Nah, pernah enggak sih kepikiran kenapa banyak yang pilih jurusan bukan karena cinta, tapi karena citra? Padahal, kalau urusan cinta aja susah, apalagi urusan milih jurusan yang bakal menentukan masa depan. Cieee!!
Kalau udah begini, orang tua biasanya muncul dengan berbagai argumen—yang kadang lebih banyak bikin pusing daripada membantu. “Nak, pilihlah jurusan yang ada masa depannya, jangan asal ikut-ikutan temen!” atau “Nak, jangan pilih jurusan ABCD, nanti kamu jadi pengangguran!” (padahal temennya juga galau dan senior sekolahnya juga banyak yang nganggur). Ciaaatt!
Kita lihat stereotip jurusan kuliah ini dengan kacamata dua teori yang (masih) cukup relevan!
Siapa di antara kalian yang anak filsafat/sastra/ilmu sejarah/pertanian, pernah enggak dapat pandangan miring, “Gilak! Lu mau kerja apa kalau ambil jurusan itu?” atau “Astaga, lu ambil sastra pengen jadi penyair?” Eng ing eng! Pertanyaan itu mungkin sudah kaya lagu lama yang diputar terus-menerus.
Sebenarnya alasan mereka (pemberi stereotip) itu tidak sepenuhnya salah, karena ada alasan yang melatarbelakangi. Menurut teori ekspektasi dan nilai (Expectancy-value theory) yang dikembangkan oleh Atkison tahun 1950-an dan dipopulerkan oleh Jacquelynne Eccles. Ada faktor utama yang memengaruhi motivasi seseorang untuk memberi stereotip tertentu pada sebuah jurusan, yaitu expectancy (harapan akan sukses) dan value (nilai atau keuntungan yang dirasakan dari tindakan tersebut).
Ekspektasi atau harapan merujuk pada keyakinan seseorang mengenai sejauh mana mereka merasa mampu berhasil dalam suatu tugas atau, dalam konteks ini, dalam menjalani dan menyelesaikan studi di jurusan tertentu.
Pemberian stereotip ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu baik itu dari diri sendiri/keluarga/melalui pemberitaan. Misalkan saja nih ada calon mahasiswa yang tumbuh di sebuah keluarga, yang salah satunya anggotanya kuliah di jurusan kedokteran dan sukses, maka bukan enggak mungkin mereka akan ngembangin keyakinan yang sama. Begitu pun sebaliknya.
Selain pengalaman masa lalu/pemberitaan, dukungan sosial dan lingkungan juga mengambil peran terhadap pelabelan ini. Misalkan saja yang sempat rame, masalah dalam lapangan kerja. Permintaan akan lulusan IT lebih besar daripada daripada permintaan di bidang lain, akan mengakibatkan stereotip jurusan tertentu pun semakin tajam.
Dengan adanya ekspektasi dan tetek bengek yang ikut, tentu seseorang akan menimbang-nimbang dan akhirnya memberi nilai pada jurusan tertentu. Nilai ini masih terbagi dari tiga jenis yang salah satu atau kesemuanya bisa masuk lho!
Memang apa masalahnya?
Teori kedua yang masuk atas fenomena ini yaitu Fenomenologi Konstruktivis. Teori ini memandang dunia seperti panggung drama, di mana makna dan pemahaman kita tentang dunia, termasuk soal jurusan, sebenarnya hasil ‘rekayasa’ sosial. Ada beberapa konsep besar yang merupakan inti teori ini:
Menurut Berger dan Luckmann, stereotip tentang jurusan itu bukan muncul karena kita tiba-tiba bangun tidur dan ting! muncul ide bahwa jurusan A itu keren atau jurusan B itu cupu. Enggak, kok! Pandangan tentang mana jurusan yang “oke” atau “nanggung” itu sebenarnya terbentuk lewat obrolan sehari-hari, curhatan di grup chat, cerita orang tua, sindiran halus dari teman, dan bahkan dari media sosial yang hobi banget nge-bash jurusan tertentu. Misalnya, kalau di lingkungan kita ada yang bilang jurusan ilmu sosial itu “kurang menjanjikan,” ya siap-siap aja deh, pandangan itu bakal nempel di kepala dan terus terdengar kayak resep turun-temurun.
Konstruksi sosial ini juga butuh “izin resmi” biar lebih valid. Berger dan Luckmann menyebutnya “legitimasi” dan “internalisasi.” Ibarat kata, stereotip jurusan itu kayak gosip yang lama-lama jadi ‘fakta’ karena banyak pihak yang terus menyebarkan lewat berbagai media, mulai dari orang tua, guru, sampe media massa. Terus, kalau udah bolak-balik dengar stereotip yang sama, kita jadi terbiasa dan akhirnya percaya bahwa itulah kebenaran sejati, padahal… belum tentu juga!
