweknya cemberut karena dia benar-benar memilih restoran sendiri, padahal katanya terserah. Atau waktu dia bilang, “Yaudah, aku nggak papa kok,” saat mereka makan di resto sushi, padahal dompetnya lagi sekarat.
“Kalau kebiasaan menggunakan kata terserah pada saat masalah sudah gawat, malah bikin masalah jadi gede dan jadi bom waktu.” Luki menyeruput kopinya. “Kayak misal ada masalah sama tetangga lu, terus lu dengan enteng bilang nggak apa-apa, habis itu tetangga lu ngulangi kesalahan yang sama, akhirnya bisa membuat masalah tambah gede.” Jono tertawa. “Karena tetangga nggak sadar kalau tindakannya ganggu kita.”
Baca juga: Sound Horeg Meriah, tapi Ada Kepala yang Pasrah
“Persis!” Luki menunjuk Jono dengan sendok. “Alih-alih memahami masalah, kita malah sibuk menerjemahkan maksud orang.”
“Kalau kita nggak bisa komunikasi dengan jelas,” lanjut Luki, “efeknya bikin pasangan ngambek, juga bikin hidup penuh kekecewaan.”
Jono menghela napas panjang. “Jadi kalau nggak bisa menjelaskan, ekspektasi nggak bakal ketemu realita?”
Jono tersenyum kecut. Namun, sebelum itu ada satu pertanyaan yang mengganjal di kepalanya.
Invitasi dan Diskusi: Jangan Jadi Korban Terserah!

Jono duduk di depan laptopnya, sesekali matanya memandang ke smartphone yang ada di depannya. Kepalanya tidak bisa fokus pada pekerjaan yang sedang ia kerjakan, isi kepalanya berputar mengenai kata terserah yang ia dapatkan sebagai balasan pesannya dari Estri.
Baca juga: Kamu Pintar, Enggak Harus Ikut Industri Joki Akademik! Tapi ....
“Tapi bagaimana caranya menyampaikan kritik tentang cara Estri berkomunikasi tanpa meninggalkan kesan benci ya?” katanya pada diri sendiri. Ia mengingat perbicangannya dengan Luki tentang solusi-solusi dari berbagai teori mulai dari komunikasi asertif sampai teori kepekaan sosial, tapi pada praktiknya tidak selalu mudah.
Ia meraih ponsel di depannya dan mengetuk layarnya. Lalu mengetikkan beberapa kalimat sebagai balasan kepada pesan Estri.
Aku berharap kau tidak lagi menggunakan kata terserah. Kalau marah bilang, marah dan kalau suka bilang suka. Kau tidak perlu sungkan padaku. Setelah mengetikkan itu, ia meletakkan ponselnya lagi.
Beberapa saat kemudian, sebuah pesan dari Estri masuk ke ponselnya. Jono membaca pesan itu dan tersenyum lebar.
Jadi, apa kalian pernah jadi korban kata terserah dan miskomunikasi? Yuk, diskusiin bareng! Gimana cara kalian menghadapi komunikasi yang ambigu?
Baca juga: Negara Kaya, Tapi Kok Merana Ya!
Eits, diskusinya tetap dalam bahasa yang bijak ya, semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih. Mau kalian pro dan kontra tidak masalah kok asal tetap saling menghargai pendapat.
Happy Monday!
Source:
Shaules, J. (2019). Edward Hall Ahead of His Time: Deep Culture, Intercultural Understanding, and Embodied Cognition. Intercultural Communication Education, 2(1), 1-19.
Arifin, F., Wigati, F., & Lestari, Z. W. (2013). Typical Responses in Giving Evaluation: An Analysis of High and Low Context Culture Communication. Parole, 3(1), 85-92.
Comment
Dari awal pacaran , aku tipe straight to the point ama suami mba 😄. Pernah tuh dia sukaaa banget muji2 artis cewe depan aku. Akhirnya aku bilang aja, aku ga suka. Krn itu bikin aku insecure. Dia malah bilang makasih, Krn udh jujur. Dengan gitu dia tahu apa yg aku suka, dan apa yg aku ga suka.
Tiap ditanya mau makan di mana, kado apa, itu juga aku selalu bilang pengen apa. Krn aku males bad mood yg berujung marah. Mending akh KSH tahu aku maunya apa. Makanya aku ga paham dengan cewe yg terlalu gengsian utk terbuka Ama pasangan . Emang kenapa kalo pasangan tahu kita cemburu?
Saranku, terbuka ajalah. Ga usah malu soal begituan. Pasangan kita bukan dukun yg bisa nebak2 pikiran. Kecuali memang hobinya bikin panas suasana, beda cerita 😁
Bener banget. Lebih enak to the point menghemat tenaga daripada ngambek nggak jelas. Banyak kasus kode-kode ini terjadi pas masih pacaran gitu. Wkwkwk.. 😀
Aku dulu sempet jadi kaum yang sering bilang “Terserah” tapi kalo sekarang lebih ke jujur aja sih apa yang dirasain dan dipikirkan, biar lebih terbuka aja satu sama lain hihi
HEuehuhe.. ya begitulah.. saya sering juga sih mengalami fakta ini. Mungkin benar juga, adanya kesadaran untuk selalu melakukan diskusi agar tak jadi sebuah kondisi yang “mati kutu” memang perlu dijalani di kehidupan keseharian.
