Serambi

Putri Malu dan Kisah Malam yang Panjang

Salah satu waktu yang paling kutakuti adalah … waktu tidur. Bukan takut gelap. Bukan takut hantu. Apalagi, takut mati. Tapi, aku takut akan isi kepalaku sendiri saat merebahkan kepala di atas bantal.

Di sisi ranjangku, seorang suami yang kunikahi sepuluh tahun lamanya tertidur lelap. Setelah malam panjang yang kami habiskan. Tapi malam panjang itu, rasanya aku tak bisa terpejam. Aku tak bisa merasakan tubuhku sendiri. Bersamaan dengan itu, isi kepalaku terus menggedor arsip-arsip yang harusnya ter-delete dari memori.

Aku beranjak dari ranjang. Frustasi. Aku berjalan dengan kaki telanjang di atas ubin yang dingin menuju teras belakang.

Langit gelap justru terasa lebih indah daripada lampu tidur di sebelah ranjang, yang katanya harus melewati tiga negara untuk sampai di kamarku. Tapi mengapa aku merasa begitu? Benarkah, ini seperti yang dituduhkan padaku bertahun-tahun yang lalu?

Pucuk Kecil di Malam Gelap

Teras itu sunyi. Hanya ada suara nginggg! di sekitar telingaku. Sesekali daun pohon cempaka di teras belakang bergerak. Apa itu kuntilanak yang bermain dengan dedaunan? atau ia sedang bermadu kasih dengan pocong pucuk daun? mungkin itu adalah pertanyaan yang dulu akan kutanyakan pada suamiku yang terlelap saat ini. Yang pada akhirnya, hanya berakhir dengan lelucon garing antara kami.

Baca juga: Satu Pose Sederhana di Segala Acara

Namun malam ini, aku percaya bahwa itu hanya angin yang ingin menemani malam-malam sepi di 755 hari dari 3,650 hari pernikahanku. Angin malam terasa lebih lembab dan di tengah kelembaban itu, sebuah pucuk tanaman di dekat akar bunga matahari, menarik perhatianku. Ia Kecil. Kepalanya Bulat dan berwarna merah muda.

Aku berjalan mendekat dengan lampu teras yang memanduku mendekati tanaman itu. Aku berjongkok. Mengamati tumbuhan itu.

“Putri malu,” gumamku. Telunjukku menjulur ke arah pucuk kepalanya yang bulat dan berbulu. Dingin. Barangkali karena lembab malam ini. “Apa kau sedang tidur?” gumamku lirih, selirih senandung nina bobok. Saat aku menyentuhnya, daun-daun di sekeliling tanaman itu bergerak. Seperti saat aku melindungi tubuhku dengan sehelai selimut. Rapat.

Diikuti sebuah seruan kecil, “jangan ganggu aku! Tolong ini sudah malam!” dari tanaman kecil di depanku.

“Oh maaf,” jawabku.

Baca juga: Asisten Otak 47 Triliun, Tenun Mikro dan Storygraf-Crafter

Dan ketika aku mengamati tanaman ini. Rasanya… aku terlihat sangat konyol. Entah mengapa aku begitu iri. Meski dia hanya gulma di mataku.

Perempuan yang Terlahir (Menjadi) Perempuan

Design by canva oleh Senja Hari

“Dasar tak bertanggung jawab! Kau itu istri dan ini adalah tugasmu!” serunya. Matanya membelalak, tangannya mencengkeram erat lenganku. Rasanya lenganku berdenyut. Memerah hingga perlahan membiru.

“Aku lelah! Esok aku masih bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siangmu,” kataku dengan nada meninggi.

“Lalu kapan kau ada waktu untuk ‘bersenang-senang’ denganku?” tanyanya lagi, “kau tak pernah meminta, selama ini hanya aku yang meminta untuk ‘bersenang-senang’. Aku ini suamimu!” katanya lagi dan ia menghempaskan lenganku. Daging lengan yang ia cengkram berkedut. Seolah ikut menjerit kesakitan.