Misalnya nih, kalau di keluarga atau lingkungan kamu ada yang bilang, “Jurusan sastra? Mau jadi apa nanti? Penyair patah hati?”, lama-lama kamu bisa ikut mikir gitu juga. Mereka yang nekat ambil jurusan itu mungkin harus siap dengan omongan miring, sementara yang lain mending cari aman dengan pilih jurusan yang lebih “bermasa depan cerah,” biar orang enggak menganggap punya masa depan syuram.
Akhirnya, stereotip ini jadi kayak ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya. Ketika banyak orang percaya jurusan tertentu enggak bakal kasih sukses, orang-orang pun jadi malas milih jurusan itu. Efek domino, lulusan jurusan itu sedikit, persaingan di pasar kerja makin ketat, dan… boom! Stereotip itu makin kuat. Lingkaran setan pun terbentuk, bikin kita susah lepas dari pola pikir sempit yang sama.
Stereotip apapun termasuk pelabelan jurusan kuliah ini, tidak pernah menguntungkan baik untuk kita dan juga generasi selanjutnya. Banyak efek yang terjadi jika stereotip ini terus ada, yang next time akan kita bahas. Bukankah setiap orang ingin punya pendidikan tinggi? Tapi dengan memberikan stereotip macem ini, bukankah kita melakukan tindakan yang berkebalikan?
Jadi masih mau terus mencap jurusan ABC nganggur-able? Bagi kalian yang punya pendapat tentang fenomena stereotip ini bisa berbagi di kolom komentar. Eits! tetap berkomentar dengan sopan ya, semata-mata agar jejak digital kalian tetap bersih!
Happy Sunday!
Source:
kompas.com
mojok.co
View Comments
saya jurusan sastra kak, tapi kerjanya di bagian keuangan dan administrasi, terus sekarang jadi content creator hehe
Di zaman skrang banyak yg lulusan kuliah yg nganggur. Apalagi yg lulusan smk. Klo tujuan cuman dapatin gelar aja sih kayanya gpp. Tapi ga ada jaminan buat kerja
Dulu jaman saya memang sepertinya begitu sih, kak.. apalagi orangtua dan keluarga sekitar, waaah.. kayak jurusan kuliah itu jadi sesuatu penentu banget untuk kehidupan di masa depan gitu..
Tapi kalau sekarang sepertinya sudah mulai mengalir sesuai dengan passion dan kemampuan ya.. apalagi tema-tema edukatif yang dulu sudah banyak bergeser dengan adanya kemajuan teknologi.
Sepertinya setiap anak lulus SMA ada saja yg bingung mau kul jur apa, sama kek saya dulu ya.
Saya milih jurusan karena adanya itu. Huhu. Dulu, faktor biaya, kurang siap masuk PTN favorit, dsb. Namun, bagaimanapun sudah belajar lama di kampus, jadi suka dan skill lebih fokus.
Alhamdulillah gak menyesal. Hoby saya sejalan dengan jurusan, jadi bisa berprofesi sesuai ilmu yg pernah dipelajari. Allah Maha Baik.
Padahal apalah saya kalau mengingat kemampuan saya memasuki Perguruan tinggi bertahun lalu.
Eh, jadi ingat dulu ditanya mau kerja apa kalau ambil jurusan ini! Tapi yang penting, pilih jurusan yang bikin hati senang.
Padahal jurusan apa saja ternyata bisa diterima jadi jurnalis ya
Malahan di kampung, jurusan pertanian bisa kerja di rumah sakit tuh...
Menandakan jurusan gak selalu jadi jaminan kerja. Meski baiknya ya kerja sesuai jurusan yg diambil. Jadi linier
Aku dulu milih jurusan karena ada yang kusuka. Eh sekarang kerjanya apa, hahaha. Bukan berarti jurusan yang diambil jelek. Cuma memang baiknya milih yang sesuai sama nurani biar enak jalaninnya
Di Indonesia ini, masih bisa background pendidikan apa tapi kerjanya apa. Entah kenapa masih ada stereotipe seperti itu ya. Beda sama negara tertentu yang pekerjaan harus sesuai dengan backgroundnya.
Jurusan kuliah menurut daku bukan jadi faktor utama kenapa bisa nganggur. Karena ada faktor x lainnya seperti kemauan diri, skill, dan bakat. Jadi semisal nantinya gak sesuai jurusan, tetapi pasti ada manfaatnya jurusan kuliah tersebut suatu saat nanti