Rasanya siang itu, angin pun terlihat malas untuk bergerak. Gerah. Aku tak tahu jam berapa itu, karena aku tak kenal apa itu waktu. Srak! Srak! Seorang perempuan bercelana merah, berjalan pelan. Wajahnya tertunduk. Bersedih? Lelah? Putus asa? atau apalah bahasa kalian ketika melihatnya.
Wanita itu duduk di bawah pohon akasia. Tak jauh dariku. Ia menengadah ke atas pohon. Seperti berdoa pada daun di atasnya. Meski, para daun berkasak kusuk tak tahu apa katanya. Tak lama kemudian … mataku bertemu dengannya. Lalu, tahu-tahu ia berjongkok di depanku. “Bagaimana kau bisa tumbuh di sini?” tanyanya padaku.
Tentu, aku ingin menjawab. Tapi aku tahu dia tak mengerti bahasaku. “Kau tanaman yang kuat. Juga cantik,” katanya lagi. Akarku bergerak. Padahal aku hanya gulma, yang tak punya pilihan lain selain tumbuh. Lantas mengapa mereka berpikir aku kuat? Namun anak itu masih berjongkok hening. Seperti menungguku.
Rupanya suaraku terhisap. Seperti hanyut pada kisah anak perempuan bernama Widuri itu.
Aku bisa merasakan sinar matahari sama mencekamnya dengan ocehan pria itu. Dan, aku menyebutnya Ayah. Tak tahu mengapa pria yang jarang ada di rumah itu, kusebut Ayah. Mungkin karena dia pasangan ibuku. Hanya pasangan. Meski, setiap pulang ke rumah, ia selalu merengek meminta ini itu pada ibu. Tak peduli apakah ibu sedang lelah atau sedang sakit.
Baca juga: Bunga yang Selalu Mengeluhkan Namanya
Seperti dunia berkutat hanya pada orang itu.
“Ayah,” selaku, “ibu sedang lelah. Biar istirahat dulu,” kataku melunak di siang terik. Aku ingat dia meminta ibu membuatkan secangkir teh, tapi aku tahu ibu lelah. Matanya sembab dan berkantung. Kutahu bahwa ibu menjahit semalaman baju-baju ayah yang sakunya berlubang.
“Halah! Masih bocah, banyak omong!” hardik ayah, “ini urusan orang tua. Main sana di luar!” Telunjuk ayah menunjuk mukaku dan beralih ke pintu teras yang terbuka lebar.
“Bu! Cepat es tehnya! Lelet sekali!” perintah ayah dari ruang tamu.
Aku tahu suaraku terlalu kecil untuk menggantikan suara gelegar ayah saat itu. Lalu kakiku berderap menghampiri ibu di dapur. Aku terhenti di ambang pintu dapur. Bahu ibu naik turun. Aku tahu ibu tak mengaduk teh. Ia menangis.
Baca juga: Satu Pose Sederhana di Segala Acara
“Bu, aku bantu bawakan tehnya,” kataku dari belakang. Tak mau mengagetkan ibu.
Ibu menyeka air matanya. Matanya merah. Sembab semakin terlihat. “Makasih ya, Nak,” ujar ibu sambil berdeham. Suaranya serak tapi ia tetap tersenyum padaku.
Melihat senyum ibu, membuatku ingat betapa cantiknya ibu foto-foto lamanya. Tapi entah sejak kapan kecantikan ibu berubah di mata ayah. Meski di mataku ibu masih secantik itu sampai saat ini.
Aku kira siang itu akan berlalu dengan cepat. Tapi siang-siang berikutnya suara ayah makin keras. Memekik telingaku yang tak lebih dari setengah dari telinganya. Kata-kata ayah semakin liar. Rusak.
“Dasar wanita tak punya otak!” hardiknya, “menjahit lubang ini saja tak becus!”
Baca juga: Binahong News dan Prakiraan Tanah Hari Ini
Aku kaget. Gendangku terasa seperti bola yang kempes. Menclos. Aku melihat Ibu masih berusaha menjelaskan keadaannya. “Nggak ada alasan! Masa menjahit harus aku yang kerjakan! Kau kan punya banyak waktu di rumah!”
“Iya, aku kewalahan beberapa hari ini. Mengepel tak lagi bisa seminggu sekali. Ini musim kemarau.”
