Srak srak srak!
Kucoret-coret kertas di atas meja. “Salah lagi!” gerutuku.
Dag dug dag!
Suara buku-buku bertabrakan di atas meja kerja. “Ada bagian yang kosong!” gumamku lagi. Aku mengobrak-abrik beberapa kertas di atas tumpukan buku. Benar-benar berantakan.
Kubuka buku Jack London kembali, kertas-kertasnya bergumam. Mungkin jengkel. Sementara kepalaku masih membuka tak sabar tanda-tanda yang tertempel di sisi kertas. Takut ide itu menguap bersama dengan cuaca siang.
Dan di halaman 64, pada alinea ke-22, kutemukan kata-kata yang menyegel ruang otopsiku.
Buck memiliki satu kualitas hebat (imajinasi).
Aku mengetuk-ngetuk meja dengan pena. Berpikir, apakah ruang otopsi ini bisa menjadi arena terliar untuk ide-ideku?
Aku menyandarkan tubuhku pada punggung kursi hitam. Krekk! Rintih kursi itu. Entah sudah berapa tahun kursi itu harus menahan beban tubuh dan menjaga bahuku untuk tetap prima. Kepalaku menatap langit-langit ruang otopsi (ruang kerja tempat aku membedah ide-ide liar) yang lampunya saja sudah setengah mengantuk. Sedikit meredup setelah melewati ratusan malam.
Kuhabiskan lima jam lebih untuk mengotopsi pilihan ide. Lembar demi lembar kuiris dengan mata. Kuteliti Teori, analisis dan berbagai informasi saling menyahut. Sengkarut dan kadang-kadang berantakan. Apa terlalu berlebihan atau masuk akal? apa ini bentuk yang jujur atau sekedar pamer? Mesin di kepala berdengung seperti pemindai masa kini.
Lalu ketika satu buku berjudul The Call of The Wild rampung. Aku merasa ironi dengan diri sendiri. “Sial!” gumamku saat teringat tokoh cerita yang hanya seorang anjing. Namanya Buck. Buck yang lahir dari sudah tinggal di tempat nyaman. Ia diculik. Penculikan itu membawa Buck ke tempat di mana ia tak bisa memilih kenyamanannya. Tubuhnya harus patuh pada lingkungan dan hukum alam yang keras serta liar.
Di ruang otopsi yang lampunya setengah mengantuk itu, aku menyadari satu hal. Kerja modern lebih mirip alam liar. Alam liar yang situasinya menuntut mata menatap layar yang terlalu terang atau terlalu redup; Siku lengan yang menegang di meja yang tak cukup luas; Pikiran yang terus bergerak mengikuti ritme tubuh yang sebenarnya lelah.
Baca juga: Lagu di Radio dalam Perpustakaan Tengah Malam
Dan ketika pikiran ini terbesit. Aku memperhatikan lagi ruang otopsi di sekelilingku. “Bagaimana aku bisa menjinakkan ruang otopsi ini?” Kertas bergeming. Gerakan kecil yang kubuat membuat penaku terjatuh. Gemanya tertinggal.
Gema pena yang terjatuh rasanya seperti gaung dari jauh tentang ruang untuk diri sendiri. Aku merasa gema pena itu seperti omelan Virginia Woolf. Ia tidak hanya akan mengomel tentang Ruang Bagi Perpempuan untuk berkreasi. Barangkali dia akan mengomel betapa cerobohnya aku yang tidak bisa menjinakkan ruang otopsiku.
“Aku tidak hidup di alam liar seperti Buck. Mengapa aku tak bisa menjinakkan ruang otopsi ini?” gumamku. Aku memindai meja bedah di ruang otopsiku. Buku-buku berserakan. Kabel-kabel saling melilit. Layar dan tubuh perangkatku saling terpisah. Benar-benar kusut. Sempit.
“Untuk menjinakkan ruang ini, aku harus mulai dari mana dulu?” Aku mendesah. Aku menggeret kursi hitam. Rodanya merengek lagi. Minta cuti. Aku menekan tuts-tuts di keyboard berkabel. Bagaimana merapikan meja kerja?
