Home / Jendela

Diskusi Sehat Bubar, Anggota Barbar

Senjahari.com - 17/03/2025

cancel culture

Penulis : Dinda Pranata

Suatu malam di sebuah percakapan grup whatsapp, dengan topik tentang sebuah ulasan warung makan di depan gang bermula dengan niat baik. Agus tampak menikmati percakapan di group bapak-bapak itu. Awalnya, semua berjalan lancar—argumen tertata, opini beradu sehat, sesekali diikuti oleh tawa canda dari para anggota group.

Lalu, satu komentar muncul dari salah satu anggota bernama Pak Beni: tajam, emosional, dan ada tendensi rasa benci. “Warung itu as*! Makan seporsi nasi campur dan es teh kena lima puluh ribu! Sudah gila yang punya warung!” pesannya

Diskusi yang awalnya adem ayem kini mendidih, berubah jadi ajang persekusi. Beberapa orang yang berusaha menengani, tampaknya tidak bisa membendung ajang persekusi dan justru jadi persekusi balik ke mereka.

Agus mengela nafas dan membiarkan layarnya menyala tergeletak di atas meja. Ia teringat sesuatu yang meski sudah berpuluh-puluh tahun, tidak pernah ia lupakan.

Persekusi tanpa Investigasi

Agus menarik napas panjang. Dua puluh lima tahun lalu, ia berdiri di depan rumahnya, dikelilingi tatapan tajam warga kampung. Suara Pak Mahmud menggema, menudingnya mencuri pisang. Tak ada ruang untuk membela diri, hanya desakan dan teriakan. Semuanya berakhir dengan punggungnya yang dipalingkan dari kampungnya sendiri.

Baca juga: Melek Literasi Informasi Perangi Berita Hoaks. Bagaimana Caranya?

“Dulu main hakim sendiri pakai mulut dan tangan,” gumam Agus, menatap layar ponselnya yang masih menyala. “Sekarang, pakai jempol.”

“Lu masih belum lupa kejadian itu?” kata Mas Rudi dengan logat Jakartanya. Agus memutar badannya dan melihat Mas Rudi sedang membawa secangkir kopi buatan istrinya ke teras. “Lu kenapa? kok sampai bergumam main hakim segala?” tanya Mas Rudi sambil duduk di hadapan Agus.

Agus kemudian menceritakan percakapan yang ia ikuti. Mas Rudi sesekali mengangguk dan menghela nafas panjang, ketika Agus mengakhiri percakapannya.

“Ada istilah yang tepat untuk itu, namanya fenomena outrage alias fenomena kemarahan kolektif. Biasanya fenomena ini terjadi karena ada bias kognitif, efek Dunning-Kruger, serta tekanan sosial untuk menunjukkan keberpihakan,” jelas Mas Rudi. Agus memperhatikan penjelasan Mas Rudi dan pria pertengahan empat puluh tahun itu pun menambahkan, “dan alogaritma media sosial serta diskusi yang minim ekpresi non-verbal juga menambah masalah kemarahan publik ini semakin besar.”

“Aku jadi ingat kasus yang lagi istriku ikuti saat ini,” kata Agus sambil mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. Mas Rudi memiringkan kepalanya berusaha mencerna informasi dari Agus.

Baca juga: Bilang Terserah, Tapi Kalau Salah Marah

Dari Statement Jadi “Kiamat”

cancel culture 2

Agus menghirup uap dari kopi hitam tanpa gula yang mengepul di atas mulut cangkir kaca dan bercerita kalau istrinya sedang mengikuti kasus artis Korea Selatan. Setelah mencicip kopi hitamnya, ia lalu meletakkan cangkir itu kembali dan berkata, “saking ramainya, linimasa-ku hampir banyak orang yang membahas tentang kasus mereka. Kim Sae Ron yang mengalami cancel gegara kasus DUI (mengendarai dalam keadaan mabuk) yang akhirnya membuat karir dan kehidupannya kiamat. Dan sekarang, Kim Soo Hyun,” jelas Agus.

Pria empat puluh tahun itu kemudian menatap Mas Rudi yang mengangguk-anggukkan kepala. “Di Korea Selatan, China, bahkan Amerika juga ada kok cancel culture meski namanya beda-beda,” sahut Mas Rudi. “Bahkan dari kasus yang sederhana seperti statement atau pernyataan dari seseorang saja, bisa membuatnya jadi sasaran cancel,” lanjut Mas Rudi yang menyesap kopinya yang mulai mendingin.

Mas Rudi meletakkan cangkirnya dan berujar, “seperti yang pernah kamu tahu kan. Itu si Abidzar, ketika ia menjadi pemeran utama pria dalam adaptasi film bussiness proposal versi Indonesia, kan bocah itu ngeluarin statemen yang bikin popularitas filmnya ‘kiamat’.”

