Home / Jendela

Belajar Sih Nggak Harus dari Pakar, Tapi Jangan yang Asal Viral!

Senjahari.com - 17/02/2025

pakar dan viral

Penulis : Dinda Pranata

Malam itu, sebuah video berdurasi 90 detik membanjiri timeline. Seorang pria mengklaim bahwa sebuah susu merek Panda Sakti bisa menyembuhkan penyakit akibat serangan virus berjenis ATMH-99. Paryono yang sedang duduk di ruang tamu, dengan seriusnya memandangi layar ponselnya itu, bahkan saat teman satu kost-nya si Kirun memanggilnya, ia tidak menyahut.

Kirun heran dengan keterkejutan Paryono saat dirinya menepuk bahu teman satu kost-nya ini. “Iki lho, videone seru! Jare nek ngombe susu Panda Sakti, iso bebas teko virus ATMH-99. (Ini lho, videonya seru! Katanya minum susu Panda Sakti, bisa bebas dari virus ATMH-99),” sahut Paryono.

Si Kirun kemudian ikut melihat isi video itu dan dengan helaan nafas panjang ia menggelengkan kepalanya. “Ojok polos-polos, Par! (Jangan jadi orang terlalu polos!)” seru Kirun. Ia kemudian mengingat kembali bahwa ada hal besar yang sering tak terlihat di permukaan sebuah layar sebesar kepalan tangan itu.

Belajar Boleh dari Siapa Saja, Realitanya?

Si Paryono terlibat diskusi dengan si Kirun, mereka berdua berdebat tentang bagaimana video itu bisa menarik orang untuk menyimpan, mengomentari, merepost bahkan me-react klaim video itu. “Lha nek ancen nggak bener, lapo wong-wong kuwi nyimpen sampe ngirim ulang video-ne? (kalau memang nggak bener, kenapa orang menyimpan sampai repost videonya?” tanya si Paryono yang memang kurang begitu paham cara kerja media sosial.

Ngene lho, Par! Iku jenenge strategi marketing. Sing ngomong kuwi opo nggawe data? opo ngomong karo pakar kesehatan? opo wong kuwi duwe ilmu sing mumpuni? (Gini lho, itu namanya strategi marketing. Yang bicara tadi apa pakai data? orang itu bicara dengan pakar kesehatan? apa dia punya ilmu yang mumpuni?)” tanya balik si Kirun. Si Paryono menggelengkan kepala, karena ia tidak tahu.

pakar dan viral

“Tapi kan, mosok belajar kudu teko pakar, mosok sing ngomong kudu pinter ilmu ne! (Tapi, masak belajar harus dari pakar, masak ngomong juga harus punya ilmunya!)” seru si Paryono. Lalu, si Kirun tersenyum tipis dan melanjutkan, “ancen nek belajar kuwi iso teko sopo ae, tapi iku cuma sebatas berbagi pengalaman, gudhuk ngewenehi klaim-klaim sing kudu di-riset. (Kalau belajar bisa kok dari siapa saja, tapi sebatas berbagi pengalaman, tapi kalau memberi klaim tertentu harus melalui riset.)”

Tapi, nek ancen nggak onok bukti ilmiah Susu Panda Sakti iso gawe awak sehat, kok iso sampe langka nang endi-endi, hayo? (tapi kalau memang tidak ada bukti ilmiahnya, kenapa bisa sampai langka di mana-mana, ayo?)” tanya Paryono.

Dolanmu kurang adoh, Bruh! (Mainmu kurang jauh!)” seru Kirun. “Nek kuliah makane ojok mbolosan, iku sing kapanane dibahas nang kelase Bu Siti. (Makanya kalau kuliah jangan bolos, kemarin sudah ada pembahasan di kelas Bu Siti),” ujar Kirun lagi. Paryono menyengitkan dahi, menunggu Kirun menjelaskan.

Pakar dan Viral, Mana yang Lebih Terpecaya?

