Di jantung Kalimantan Barat, aroma dedaunan basah dan tanah lembab menguar begitu segar. Hutan hujan tropis yang membentang di sebagian besar tanah borneo itu seperti lautan hijau yang memeluk ribuan jenis kehidupan. Dari pepohonan gaharu, meranti, anggrek liar, hingga rotan yang melilit batang-batang tua. Keberagaman hayatinya menjadi berkah yang luar biasa.
Di sela semak tumbuhan pakis dan pepohonan rimbun yang bermacam rupa, menyimpan kisah panjang yang hanya bisa didengar, lewat kearifan lokal tentang ketahanan dan keseimbangan. Masyarakat adat setempat seolah mampu mendengar bagaimana para penghuni hutan ini bersuara—bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai saudara tua yang menjaga dan merawat.
Di tengah hutan dan mereka, terlahir anak yang diam-diam menyimpan rahasia untuk semesta.
Dalam bale terbuka dengan sembilan pilar yang menjadi jantung rumah Dharma dan Wardhani. Dua orang beda alam ini bercerita tentang kisah-kisah yang tak terdengar tapi punya gaung besar dalam kehidupan.
“Kalau ada yang lebih sabar dari Wardhani menunggu air mendidih, itu ya pohon tengkawang,” celetuk Dharma sambil menggantung daun sirih di salah satu pilar bale. Wardhani hanya terkekeh.
Baca juga: Putri Malu dan Kisah Malam yang Panjang
Bayang bale, semacam lelembut atau peri, itu meraih biji tengkawang. Ia menyodorkan pada Dharma. “Jika dia bisa bicara,” katanya setengah berbisik, “dia pasti akan memperkenalkan dirinya sendiri.” Wardhani beranjak berdiri sambil meletakkan tangan di pinggang. “‘Kecil-kecil begini, aku bawa perubahan bumi lho! bahkan bisa mempercantik kulit semua wanita di bumi ini,’ begitu katanya!”
Dharma terkekeh.
Tengkawang bukan pohon biasa di tanah ini. Di banyak kampung Dayak dan Banjar, orang-orang menghormatinya seperti kerabat jauh yang datang bawa berkah. Orang-orang meramu minyaknya untuk obat, pelembap, makanan sampai sesajen adat.
“Jangankan wanita! Siapapun dapat manfaatnya,” kata Wardhani lagi sambil mengoleskan minyak kelapa yang tercampur dengan mentega tengkawang ke rambut hitam Dharma yang akan ia ikat di atas kepala. “Anak tengkawang ini, kalau tak kau hormati, jangan harap mau bagi rezekinya,” lanjutnya lagi.
Dharma dan para tetua juga mendengar bahwa buah tengkawang itu tidak dipetik tapi jatuh sendiri. Masyarakat adat lebih memilih memungut biji tengkawang di tanah hutan tanpa merusak tanamannya, kata Pak Danu, salah satu tetuanya, mengolah tanpa kerakusan.
Baca juga: Satu Pose Sederhana di Segala Acara
Menurut Wardhani yang sudah hidup ribuan tahun menjadi bayang bale pengobatan herbal, siapapun yang memaksa pohon tengkawang terlalu cepat berbuah, hutan akan mengirim semut merah untuk mengingatkannya—cara halus mereka yang hidup di rimba.
Dalam setiap tetes minyak tengkawang, Dharma merasakan cerita: tentang hujan yang sabar menyuburkan akar atau tentang burung yang menari di atas pucuk-pucuk daun. Ia pun percaya, kecantikan sejati bukan cuma soal kulit mulus, tapi tentang merawat dunia yang memberimu nafas.
Setelah hening sesaat. “Burung yang bertengger di atapku juga pernah bercerita, kalau zaman modern ini, wanita bisa cantik hanya dalam hitungan jam. Tapi…,” bayang wanita itu langsung menggeleng. Tak bisa berkata-kata karena terlalu berat untuk terucap.
“Tapi zaman yang kata orang modern, baik pria dan wanita lebih suka yang cepat. Cepat cantik, cepat ramping atau cepat mowing.” Wardhani berceloteh sambil mengaduk minyak tengkawang dalam mangkuk tanah liat. Di depannya, Dharma memperhatikan dengan senyum geli, “maksudmu glowing,” revisi Dharma.
“Iya, iya… apalah bahasa kalian di zaman baru ini,” sahutnya sambil manggut-manggut. “Mentega tengkawang ini bukan sekadar bahan biasa,” bisik Wardhani, “mengolah bahan alami itu seperti doa yang mengalir dari akar ke kulit.”