“Aku manusia, Ron!” kataku pada Roni, suamiku, “aku juga lelah. Bukankah dua hari lalu kita sudah ‘bersenang-senang’. Apakah itu tidak cukup?” tanyaku lagi. Dadaku terasa kencang. Nafasku memburu.

Baca juga: Kumbang Jerapah dan Kisah Tak Penting di Gulungan Daun

“Kalau kau lelah, siang ‘kan bisa tidur. Kau ‘kan di rumah!” serunya lagi.

“Apa kau kira aku bisa tidur siang? Meskipun aku ingin, aku hampir tidak pernah bisa tidur siang. Aku harus mengajari Fio di rumah, mencuci pakaian, setrika, belum lagi membersihkan rumah!” keluhku. Air mataku hampir-hampir keluar. “Dan kau dengan mudahnya mengatakan aku tak bertanggung jawab,” lanjutku dan kali ini air mata itu benar-benar keluar.

Lelah. Dan aku tahu kami sedang lelah. Dengan kondisi lima tahun yang lalu di mana segala akses terbatas karena COVID-19, yang tak hanya merenggut nyawa tapi juga merenggut sebagian relasi manusia.

“Aku tahu kau di rumah bekerja! Tapi barang tiap dua atau tiga hari sekali ‘bersenang-senang’ masak tak sempat? ‘bersenang-senang’ itu baik untuk hubungan kita, kau pun tahu itu!” katanya lagi.

“Aku tahu … tapi jika aku lelah dan terpaksa, apakah itu masih bisa kau sebut ‘bersenang-senang’?” tanyaku kembali.

Baca juga: Rancak Bumi Lawang, Lahir Mentega Tengkawang

“Dasar egois!” bentaknya padaku. Dua kata itu membuatku merasa jadi wanita yang payah. Tak bertanggung jawab dan egois. Dan untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tiga tahun usiaku saat itu, aku mendebat diriku sendiri. Apakah benar perempuan bukan hanya sekedar tanda lahir?

Mimosa Pudica dan Otonomi Tubuh

Angin menggesek dedaunan dan aroma lembab perlahan menyusup ke hidungku.

“Mengapa kau melihatku seperti itu?” tanya gulma di depanku itu. Kali ini daun-daunnya mekar kembali seperti saat aku meregangkan tubuhku setelah bangun tidur.

Rupanya putri malu tahu cara berbicara, gumamku pada diri sendiri. “Aku iri,” jawabku singkat pada tanaman itu.

“Jika saja aku bisa sepertimu, maka aku tidak akan mendapatkan masalah,” lanjutku lagi. Aku bisa mendengar jangkrik semakin riuh di tengah malam menjelang pagi itu.

Baca juga: Politik Rupa dari Miss Cucurbitaceae di Sela Tiang Listrik

“Nona, mengapa kau iri padaku yang hanya sebuah gulma di tamanmu? Tidakkah orang akan tertawa mendengar kata-katamu itu,” katanya lagi. Ia terkekeh dan menggerakkan batangnya.

Aku ikut tersenyum mendengar jawaban mimosa pudica itu. “Apa yang membuatmu iri pada tanaman rendah sepertiku?”

“Aku iri, betapa kau bisa melindungi tubuhmu dari ketidaknyamanan,” jawabku. Tanaman itu terdiam seperti ingin mendengar. Dan malam itu, aku merasa didengar meski oleh sebuah tanaman gulma.

“Sementara aku ….,” kata-kataku terpotong, “aku … tidak bisa melindungi tubuhku dari paksaan identitas yang kubawa sejak lahir,” lanjutku. “Mungkin kau tidak tahu. Sematan kata perempuan yang kukira adalah pembagi identitas biologis, ternyata penuh dengan aturan-aturan yang memaksaku dan tubuhku ‘menjadi perempuan’ yang seharusnya.”

