Home / Jendela

Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Gratis Itu Masalah?

Senjahari.com - 10/02/2025

makan bergizi gratis

Penulis : Dinda Pranata

Di sebuah sekolah dasar, Rani menatap kotak makannya: nasi putih, sepotong telur dadar tipis, dan sayur bening. “Makan bergizi gratis,” begitu label yang tertulis di kotaknya. Teman-temannya tertawa kecil dan bergumam, makanan gratis? Rasanya pasti nggak enak kayak kemarin”

Rani yang mendengarnya terdiam. Bukan karena makanannya hambar, tapi karena ia sering mendengar kata “gratis” terasa seperti stempel tak terlihati—seakan-akan yang gratis itu tak cukup baik.

Di sudut ruang, seorang pria berdiri memperhatikan anak kelas lima SD itu. Sesekali bahunya terangkat, dan sedikit mendesah. Pikirannya pun berlayar membawa nama “gratis” yang cukup membebani pundaknya. Mengapa satu kata itu begitu terasa berat di dunia yang semakin luas?

Paradok Makan Bergizi Gratis!

Namanya Gusti, pria yang berdiri sudut ruang kelas itu adalah seorang guru bahasa Indonesia yang cukup sering mendapat keluhan dari murid-muridnya kalau makan bergizi gratisnya nggak enak, lalu sering kali tidak ada buah atau susu seperti janji sebelumnya. Bahkan untuk makan yang baru saja ia saksikan ada saja keluhan dari anak didiknya termasuk rasa daging ayam yang alot (tidak empuk).

Salah seorang temannya Bram, petugas Tata Usaha pun mendekati Gusti yang sedang makan di meja kerjanya. “Kok, lesu begitu, Pak?” sapanya.

Baca juga: Childfree-Salah dan Benar Dalam Keputusan.

Gusti yang mendengar suara Bram, mengalihkan padangannya dari layar ponselnya. “Bukan apa-apa, Bram,” balasnya, “cuma ya lihat berita ini kok agak miris.” Gusti menunjukkan video anak-anak yang sedang diwawancari oleh salah satu stasiun televisi dan memberikan pendapat bahwa makanan program makan siang gratis itu tidak enak.

Bram, cuma tertawa lirih. “Kan cuma bukan kasus Makan Bergizi Gratis saja, Pak!” tukasnya kemudian dan menarik kursi di depan meja Gusti, lalu duduk berhadapan dengan guru itu.

“Ya, sih. Ini lagi-lagi masalah persepsi kita tentang kata ‘gratis’-nya kan,” tukasnya kemudian. “Sebenarnya bukan kita saja yang mikir gitu, Bram. Di banyak sudut masyarakat kita, memandang kata “gratis” itu sama artinya dengan kualitas rendah. Gratis itu juga bentuk belas kasihan, bukan upaya pemenuhan hak. Asumsinya sederhana: jika tidak membayar, berarti tak ada nilai lebih di dalamnya. Dan persepsi ini, tanpa kita sadari, merembes ke dalam cara kita memandang banyak hal, baik dari penerima atau pun yang menyampaikan kata ‘gratis’ itu.”

“Jadi akarnya di mana?” tanya Bram penasaran. Guru bahasa Indonesia itu pun tersenyum simpul.

Akar yang Ribun di bawah Tanah

“Aku pernah membaca tentang Teori Model Mental dari seorang profesor bernama Philip Johnson-Laird. Inti dari teorinya kurang lebih menjelaskan bagaimana representasi kognitif di dalam pikiran kita tentang dunia bekerja. Asumsi ini membentuk cara kita memahami, menilai, dan merespons suatu fenomena.”

Baca juga: Semua Orang Kepo, Tapi Enggak Ada yang Bergerak. Apa Itu?

Bram memiringkan kepalanya berusaha menangkap kaitan dengan program MBG ini. Gusti tersenyum simpul lagi, “tidak sedikit orang yang memiliki pikiran bahwa yang gratis itu berkualitas rendah. Baik dari orang yang menerima barang gratisnya sampai yang memproduksi ‘barang gratisnya’.” Bram mengaguk. “Pola model mental semacam ini bekerja tanpa kita sadari, yang menganggap ada harga, ada rasa atau kualitas. Padahal tidak semua barang yang mahal berkualitas bagus dan barang murah kualitasnya buruk, kan.”

