Brand Partner

Lelaku Tanah Dinoyo ke Pangkuan Bumi Minyak Jinggo

“Aku ikut!” seruku—suara dari dalam diriku yang lain tiba-tiba ikut hadir siang itu. Siang kota Malang terasa berbeda, langit biru terasa lebih gundah, antara ingin hujan atau ingin bertahan cerah. Berganti rona warna dengan cepat.

Tujuh hari lagi hari penting, tapi aku tak kunjung memutuskan.

Aku, si putri bungsu Cuk Linda, hanya mengendarai motor matic buntut. Menyusuri jejak Cuk Linda—Ibuku—di tanah Dinoyo tiga tahun yang lalu, ketika kami masih bisa berbagi nostalgia tentang tempat itu. “Kenapa kau terus memanggilku?” seru Rindu dalam diriku.

Aneh. Aku tidak bisa mendengar suara rindu, tapi aku bisa merasakan kata-katanya. Motorku terus melaju pelan, menyusuri jalan yang tak terlalu lebar tapi penuh dengan jejak waktu. Lalu, berhenti dan masuk ke dalam toko keramik satu, ke toko keramik lain. Bingung.

Sampai aku melihat sebuah toko yang tak terlalu besar. Tak mencolok. Kupikir itu akan menjadi toko terakhirku.

Baca juga: Tak Sekedar Bentuk, Ganteng Di Segala Sudut

“Bukan Kado. Hanya Membayar Utang”

Aku memasuki toko sederhana itu. Mataku terhenti ketika melihat sudut paling atas dari rak toko itu. Aku itu perlahan mendekat. Mengamati. “Ini dia,” gumamku lirih. 

“Astaga!” seru rindu kesal, “kau keluar masuk toko selama berjam-jam, cuma ingin memeriksa mangkuk gambar burung flaminggo. Aku yang mengikutimu sudah bosan!”

Aku memang tak bisa mendengar rindu. Namun, aku tahu ia ada. Rindu selalu cerewet, suka mengeluh kalau tak didengar. Meski begitu, ia jujur.

Aku bertanya pada pemilik toko berapa harga mangkuk itu. Si pemilik toko berpeci menjawab, “kalau satu set harganya tiga ratus ribu.” Aku menimbang.

Aku ingin melihatnya lebih dekat. Pemilik tokonya mengulurkan mangkuk itu pelan, seperti memberiku kesempatan untuk merasakan tekstur keramiknya. Licin tapi ada tekstur kasar serta tak rata pada permukaannya. Rindu bergetar. Aku tahu getaran itu berasal dari residu lama. Bersemayam dan mengendap.

Baca juga: Laptop AI 2025 Asus yang Bilang "AI Love You"

“Bagaimana kau bisa tahu jika benda itu sama dengan keramik yang kau pecahkan dulu?” tanya rindu, lirih. Kali ini tanpa nada kesal. Aku sendiri masih diam. Kemudian, tersenyum. “Licin tapi sedikit kasar. Ini buatan tangan,” gumamku seolah menjawab pertanyaan si rindu.

Deg! Rindu semakin membuncah. Kata-kata yang kuucapkan persis sama dengan ucapan Cuk Linda, setiap pergi ke tanah Dinoyo untuk mengamati keramik-keramik buatan tangan. Aku memutuskan mengambil satu set mangkuk itu.

Pria pemilik toko itu pun girang. Sembari membungkus, pria itu iseng bertanya, “untuk kado, Nak?”

Aku hanya menggeleng dan tersenyum simpul. “Bukan. Saya mau bayar utang,” jawabku pada akhirnya.

“Utang?” ulang si pemilik toko. Tangannya terhenti sebentar. Menatapku.

Baca juga: Mengapa Innova Reborn Masih Punya Peminat dan Tetap Eksis?

Aku mengangguk, “utang pada almarhum ibuku,” jawabku mantap.

Pemilik toko berpeci itu tersenyum lebar. “Kau pasti lega sudah membayar hutangmu,” jawabnya, sembari membungkus mangkuk yang sempat terjeda.