“Aku kira manusia sepertimu bisa melindungi dirinya,” jawabnya. Aku tersenyum kecut. “Bagi tanaman rendah sepertiku, tigmonasti (menutup daun) adalah caraku bertahan dari hujan bahkan dari serangan benda asing yang ingin mengambil otonomi akan tubuhku. Tapi, aku tak hanya punya tigmonasti, aku pun punya pertahanan tersembunyi di tubuhku yang jarang diketahui.”

Aku tertegun. Tak menyangka bahwa ia punya cara lain untuk melindungi dirinya. “Aku kira kau pun sama, pasti punya pertahanan untuk melindungi otonomi tubuhmu. Dan ini mengingatkanku akan Simone de Beauvoir yang beberapa waktu lalu namanya terdengar lewat angin yang berhembus.”

Tubuhku Adalah Tubuh Mereka, Lantas Siapa Aku?

Aku berjongkok, sementara langit di atas kepalaku berubah dengan sangat cepat diiringi oleh rumput di bawah kaki yang semakin tipis. Tersisa rumput gajah yang baru saja di tanam.

Aku masih berjongkok, tapi kali ini bukan di tempat yang sama. Di hadapanku dan di bawah langit cerah di mana aku masih bisa bernafas, tanaman putri malu masih bisa aku temukan. Meski, tidak pada tempat yang sama.

Aku ingat bagaimana dia dan mereka menganggap tubuhku adalah tubuh mereka,” kataku lirih pada tanaman itu. Kali ini putri malu tampak diam. Mungkinkah dia mendengarku? Entahlah.

“Sejak kecil aku terbiasa mendengar mereka berkata, ‘Asmara, pakai antingnya, biar jadi perempuan’, lalu ‘Asmara, jangan main bola, nanti kayak anak laki-laki’ atau, ‘Asmara, kau itu istri! masak buat makanan begitu saja tak bisa’. Aku memang perempuan, tapi aku harus tunduk pada sosok perempuan gambaran dari mereka. Dan mungkin … ini cara yang lebih baik untuk mengakhirinya.”

Aku menyentuh kepala bulat dari si putri malu sebelum akhirnya ia menangkupkan daun-daunnya. Menutup dirinya dari sentuhan yang tak ia kenal.

Aku menghela nafas panjang. Sisa-sisa lembabnya tanah masih bisa tercium lewat semburan selang air putar beberapa ratus meter di depanku. Hingga …,

“Bu Asmara …,” panggil seorang perawat. Aku memutar kepalaku menatap perawat muda dengan baju biru kehijauan, “waktunya untuk terapi,” katanya lagi. Dan aku tahu, caraku melindungi diri mungkin bukan dengan mengakhiri segalanya tapi pergi ke tempat di mana aku bisa menjadi manusia utuh.

Ending

Gimana nih gengs, ceritanya? Tapi … di luar konteks cerita ini, pasti di antara kalian punya gagasan yang berbeda tentang kata perempuan atau wanita kan. Boleh kok kalian share gagasan kalian atau wawasan baru kalian tentang ke-perempuan-an ini. Eits, tetap dengan kata-kata yang santun ya gengs, biar jejak digital kalian tetap bersih.

Have a nice day! Jya, mata ne~

Source:
Kjellgren, Adam. “The Myth of Woman: Simone de Beauvoir and the Anthropological Discourse on Myth.” History of European Ideas, no. 8, Informa UK Limited, May 2023, pp. 1286–301

https://plato.stanford.edu/entries/beauvoir/

View Comments

  • Aku penasaran dengan endingnyaa.....bu asmara ikut terapi apa ya mba?? :)
    Hmmmm laki laki dan perempuan menurutku masing2 mempunyai tanggung jawabnya sendiri2 yaa apalagi masa sekarang sepertinya perempuan bisa lebih speak up tantang apa yang diinginkan..meskipun batasan2 antara lelaki dan wanita menurutku juga masih ada yaa,,,
    Aku sendiri sebagai seorang istri juga memposisikan diri sebagai makmum karena suami adalah imam di keluarga kalo menurut agamaku..namun bukan brarti kita tidak mempunyai hak untuk berpendapat dan bersuara mbaa...saya menjalankan peran sama sebagai seorang istri namun juga masih tetap bisa mengekspresikan diri sesuai dengan keinginanku...