Si Kirun kemudian menjelaskan ulang materi kelas dari Bu Siti. “Saiki awak dewe iku, ono ndek masa sing viral iku sing dirungokno sementara sing pakar iku kurang dirungokno. (Sekarang kita ada pada masa, yang viral akan didengar, sementara yang pakar itu kurang didengar),” jelas Kirun. “Masa e awak dewe ono ndek teori post-truth. (Masa kita sekarang itu ada dalam teori post-truth),” lanjutnya.

Kirun menjelaskan lagi bahwa Teori Post-Truth itu lebih menggambarkan kondisi di mana emosi dan opini pribadi lebih dominan daripada fakta objektif. Orang jadi lebih percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, meskipun tidak ada bukti ilmiahnya. “Iku terjadi gudhuk mak pleng ngono ae, onok sebab e, Bruh! (Kondisi itu tidak terjadi begitu saja, tapi ada sebabnya),” kata Kirun.

Salah sijine yo! Mergo nek awak dewe bukak Medsos, alogartima-ne kuwi tergantung opo sing kene senengi. Dadine yo sudut pandang e mek teko opo sing mbok yakini. (Salah satunya datang dari alogaritma media sosial yang muncul berdasarkan preferensi pengguna, sehingga sudut pandangnya hanya datang dari apa yang kita yakini).” jelas si Kirun.

Dadi sing populer luwih menang suoro ketimbang sing pakar maksudmu? (Jadi maksudmu yang populer lebih menang suara gitu?),” tanya Paryono. Pertanyaan itu diikuti oleh anggukan kepala Kirun. “Tapi sakjane faktore yo akeh, nggak mek perkoro menang-menangan. Kompleks, Bruh! (Tapi, sebenarnya faktornya banyak, tidak cuma masalah siapa yang didengar. Kompleks lah)!” Kirun menggelengkan kepalanya.

Belajar Tak Harus dari Pakar, Tapi Kesimpulan Tetap Harus Berdasar

Kirun kemudian menjelaskan kalau fenomena influencer viral yang cenderung lebih menang daripada para ahli itu faktornya saling terkait. Mulai dari efek ketidakpercayaan publik terhadap akademisi atau lembaga, lemahnya legitimasi lembaga seperti media/institusi karena tekanan ekonomi dan publik, sampai efek echo-chamber yang memperkuat bias individu di media sosial.

Terus piye carane aku ben nggak keblowok? (Terus gimana caranya agar aku nggak terjebak)?” tanya Paryono dengan sedikit memiringkan kepalanya.

Yo carane, ojo kesusu percoyo! (caranya, jangan gampang percaya)!” seru Kirun sambil menepuk bahu temannya itu.

Ia memberi tahu Paryono untuk lihat dulu siapa yang bicara. Misalkan dia seorang influencer kecantikan dan mengklaim produk kecantikan yang ia pakai bebas merkuri. Cek dulu kebenaran klaimnya, dengan mencari sumber lain tentang produk kecantikan itu. Ini pun berlaku bagi informasi dari pihak lain di berbagai bidang.

Kowe kudu ngurangi moco berita-berita sing klik bait, Bruh! Ojok angger viral langsung di-share utowo langsung percoyo! (Kamu harus ngurangi baca berita yang klik bait. Jangan setiap ada berita viral langsung share dan percaya)!” kata Kirun.

Initasi dan Diskusi

Pakar dan Viral bisa jadi fenomena yang sangat banyak di dunia digital dan informasi. Dari fenomena ini ada pandangan yang menarik salah satunya adalah Belajar dari siapa saja itu sangat perlu, karena bisa jadi pengalaman orang itu bisa kita jadikan pelajaran dan atau (mungkin) cara orang tersebut bisa cocok dengan kondisi kita.