Baca juga: Serambi Untuk Pemakaman Di Sudut Kecil
Di tanah Kalimantan, ramuan kecantikan leluhur selalu berpijak pada bahan alami—dari tengkawang yang lembut di kulit hingga akar-akaran yang menyuburkan rambut. Tak hanya sekadar mempercantik, resep-resep ini mengajarkan rasa hormat pada bumi: mengambil secukupnya, mengolah dengan sabar, dan mengembalikan sisanya kepada alam. Kecantikan di sini bukanlah soal tampil berkilau instan, melainkan tentang harmoni yang dirasakan dari dalam.
“Minyak atau mentega tengkawang,” gumamnya, “yang dihasilkan oleh biji tengkawang, dari penelitian juga kandungannya tak hanya untuk kecantikan. Masyarakat bisa memakai mentega tengkawang untuk bahan makanan. Vitaminnya luar biasa, setara dengan minyak ikan salmon yang mengandung omega 3, 6 dan 9.” Pria itu tersenyum.
Pilihan untuk menggunakan bahan alami seperti mentega tengkawang bukan sekadar keputusan untuk tubuh, tetapi juga untuk bumi. Produk berbasis tengkawang mudah terurai, tidak membebani tanah atau air dengan racun sintetis. Mengutamakan bahan lokal berarti menopang pertanian berkelanjutan, memberdayakan petani kecil, dan memastikan hutan tetap berdiri, hijau dan hidup.
Wardhani mengangkat sebotol kecil ramuan yang berkilau keemasan. Ia tersenyum pada Dharma, lalu berbisik, “Tapi ada satu rahasia lagi, yang belum pernah kuceritakan pada siapa pun…” Matanya menyipit dan meminta Dharma untuk mendekat.
“Arcia,” bisik Wardhani, “kau akan mengenalnya sebentar lagi. Mereka akan datang membawa perubahan dengan biji tengkawang.”
Baca juga: Kumbang Jerapah dan Kisah Tak Penting di Gulungan Daun
“Darimana kau tahu? dan apa itu Arcia?” tanya Dharma. “Aku mendengar kabar dari burung yang sering berceloteh di atas atapku. Meski mereka berisik, tapi informasi itu berguna buat aku beradaptasi di zaman baru ini,” tukasnya.
Wardhani pun bercerita tentang burung pipit yang hinggap bahwa Arcia memilih jalan yang lebih sunyi, lebih sabar—jalan yang berpihak pada bumi. Lewat tangan-tangan terampil dan hati yang berakar pada nilai keberlanjutan, Arcia memetik anugerah alam seperti tengkawang, memprosesnya tanpa merusak, lalu mempersembahkannya dalam bentuk yang murni kepada dunia.
“Mereka membuat produk dari mentega tengkawang yang akan merubah persepsi orang tentang kecantikan dengan meletakkan proses perawatan yang baik untuk tubuh dan bumimu,” kata Wardhani lagi, dengan nada yang lebih serius, “mereka juga nggak main-main memilih kemasan produk. Berkonsultasi dengan bank sampah mana kemasan yang lebih baik untuk lingkungan. Bisa kau bayangkan bagaimana mereka bekerja.”
Tidak hanya soal bahan. Arcia berikrar untuk tidak menambah polusi pada bumi yang sudah letih. Setiap tetes minyak, setiap butir krim, lahir dari komitmen: menggunakan bahan alami, minim pengawet sintetis, dan menghindari jejak limbah beracun. Bahkan, kemasan produknya dirancang dari material daur ulang dan biodegradable—sebuah pilihan kecil, tapi berarti, untuk masa depan yang lebih hijau.
Arcia perlahan menjadi nyala lentera di tengah industri kecantikan yang kerap silau oleh glamor instan. Dari penggunaan bahan baku yang ramah lingkungan hingga inovasi pengolahan sampah kosmetik, Arcia menunjukkan bahwa merawat diri dan merawat bumi bisa berjalan berdampingan.
Baca juga: Penangkap Embun yang Tak Dikenal
“Sampaikan pada tetua adatmu, sambutlah mereka. Karena mata pencaharian mereka akan terbantu dengan kedatangannya,” kata Wardhani.
Arcia telah membantu banyak petani tengkawang dan memberikan kontribusi pada kelestarian pohon tengkawang yang statusnya sudah rentan.
“Ah, aku harus pergi!” kata Wardhani buru-buru.
“Kemana?”
“Pohon tengkawang memanggilku. Dia memintaku untuk menghalau sekawanan burung yang terus gosip di atas dahannya,” ujar Wardhani. Tak lama kemudian sosoknya pudar, seperti cahaya yang perlahan meredup. Dharma hanya menggeleng. “Masih ada lelembut yang lebih modern daripada aku,” gumamnya lagi.