“Nah, itu dia Mas!” seru Agus, “Forum media sosial di zaman sekarang itu, udah jadi area sidang terbuka yang nggak sehat. Awalnya tujuan bagus kayak untuk berbagi informasi, berbagi pengalaman, berbagi sudut pandang. Hanya saja anggota di forum digital kan nggak semuanya sehat, ada aja anggota yang barbar dan bikin forum diskusi yang awalnya sehat jadi bubar.” Agus menggelengkan kepala.

“Gua paham maksud lu. Di satu sisi cancel culture bisa bermanfaat buat orang jadi lebih berhati-hati, tapi di sisi lain malah buat dram baru kayak masalah kesehatan mental, sampai cyberbulling pada orang yang nggak ada hubungannya sama kasus tertentu,” jawab Mas Rudi.

Baca juga: Joki Studi dan Ilusi Kompetensi. Mau Sampai Kapan Kompetensi Dikomersialisasi?

“Termasuk meng-cancel orang hanya karena beda pendapat aja.” Agus menghela nafas sambil menggelengkan kepala. Agus melihat Mas Rudi menatapnya begitu nanar dan sendu, seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.

Cancel Culture, Outrage dan Dilema

cancel culture diagram

Mas Rudi akhirnya menghela napas panjang. Matanya beralih dari Agus ke sebatang rokok yang belum ia nyalakan di tangan. “Agus, gua pernah mengalami cancel ketika COVID-19 lalu,” katanya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya. Kini rokok itu tak jadi dinyalannya dan Mas Rudi memasukkan kembali ke dalam kotaknya.

Agus menatap pria paruh baya itu, menunggu.

“Dulu gua ikut diskusi soal pentingnya Vaksinasi Covid-19. Awalnya, seru. Argumen ngalir, orang-orang kasih sudut pandang beragam. Tapi tiba-tiba, satu komentar muncul: keras, emosional, dan menghina. Beberapa orang mulai nyerang gua, katanya gua ‘kacung FBI’, ‘orang t*l*l’, dan macam-macam.” Mas Rudi tertawa kecil, getir. “Udah, diskusi sehat itu bubar. Semua malah fokus nyerang gua, bukan bahas topiknya lagi.”

Agus mengangguk pelan, merasa mengerti perasaan Mas Rudi. “Itulah faktor-faktornya. Dominasi suara mayoritas yang agresif bikin orang-orang yang punya pendapat berbeda jadi mikir dua kali buat ngomong. Dan kalau udah masuk ke media sosial, lebih kacau lagi. Algoritma media sosial yang seharusnya bantu kita cari informasi malah kayak nyodorin bensin ke api.”

Baca juga: Menfess- Fenomena Anonimitas Dunia Maya. Kata Apa Sih?

Mas Rudi menyesap kopi, lalu melanjutkan, “Anggota barbar dalam diskusi tuh siapa, sih? Mereka orang yang sekadar ikut tren, nggak peduli benar atau salah. Ada yang sengaja cari ribut, ada juga yang cuma latah karena FOMO, ada Haters. Macem-macem lah!”

Agus menatap teras Mas Rudi, dan melihat beberapa anak-anak muda yang asyik nongkrong dengan ponsel mereka. “Dan dampaknya, orang jadi makin takut ngomong,” sahut Agus, “diskusi yang harusnya tempat bertukar pikiran malah berubah jadi arena persekusi,” lanjutnya mengalihkan pandangannya pada pria di depannya.

Mereka diam sejenak.

Invitasi dan Diskusi

“Tapi, bisa nggak sih kita selamatin ruang diskusi?” tanya Agus menghilangkan keheningan sesaat itu.

Mas Rudi tersenyum tipis. “Bisa. Tapi butuh usaha. Moderasi diskusi itu penting, jangan biarin forum jadi liar. Literasi digital juga harus ditingkatin, supaya orang ngerti batasan dan cara komunikasi yang sehat.”

Baca juga: Childfree-Salah dan Benar Dalam Keputusan.

Agus mengangguk. “Dan yang paling penting, kita sendiri harus mulai. Fokus ke substansi, bukan nyerang personal.”

Mereka tertawa kecil, tapi di balik itu, mereka tahu bahwa perjalanannya menuju tempat di mana diskusi sehat bisa berlangsung nyaman, tidaklah mudah.

Gimana nih menurut kalian tentang cancel culture ini? Apakah efektif sebagai kontrol sosial dalam jangka panjang?

Kalian boleh kok berbagi pendapat di kolom komentar baik kalian yang setuju atau yang tidak setuju. Apapun pendapat kalian yuk kemukakan dengan bahasa yang bijak dan santun, semata-mata agar jejak digital kalian tetap bersih!