“Maka akan ada pertanyaan lanjutan, Pak,” deham Bram. “Mengapa pemikiran yang seperti itu bisa mengakar kuat?” tanyanya lagi. “Itu karena kita sudah sangat terpengaruh dengan dunia kapitalis yang menganggap nilai dan hasil saling mempengaruhi. Yang membuat produsen, si pembuat barang gratis, membuat barang dengan kualitas ‘di bawah’ dengan memberi secara gratis, lalu yang menerima barang gratisan terpaksa harus menurunkan ekspektasi terhadap sesuatu yang tidak mereka bayar.”

“Contohnya pembuat makanan bergizi gratis ini yang terpengaruh kata gratisnya sehingga kualitasnya kurang dipikirkan dan hasilnya, siswa-siswa mengeluh kualitas makanan yang tidak enak karena ini makanan gratisan,” jawab Bram. “Tidak terkecuali pemerintah, meski mereka mengatakan sudah bekerja sama dengan ahli gizi,” imbuh Gusti.

Jika Tak Ingin Mendapat Label Gimmick, Maka Apa?

“Jika pemerintah tidak ingin mendapat label gimmick dan sangat serius dengan program menantang ini, solusinya adalah framing,” kata Gusti. “Tapi, kau tahu kan framing program itu tidak pernah mudah apalagi sudah mengakar kuat dan melibatkan banyak pihak,” lanjutnya lagi.

“Seringkali orang tidak menyadari bahwa cara kita memandang sesuatu bisa mengubah maknanya secara keseluruhan? Inilah yang disebut framing—sebuah strategi untuk mengemas informasi agar membentuk persepsi yang lebih positif. Framing bukan soal pencitraan atau mengubah fakta, tapi bagaimana fakta tersebut tersampaikan dengan dampak yang lebih kuat,” jelas Gusti.

Baca juga: Negara Kaya, Tapi Kok Merana Ya!

“Dalam konteks program makan bergizi gratis, framing menjadi kunci untuk menghapus stigma yang selama ini melekat. Program gratis dari pemerintah sering kali mendapatkan pemaknaan kurang positif termasuk orang-orang yang bekerja di dalamnya, yang juga terpengaruh dengan kata ‘gratis’ ini sehingga mereka tidak bekerja dengan maksimal.” Gusti mengambil jeda nafas.

“Dan pemerintah sendiri kurang bijak jika melekatkan kata ‘gratis’ pada program itu, ketika pendanaan untuk makan bergizi ini juga berasal dari uang rakyat kan,” kata Bram.

“Tepat. Sejatinya makan bergizi ini tidak benar-benar gratis. Mereka yang bekerja untuk program ini pun membayar pajak, mereka yang mendapatkan program makan bergizi gratis pun membayar pajak. Sehingga lebih tepat program itu merupakan hak warga negara dan bukan sekedar ‘bantuan negara’.”

“Akan lebih cocok program itu menggunakan nama yang tepat sesuai dengan konteks dan targetnya ya, Pak,” kata Bram dan Gusti mengangguk mengiyakan.

Invitasi dan Diskusi

Ketika Makan Bergizi Gratis sudah berjalan, dan penamaan sudah dikenal secara luas maka tidak mudah untuk me-rebranding nama program itu. Kini tantangan pemerintah tidak hanya masalah pengelolaan dana, tapi juga mengubah persepsi gratis ini tetap sesuai anggaran, tetap bergizi dan utamanya sesuai konteks.

Baca juga: Hai Wisatawan: Paspormu Bukan Kartu Bebas Aturan Ya!

Pemerintah bisa saja menerapkan kolaborasi yang maksimal antar dinas di satuan wilayah/regional. Misalkan pemerintah bisa bekerja sama dengan dinas pendidikan untuk mendata mana sekolah-sekolah yang memiliki kantin sekolah dan memaksimalkan penggunaan kantin sekolah alih-alih untuk menggunakan catering. Bagi sekolah-sekolah yang tidak memiliki kantin, bisa memanfaatkan katering yang sudah ditunjuk oleh pemerintah untuk membuat menu-menu makan bergizi.

Bagaimana nih program makan bergizi gratis di kota kalian? Boleh dong share pengalamannya di kolom komentar. Kiranya kamu ingin mengkritik tentang program ini pun juga boleh, tapi tetap perhatikan bahasamu ya, biar tidak menyudutkan banyak pihak. Semata-mata agar jejak digital kalian tetap baik.