Tapi sekali lagi, untuk mengemukakan klaim tertentu (yang biasanya berupa kesimpulan suatu hal), perlu riset yang cukup panjang. Seperti alat apa yang ia gunakan, metode ada yang ia pakai, termasuk bagaimana proses pengolahan data sampai klaim itu terbentuk. Ada batas yang jelas, yang harus kita perhatikan. Batas yang perlu kita ingat adalah belajar tentang pengalaman dari orang lain dan tidak mengambil kesimpulan terlalu jauh atas pengalamannya. Berhasil di kita belum tentu berhasil pada yang lain, jadi jangan asal klaim secara berlebihan.

Kalian bisa berbagi pendapat di kolom komentar tentang fenomena ini kok, kami terbuka untuk pandangan apapun. Tapi tetap ingat, untuk menggunakan bahasa yang tidak menyudutkan agar tetap terbuka ruang diskusi yang sehat. Ini semata-mata agar jejak digital kalian tetap baik.

Happy Sunday!

Source:
Harsin, J. (2018). Post-Truth and Critical Communication. Oxford Research Encyclopedia of Communication

Khairina, J. H. W., Faza, K. R., Haris, M. Z., Kharisma, R. M., & Nayla, Y. A. (2022). Fenomena Echo Chamber di Media Sosial dan Dampaknya Terhadap Polarisasi Politik bagi Mahasiswa. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 9(2), 121-130.

Amanullah, M. G., & Dwisusilo, S. M. (2019). Post-truth and echo chamber phenomena in the Facebook of Jokowi and Prabowo. Opción, 35(Especial No.19), 2186-2211.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Susu panda sakti itu susu apanya kok saya belum pernah denger, yang saya tahu susu murni dari bear brand bisa buat nyembuhi penyakit dan menambah kekebalan tubuh.

Yuni Bint Saniro

Duh ya. Sekarang tuh ngeri banget. Orang-orang mudah kemakan berita atau informasi viral. Banyak yang menerima bahkan membagikannya tanpa perlu repot-repot mengonfirmasi kebenarannya. Akhirnya hoax di mana-mana. Miris banget.

Yuni Bint Saniro

Duh ya. Sekarang tuh ngeri banget. Orang-orang mudah kemakan berita atau informasi viral. Banyak yang menerima bahkan membagikannya tanpa perlu repot-repot mengonfirmasi kebenarannya. Akhirnya hoax di mana-mana. Miris banget.
Benar sih. belajar bisa dari siapa saja. Tapi tidak asal viral juga dong ya.

Heni Hikmayani Fauzia

Jadi ingat pada salah satu tahapan di literasi infoemasi teori big6 yang salah satunya adalah cek ricek sumber informasi, siapa penulis dan kapabilitasnya .

Kak..keren sekali tulisan ini. Mengedukasi tapi tidak seperti menggurui! Terima kasih ya..jadi menginspirasi utk menulis seperti ini. Dan aku setuju bahwa belajar dapat dari siapa saja, tapi tetap harus ada dasar sumber terpercaya.

Tapi benar dan setuju sih, biasanya konten pakar lebih terasa beda kemanfaatannya daripada konten viral.. agak mirip memang kalau di beranda, tapi tetep beda rasanya! 🙂

benar banget nih, kita gak boleh asal share informasi tanpa harus mengetahui fakta dan sumber aslinya. Apalagi sekarang zaman dimana dunia teknologi yaitu AI yg bisa manipulasi text, gambar dan lain-lain.

Kalo menurut daku, belajar ya jangan dari satu guru harus dari banyak hal, jadi ada perbandingan mana yang lebih sesuai dan gak taklid buta gitu apalagi yang apa² kudu viral

Menurutku klo mau belajar ya kudu di ahlinya, meski nggak viral
Kebanyakan yang viral belum tentu benar

Ya inilah dilema kita hari ini. Era informasi yang sangat deras. Tapi kita juga harus bentengi diri untuk nggak dikit-dikit fomo dan cek kredibilitas informasi yang kita terima.

