Serambi

Jamur yang Datang Untuk Mati Perlahan

Rupanya pagi itu sesuatu menarik mataku mendekat ke pot merah tempat tanaman Rosemarry tumbuh. Aku berjongkok sangat lama di pot itu. Mataku terpaku pada satu titik di bawah batang tanaman rosemarry.

Aku yakin itu jamur. Warnanya Coklat agak tua. Tapi tak tahu jamur apa dan tak terpikirkan olehku untuk mencabut apalagi mengonsumsi.

Jamur itu sangat kecil, tingginya sekitar 2-3cm. Penasaran tanganku pun terulur. Menyentuh kepala si jamur Dingin. Ternyata itu bekas embun. Namun, entah dari mana suara itu bergema.

“Ah! Halo … Halo … Apa kau yang menyentuhku?” tanyanya. Dan, baru kusadari yang berbicara adalah jamur itu. “Oh kau jamur,” kataku. Aku memperbaiki posisi jongkokku. Lututku pegal.

Namun jawabannya sungguh tak terduga. Absurb.

Baca juga: Kumbang Jerapah dan Kisah Tak Penting di Gulungan Daun

“Iya, aku jamur. Keren nggak,” katanya agak menyombong. Aku berkerut alis dan kemudian dijawab sendiri oleh si Jamur, “hmm … nggak keren ya. Tapi tak apalah …,” sahutnya lagi. “Tapi sebelumnya kenalin aku ….” tiba-tiba dia terhenti. Cukup lama. Sampai kalimat selanjutnya membuatku nyaris terbatuk.

Jamur yang Tak Kenal Dirinya

“Siapa namamu?” tanyaku. Cukup lama aku menunggu lanjutan kata-katanya. Dia kemudian menundukkan tudungnya. Entah karena beban embun yang besar atau dia sedang berpikir. Lalu dia menegakkan kepalanya lagi. Tess! Setetes embun kemudian jatuh.

“Maaf, aku lupa namaku,” katanya lagi sambil bergoyang pelan. Teplok! Aku menepuk jidatku sendiri. Karena kesal, sudah kutunggu siapa namanya malah dia sendiri tak ingat. Jamur bisa amnesia, pikirku saat itu.

“Aku tidak tahu siapa namaku. Tapi aku tahu apa nama kelompokku,” katanya lagi. “Kata manusia yang hebat jaman nenek moyangku, mereka mengelompokkanku di kelompok jamur Psathyrella. Karena bentuk kepalaku yang berwarna coklat dan sedikit ‘bertepung’.”

“Tapi bagaimana kau tahu kelompokmu tapi tak tahu siapa namamu?” tanyaku berkerut alis. Heran.

Baca juga: Selimut Polusi dan Populasi: Realita Pahit Kelahiran Manusia di Bumi

“Hmm … karena aku harus diteliti pakai mikir-skop.”

“Mikroskop,” revisiku.

“Ah iya, mikir. Eh, miskro. Eh, mikroskop,” ulanngnya dengan sedikit kesulitan. “Karena manusia perlu tahu organ dalamku sebelum aku diberi nama,” katanya lagi. Kami terdiam sejenak.

Mungkin sama seperti diriku yang heran dengan makhluk di depanku itu. Ia seperti menatapku lalu berujar lagi, “itu bukan karena aku tak tahu nama, lebih karena aku tak yakin saja siapa aku,” kata si Jamur, “ada 400 jenis jamur sepertiku yang nama panjangnya saja mereka tak tahu. Bentuk kami mirip-mirip bahkan banyak yang mengira kembar. Hanya saja kalau kau lihat dari miskroskop….,”

aku memotongnya, “mikroskop!”

Baca juga: Daun Bulat yang Tak Pernah Menjadi Koin

“oh iya … mis.. eh, mikroskop itu … kau akan tahu bahwa organ kami beda.” sahutnya lagi. Aku cuma manggut-manggut.

“Eh, tapi kok bisa kamu tumbuh di dekat tanamanku? Kan mengganggu nutrisi rosemarry-ku!” kataku sedikit geram. Namanya juga jamur pasti parasit untuk tanamanku.

“Ckckckck… Dasar manusia,” decaknya. Kali ini aku benar-benar dibuat melongo, sebab jawabannya mengalahkan logika manusiaku.

Jamur Psathyrella yang Tahu Dimana Ia Tumbuh

“Inilah bedaku dengan jamur lain. Aku memang tak seenak jamur kuping, jamur tiram, shitake dan shiratake. Tak pernah juga aku dihidangkan di atas meja keramik indah di restoran-restoran bintang michelin, tapi aku menyelamatkan bumi. Keren nggak?” tanya dengan sedikit menyombong. Belum juga aku menjawab si jamur ini menjawab sendiri, “nggak ya! nggak apa-apa sih.”

Aku lagi-lagi menggeleng. “gimana caranya kamu menyelamatkan bumi. Tubuhmu saja kecil dan malah tumbuh di dekat tanaman yang baru beberapa hari lalu kupupuk,” keluhku.

Baca juga: Asisten Otak 47 Triliun, Tenun Mikro dan Storygraf-Crafter

Kali ini dia meregangkan batangnya yang empuk dan sedikit rapuh itu. Berusaha menyeimbangkan tubuhnya sendiri. “lalu kau pikir, daun ini bisa menjadi tanah karena siapa?” tanya balik padaku. Kali ini aku melihat suaranya yang sedikit nakal mulai menampar gendang telingaku.

Cacing tanah!” jawabku mantap.