Jawabannya mengejutkanku. Menjinakkan ruang otopsiku bisa jadi artinya dengan mengurangi beban meja bedahku sendiri. “ASUS V400 Series, AiO PC terbaik untuk di rumah dan di tempat kerja.” Aku membaca kalimat tagline di layarku. Aku merengutkan kening. Penasaran. Kuarahkan kursor mouse yang kabelnya terlilit, pada link berwarna biru. Layar PC-ku yang terlalu terang itu, memudar. Kilatnya semakin meredup namun redupnya justru membuat mataku tak berkedip.
Baca juga: Radio Gosip Puritan: Skandal Hester Prynne Dari Nathaniel Hawthorne!
“Bagimana bisa?” gumamku lirih. Kertas-kertas mulai menertawakan.
Sinar di layar PC-ku seperti menyedotku. Entah bagaimana caranya aku seperti ada di dalamnya. Pandanganku semuanya memutih. Kepalaku memandang berkeliling. Di sudut sana aku menatap layar yang sangat besar. Layar itu memantulkan gambar-gambar ketika aku bekerja. “
Bukankah itu …,” aku tak melanjutkan kata-kata. Sebuah suara dari arah belakang membuatku membalikkan badan. Namanya Susan. Robot yang entah bagaimana bisa berhadapan denganku. “Aku sudah melihatmu bekerja, Nona. Cukup kesal melihat dirimu bekerja sepuluh tahun belakangan ini,” katanya. Suara mekaniknya cukup menjengkelkanku. Mirip PC lamaku.
“Meja bedahmu terlihat seperti medan liar.” aku mengangguk. “Serupa dengan Novel The Call of The Wild. Apa kau mengira novel itu hanya novel tentang petualangan?”
Blastt! Seperti kilat menggores sudut mataku. Aku melewatkan bagian pentingnya. “Alam liar tidak menjinakkanmu. Kau yang bisa menjinakkan medan liar. Meja bedahmu itu.” Robot itu menunjuk meja yang ada di layar besar di belakangku.
Baca juga: The Path Made Clear: Optimisme sang Visioner Oprah Winfrey
“Mereka yang menciptakan, menamainya Asus AiO V400.” Layar di kepalanya memunculkan tulisan aneh. Kode-kode program atau semacammya. Lalu dari bawah lantai putih itu. Sebuah meja putih naik ke permukaan. Di atasnya layar PC tanpa tubuh, sebuah keyboard dan mouse tak berkabel. Cling! Layar itu bersinar.
“Hebat,” gumamku. Aku berjalan mendekati meja tersebut. Mulus. Rapi dan luas.
“Benda ini akan menjinakkan meja bedahmu. Tak makan tempat. Tanpa kabel sengkarut. Juga tanpa gangguan pada siku-sikumu. All in One Design. Kau bahkan bisa memilih ukuran layar. 24 inchi atau 27 inchi. Tergantung seleramu, Nona.” jelas Robot Susan.
Robot itu mendorong sebuah kursi, yang kutak tahu dari mana asalnya. Sungguh misterius. “Cobalah!” suara mekaniknya sangat menarik. Aku duduk di kursi itu. Menyentuh mouse putih di atas meja. Dingin.
Tapi yang lebih mengejutkan lagi, sinar dari layar 24 inchi di depanku. Cukup untuk mata yang tak suka cahaya terang. TÜV Rheinland. “Bagaimana? Apa kau sudah merasa menjinakkan meja bedahmu, Nona?”
Baca juga: The Golden Road: Kerinduan L.M Montomery Pada Masa Anak-Anak
Pertanyaan Susan tak bisa kuelak. Menjajal Asus AiO V400 membuatku merasa menjinakkan meja bedahku sendiri. Aku menyentuh tepi meja putih di depanku. Licin. Lebar.
Susan menyebut All in One Design, (yang lebih tepatnya) mesin ini mengajariku bentuk kebebasan. Mirip dengan kisah Buck di novel Jack London. Buck kehilangan tuan, tapi tidak dengan kehilangan otonomi kebebasannya: menjinakkan alam liar. Sama dengan esais buku sepertiku. Jika buku adalah otonomi, maka meja bedah di ruang otopsiku tidak akan bersaing dengan CPU.