Happy Monday!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Ini di mana atau apanya yang salah, ya? padahal menurut hemat saya pribadi, programnya sendiri (MGB) ini sudah cukup baik dan sangat positif.. secara sistem dari pusat mungkin sudah melewati banyak hal yang seharusnya dapat direalisasikan dengan baik dan terarah..

Jadi sedih juga mengetahui beberapa faktanya di lapangan:(

Anak saya sudah kuliah sih kak, jadi nggak tahu kondisi terkini di sekolah-sekolah.
Tapi menurut hemat saya, niat baik itu harusnya dilaksanakan dengan kontrol kebijakan dengan baik pula, bukan tentang salah penamaan, sih.
Minimal dari pihak sekolah, kedinasan dan pemerintah daerah setempat harusnya sama-sama punya itikad untuk meberikan layanan terbaik pada program ini, agar program dengan niat baik ini bisa dirasakan kebermafaatannya oleh rakyat, bukan gimmick semata. cmiiw

Sejauh ini, saya cuma mengikuti program MBG dari medsos. Pas ramai kemarin, sempat nanya ke adik yang masih SMP, di sekolahnya belum ada program ini.

Kalau dari saya sih, terlepas dari penamaan, yang penting proses pelaksanaannya transparan dan dipantau dengan baik. Misal nggak cuma menguntungkan perusahaan tertentu yang ditunjuk sebagai pelaksana.

aku belum nemuin program makan siang gratis ini sih, cuma tau infonya dari media sosial saja. kbeetulan adek adek yang masih sekolah belum ada program sejenis di sekolahnya

Menurut daku semisal mau mengadakan suatu program (apapun namanya) yang membutuhkan biaya besar, maka gunakan strategi jitu dan genjotlah pajak dan efisiensi dari para pejabat, karena mereka yang nota bene penghasilannya ke atas. Bukan menggenjot pajak kalangan rakyat bawah

Bagus sekali cara berpikirnya..
Dengan mere-framing, maka kita bisa membuatnya lebih dicintai.

Idenya oke juga tuh..
Seharusnya pihak ketiga yang dilibatkan untuk memasak bukan catering dari tempat lain, tetapi tetap kantin sekolah. Sehingga bisa nge-cut kebocoran penggunaan dana dari sana sini.

Ide makan bergizi gratis ini baik
Namun, pelaksanaan masih sangat tidak optomal
Saya tim yang nggak setuju makan bergizi gratis ini sih

Ekspektasi masyarakat tentang MBG ini memang berbeda-beda ya. Kebanyakan anak-anak di kota mungkin akan beranggapan, karena gratis maka rasanya tidak enak. Sedangkan yang di desa, pelosok, terlebih lagi daerah yang masih minus, mungkin MBG ini adalah sebuah harapan bagi mereka. Sayangnya memang eksekusi program seperti ini tak pernah mudah. Strategi yang tepat seperti pendistribusian dan pengelolaan yang baik perlu dievaluasi sering2 agar dampaknya terasa.

Hmm kalau dipikir-pikir benar juga sih. Mungkin bisa diganti istilah gratisnya dengan yang lebih baik. Tapi kalau di kota saya sendiri kayaknya belum masuk program ini.

Saya justru belum menggikuti program amakn siang gratis ini, apakah di kota saya sudah jalan atau belum. Namun, yang pasti di sekolah anak saya belum sih.
Saya cuma merasa program ini kurang tepat sasaran aja, sayang dananya

tak ada yang gratis di dunia ini, pasti harus ada yang dibayar 🙁 #IndonesiaGelap

Wah ide tulisannya menarik. Namun menurut saya, reframing ataupun tidak, yang lebih penting adalah pelaksanaannya dari hulu ke hilir yang harus berkualitas dan sesuai dengan semestinya. Apa yang diterima di lapangan harusnya sesuai dengan apa yang pernah dijanjikan.

Agustina Purwantini

Di Yogyakarta ada sebuah SDN yang betulan butuh MBG, Alhamdulillah memperolehnya, tapi ada sekolah yang harusnya gak usah dikasih menuru saya sebab di situ dari kalangan kaya raya.