    • Kalau dari cerita sejenis yang kubaca, mereka biasanya ikut terapi psikis di psikiater kalau nggak terapi komunikasi keluarga atau sejenis konseling gitu mbak.
      Tapi bener sih, bagusnya memang kita (perempuan) harus berani bicara dalam konteks yang positif ya. Karena gimana-gimana meski dalam pernikahan sekalipun jika salah satu pihak merasa disepelekan tentu nggak sehat buat rumah tangganya.. :)

  • Dari yang saya pahami. Kata perempuan dan wanita itu maknanya sama. Tapi perempuan lebih fokus pada hal kesetaraan gender, perannya, termasuk tugasnya dalam rumah tangga. Kalau wanita lebih formal. apalagi sejak lahir, kata anak perempuan sudah melekat.
    Dari cerita di atas, Bu Asmara sepertinya mengalami tekanan batin dengan predikatnya sebagai perempuan. Tugas sebagai seorang istri sekaligus ibu yang hanya berkutat pada Dapur. Sumur, Kasur. Apalagi kayaknya dia nikah terpaksa karena pemintaan ibunya. Tekanan inilah yang membuatnya harus menjalani terapi.

    • Setuju, pernikahan yang dipaksakan bisa menimbulkan beban tersendiri bagi yang menjalani Pak Bams. Tapi, ada juga pernikahan yang didasarkan mau sama mau pun tidak bisa lepas dari beban. Tergantung apakah kedua pihak punya kesediaan untuk belajar memproses pemahaman yang baik dan bukan hanya sekedar menuntut semata. :)

  • Putri malu dianalogikan sebagai perempuan, bener juga sih Mba. Saya merasakan jadi Bu Asmara. Memang iya sih jadi perempuan itu banyak tuntutannya. Dibilang cape karena aktivitas sehari-hari jadi IRT tapi masih dibilang banyak waktu senggang karena diem di rumah. Memang biar sama-sama nyaman pasangan juga harus bisa saling ngertiin satu sama lain sih. Kayanya butuh deep talk.

    • yes, deep talk itu bisa jadi jembatan untuk komunikasi antar pasangan. :)

  • Perempuan memang sesuatu.
    Kerap kali menemukan banyak peraturan untuk dirinya, yang dianggap mengekang. Meski adakalanya aturan tersebut untuk mencegahnya dari hal² yang berbahaya.
    Perempuan memang sesuatu, karena ia adakalanya ragu, pemalu, tapi ketika sudah menyampaikan aspirasinya please deh jangan ganggu hehe

    • Relatable dengan beberapa pasutri.
      Tapi alangkah baiknya memang pasutri kudu sadar dengan peran masing2.

      Tidak perlu mengecilkan kontribusi satu sama lain.
      Yang penting sama² berjuang mewujudkan Rumah Tangga yg sakinah, berpasangan.,berpasangan....berpasangan 😷

    • Hehehe, jargonya unik juga mbak Fen.
      Kalau sudah beraspirasi, jangan ganggu.. :D
      Tapi beneran lho, kadang perempuan sendiri ada lho ya mengekang sesama perempuan dan termasuk diri sendiri. Yuk, saling support sesama teman perempuan untuk berdaya bagi diri sendiri. :D

  • Menjadi perempuan selalu bersiraman dengan begitu banyak kisah. Ada tuntutan, norma, aturan dan banyak hal lain yang kadang di ajak terbang, sekaligus kadang dipaksa untuk diam di sudut pilu. Seperti putri malu selalu saja ada pertahanan atau perlindungan yang di lengkapi oleh penciptanya. Aku baru sadar kembali ternyata malam dia menutup diri.