Kini, semakin banyak yang membuka mata. Kecantikan tidak lagi sekadar tentang kilau instan dari botol-botol sintetik yang menjanjikan dunia dalam semalam. Orang-orang mulai kembali kepada akar; pada bahan-bahan alami yang bersuara lembut dalam tubuh mereka. Tengkawang, misalnya, bukan hanya memberi kelembapan yang dalam, tapi juga melindungi kulit tanpa bisikan racun yang tak terlihat. Tak ada lagi kegelisahan akan reaksi kimia yang membakar diam-diam di balik kilau semu.
Kesadaran itu tumbuh seperti pohon tua di rimba, kuat dan pelan, tapi pasti. Setiap sapuan produk alami adalah doa kecil: untuk kulit yang sehat, untuk bumi yang tetap bernapas, untuk generasi yang masih bisa memandang hutan sebagai sahabat, bukan reruntuhan.
Namun, pada akhirnya, mungkin bukan kita yang memilih tengkawang. Mungkin dari awal, tengkawanglah yang memilih kita. Memanggil dari jantung hutan, membisikkan jalan pulang
kepada siapa saja yang masih mau mendengarkan. #EcoBlggerSquad
Gimana nih, gengs? punya pengalaman pakai produk yang ramah lingkungan? Yuk bisa berbagi di kolom komentar ya. Apapun komentarnya, tetap santuy dan jangan ngegas ya! Biar jejak digital kalian tetap bersih.
So, Happy Monday!
Source:
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/01/14/tengkawang-flora-khas-kalimantan-yang-bernilai-ekonomis-tinggi#:~:text=Selama%20bertahun-tahun%2C%20pohon%20tengkawang%20telah%20dianggap%20sebagai%20pohon,oleh%20masyarakat%20Dayak%20sebagai%20bahan%20untuk%20membangun%20rumah.
“Artikel ini terpilih untuk dimasukkan ke dalam kampanye “Bloggers Peduli Lingkungan Terbaik 2025/2026″ dari penerbit bahan ajar pendidikan Twinkl.“
View Comments
Jujur ya. Aku lebih suka misal ada produk kecantikan dan obat herbal tradisional. Karena biasanya pengolahannya lebih ramah lingkungan. Kalau untuk pengalaman produk ramah lingkungan, sudah 5 tahun ini kami pakai minyak tawon khas Makassar. Harganya memang lumayan tapi Alhamdulillah manjur.
Pengen banget pindah ke produk ramah lingkungan, tapi masih cari-cari. Kulit ku cukup sensitif akhir-akhir ini, jadi masih riset.
Produk dari alam memang menunjukkan efek hasilnya sedikit lebih lama. Tapi, worth it. Karena tidak memberikan efek toksik yang berbahaya.
cara bertutur yang apik untuk menceritakan satu produk hehe. Senang makin banyak produk kecantikan yang ramah lingkungan dan aman digunakan. Saya juga berpikiran sama kalau memilih produk kecantikan aman atau berasal dari bahan alami. btw saya baru kenal dengan pohong Tengkawang.
Aku dari dulu suka sekali pakai bahan-bahan alami termasuk kosmetik/skincare. Sampai saat ini aku masih suka pakai masker lidah buaya, kopi atau susu. Sudah lama banget gak beli masker instan. Walau kadang agak ribet harus ngupas, motong atau ngaduk dulu tapi hasilnya jauh lebih bagus.
Penuturannya unik, Tengkawang menjadi tanaman asli Kalimantan yg punya banyak khasiat dan manfaat. Bukan sekedar utk kesehatan, jika di olah pun bisa di olah jadi bahan produk kecantikan alami yg aman
Bagus ni storytellingnya. Memang tubuh kita itu fitrahnya dekat sama alam. Pakai bahan alami lebih sehat dan segar
Indah sekali tulisannya—penuh makna dan refleksi. 🌿 Kesadaran akan pentingnya memilih produk alami memang tak tumbuh instan, tapi ketika ia berakar, dampaknya meluas: untuk diri, lingkungan, dan masa depan. Setiap langkah kecil kita adalah bentuk cinta yang diam tapi nyata. 💚
Waah..tulisan yg sangat menarik,kak! Makin penasaran aku dg pohon Tengkawang yg sangat bermanfaat ini. Hm, apakah pohon ini hanya tumbuh liar di hutan atau sdh dibudidayakan? Asli pengen ngulik lebih jauh ttg pohon ini
bagus banget yaa cara penyampaian produknya dengan cerita budaya dan kepercayaan adat Kalimantan. lain daripada yang lain. Semua yang alami memang memberi ketenangan baik pada diri manusia dan juga kepada alam semesta. Arcia yaa namanya...saya baru mendengarnya. JAdi pengen mencoba Arcia nih.