Home / Jendela

Ketahuan Salah, Ngeles Biar Lolos Dari Masalah!

Senjahari.com - 14/04/2025

Cyber Wrecking

Penulis : Dinda Pranata

Nara menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Tangannya yang menggenggam gelas kopi mulai gemetar saat membaca judul berita: “Eks Pegawai Bobol Data Cloud, Klaim Demi Keamanan.” Ia menelusuri isi artikel perlahan, mengabaikan bunyi notifikasi yang berdenting dari grup alumni. Mantan rekan kerjanya—orang yang dulu duduk tepat di sebelahnya—tertangkap meretas sistem internal dan mencuri ribuan data pribadi. Meski sudah terbukti bersalah, kata-kata yang meluncur dari mulut pria itu, sungguh membuat Nara geleng kepala.

Maaf Bukan Saya! Mungkin Alam Semesta

Nara menyandarkan punggungnya ke kursi, pikiran masih dipenuhi berita tadi. Ia teringat bagaimana temannya yang menjadi tersangka pembobolan itu berkata, “bukan saya yang membobol, tapi semesta memberi saya kesempatan untuk memberi tahu jika sistemnya rapuh!” Kalimat itu sering jadi pembelaan buat mereka yang sudah jelas-jelas membobol sistem.

Nara berpikir kebanyakan pembobol akan mengklaim hanya ingin “menguji keamanan”—seakan data pribadi orang lain bisa dijadikan bahan eksperimen tanpa izin. Yang lebih parah, mereka bangga, seolah aksi peretasan itu bagian dari aksi heroik.

“Aku tidak ingin menyalahkan semesta, tapi …,” kata-katanya terhenti begitu saja saat matanya tertumpuk pada berita lain.

Wawancara seorang influencer wanita yang sedang menggugat netizen karena mengolok-olok anaknya. Berita itu memblur nama akun yang influencer itu laporkan namun pesan di kolom komentarnya terbaca, “anak setan! makanya log in saja biar tidak jadi setan!” Nara membaca kolom komentar di berita itu yang isinya beragam tapi ada juga yang mengomentari, “jadi artis kok baperan”, “dikit-dikit lapor!”, “bercanda kok baper!”

Baca juga: Stigma Kusta: Cermin Buta dalam Nista dan Kusta

Cyberbullying, selalu terbalut dengan kata bercanda,” desah Nara.

Masih ada lagi si tukang doxxing. Orang yang keranjingan membongkar identitas akun anonim karena tidak setuju dengan opininya. Setelah identitas tersebar, netizen menyerbu dengan ancaman. Dan si pelaku doxxing hanya angkat bahu, berkata, “Saya cuma kasih informasi aja, yang lain aja yang keterlaluan.”

Kasus-kasus ini membuat Nara resah menggunakan media sosialnya. Larut dalam pikiran yang dalam, tanpa sadar, seorang wanita muda tiga puluh tahunan menepuk bahunya yang membuatnya terlonjak. “Ada apa?” tanya Gita, teman kuliahnya yang sekarang di bagian personalia.

“Lagi baca apa sih, serius amat!” Gita menyunggingkan senyum, melirik ponsel Nara. Seketika senyum itu memudar. Ekspresinya mendadak kaku.

Cyber Wrecking, Otak Perlu Reseting

cyber wrecking 2

Gita tersenyum tipis. Sudut bibirnya tampak bergetar, seolah ada cerita di balik senyum itu. Wanita itu mengambil duduk di depan Nara. “Berita ini tentang temanku di perusahaan lama. Tak kusangka kelakuannya masih sama, “ kata Nara mendesah.

Baca juga: Studi Komparatif Bertema SARA: Apakah Rawan Konflik?

Tangan Gita menggenggam erat cup tehnya yang masih mengepul. Berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. “Aku dulu pernah memergokinya, masuk ke ruang server perusahaan itu beberapa tahun lalu sewaktu aku lembur.”

Nara terdiam sejenak sambil mengaduk-aduk coklat hangatnya. “Tak lama setelahnya aku baru tahu kalau akses ke ruang server tidak sembarang bisa dapat. Lalu atasan memanggil dia dan aku sebagai saksi saat itu, dalihnya sama, dia tidak membobol server tapi mencoba ketahanan server perusahaan.”

“Itu yang namanya disonansi kognitif,” jawab Gita pelan. Nara mengalihkan padangannya ke arah Gita. “Pernah dengar kan?” tanya Gita lagi. Nara menggeleng.

Gita mulai menjelaskan, “disonansi kognitif itu njelasin keadaan di mana pikiran atau keyakinan seseorang bertentangan dengan tindakan atau realita yang ada. Jadi, ketika seseorang melakukan sesuatu yang nggak sesuai dengan nilai moralnya, mereka akan merasa tidak nyaman. Nah, buat ngatasi ketidaknyamanan itu, mereka cari pembenaran. Kaya hacker yang bilang, ‘saya cuma ngetes keamanan aja kok.’”

“Tapi kan semua orang tahu kalau meretas dan membocorkan data itu salah!” seru Nara yang mulai naik darah.

