Home / Serambi

Serambi Untuk Pemakaman Di Sudut Kecil

Senjahari.com - 29/06/2025

Serambi Senja Hari

Penulis : Dinda Pranata

Serambi yang tenang berubah riuh. “HUAAAA!!!” suaraku menggelegar. Menagis. Berlari mencari ibuku di dapur.

Ibuku yang mendengarku, dengan gopoh berlari menuju serambi depan. Meninggalkan kompor yang masih menyala. “Mbak! Jagain kompornya!” teriaknya dari ruang tengah pada kakak perempuanku di ambang pintu kamar. Kakinya setengah berlari menuju aku yang masih menangis.

“Kenapa dek?” tanya ibuku sambil berjongkok, “kok menangis.” Tangan ibu yang bau bawang dan terasi mengelus lembut kepalaku. Aroma yang tentu saja kurindukan. “Ada kodok terlentang,” jawabku polos.

“Kodoknya mendekat?” tanya ibu lagi. Aku menggeleng, “cuma diam. nggak gerak,” jawabku lagi.

Ibuku menghela nafas. Antara lega atau juga yang lain. Lalu ibu beranjak berdiri menggandengku menuju serambi rumah.

Baca juga: Selimut Polusi dan Populasi: Realita Pahit Kelahiran Manusia di Bumi

Untuk pertama kalinya di serambi itu. Aku mengenal hal selain tanaman dan semut ranggang. Dan, sampai sekarang masih mengendap.

Serambi, Pak Kodok dan Senja Hari

Di serambi itu, aku berjongkok dengan ibu menatap pak kodok yang terlentang. Tak berdaya. “Kenapa pak kodok, Buk?” tanyaku masih sesegukan.

Mata ibuku sedikit sayu menatapku. Ia kembali mengusap kepalaku. “Pak Kodok sudah bermain dengan Tuhan, sayang,” jawabnya. Mendengar bermain dengan Tuhan terdengar menyenangkan bagi sebagian orang, tapi bagiku bermain dengan Tuhan itu artinya berbeda. Kehilangan. Mati. Sebuah konsep yang pertama kalinya kudengar di serambi rumah itu.

Mendadak ubin merah di bawah kakiku menjadi dingin. Terlalu dingin. “Kalau bermain dengan Tuhan, itu artinya dia tidak melompat?” tanyaku. Dan ibuku mengangguk pelan. Sekali lagi aku menangis. Sesegukan. “Ayo kita kuburkan di Mbah Ratu (kompleks pemakaman Cina di Surabaya)!” erangku dan masih menangis.

“Kalau di sana tidak boleh, sayang. Terlalu kecil. Nanti bisa terinjak orang,” jawab ibuku. Kami hening sejenak. Lalu ibuku beranjak berdiri, mengambil sekop di garasi. Lalu tak lama kembali lagi sambil berkata, “kita kuburkan di bawah pohon jambu ya. Di bawah sana pasti rindang dan pak kodok pasti suka.”

Baca juga: Rancak Bumi Lawang, Lahir Mentega Tengkawang

Aku mengangguk sambil menata nafas dan suaraku sendiri. Di sudut serambi tepat di bawah pohon jambu, ritual pemakaman kecil berlangsung untuk menghormati spesies kodok yang hampir tak terlihat.

Bertahun-tahun sampai sekarang, aku selalu memandang serambi menjadi tempat menepi. Menepi untuk melihat hal-hal kecil di balik rimbunnya rerumputan di halaman depan. Dari serambi sesekali ada tumbuhan mungil tanpa nama, rerumputan liar tak dikenal, ternyata bisa menyelamatkan bumi dari rasa gelisah.

Kehidupan Kecil yang Terlihat Di Serambi

Semakin dewasa, orang-orang terlihat begitu sibuk melihat hal besar. Sibuk menata kehidupan, mengarahkan visi misi, termasuk untuk bertahan hidup di bumi sendiri. Kesibukan di bumi seringkali membuat kita lupa cara melihat rerumputan liar, memperhatikan hewan-hewan kecil, padahal dari mereka itu kita bisa belajar cara menjaga bahkan melindungi diri.

Rubrik ini lahir, untuk memberi tempat pada cerita-cerita yang kerap tertutup aspal, terselubung di balik rimbun tanaman cantik, di sela-sela paving block dan aspal, termasuk cerita mikro organisme yang tertutup rutinitas.