“Bah! Kau saja yang tak bisa menghitung waktu!” seru ayah. Ia membanting kemejanya ke kursi.
“Coba saja kau jadi aku, Mas!” bantah ibu. Mata ibu berkaca-kaca lagi. “Aku harus bangun pagi-pagi mengurus keperluan rumah. Mengurus anak. Apa kau pernah melihat aku berkeliaran di cafe-cefe? atau nongkrong di mall pagi-pagi?” tanya ibu lagi, kali ini lebih menuntut.
Aku hanya melihat ayah terdiam. Memalingkan kepalanya. “Aku lelah dengar semua makianmu, Mas. Memang aku tak secantik kawan-kawanmu di kantor. Aku hanya Widuri yang bertahan di dalam rumah. Berusaha tak menuntut pada suami yang bahkan jarang pulang ke rumah. Widuri yang berusaha menyisihkan setiap sen ke kantong-kantong agar dapur tetap menyala. Dan Widuri kecil ini …” kata ibu sambil menunjukku, “tetap bisa bersekolah seperti anak yang lain!” katanya. Kali ini air mata ibu pecah. Seperti kaca.
Baca juga: Daun Bulat yang Tak Pernah Menjadi Koin
Lalu, ketika ibu melihatku. Ibu berjongkok dan memintaku bermain dulu di luar. Katanya, ia akan segera menyusulku. Aku hanya mengangguk. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghibur ibu. Kecuali, aku mengikuti kata-katanya. Bermain di luar rumah. Menantang cengkeraman matahari pukul satu siang.
Pohon akasia di sisi lapangan bola itu menggodaku. Membuatku terhenti dan terduduk hanya untuk bisa menikmati kata teduh. Dan ketika aku melihat kekosongan lapangan itu, mataku tertumbuk pada tanaman indah tak jauh dari pohon kuberteduh. Aku dekati dan kutanya siapa namanya. Tapi sepertinya ia tak tahu bahasaku.
Aku hanya merasa nyaman berjongkok bersama tanaman itu. Meski aku dan dia bisa jadi berbicara dalam bahasa yang berbeda. Lucu sekali.
Di hadapan widuri itu, suaraku tumpang tindih. Seperti terhisap dalam dua tubuh. Mustahil, pikirku.
Aku berkata, “sejak saat itu. Di hadapan widuri ini, aku sadar bahwa ibuku tak akan menyusulku,” kali ini dengan suara Widuri kecil.
Baca juga: Serambi Untuk Pemakaman Di Sudut Kecil
Aku yang lain, “sejak gadis itu dihadapanku, aku sadar bahwa aku dan dia tak lain hanya sama-sama bertahan,” dengan suara bunga widuri.
Aku berkata lagi dalam suara Widuri kecil, “aku kira ibuku menamaiku widuri, agar dia tak lagi kesepian. Tapi tak lain agar aku belajar bertahan hidup,”
Sementara dengan cepat aku dalam tubuh bunga Widuri itu berkata, “aku kira manusia hanya menganggapku gulma, tapi ada juga yang menilai kucantik.”
Kemudian aku yang dengar tentang Levi Straus berkata, “barangkali tanaman pun perlu mendengar lebih banyak tentang manusia.”
Selanjutnya aku yang lain yang mendengar posthumanis berkata, “barangkali manusia perlu mendengar lebih banyak tentang tumbuhan yang diam.”
Kira-kira seperti itu.
Gimana nih gengs ceritanya? Nggak sempurna, tapi moga ada kesan yang nempel ya di hati.
Tapi nih ngomongin tanaman, ada nggak sih yang cara tumbuhnya bisa kamu ibaratkan dengan perjalananmu? Bisa lho komen di kolom komentar. Tetep ya dengan cara yang sopan, biar jejak digital kalian tetep bersih.
Have a nice day! Ja, matta ne.
Source:
Braidotti, R. (2019). A theoretical framework for the critical posthumanities. Theory, Culture & Society, 36(6), 31–61
https://www.socfindoconservation.co.id/plant/571
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/03/24/widuri-diabaikan-tapi-punya-banyak-khasiat
View Comments
Baca judul ini jadi pengen nyanyi widuri, elok bagai rembulan, oh sayang.
Ternyata widuri itu nama bunga ya dan ada filosofinya.