Happy sunday!

Source:
Traversa, Marissa, et al. “Cancel Culture Can Be Collectively Validating for Groups Experiencing Harm.” Frontiers in Psychology, Frontiers Media SA, July 2023. Crossref, doi:10.3389/fpsyg.2023.1181872

Wong, Ryan SC. “Revisiting Cancel Culture.” Contexts, no. 4, SAGE Publications, Nov. 2022, pp. 69–73. Crossref, doi:10.1177/15365042221131087.

Bangun, Cendera Rizky, and Nareswari Kumaralalita. “Kim Seon Ho, You Are Cancelled: The Collective Understanding of Cancel Culture.” Jurnal Komunikatif, no. 1, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, July 2022, pp. 1–10. Crossref, doi:10.33508/jk.v11i1.3785

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

baru dengar istilah cancel culture, namun yang namanya manusia dalam satu kelompok manalah ada yang sama jalan pemikirannya, namun jika masih batas wajar kritikannya, yah masih bisalah dimaklumi, anggap masukan yang perlu dipertimbangkan lagi utk kedepannya

Iya setuju kak, kalau cancel culture tuh bagus tapi kadarnya harus sesuai dan tidak terlalu bar bar komentarnya.

Apakah efektif dalam jangka panjang? Mungkin lebih baik jika fokusnya bukan sekadar “menghukum,” tapi juga memberi edukasi agar kesalahan tidak terulang.

dan akhirnya saya selalu menghindari diskusi di media sosial, apalagi berasal dari warganet yang gak kita kenal latar belakangnya, selain ada perasaan dari mereka bisa bersembunyi di balik akun anonim, bisa jadi sifat emosional dari warganet justeru membuat kita kesal, diskusi jadi tidak jalan, tujuan tidak tercapai.

tapi kebanyakannya malah berdasarkan kesimpulan sepihak saja kak yang kulihat. jadi terkadang suka kasian juga sama yang kena cancel culture

Dan kenyataan di masyarakat seperti itu kerap terjadi. Tanpa tabayun masyarakat suka ambil kesimpen sendiri. Baik buruk dampaknya padahal besar sekali ya

Novita Nurul Islami

Wah, artikel ini relate banget sama kondisi diskusi online zaman sekarang. Awalnya santai, tiba-tiba ada yang nyamber dengan emosi, terus jadi debat kusir bahkan persekusi. Memang literasi digital dan moderasi diskusi penting banget biar nggak gampang kebawa arus emosi. Semoga makin banyak yang sadar kalau beda pendapat itu wajar, bukan alasan buat saling serang!

Bijak berinteraksi dalam dunia digital itu harus diperhatikan. Jangan sampai celaka karena salah jempol, eh salah ngetik. Jejak dunia digital itu begitu kuat…
Saring sebelum sharing ya…

Topiknya dalem banget tapi dibahas dengan cara yang mengalir dan relatable. Memang penting sih belajar menyikapi perbedaan dengan bijak, bukan langsung nge-judge. Suka banget tulisanmu, ngajak mikir tapi tetap enak dibaca

Cancel culture ini kayaknya mulai marak karena pengaruh k entertainment juga ya di mana di sana itu kalau artisnya kesandung masalah maka akan dicancel oleh para penonton. Untuk beberapa kasus kayaknya bagus juga sih cancel culture ini untuk memberikan efek jera kepada mereka yang melakukan kesalahan.

Menurut saya cancel culture ini awalnya ada maksud baiknya juga, semacam kontrol sosial bagi public figure yang banyak pengikut serta kemungkinan akan ditiru tindak tanduknya.
Cuma ya itu balik lagi, jadi pedang bermata dua kalau ternyata hanya fitnah atau tidak terbukti.
Sebagai netizen Budiman baiknya harus bijak menilai dan jangan gampang terpengaruh sih ya

Ihihii banyak orang bilang cancel culture itu istilah yang masih cukup awam. Namun mulai dari Gen Z udah banyak yang menerapkannya ketika berada di circle pertemanan toxic

FIRSTY UKHTI MOLYNDI

fokus ke substansi itu yg paling bijak. terkadang diskusi liar yg berlarut-larut malah bisa nyerempet ke lain hal

Cancel orang bukan akhlak yang baik, tapi pastinya ada sebab dibalik itu, sehingga kejadian dan berharap semoga gak terulang

Budaya cancel culture bukan budaya kita..
Budaya kita adalah ketika ada yang bermasalah, malah diundang kesana kemari dan jadi konten.
Cuaakkkss~

Im sorry, kayanya cancel culture beneran gak berlaku di Indo deh..
Mungkin segelintir orang atau kelompok tertentu yaa.. bukan skala besar.