Sering kali pertanyaan-pertanyaan besar, fenomenal, viral harus terbungkus dengan data-data kaku, grafik-grafik mencolok dan bahasa-bahasa yang terkesan akademis. Tapi, di serambi kami berusaha mengajak kalian merasakan dan melihat dalam pikiran tentang aliran air yang terluka, pepohonan yang gelisah, rerumputan yang ingin dikenal, termasuk hewan mungil yang ingin berbicara.

Baca juga: Kumbang Jerapah dan Kisah Tak Penting di Gulungan Daun

Meski bukan cerita besar, jejak kaki cerita-cerita kecil ini terasa seperti senandung lirih untuk bumi dan semesta. Mata kita seperti mikroskop mungil yang memperhatikan sel-sel kecil dari alam semesta yang luas.

Menyapa Hangat Lewat Rubrik Ini

Ketika kau begitu lelah dengan amukan angin, terik matahari yang tak bersahabat, termasuk sekedar ingin menepi dan berteduh, serambi selalu menyediakan kursi untuk kita duduk bersama.

Kita duduk bukan untuk menggertak atau berdebat, tapi kita duduk untuk bisa memahami hal-hal kecil dari alam (yang mungkin bisa membawa perubahan baik) dan keadaannya.

Rubrik ini, mungkin tidak akan menjawab semua pertanyaanmu. Rubrik serambi bisa menjadi ruang santai untuk mengembalikan rasa penasaran terhadap hal-hal kecil alam semesta. Dengan segala keliarannya. Juga, dengan segala perubahan mood-nya.

Mari duduk bersama dan berbincang tentangnya di serambi senja hari

Happy exploring!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Banyak hal yang bisa terjadi di serambi kala senja ketika yang duduk di dalamnya benar-benar sangat memberikan kehangatan dan pengalaman seru untuk dikenang dan diceritakan kembali pada generasi berikutnya

Fajar Fathurrahman

Membaca ini jadi teringat lagi, detil-detil alam di sekitar yang seringkali terabaikan kala kita sudah dewasa dan super sibuk.
Rasanya ingin kembali ke masa kecil, dimana kita sering pernasaran terhadap hal-hal kecil dan menyenangkan lagi.

Ire Rosana Ullail

Kaya sejenak mengambil jeda dan bernapas dengan penuh kedamaian membaca cerita ini. Kadang kita terlalu sibuk nggak si, dunia menuntut buat memperhatikan segala hal yang besar, luas sementara ada bagian kecil yang sering kita abaikan. Jadi rindu alam, rindu kedamaian, kesederhanaan yang bisa kita temukan dari balik rerumputan.

Bambang Irwanto

Saya rindu duduk di serambi. Dulu sekeluarga duduk di serambi sambil minum teh. Membicarakan apa aja aktivitas masing-masing. Begitu hangat dan dekat. Serambi jadi pengikat hati. Sayangnya sekarang serambi sudah jarang digunakan. Kalau pun duduk bersama di serambi, pada sibuk dengan ponsel masing-masing.

Aku jadi ingat anakku yang juga ingin menguburkan ikan kesayangannya karena sudah tak bernyawa. Katanya, “Ayo Mbun kubur di bawah pohon mangga.” Anakku terlihat sedih banget tapi harus belajar mengikhlaskan. Anak sekecil ini sudah belajar melepas kepemilikan, sementara kita orang dewasa sibuk dengan hal yang besar yang nggak ada habisnya.

Duduk di serambi sambil ngopi atau ngeteh benar-benar nikmat ya. Apalagi di serambi bisa lihat macam-macam. Mulai dari binatang sampai orang yg lalu lalang.

Senang ada serambi senja hari, barangkali nanti bisa bercerita bagaimana putri malu itu dianggap duri menyakitkan, padahal ketika disentuh dia langsung tertunduk.

Jadi ingat kemarin, duduk di sudut kafe itu, banyak insan sibuk dengan gawai. Sedangkan aku menatap langit biru dan pohon rimbun. Betapa waktu seperti memeluk ketika burung-burung itu menari dan aku tersenyum tengah kota bisa menikmati hal seperti itu, seperti meneguk teh jasmine. Hangat menyamankan.

