Saat ini kamu sedang pacaran sama someone, bayangin deh gimana konsep pernikahanmu nanti. Lalu, coba klik salah satu gambar yang paling mencerminkan kamu.
Dari hasil itu, masih bertanya-tanya kenapa bisa begitu?
Nia meremas-remas jemarinya di pangkuan. Hati kecilnya berteriak, “tapi, Bu, uang kita sudah hampir habis untuk biaya lamaran kemarin,” Namun, kata-katanya itu hanya dijawab oleh gelengan kepala sang ibu. Ia memandang ke arah ayahnya mencari penguat argumen yang duduk di pojok, tapi sang ayah hanya diam seribu bahasa.
Nia hanya bisa menelan ludahnya. Di tengah perbincangan itu, perempuan 27 tahun tersebut teringat percakapan dengan calon suaminya-Deri-beberapa malam lalu. “Kita bisa buat pernikahan sederhana saja ya, yang penting keluarga dekat hadir semua,” ujar pria itu dengan nada memohon.
Namun karena tekanan dari keluarga, omongan kanan-kiri, dan bayang-bayang gengsi yang menjulang lebih tinggi daripada janur kuning di halaman, membuat semua itu terasa mustahil. Pernikahan bukan lagi soal ikatan dua hati, melainkan pertandingan yang menentukan siapa yang bisa mempertahankan ‘nama baik’ keluarga.
Baca juga: Apa Tipe Konten Favoritmu?
Tinggal menghitung jam saat Nia akan menjadi ratu sehari, berdiri di atas pelaminan bak mahkota emas. “Mungkinkah….,” kata-kata Nia menggantung seperti awan, seolah pikirannya terus berlomba.
Beberapa tahun setelah pesta, lembaran-lembaran tagihan dari berbagai bank terus berdatangan tiap bulan dan tiap tahun, mulai dari bank A, B, dan C. Menikah dan utang datang bersamaan setelah pasangan ini hidup bersama. Jika mereka total, jumlah tagihan biaya pernikahan mereka mencapai 1,2 miliyar rupiah. Total nilai itu terpakai untuk sewa ballroom hotel xyz bintang lima dengan buffet makanan dan dekorasi floral impor senilai 800 juta rupiah, belum lagi hiburan dan dokumentasi senilai 400 juta rupiah.
Di pojok ruangan, Deri memandang layar ponsel dengan pandangan kosong. Rekening bersama yang mereka buat tertera jelas: Rp 100.000.000 per tahun. Angka yang setiap bulan digerogoti cicilan rumah, cicilan utang bank, listrik, sewa, bensin, dan makan. Nilai itu seolah hanya numpang lewat tanpa permisi di rekening mereka, yang hampir tidak bisa mereka tabung untuk biaya darurat.
“Enggak apa-apa, masih ada amplop dari tamu,” ujar ibu Nia, setelah tahu biaya tagihan. Senyumnya tipis, matanya sembunyi di balik rasa khawatir. Tapi amplop-amplop itu hanya sekadar tempelan luka. Beberapa lembar merah dan biru tak cukup untuk menjinakkan monster bunga bank yang terus membengkak.
Deri mendesah panjang, wajahnya tertunduk di antara jari-jari yang menggenggam rambut. “Kalau saja kita enggak pakai resepsi mewah…”
Baca juga: Apakah Kamu Ahli Kode atau Ahli ...?
Nia mengalihkan pandangan. Matanya jatuh tak berkedip di atas mejanya yang kosong. Ia seolah bisa mengingat angka-angka yang pernah ia coret dalam buku kecil: 50 tamu dengan harga 150 ribu per porsi untuk makanan, dekorasi, baju pengantin dokumentasi minimalis yang jika mereka jumlah nilainya bisa seratus kali lebih kecil daripada pernikahan mereka beberapa tahun yang lalu.
Kini, pilihan tinggal satu: segera melunasi utang itu. “Tapi bagaimana caranya?” batin Nia sekali lagi
Nia tidak memiliki pilihan selain menghubungi Sari untuk meminta bantuan. Salah satu teman dekat mereka yang hidupnya sangat tenang tanpa lilitan utang. Esok harinya itu mereka berkunjung ke rumah sahabat lama. Rumah itu tidak besar juga tidak sempit, memiliki pelataran rumah yang asri.
Sari menikah dua tahun setelah Nia dan Deri menikah, dalam sebuah acara pernikahan kecil di halaman depan rumah orang tua sari. Foto pernikahan yang terpasang di dinding rumah Sari, berisi senyum dan pelukan hangat keluarga terdekat. Mereka berbincang-bincang sejenak.
“Kamu tahu apa yang paling aku ingat dari pernikahanku? Bukan dekorasi, bukan makanan. Tapi, waktu ayahku mendoakanku dengan Rajasa sambil menangis bahagia,” ujar Sari, matanya berbinar.
Baca juga: Siapa Kamu di Media Sosial?
Nia memejamkan mata. Di pesta mewahnya, doa seperti itu tenggelam di antara suara musik, gemerlap lampu dan keriuhan tamu yang sibuk berfoto.
Sari melanjutkan, “seringkali pernikahan bagi sebagian orang adalah ajang adu kelas sosial. Nggak jarang menikah dan utang datang bersamaan.” Wanita berparas ayu itu menatap sayu Nia yang ada di depannya.