Nah setuju kak.
Kalo udah fomo merasuki, keknya ya diuber² deh tuh yang namanya viral tanpa melihat kredibilitasnya yang seperti apa. Padahal harusnya kan lebih berhati-hati ya

Fenomena masa kini ya, yang viral lebih dipercaya. Sama seperti kejadian sehari-hari, yang mana saat orang beramai-ramai melakukan pelanggaran, maka hal itu jadi sesuatu yang layak dimaklumi. Setuju sekali sih dengan pendapat, jangan mudah percaya atas sesuatu. Cari atau riset terlebih dahulu banyak-banyak info yang kita terima agar tak tersesat. Dan jangan lupa gunakan akal pikiran dan hati kita juga untuk memilah mana yang benar.

Kejadian viral itu ternyata belum tentu benar yaa..
Pun kejadian yang banyak dilakukan orang. Jadi inget kalau kebenaran tidak diukur dengan banyaknya pengikut atau follower.
Jadi sebagai seorang muslim harus punya prinsip dan tidak goyah dengan sedikitnya pengikut kebenaran.

Setuju sii..
Makanya aku hampir ga pernah ngikutin yang viral-viral.
Karena kalau ada kaitannya dengan kesehatan, kudu yang memang ahli di bidangnya yang ngomong.
Kalau ada kaitannya ama skincare, tiap kulit, beda orang, beda karakter dan beda masalah.

Makanya suka sebel kalo ada orang yang overclaimed terhadap sesuatu.
Tapiii memang skarang dunia digital yaa.. dimana influencer berperan penting banget untuk memberikan sebuah informasi.

Aku tom yang prefer ke ahlinya daripada ngikutin yang viral.. dalam hal apapun entah soal parenting, edukasi, soal skincare atau soal nonton film bahkan..
Yang viral kadang suka gak organik jadi bikin saya sangsi buat percaya hehehe

memang kita tidak boleh langsung percaya sama konten yang viral. paling oke sih sambil cari informasi yang lebih akurat dari pakar sehingga tidak mendapat atau bahkan membagikan informasi yang salah

Ini bener banget. Kita itu memasuki era dimana para ahli/pakar justru tidak digubris, tapi kalo yang seleb kemungkinan besar digubris.
Padahal, yang hanya sekedar viral mah cuma FOMO aja biar trafficnya naik, sedangkan yang pakar emang beneran pakar malah dicuekin

Ini relatable banget sih, apalagi sekarang orang lebih gampang percaya sama sesuatu yang viral daripada cari tahu dulu kebenarannya. Kadang kalau ada info heboh, bukannya cek dulu malah langsung dishare. Padahal belum tentu bener. Setuju banget sama poin kalau belajar bisa dari siapa aja, tapi kalau udah sampai bikin klaim besar, ya harus pakai data dan riset, bukan cuma pengalaman pribadi. Apalagi algoritma media sosial sekarang bikin kita makin terjebak di lingkaran informasi yang sesuai sama keyakinan kita aja. Makanya penting banget buat lebih kritis dan nggak gampang percaya begitu aja.

Saya semakin ingin membaca buku “Matinya Kepakaran”. Karena makin ngeri aja nih era post thruth. Apalagi kalau udah kaitannya dengan kesehatan. Saya setuju, bahwa yang menyampaikan gak harus pakar. Tapi, juga jangan asal-asal memberikan info. Apalagi kalau sampai hoax hanya demi viral

Betul nih, informasi juga bisa datang dari yang bukan pakar jadi pakar bukan patokan. Tapi yang pasti setiap informasi harus diteliti baik-baik biar nggak menimbulkan masalah di masa depan.

paryono paryono. ckck 😔
ini fakta yang ada di kehidupan kita ya kak. harus bener2 kritis . jangan diterima gitu aja. terima kasih pengingat nya kak

Muhammad Rifqi Saifudin

Setuju banget kak, kalau buat ngambil pengalaman orang lain ya cukup setau kita, kalau mau cerita ke orang ya cukup yang kita tau dan kita yakin benar dan alami, jangan klaim berlebihan. Dan… kalau ambil informasi dari tempat lain harus bener-bener dicek

Pertanyaan tentang pakar atau viral mana yang lebih terpercaya memang sering banget kita hadapi. Penjelasannya bikin aku lebih paham soal pentingnya mencari sumber yang valid. Thanks udah berbagi insight yang sangat berguna!