Kenapa masih bermasalah walau katanya “gratis”, ya karena dana yang akan digunakan untuk menggratiskan tersebut didapat dari banyak “hal”

Padahal sebetulnya tidak ada yang gratis dari MBG. Tapi, ya, kata ‘gratis’ mungkin masih menjadi sesuatu yang menarik bagi banyak orang. Ide MBG sebetulnya bagus. Tapi, sesuatu yang bagus pun gak bisa dilakukan secara terburu-buru. Lebih baik pelan, tapi progressnya terus naik. Bahkan Jepang yang katanya punya program makan siang di sekolah pun perbaikannya memakan waktu 100 tahunan

Di sekolah adik saya belum ‘tersentuh’ program ini. Di desa tetangga kabarnya sih udah. Cuma nggak tau kenyataan di lapangan seperti apa.

Jujurly gak semua “gratis” tu mengedukasi manusia buat hidup. Jadi keinget zaman dulu waktu sekolah, saat les di lembaga gitu, kita dikasi lembar kerja gratis eh banyak yang ngilangin, sobek dll. Begitu diminta bayar walau cuma 500 aja, lembar kerja itu dijaga baik2.
Jadi kek pertama yang gratis membuat orang kadang menyepelekan.
Trus ada yang gak essensial kek imho makan gratis di sekolah2 ini. Buat apaaa. Kecuali mereka mau bangun kantin di setiap sekolah dan yang mau makan ambil di sana. Ini ambilnya dari luar yang gak tau nih dalam pendistribusiannya terkontaminasi atau gak. Belum lagi rentan dikorupsi karena denger2 banyak vendor mengundurkan diri karena pajak adminnya tinggi, entah masuk mana duitnya.
Lebih milih kalau yang gratis2 ya pendidikan aja deh karena pendidikan m,engubah mental dan karakter. Tapi kan yang menjabat di atas sana gak mau kita pinter #eh

Nurul Fitri Fatkhani

Kebetulan sekolah anak dan keponakan saya tidak termasuk yang dapat makan bergizi gratis. Jadi saya juga kurang tau bagaimana pelaksanaannya dan kondisi makanannya. Tapi sering baca di sosmed, memang ada beberapa yang kurang puas dengan menu makanan bergizi gratisnya.

Wah baru ngeh saya klo kata “gratis” di MBG itu konotasinya kualitas rendah. Padahal maksud dr program ini tentu bukan begitu . Buktinya anggarannya warbiasak hehe. Anak sy blm dpt sih MBG di sekolahnya. Tp mmg sekolah swasta, rasanya gak perlu² amat…

Ini menarik banget sih topiknya.
Sebenarnya saya setuju sama program MBG ini. Hanya saja, mengingat negara kita tidak sekaya itu untuk melaksanakan MBG ini, kenapa tidak difokuskan pada daerah-daerah yang lebih banyak orang miskinnya dulu? Misal luar jawa dulu deh yang jelas mereka memiliki kemiskinan lebih banyak ketimbang di Jawa yang sudah serba ada.

Kalau begini bikin kita tidak terlalu kaget dengan pengeluaran dana yang terlalu besar.

Dian Restu Agustina

Anak saya di SMA swasta di Jakarta (karena dulu enggak bisa masuk negeri sebab terganjal zonasi..eh malah curhat kwkwkw) jadi ga dapat MBG
Sedikit sharing, dulu saya sekeluarga pernah tinggal di Amerika, karena suami dapat beasiswa S2 di sana. Anak sulung saya waktu itu sekolah di SD negeri di sana (gratis sekolahnya). Program pemerintah bukan makan siang gratis, tapi subsidi. Jadi kantin sekolah disubsidi pemerintah dan OTM bayar 1 dollar/sekali makan, padahal makanannya senilai sekitar 3 dollar (satu set menu makan lengkap). Saya lihatnya lebih bagus seperti ini, ada tanggung jawab pemerintah dan OTM, dan kantin sekolah pun tetap berjalan untuk mencukupi sekolah itu saja – tak terlalu banyak – sehingga kualitas makanan bisa terjaga.

Mungkin idenya sudah cukup baik. hanya saja di beberapa bagian, masih ada sesuatu yang perlu dipikirkan ulang kembali. Semisal urusan penamaan tadi. Belum lagi pilihan bekerjasama dengan catering, bila sekolah sudah memiliki kantin. Sistem makan siang di kantin kan juga bagus malah. Atau, kenapa nggak didata kembali sekolah mana yang sebaiknya dapat dan nggak. Masyarakat sudah keburu gonjang-ganjing akibat segala hal rasanya belakangan ini cukup dar der dor tanpa banyak riset terlebih dahulu.

22 Responses