Si robot cerewet itu menjelaskan panjang lebar tentang teknis 100% sRGB + TÜV Rheinland. Bahasanya begitu menjengkelkan. “Sederhananya, 100% sRGB dan TÜV Rheinland adalah warna layar dan pencahayaan. Rasanya kau tidak akan terlalu membutuhkannya jika kau seorang esais.”
“Tidak!” sanggahku, “meski aku bukan designer yang paham tentang pewarnaan atau apapun itu. warna layar dan pencahayaan sangat penting buatku. Huruf-huruf hitam yang tercetak pada aplikasi pengetikan atau buku-buku digital yang kubaca, tidak akan memukul retina mataku. Dan secara teknis bagi esais, itu emas karena kepala tidak akan seperti karet yang mengencang.”
Si robot menyebalkan itu tertawa. Aku hanya mengabaikannya. Kami hening sejenak.
Baca juga: Pojokan dan Suara Kertas Berceloteh
Lalu, tanganku menyentuh sisi-sisi layar Asus AiO V400 setebal 36,5 mm. Tipis tapi melegakan. Bezel dengan tinggi 15.6 mm menciptakan gambaran tentang ketangguhan dan betapa liarnya imajinasi di dalam ruang otopsi itu. Belum lagi, mouse dan keyboard nirkabel yang membuat meja bedah seolah bisa menghela napas, meski buku-buku masih bertumpuk di sisinya. “Ini luar biasa,” kataku. Mataku membesar penuh kekaguman.
Sekali lagi layar Asus AiO V400 menyedotku. Dalam pikiranku, kemana lagi ia akan membawaku. Pasrah.
Aku mengerjapkan mata. Menyesuaikan cahaya. Perlahan mataku terbiasa dengan cahaya terang itu. PC lamaku berpendar di depan. Aku terduduk tegak. Buku The Call of the Wild terbuka di sisi kiriku.
Manusia dan klaim kepemilikan manusia tak lagi mengikatnya.
The Call of The Wild halaman 154
Aku menghela napas dalam. Sangat dalam. Bukan karena aku kecewa hanya bermimpi menyentuh Asus AiO V400, tapi karena kata-kata di buku itu yang terasa begitu dekat rasa frustasi di ruang otopsiku. “Aku tidak bisa menunggu lama lagi. Peradaban baru tak harus menghapus, tapi memperbaiki kesalahan yang lama.” Aku bergumam di depan layar PC lama yang menampilkan gambar mesin All in One Design itu.
Aku tak menyangka mesin tersebut penuh simbol bagi esais buku sepertiku. Tubuhnya adalah otonomi kebebasan berkreasi. Mouse dan Keyboard nirkabelnya adalah independesi kreasi. Kamera ASUS AI-nya jadi pengaman saat sisi terliar imajinasi muncul. “Lalu, Prosesor Intel Core i7 serta RAM hingga 64 GB DDR5 jadi pengontrol emosi saat naluri terliar dari esais muncul dan membutuhkan ruang.”
Mungkin, itulah yang terjadi pada Buck dalam novel The Call of The Wild. Peradaban-peradaban baru yang mengharuskan siapapun tunduk pada alam, nyatanya tak akan mencabut naluri keliaran yang ada dalam dirinya. Begitupun aku sebagai esais buku, yang kadang tetap membutuhkan naluri purba (kebebasan berekspresi) di tengah peradaban baru bernama produktifitas.
Sebuah telepon berdering di ruang otopsi itu. Asus AiO V400 akan menggantikan PC lamaku di ruang otopsi. Saat itu kuhanya berpikir, apa ini kebetulan ataukah Asus AiO V400 inilah yang kucari untuk menjawab panggilan liar di ruang otopsi itu?
Artikel ini diikutsertakan pada Lomba Blog “ASUS AiO V400, The Most Aesthetic Workstation!” yang diadakan oleh Travelerien.
Gimana nih gengs? Apakah kamu punya cerita menarik tentang ruang liar yang berantakan untuk bekerja? Bisa dong berbagi kolom komentar. Tapi ingat ya, untuk komen dengan sopan dan bijak semata-mata agar jejak digital kalian bersih.
Have a nice day! Jya, mata ne~