“Ckckck!” si jamur berdecak lagi, “cacing tanah memang membantu proses dekomposter, tapi aku juga membantu si cacing untuk mengurai sampah daun kering ini. Jadi bisa dibilang ya … aku tidak makan nutrisi tanamanmu,” jawabnya dengan percaya diri.

“Mana buktinya?” tanyaku

“Kau akan melihatnya esok hari. Tenang saja. Aku akan buktikan padamu bahwa tumbuhan besar ini tidak akan tersakiti oleh kehadiranku.” Fungi ini sekali lagi menggerakkan tubuhnya, lalu berkata, “meski aku kecil dan banyak yang melabeliku tumbuhan parasit, sebagian kelompokku tidak selalu parasit yang menyakitkan. Berbeda dengan manusia yang banyak kudengar.”

Baca juga: Penangkap Embun yang Tak Dikenal

“Apa yang kau dengar tentang kami?”

“Sebagian tanaman dan mikroorganisme yang bergosip di bawah sini,” katanya sambil menundukkan tudungnya, “kalian itu justru seperti jamur di tubuh bumi.”

“Manusia itu seperti jamur. Kata nenek leluhurku, mereka berkoloni berpindah-pindah sejak jaman dulu. DImana ada sumber makanan dari alam sana mereka akan pindah. Tapi ketika mereka bisa menciptakan lingkungan sendiri, mereka sering meninggalkan jejak di sana sini. Bahkan sampai saat ini,” katanya lirih.

Deg! DI saat yang sama kata-katanya menghujamku. Terkejut dengan apa yang selanjutnya ia katakan.

Jamur yang Perginya Tanpa Jejak

Angin dingin pukul delapan pagi menggoyangkan tak hanya tubuh fungi itu, tapi juga pucuk daun rosemarry-ku. “Kau pasti lebih tahu daripadaku. Saat ini manusia sering kali meninggalkan jejaknya seperti sampah, limbah, dan bahan berbahaya lain,” katanya lagi.

“Ya, itu karena manusia tidak seperti tanaman yang hanya bisa makan sinar matahari,” jawabku yang masih berusaha menjaga martabat manusia.

“Ya, tentu saja. KIta hidup dengan cara yang berbeda. Hanya saja …,” katanya ragu saat melihat tatapan mataku yang berkerut. “Hanya saja … mereka itu aneh. Mereka yang menciptakan dan membuang limbah, tetapi saat bumi protes lewat bencana banjir mereka menyalahkan bumi. Tidakkah itu aneh?” tanyanya lirih dan sedikit menuntut jawaban.

Kali ini, aku tidak bisa lagi mengelak untuk mempertahankan reputasi manusia. Aku merasa apa yang fungi kecil sok tahu ini benar adanya. Terdiam.

“Sejak desas-desus yang kudengar itu. Aku merasa ‘ah lebih baik sepertiku ini. Jamur kecil tak menarik, tapi datang dan pergiku tidak mengganggu’, seperti itu,” katanya lagi-lagi dengan nada yang sedikit … angkuh.

“Tapi tidak semua jamur bermanfaat tahu!” seruku kesal, “lagipula tak semua manusia juga seperti jamur parasit yang tak peduli bumi.”

Kali ini aku bisa merasakan si jamur itu mendadak mengayun bersama dengan koloninya. Entah sebagai tanda setuju atau hendak mengajakku bergurau. “Ya, kau benar. Sebagian dari mereka ada juga yang berusaha mengelola limbah hasil produksinya agar tidak merusak bumi. Aku dengar itu dari beberapa kawanan kupu-kupu atau tawon yang cukup berisik lewat di atas kepala.”

“Tapi kau bisa percaya padaku. Karena ketika aku datang, aku akan membersihkan jejakku perlahan. Lalu ketika tiba saat aku pergi, aku memberi ruang agar kehidupan baru bisa hidup tanpa tersakiti.”

Setulus-tulusnya Makhluk Kecil

Aku mengambil sedikit kenang-kenangan pagi itu. Sebuah foto yang akan mengingatkan aku akan makhluk kecil sok tahu yang kata-katanya seperti menabuh genderang di kepala.

Esok paginya, saat aku menyirami tanaman dengan bekas air cuci beras. Jamur itu mengejutkanku lagi dengan cara yang tak bisa kujelaskan.

Gimana nih gengs cerita si jamur ini? Kira-kira cara apa yang dipakai jamur sampai membuat manusia terkejut?

Kalian boleh nih berpendapat tentang narasi atau mencoba meneruskan cerita dengan konklusi open-ended di atas di kolom komentar. Dan, di kolom komentar kalian juga bisa berbagi pengalaman seputar hal-hal kecil yang kalian tangkap hari ini. Tetap dong ya dengan cara yang elegan, tanpa sikut kanan-kiri atau bikin gaduh. Ya, semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.

Have a nice day! Jya, mata ne~

Source:
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6511437/memahami-ciri-ciri-jamur-dan-cara-hidupnya#:~:text=Pada%20ekosistem%2C%20jamur%20merupakan%20organisme,yang%20kaya%20akan%20bahan%20organik.

Suryani, Y., & Cahyanto, T. (2022). Pengantar jamur makroskopis. Bandung: Gunung Djati Publishing.

View Comments

  • Aku pernah foto jamur yg tumbuh di dahan pohon belimbing di depan rumah. Cantik, putih bersih. Saat itu aku mikir, apakah dia beneran parasit, yg cuma numpang hidup karena tak bisa cari makan sendiri? Lalu apakah makhluk sekecil itu bisa merugikan sepohon yang besarnya ratusan kali lipat si jamur? Hmm... bagaimanapun, aku sih tetep yakin kalau dia punya manfaat di alam ini.