Di antara lapisan plastik hitam dan potongan kenangan itu, aku merasa sebagian dari diriku mengalir masuk. Diam dan perlahan. Aku yang lain itu menyelinap ke dalam rongga-rongga kosong mangkuk keramiknya.

Penuhi Janji Lewat Ekspedisi

“Aku nggak bisa pulang,” kataku dengan nada rendah. Aku memandangi kotak kardus, tempat di mana mangkuk keramik itu berada. Ada rasa tercubit di ulu hati ketika mengatakan keputusan itu.

“Ini hari pertama kita kumpul semua lho! Masak kamu ndak pulang?” Kakakku Santi, mencoba membujukku. Aku tahu rasanya menyakitkan, di hari pertama peringatan kematian Cuk Linda, aku tak datang. “Aku harus mengurus pendaftaran si Nanda sekolah. Tak ada pilihan lagi,” sesalku.

Baca juga: Bersama EF Adults Menyiapkan Diri untuk Tahun Baru 2024

Kami terdiam.“Ah iya, hari ini aku menemukan mangkuk keramik mirip dengan mangkuk kesayangan Cuk Linda,” kataku sambil tersenyum simpul.

Aku pun cerita bahwa si bungsu Cuk Linda ini, harus masuk toko satu per satu sampai menemukan toko yang terlihat biasa saja, tapi justru menyimpan keramik yang indah. Salah satunya milik ibuku itu. Namun, aku tidak tahu cara mengantar mangkuk keramik itu.

“#JNE,” kata Mbak Santi. “Apa kau tak ingat ibu selalu pakai ekspedisi JNE?” tanya Mbak Santi.

“Aduh Bungsu!” seru diriku yang lain—residu rindu yang masih tertinggal dalam diri, “bagaimana kau bisa lupa alasan ibumu selalu menggunakan JNE!”

Esok paginya, sebelum matahari di kota Malang meninggi. Aku meminta si motor matic buntut mengantarku ke ekspedisi JNE terdekat. Aku memilih JNE bukan semata-mata jasa ekspedisi itu mudah terlihat di sisi jalan, tapi karena awal mula hubungan emosional ini yang terjalin.

Baca juga: Tour Bali Harga Terjangkau, Bikin Liburan Enggak Kacau!

#ConnectingHappiness With JNE

Ketika aku patah hati pertama kali (kusebut sebagai patah hati versi 1.0), tak sengaja aku memecahkan mangkuk keramik kesayangan ibu secara tak sengaja. Ibu tak marah. Tapi tahu aku patah hati, ibu malah menulis surat dan mengirimkan satu cangkir keramiknya padaku dengan JNE, meski kami tinggal dalam satu rumah. Konyol.

Ibu menggunakan nama Cuk Linda, sebagai nama penanya. “Nama itu cantik. Cantiknya sama dengan anak ibu. Kalau kau sedih, karena orang berkata kau buruk. Panggil saja Cuk Linda,” katanya. Itulah mengapa setiap rindu selalu gelisah saat sedih bertamu, aku akan memanggil Cuk Linda yang kuanggap sebagai alter ego ibuku.

Kini aku mengulang pengalaman itu dengan cerita yang berbeda. Aku merasa kalau #JNEInspirasiTanpaBatas punya kemampuan menghubungkan rasa dan cerita. Seperti saat ini, mengirim barang yang penuh rasa yang kusebut lelaku tanah Dinoyo.  Ia bahkan punya Packaging Service khusus untuk barang pecah belah, “kalau keramik kami sarankan pakai packing kayu biar aman, Mbak. Per kilonya cuma Rp 12,000.”

Tak mahal. Lagi pula keramik ini lebih berharga dari angka dua belas ribu. Aku setuju. Petugas kemudian memasukkan layanan pengiriman REG (reguler) ke tanah minyak jinggo itu, di mana si mangkuk akan tinggal.

Sembari menunggu resi tercetak. Aku membaca kertas yang tertempel di dinding kantor JNE. Jenis layanan. Kata itu memunculkan residu rindu yang sebagian masih tertinggal dalam diriku. Seperti layanan YES (Yakin Esok Sampai) yang pernah Cuk Linda gunakan ketika mengirim berkas kantor bapak sewaktu dinas di Jakarta. Termasuk layanan OKE (Ongkos Kirim Ekonomis) yang biasa dipakainya untuk mengirim notebook cantik yang iseng dibelinya dengan alasan si bungsu suka. Pun, layanan JNE Trucking ketika ia mengirim komputer PC di rumah Banyuwangi ketika aku masih mahasiswa.