Wahhhhh hehehehe ini beneran cerdas membahas kompleksitas budaya ‘high-context’ Indonesia, terutama dalam penggunaan kata ‘terserah’. Analisis yang menarik tentang bagaimana menghindari komunikasi yang jelas dapat menyebabkan masalah yang tidak perlu dalam hubungan. sering terjadi dan dirasakan yaaaaa
“Terserah” adalah ungkapan yang lebih cenderung ke makna menyerah, tidak punya ketetapan dalam bersikap bisa juga bermakna putus asa atas sebuah keputusan seseorang.
adalah ungkapan yang lebih cenderung ke makna menyerah, tidak punya ketetapan dalam bersikap bisa juga bermakna putus asa atas sebuah keputusan seseorang.
Hahaha kayak siapa dah ini 😀 Rasanya saya pengin ngetag orangnya langsung, tapi kan di sini enggak bisa ngetag 😀
Artikel ini relate banget, pengin deh saya share
Ternyata ada penjelasan ilmiahnya untuk fenomena kata terserah. 😁😁
BTW aku termasuk yang to the point untuk urusan-urusan taktis semacam mau makan apa, di mana. Namun, untuk urusan yang lebih absurd bolehlah pakai senjata andalan terserah.
Hahahaha… Terserah banget bisa jadi salah paham ya. Terutama dalam hubungan pasangan yang sama-sama introvert atau punya gengsi tinggi.
Udahlah, terserah aja pokoknya 🙈
Bilang “terserah” biasanya kalau sudah marah banget dan beneran nggak mau peduli lagi sampai kehabisan kata-kata. Kalau belum sampai tahap itu, lebih baik bicarakan to the point.
Kalau karena kata terserah sih belum pernah. Tapi kalau pakai kode kode gitu sering. Dan iya bikin malah tambah masalah karena miskomunikasi.
Padahal itu sama pasangan. Hadeuh, udah mau nenek kakek aja masih pake kodekodean… Tinggal blakblakan apa susah banget sih ya?
Dulu aku kayak gini bilang terserah, hahaha. Tapi, sekarang leih enak dikomunikasikan segala sesuatunya. Kalau sekarang tinggal bilang aja, “Aku mau makan kwetiaw!” Jadi suami segera membeli tanpa harus ada drama yang malah bikin kita bad mood seharian.
Ahahaha … kok merasa diingatkan kembali masa lalu ya …
Beneran deh, saya dulu juga sering bilang terserah karena malas untuk debat atau berkonflik. Tapi memang ujung-ujungnya lebih sering gak sesuai dengan keinginan.
Seiring berjalannya waktu, komunikasi jadi lebih terbuka. Apapun itu lebih baik dibicarakan dan menghindari kata terserah.
Kalau sudah muncul kata”terserah” di tengah perdebatan ringan untuk menentukan pilihan tuh, beneran deh, auto jadi beban. Kemungkinan yang muncul di kepala langsung banyak dan buat bergidik, terutama kalau yang nyeletuk tuh perempuan. Walaupun aku juga perempuan, rasanya lebih seru kalau berani mengungkapkan maunya tuh apa biar bisa diambil jalan tengahnya sampai menuju kata sepakat deh.
Menarik sekali ulasan soal ‘terserah’ ini
Hari ini dapat kata terserah dari pak suami hihihi. Kami lagi ngecat pagar dan rumah (ektsterior) dan saya ajak diskusi soal warna catnya, karena pengin ganti dari warna cat sebelumnya. Jadi tadi saya ke toko cat pilah-pilih sebenarnya enggak 100% yakin. Hahaha..Kuatir paksu enggak suka warnanya. Karena biasanya kami berdua memutuskan hal seperti ini.
wkwkwk judulnya tolong 🤣
bener banget sih. kadang bete denger orang jawab terserah. tapi begtu kita kasih jawaban, eh malah nggak cocok. nyebelin kan ya hehe
paling gak suka sih sebenarnya dengan kata terserah itu, kayak yang gak ada pilihan dan pasrah apa yang ada aja sih kalau dikit-dikit terserah, padahal kan kalau berani bilang yang diinginkan bisa terhindar dari miskomunikasi juga jadinya.
Kalau menurut gue, emang lebih baik ngomong langsung aja sih, daripada bikin bingung dan akhirnya ngambek.
Tapi ya, itu dia, masalahnya kadang kita nggak mau langsung ngomong blak-blakan karena takut nyakitin hati orang. Dan akhirnya malah jadi lebih runyam karena nggak jelas. Jadi, kalau ngomong ya harus jelas, jangan sampai salah paham yang malah bikin masalah makin besar!
19 Responses