Aku rasa nih.. Abidzar kalo main pilm lagi dengan tema yang tepat ((cocok buat karakternya dia)) pasti orang berbondong-bondong nonton. Uda lupa sama kejadian kemarin yang dia bilang “Fans Fanatik” endesbre endesbre.

Dan yaah..
Cancel culture ini gak berlaku juga bagi yang berduid.

See?
Skarang kasus KSH malah bagaikan bola yang bergulir kembali dan menimpa keluarga KSR.
Uda ada tangan media play di sini dan knetz berbondong-bondong cyber bullying ke keluarga KSR.

KNetz aja begituu.. apalagi Netijen Indo yang cuma tau dari media??

Cancel culture ini agaknya tebang pilih sii..
Kalok cewek, lebih besar kemungkinannya kena cancel.
Apalagi gak gitu terkenal dan gak gitu kaya. Auto ditendang sama agensi. Persis kayak KSR pas DUI.

Cancel Culture ini sangat banyak di lingkungan sekitar kita nih, apalagi sekarang datang dari diskusi digital yg selalu jadi perbincangan hangat.. Banyak kontra dan tidak selalu benar, seperti percakapan yg akan jadi permasalahan di suatu kelompok dan ini bukan ruang diskusi lgi tapi bakal menyerang personal jga

Rika Widiastuti Altair

Literasi digital memang urgent banget buat terus digalakkan. Karena kejadian2 seperti ini sering terjadi. Bahkan hanya perkara kurang tepat merespons dengan emoticon pun bisa jadi perang komentar hingga caci maki.

iya ya kalau dipikir-pikir kadang kita gampang terbawa dengan kemarahan kolektif ini. makanya kayaknya kita harus tetep bijak ya dan nggak gampang terbawa arus

hem, cancel culture itu sebenarnya bagus kok. misalnya artis pelaku pedofil yang keluar dari penjara. meskipun udah keluar jangan dikasih panggung. saat itu banyak kan yang pada protes?

kalau terkait abizar itu, gimana ya. mungkin karena saya bukan k drama lovers 100%, jadi ga begitu hate si abizar. netral aja dah. hehe

Diskusi ringan yang awalnya seru dan menyenangkan, lama-lama bisa menjadi panas 🙂 Hal ini karena penyerangan personal ya bukan fokus pada tema yang dibicarakan. Apalagi kalau obrolannya kurang pakai otak alias cuma curhat dipenuhi emosi jiwa. Wah, meledak2 tuh orang, bikin pusing yang dengar kemudian bubar hehehehe 😀

Algoritma medsos juga sangat mempengaruhi budaya negatif. Selain itu distorsi berita yang memancing perbedaan dan kontroversi justru digemari adalah pokok masalah.

Kalau saya ada sepakatnya dengan cancel culture. Beberapa orang terkadang kayak caper. Asal jeplak buat cari keributan. Saya gak mau kasih panggung untuk orang-orang yang seperti itu

Saya termasuk yang baru tahu ada cancel culture ini kak. Tapi apapun itu saya termasuk yang kurang suka dengan yang barbar baik dunia nyata ataupun sosmed

Agustina Purwantini

Cancel culture ini kalau tidak tepat pemakaiannya bisa sangat merugikan seseorang. Kalau di Indonesia ngeri, deh. Karena penyakit orang Indonedia tuh tak memahami betul definisinya, tetapi FOMO ikutan pakai.

Aku baru denger nih istilah cancel culture.Thanks sharingnya ya kak, jd update istilah zaman now hehe. Klo aku pribadi memilih jd pengamat aja di medsos saat bnyk orang melontarkan isu atau argumen ttg satu hal. Masalahnya seringkali buzzee ikut nimbrung sih, jd males mengutarakan pendapat sendiri. Aniwei dampak opini publik di medsos terhadap seseorang atau public figure memang sehebat itu sih..

Muhammad Rifqi Saifudin

Menurutku yang penting biar diskusi bisa lancar adalah paham mengenai dasar berpikir sih, ini hal penting yang harusnya diajarin di sekolah. Karena banyak statement asal-asalan yang keluar karena dari awal logika berpikirnya salah

Uniek Kaswarganti

Saya malah baru ngeh soal cancel culture ini. Kehidupan melalui dunia maya terkadang terlalu dianggap sebagai suatu kebenaran nyata. Orang makin tinggi ekspektasinya melalui dunia bicara tanpa tatap muka dan rasa personal. Akhirnya jadi gitu ya, nasib seseorang bisa dihakimi secara massal dan dengan cepat sekali prosesnya.

27 Responses