Di bawah bagian kertas yang tertempel itu, aku melihat tulisan cukup besar #JNE34Tahun. Sebuah pengingat bahwa mereka pasti akan mengantar kisah ini dengan tepat ke tempat tujuan.

Invitasi dan Diskusi

Ketika si mangkuk keramik itu akhirnya bawa dengan mobil pengiriman, aku tak perlu cemas. Aku bisa memantau perjalanan paket itu lewat fitur tracking package. Setiap titik pergerakannya terekam tepat waktu. Rapi.

Dan kurir #JNE34SatSet, yang kecepatannya kukira berubah, ternyata masih sama cekatannya. Mereka sopan, sabar, penuh senyum dan semangat melayani tanpa batas masih melekat. Tak pudar. Dengan dua, tiga kali ketukan di pagar sambil berkata, “permisi, JNE. Ada paket.” Sangat khas.

Tepat tiga hari sebelum peringatan hari berpulangnya Cuk Linda, mangkuk itu tiba di pangkuan bumi minyak jinggo. Kota Banyuwangi. Siang yang setengah mendung itu, Mbak Santi melakukan panggilan video call dan memperlihatkan mangkuk dengan ornamen burung itu, berada di lemari kayu kesayangan Cuk Linda bersama dengan keramik-keramik lain di sana. Lengkap.

Dan, JNE bukan cuma mengantarkan paket. Mereka juga mengantarkan rindu serta pembebas utang yang tak bisa datang sendiri. Aku membagikan ulang kisah tak biasa itu di #JNEContentCompetition2025 dan benar-benar berterima kasih padanya.

View Comments

  • Hmmm... bagus semuanya ini. Tapi sayang banget kalo pecah... tapi gak perlu khawatir ada JNE yang selalu sat set sat set 😁

  • Membaca ini jadi teringat sentra keramik Dinoyo. Dulu saat masih belia saya diajak orangtua dari Kediri ke sana. Saya lebih suka keramik hasil karya perajin lokal seperti ini. Terkenang juga Ibu saya membeli satu dua barang di sana....Ah, senangnya kini mangkuk pun bisa aman dikirim antarkota, ada JNE yang bakal amanah mengantarkannya.

    • Nah, aku juga suka bikinan perajin lokal ketimbang pabrikan, karena kalau bikinan perajin tu unik dan kadang motifnya gak ada duanya. Dibikinnya kalau sama seniman kata org dari hati, bakalan comfort banget saat memakai keramik itu.

  • Suka banget gaya ceritanya! Bikin kisah lokal jadi punya rasa dan makna lebih, apalagi dikaitin sama brand gede kayak JNE.

  • Kisah yang menyentuh, Mbak ... ikut senang utang sudah terbayar. Alhamdulillah ada JNE yang jadi andalan ^_^

  • Menarik dalam cerita paparannya. Sehingga dibawa pada gambaran tentang sesuatu yang istimewa.

  • JNE memang sangat bisa diandalkan, bisa ngirim barang sentimental kayak gitu dg aman.

  • JNE itu memang sesuatu ya
    Sering kali memberikan pelayanan maksimal
    Sementara aku senang sekali karena paket jarang sekali kesingsal
    Bahkan datang sehari sebelum waktunya

  • Sebuah cerita yg mengharukan mbaa..benar2 menyambungkan kebahagiaan sekaligus membuka memori indah bersama yg tersayang dan JNE ikut ambil bagian dalam menyalurkan kebahagiaan tersebut

  • Wahh, keren banget ini ceritanyaaaa
    aku juga selalu ngandelin JNE
    terutama pas kirim2 buku
    kayak kpn hari ponakan kirim buku untuk anakku, pakai JNE juga
    Top markotop!

  • JNE memang amanah, jangkauannya luas sampai ke daerah-daerah, dan Umumnya tepat waktu.