    Untuk perempuan, cara terbaik melindungi diri dari segala serakahkahnya waktu adalah bercerita. Menyampaikan rasa dengan orang tepat. Konon, wanita tanpa bercerita seperti besi yang dibakar, membara. Jika tidak di salurkan dengan tepat akan membakar apapun disekelilingnya.

    Membaca tulisan ini ada begitu banyak lapisan rasa tersampaikan pada jiwa ini. Nalarku rebah dan ingin merangkul untuk para perempuan yang mungkin sudah lelah bertanggung jawab dengan identitasnya. Banyak doa baik dan kiranya waktu memberi kekuatan.

  • Dulu waktu SD suka berburu putri malu dengan sohib, seruu kalau daunnya menguncup gitu. Sayang sekarang sudah jarang lihat tanaman ini. Pengen mengenalkannya ke Saladin.

  • Huaaaaa!!!! Aku nangis baca iniiii... Sampai bingung mau komentar apa.

    Pokoknya begitu ya. Baik laki-laki maupun perempuan punya peran-peran yang "harus" mereka jalankan dan tidak jarang jadi beban bagi mereka.

    Tapi bener lho di luar sana banyak suami yang menganggap istrinya tidak lelah hanya karena dia tidak bekerja di luar rumah. Lelah yang disepelekan itu bisa jadi bom waktu.

  • hhhhhhhh. kalo ngomongin perempuan itu rasanya beraaat banget buatku mbak. padahal di Islam tuh kita perempuan sangat dimuliakan. tapi, kenapa rasanya di lingkungan sosial kita kayak jadi beban yang harus serba bisa dan nggak punya hak atas diri kita sendiri ya? bukan hanya tubuh, tapi juga perkara pilihan.

    tapi, kalo baca cerita si Bu Asmara ini mungkin case-nya di komunikasi ya. kondisi dua orang yang lagi capek emang rentan tegang dan harus bisa saling memahami.

  • Jadi keinget zaman SD dulu, les di rumah guru dan dekat rumahnya banyak ilalang dan tanaman putri malu. Sambil nunggu waktu les tiba suka nyentuh2 daunnya hehe. Ternyata itu bagian dari melindungi diri dari serangan predator yaa. Tanaman ini termasuk liar apa ya, karena gak dikembakbiakkan aja keknya bisa tumbuh sendiri di pinggiran jalan.
    Btw kalau menjadi perempuan di masa sekarang tu sebenarnya sudah bisa sih melindungi diri. Saat merasa gak aman dan gak nyaman, bisa memilih kabur.
    Walau kadang emang risikonya masih banyak stigma yang akan mengikuti.
    Tapi kyknya tinggal mencari budaya mana yang cocok, kalau gak cocok di sini yawes #kaburajadulu #eh.
    Serius, bener lho, kan sebagai manusia, perempuan juga ada akal pikiran. Tapi ya gitu sekali lagi, tergantung pilihan orangnya juga sih yaaa...

  • Agak mengkaget mbak, endingnya si cewek sampe mesti ikut terapi, yang kalo kutebak kayaknya ke psikolog ya?

    Sama kayak istriku juga. Beberapa waktu terakhir baru aja aku ajak ke psikiater. Tapi bukan karena masalah di rumah, tapi lebih karena masa lalu yang belum selesai.
    Aku sbg suami mah, selalu ngusahain ngurangin beban istri mbak. Ya beberes rumah, nyuci baju, nyuci piring, semuanya kukerjain.
    Nah alhasil sekarang gantian aku yang pengen ke psikiater juga hahahaha