Namun sayang saat ini tidak banyak rumah yang mempunyai serambi, tidak banyak juga yang bisa diamati. Risiko tinggal di kota dimana harga tanah semakin mahal. Lahan yang ada dimampatkan untuk tempat tinggal
Padahal banyak hal yang bisa diamati di serambi

Kalau saat senja selalu ada saja kisah yang terukir. Dan saat itu juga jadi masukan buat diri bagaimana agar kita lebih mengenal alam. Sesuai dah pas lagi daku berkunjung ke sini di suasana senja yang cerah

Serambi tempat menyaksikan banyak hal luar biasa. Sama hal ketika daku kecil dulu, sering menangis saat ada anak ayam mati, kucing sakit dan hal-hal yang tampak sederhana bagi orang-orang sibuk. Dulu rasanya beneran bisa memperhatikan hal kecil secara detail. Namun kini setelah berubah jadi dewasa, kebanyakan sibuk sama banyak hal dan jarang ada waktu luang buat sekadar duduk santai ngobrol ngalor ngidul apalagi memperhatikan kehidupan kecil di sekitar serambi. Jadi auto rindu masa kecil baca artikel ini.

Aduuhh, inner child-ku meronta rontaaaa
pengalaman masa kecil yg sungguh hangat, menyenangkan dan menenangkan.
beneran rasanya bisa kembali ke masa ituuu, dgn baca artikel ini

di serambi rumah, tempat bercengkrama antara anggota keluarga. Namun sering terlupakan, karena semuanya sibuk mengejar prestasi, memburu mimpi dan mewujudukannya. Tapi melewatkan waktu untuk bersama, di serambi rumah.

Tukang Jalan Jajan

Aihhhhh sungguh menyentuh ceritanya kak, tentang kehilangan… tapi aku suka gaya bercerita yang menggambarkan bagaimana ibu menjelaskan tentang kematian dan berhasil membawa kita merenungi hal-hal kecil yang sering terlewat, namun penuh makna. Pengalaman masa kecil yang membentuk perspektif dewasa tentang kehidupan dan kehilangan. Sangat menyentuh!

Kalo denger kata serambi, aku langsung ingat rumah di Aceh. Ada serambinya, Krn dulu aku masih sekolah, jadi tempat paling asyik buat main dengan adik2 atau temen. Dan memang enaknya itu, Krn berhadapan Ama taman depan dan kebun belakang , jadi kami bisa santai sambil liat tanaman2 yg ditanam papa.

Bagus juga ada rubrik serambi gini mba. Pojokan untuk menulis hal2 yg ringan, yg bisa membuat pembaca merasa rileks dan ga banyak berpikir saat membacanya yaa 😄👍👍.

Serambi itu tempat yang asyik untuk mengamati dan bercengkrama ya… Sambil santai atau serius pun bisa,dengan memandang ke arah alam bebas di mana banyak hal bisa yg bisa terlihat indah sekaligus menyedihkan

Kapan terakhir duduk tenang menikmati waktu senja bersama keluarga tersayang?
Kinii.. semua orang sibuk berinteraksi di dunia maya.
Sediih rasanya mengingat waktu tak terasa berjalan bagaikan debur ombak di lautan. Sekejap datang dan hilang.

Kudunya, kita bisa duduk tenang, ngobrol dan bercanda di serambi.

Jadi keinegt saat kecil dulu rumah ibuku masih punya halaman/ kebun luas, jadi kalau peliharaan kami atau kucing liar mati dikuburkan di sana.
Kadang kita sebagai orang dewasa banyak pikiran, yang dipikirin besok makan apa ya, sampai lupa hal2 kyk rerimbunan tanaman di taman, ada makhluk apa aja yang berdampingan sama kita.
Sesekali keknya perlu duduk aja di ruang terbuka tanpa gagdet biar menyadari kalau kita tu masih ditampung sama alam ini, kali ya hehe.
Jujurly aku pun sekarang kalau butuh ruang terbuka ya keluar rumah karena rumahnya udah beton semua huhu, bahkan hal kyk gini aja gak semua orang punya di masa sekarang =))

Banyak hal yang bisa terjadi di serambi kala senja ya mbak
Menjadi sebuah sudut kenangan yang akan selalu dikenang ya

Andri Marza Akhda

Cerita tentang pak kodok ini ngena banget. Mengingatkan kita kalau alam sekitar, sekecil apapun itu, bisa memberi pelajaran tentang hidup, kehilangan, dan rasa peduli.

19 Responses