Nia menatap gaun putih berpayet di lemari ketika ia pulang dari rumah Sari. Kilauannya masih seindah dulu, namun kini hanya mengingatkannya pada cicilan yang belum lunas. Tangannya menyusuri renda halus itu, dingin seperti kenangan yang menyertainya. Di sudut kamar, album foto pernikahan terbuka pada halaman di mana ia dan Deri tersenyum di pelaminan megah. Lampu kristal, dekorasi bunga mawar impor, dan kerumunan tamu yang tak semua ia kenal. Senyum mereka tampak bahagia, tapi Nia ingat betul rasa sesak di dadanya.
Untuk itu, Nia dan Deri berjanji untuk mengajarkan anaknya kelak, tips tentang pernikahan yang bisa kalian klik berikut.
Malam semakin larut, Nia masih terduduk di meja makan dengan buku-buku besar terbuka dan kalkulator yang masih menyala. Ia harus menghadapi ini dan biarlah ini menjadi ceritanya dan Deri yang tak harus terulang pada orang lain.
Source:
Sholahudin, U. (2019). Selebrasi Pernikahan Artis dalam Perspektif Teori Masyarakat Konsumsi Baudrillard. Journal of Urban Sociology, 2(2), 57-70. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Diakses dari https://journal.uwks.ac.id/index.php/sosiologi/article/view/991/794
kompas.com
View Comments
Hmmm. Menikah klo memang sudah siap semua dan terutama mental sih. Tapi klo urusan karena utang sih, selama oke oke aja sih. Gak masalah juga, klo sama sama suka, hehhe
Jadi inget pernikahan saya dulu. Kita awalnya pengen resepsi sederhana, tapi memang susah ternyata, karena pernikahan di Indonesia rata-rata bukan hanya tentang pernikahan 2 orang, tetapi pesta besar 2 keluarga. Akhirnya mau-mau tak mau kita ngikutin kemauan keluarga.
Berbahagialah pasangan yang suaranya mau didengar oleh keluarga tentang resepsi pernikahan impian yang sederhana dan lebih fokus untuk mempersiapkan kehidupan setelah resepsi pernikahan
Kisah Nia dan Deri menyentuh! Gengsi seringkali membutakan, pernikahan jadi ajang pamer bukan momen sakral. Padahal, esensi pernikahan ada pada janji suci dan kebersamaan, bukan kemewahan yang berujung utang.
Nah iya, kisah Deri dan Nia ini sebagian besar terjadi karena gengsi keluarga. Padahal menikah ada baiknya sederhana saja, syukurnya setelah masa pandemi mulai bermunculan nih tren nikah cukup di KUA dan resepsi intimate sama sanak saudara dan teman dekat. Tentunya lebih efektif dan masuk akal, ketimbang harus mengadakan pesta meriah nan mewah, namun setelahnya pusing mikirin bayarin hutang.
Base on pengalaman, aku nikahan di halaman rumah pakai dekorasi sederhana dan mengundang yang terdekat sehingga cukup mengeluarkan budget sesuai dengan tabungan tersedia. Acara selesai, tidak ada hutang. Uang amplop bisa dibagi sama orangtua, buat bekal menempuh hidup baru juga. Sederhana, sesuai kemampuan dan tidak menciptakan hutang, lebih menentramkan.
Pasangan pengantinnya sudah punya rencana baik, eh intervensi orang tua bikin bubar segalanya. Maka pasamgan pengantin memang harus kuat bertahan...
Pasangan pengantinnya sudah punya rencana baik, eh intervensi orang tua bikin bubar segalanya. Maka pasamgan pengantin memang harus kuat dan bisa bertahan, juga berargumen. ..
I feel you Niaaa, sebagai anak Perempuan pertama yang menikah duluan emang kerap demikian. Padahal aku ngga mau tuh nikah gede2an. Aku pengen yang hangat, dekat, dan intim bersama teman dan keluarga. Tapi gimana yaa, balik lagi ke keluarga sih. alhamdulillah kami ngga sampe utang sih. tapi untuk anak-anakku aku ingin sesuatu yang sederhana namun tetap terkenang.
Tidak dipungkiri, pernikahan bagi orang kita itu jadi ajang adu gengsi. Kadang kedua mempelai gak kenal semua tamu undangannya karena tamunya sebagian besar kenalan dari orang tuanya hehehe
Eh tapi sekarang lagi ngetrend nikah hanya di KUA aja. Konsepnya hanya dengan keluarga terdekat. Bagus juga ya, biaya nikahnya bisa dipakai untuk nyicil rumah.
Menikah itu memang terkadang ribet antara dua keluarga, kita sebagai pasangan harus banyak berkompromi dengan keinginan mereka dan menemukan jalan tengah. Menikah harusnya jadi sesuatu yang menyenangkan dan tidak malah merenggangkan yang sudah terpaut.
Memang ya acara pesta pernikahan itu sebaiknya disesuaikan dengan kesanggupan dananya. Sederhana namun khidmat jauh lebih berarti dibandingkan dengan perhelatan mewah namun mencekik leher. Berbagai cicilan menghantui setiap bulannya. Ngeriiii! Semoga bisa mendapatkan pelajaran dari cerita tersebut.