Baca juga: Jurusan Kuliah Keren, tapi Cari Kerjanya Senewen

“Untuk seseorang yang tidak ada motif tertentu, itu salah. Tapi jika mereka ada motif terselubung, itu bisa dibenarkan. Setidaknya menurut mereka.” Gita menyesap teh hangatnya. “Keadaan ini semakin parah jika mereka mengakses media sosial berdasarkan alogaritma/preferensi yang menguatkan pandangan mereka,” lanjut Gita.

Invitasi dan Diskusi

Nara mulai tertarik dengan pembicaraan itu, seolah ada rasa penasaran tentang masalah itu. “Kasus yang kau baca itu punya nama, Cyber Wrecking. Baik hacking, doxxing, cyber bullying sampai spamming, itu masuk dalam cyber wrecking alias merusak sistem untuk tujuan tertentu,” jawab Gita.

Nara cuma mengangguk. “Lalu solusinya?” tanya Nara. Gita cuma menggeleng. “Tidak akan cukup hanya dengan iman yang kuat, jika mereka tidak punya kemampuan kesadaran literasi digital yang baik,” jawab Gita. “Intinya otak mereka harus direset ulang dengan etika digital,” sambungnya lagi.

“Kau tahu banyak ya,” kata Nara tersenyum lebar. “Kau akan mencari tahu, ketika kau mengalaminya,” jawab Gita.

Ponsel Nara di atas meja bergetar, sebuah panggilan dari nomor asing menghubunginya. Sebelum ia menjawab. Gita beranjak dari kursinya. “Kau juga harus berhati-hati,” katanya lagi sambil tersenyum, sebelum meninggalkan Nara yang masih duduk di kursinya.

Baca juga: Petantang-petenteng "Simpanan" Para Pejabat

Nara menerima panggilan telepon itu, dan terkejut dengan apa yang didengarnya. Berita mengejutkan bertubi datang padanya pagi itu. ART-nya menemukan Gita meninggal dunia di apartemennya, sebelum matahari terbit karena cyber wrecking dengan bentuk doxxing dari seorang penguntit yang menyebarkan data privasinya di forum gelap.

Ia menatap nanar kursi di depannya itu dan bayangan Gita yang berlalu meninggalkannya. “Lalu dengan siapa aku berbicara?” gumamnya dengan mata membelalak dan suara bergetar.

Dari cerita di atas nih, ada nggak yang pernah ketemu dengan orang yang ketahuan salah, tapi ngeles mulu buat bebas dari masalah? Yuk bisa ikutan ngeramein kolom komentar dengan cerita dan perspektif kalian ya boleh pro dan kontra. Eits, tapi komennya yang sopan ya, biar jejak digital kalian tetap bersih!

Happy Monday!

Source:

Baca juga: Pria Dan Wanita Punya Sisi Maskulin Dan Feminim. Ini Penjelasannya!

Athaya, F. H. (2022). Cognitive Dissonance pada Konteks Berkomunikasi dan Mencari Informasi di Ruang Digital: Fenomena Selective Exposure. Jurnal Lensa Mutiara Komunikasi, 6(1), 61–72. https://doi.org/10.51544/jlmk.v6i1.2535

Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Herannya, media mainstream sekarang sering banget doxing. Kalo ada kasus apa gitu, pasti dibuka datanya semua yang kena kasus tersebut. Padahal kasusnya gak selalu berhubungan dengan keluarganya atau pekerjaannya. Tapi ‘oknum’ media kaya mengkuliti semua latar si empunya kasus.

Artikel ini memberikan pandangan yang tajam tentang fenomena “ngeles” saat seseorang ketahuan salah, terutama dalam dunia digital. Menariknya, penggunaan konsep disonansi kognitif menggugah kita untuk merenung lebih dalam tentang pembenaran diri dalam perilaku buruk.

Yuni Bint Saniro

Banyak banget sih kejadian begini. Doxing atau cyber bulying. Saat ketahuan dan korbannya dirugikan, si pelaku ngeles dengan berbagai alasan. Kadang alasannya masuk akal. Seringnya mah dibuat-buat.

Heni Hikmayani Fauzia

Pernah banget kaa…tapi emang jarang yaa saya nemuin orang yang benar-benar tidak membela diri jika salah. Dalam arti mau mengakui salah secara berani dan gentle, iya saya salah dan minta maaf. Kebanyakan yaa gitu dhe ngelees dulu, didesak dan terdesak baru ngaku.

Wahh pengetahuan baru nih buat saya ttng doxxing dan sebangsanya. Saya masih begitu abai utk menjaga keamanan privasi digital.
Penyampaian ilmu di sini jg pakai teknik storytelling yg baguss. Saya anak sastra jd menikmati bacanya.

Iya bener banget! Jaman sekarang banyak banget kasus-kasus kayak gini. Bahkan orang awam pasti udah anggap lumrah

Pernah bukannya sekali bahkan sering, terus orang ybs malahan memutarbalikkan fakta dan dia malah merasa berperan sebagai korbannya. Sangat manipulatif. Pokoknya harus lebih waspada apalagi maraknya kejahatan di dunia siber.

7 Responses