Baca ini kok jadi nyesek, di mana istri disetarakan dengan bawahan yang bisa seenaknya disuruh-suruh oleh suami, partiarki banget sih....
Baru mau nyanyi udah diwakili hahahahha....
Jadi tahu bentuknya Widuri mbaaa. Cantiiiik ya ternyata. Aku tahu tanaman Widuri Krn lagunya Widuri di tahun 70an. Mamaku sering putar lagunya hahahahha. Dan jadi keinget aja gitu. Tapi ga kepikir cari tahu bentuk bunganya kayak apa. Eh sekarang jadi keinget lagi. Dan baru tahu dia dianggab gulma juga yaaa.
Wiiiiduuuri....engkau bagai lukisaaaannn...ohhh sayaaanggg....hehe kayaknya kita seangkatan Mbak :D
Aku melihat memang ada pria yang seperti itu di negeri ini, banyak. Banyak pula perempuan seperti si ibu ini yang memilih diam dan bertahan. Aku harap ia menamai anaknya anyelir, sebuah simbol revolusi Perancis. Kelak bersama ibunya, ia akan menggulingkan kekuasaan sang ayah. Menendang bokongnya hingga ke ujung pagar. Nice story Kak :)
Pas baca judul aku jadi keinget sebuah lagu kesukaan alm ayahku loh mbak. Hehehe...
Tapi baca cerita ini aku kok rasanya sedih. Kehidupan seorang ibu rumah tangga dengan suami penganut patriarki emang bisa sesengsara itu. hiks...
Mbak Dinda pintar mengolah kata, aku sudah mau siap-siap tisu lo ini. Kebetulan lagi nyusun buku antologi karya teman-teman yang temanya tentang ibu. Ada yang kisahnya mirip seperti ini dan kumenangis.
Mungkin di musim saat ini, manusia perlu lebih mendengar tanaman, terlihat diam tapi siapa tahu dia sejatinya sering berdialog sama angin. Kemudian angin menyampaikan pada jiwa-jiwa yang kering. Lalu, kata bertahan seperti tokoh utama dalam musim ini.
Dengan segala ceritanya, bertahan sebuah cara untuk jiwa tetap ada. Dan setiap tulisan tersentuh rasa ini, aku berdialog dengan nurani, betapa hebatnya Widuri, diam dan bicaranya memberi cerminan, segalanya punya batas.
Terima kasih untuk sentuhan aksara rasanya, begitu banyak lapisan rasa tercermin dan pengetahuan tentang tanaman kembali bertambah.
Mungkin aku kurang jeli memperhatikan detail tanaman mana yang perjalanan hidupnya kurleb mirip dengan kisah ku. Tetapi Widuri ini kuat dan cantik dimataku. Meski sebagian menganggap nya gulma yang tak berfaedah, aku melihatnya lebih dari itu. Setiap tanaman dan mahluk yang diciptakan pasti punya kelebihan dan fungsi.
Membaca kisah Widuri kecil menghadapi ayah yang temperamental dan melihat ibunya sering dimaki. Membuat hati ku melencos banget. Sedih ya jadi perempuan kalau bertemu lelaki yang tidak tepat. Rasanya keseharian menjadi semakin berat.
saya baru tahu ada tanaman Widuri atau Biduri. Selama ini saya tahunya dari lagu yang menggambarkan seorang perempuan yang memang terluka. Sama seperti di cerita Mbak Dinda. Tanaman Widuri getahnya juga bisa dijadikan obat sakit gigi
Ceritanya cantik mbaaaa dan aku menyukainya ..langsung terbayang pas bentakan sang ayah seberapa lantangnya hingga mampu membuat ibu menangis dan membuat widuri kecil meringsut pergi...
Aku baru tahu loo kalo itu namanya bunga widuri hehe mungkin sering lihat hanya saja tidak tau nama2 nya ..salah satu kebiasaaanya ingat prang bentuk atau sesuatu tapi untuk nama sering skip kalo tidak berinteraksi secara rutin hehe
Sepertinya daku belum pernah melihat bunga widuri ini, ataupun daunnya.
Padahal ia apik lho, warnanya sendu.
Tapi kenapa widuri yang jadi istri di cerita itu kok sedih ya? Apalagi anaknya yang bernama widuri kok juga nelangsa? Huhu
Please, jangan biarkan Widuri menangis