Agustina Purwantini

Kondisi yang viral yang menang dan bakalan didengar ini sungguh ruwet. Terlebih kalau berita viral sudah ada di tangan generasi zadoel .. wuaduh, tanpa cek ricek sudah nyebar saja di WAG kampung …

Di era media sosial sekarang, memang sesuatu yg viral sering dianggap benar oleh banyak orang. Padahal belum tentu begitu kenyataannya ya. Jadi memang kita perlu punya sikap jangan langsung percaya, cek ricek dulu faktanya

Tukang Jalan Jajan

Belajar memang bisa dari siapa saja, tapi jangan sampai terjebak pada informasi yang asal viral. Saring informasi dengan kritis, cari sumber yang terpercaya, agar proses belajar kita jadi lebih berkualitas dan bermanfaat.

Sesuatu yang viral bukan berarti benar dan baik, tapi hanya berdasarkan asumsi kebanyakan orang ataupun karena algoritma. Jadi belajar harusnya berdasar fakta dan data yang tervalidasi.

Nanik Kristiyaningsih

Wahh jadi paham tentang Teori Post Thruth, dimana khalayak jadi lebih percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, meskipun tidak ada bukti ilmiahnya.
Nice share kak, ternyata ada teorinya ya fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini.

Dian Farida Ismyama

Hiks bener banget fenomena medsos nih. Lbh percaya akun viral/influencer dibanding para akademisi/praktisi/profesor. Sedih banget seringnya yg viral justru hoax

Setuju sih kalau belajar boleh dimana saja dan sama siapa saja, tapi memang nggak boleh asal comot ilmu saja tanpa mengkaji ulang apakah ilmu itu bener atau ngga. Semoga kita jadi lebih bijak dalam mengambil ilmu, yah

setuju banget, belajar dari siapa pun bukan artinya langsung percaya begitu aja, tapi lebih ke belajar dari pengalaman hidup orang lain, sharing, ngobrol, bukan mendikte apalagi menggurui.

Terima kasih atas pandangan yang sangat bijak ini! Memang benar, dalam dunia digital, fenomena viral sering kali menjadi bahan pembelajaran, tetapi tetap harus disikapi dengan kritis. Belajar dari pengalaman orang lain itu penting, tetapi menyaring informasi dengan riset yang matang juga tak kalah krusial. Setiap individu memiliki konteks dan variabel yang berbeda, sehingga klaim yang terlalu general bisa menyesatkan.

Senang sekali jika ruang diskusi ini bisa tetap terbuka dan sehat. Setuju juga bahwa menjaga etika dalam berkomentar adalah bagian dari menjaga jejak digital yang baik. Mari terus berdiskusi dengan sikap terbuka dan tetap menghargai berbagai sudut pandang! 😊✨

Sepakat, belajar ga harus dari pakar, tapi ya ga semudah itu menelan informasi kan ya, tetap menggunakan logika.
Saat ini banyak tontonan menjadi tuntunan dan berlaku juga sebaliknya, tuntunanhanya sekedar menjadi tontonan, miris

Edukasi spt ini juga perlu utk orang sepuh yg gaptek. Mamah saya berkali2 menganggap iklan yg lewat di chrome sbg “fakta”

Viral sebentar tenggalam sehingga buatlah yang bermanfaat karena akan dikenang sepanjang masa

Jaman sekarang belajar memang bisa dari mana saja dan dengan cara apa. Tapi ya itu, gak harus melulu dari hal viral, tapi juga gak harus selalu dari pakarnya.

36 Responses