Home / Serambi

Kumbang Jerapah dan Kisah Tak Penting di Gulungan Daun

Senjahari.com - 21/07/2025

Kumbang Jerapah

Penulis : Dinda Pranata

Catatan ke-15.

Namaku, Giri. Seekor kumbang Jerapah dewasa. Ya, tepatnya hari ini, lewat satu hari setelah usia dewasaku di hari ke-14. Matahari pagi cukup teduh dari bawah sini. Tapi tidurku terusik oleh getaran dari daun yang cukup keras. Kukira itu ulah angin. Ternyata itu ulah manusia.

Mataku yang sipit dan leherku yang cukup panjang, membuatku melongok keluar daun. Kalau kalian bertanya, mengapa leherku panjang? Please, aku sendiri heran. Mungkin gen nenek moyang kami dari Madagaskar memang menurun.

Oke, kembali lagi saat aku melongok keluar daun, jujur aku sangat takjub. Bagaimana bisa manusia begitu sibuk dan begitu cepat bergerak memburu sesuatu, pikirku. Sementara aku di hari ke 15-ku, malah sedang sibuk menimbang daun sisi kanan atau daun sisi kiri, yang cocok untuk pasanganku.

Di hari ini aku pun sadar, aku sudah dewasa untuk jatuh cinta, membina keluarga dan ya …. semakin dekat dengan …. hal yang katanya ditakuti manusia.

Baca juga: Selimut Polusi dan Populasi: Realita Pahit Kelahiran Manusia di Bumi

Jangan Dikira Hanya Manusia yang Memperjuangkan Cinta. Aku Juga!

Kumbang Jerapah Ilustrasi

Catatan hari-16.

Pagi itu aku begitu haus dan terpaksa terbangun dari tidurku. Matahari masih belum sepenuhnya muncul. Jadi, itu waktu yang tepat untukku meminum embun pagi yang belum dicuri oleh matahari di pucuk daun. Ketika aku sedang menikmati kesegaran embun. Sebuah gerak lembut warna oranye di depan mata menyihirku.

Namanya Biba. Seekor betina dengan leher yang tak sepanjang punyaku, tapi… entahlah. Gerakannya gemulai, seperti angin yang pelan menyentuh pucuk daun muda. Di sisi lain aku merasa, ada sesuatu dari caranya melompat, dari getar tubuh berbintiknya, yang membuatku bersemu. Saat cahaya mentari pagi jatuh di cangkangnya, ia begitu memukau. Aku bergetar. Eh, bukan karena dingin, tapi karena ini tanda aku sudah menemukan pasanganku.

Tapi seperti biasa, hidup tak semanis getah pohon. Karena di daun muda seberang sana, ada Koro. Kumbang jerapah jantan yang cukup garang. Lehernya panjang, keras, dan kepalanya penuh keangkuhan. Tampaknya dia sadar, kalau aku tertarik pada Biba. Dari seberang, dia menyatakan sesuatu yang tak terduga.

“Hei Biba! Kami akan berduel!” seru Koro sambil menegakkan lehernya seperti panji perang, ia arahkan kepalanya ke arahku. Tajam.

Aku, yang sedang diam-diam memperhatikan Biba dari balik sisi daun, terlonjak. Malu. Gugup. Tapi, aku kumbang jerapah jantan. Pantang mundur jika ada yang menantang. Apalagi untuk yang satu ini.

“Baiklah,” jawab Biba sambil menoleh. “Aku akan menyaksikan kalian.”

Dan sebelum ia kembali berjalan ke ujung daun muda di bawahku, ia membalikkan badannya dan menatap ke arahku. aku melihatnya. Ia tersenyum kecil yang hanya aku yang bisa mengerti. Mungkin kalian para manusia tak bisa melihatnya, tapi aku bisa. Kalian pasti berpikir aku kepedean, tapi sungguh dia tersenyum meski hanya seulas simpul. Dadaku seperti melonjak. Darah mengalir lewat sel-sel tubuhku dan membuatku bertekad: aku harus menang.

Kumbang Jerapah dan Hari Ketika Langit Memihak Giri

Catatan hari ke-17

Langit teduh. Angin sedikit kencang. Koro dan aku berdiri berhadap-hadapan. Kami memang tidak punya cakar atau taring, tapi bagi kumbang jerapah seperti kami, leher adalah senjata.

Baca juga: Penangkap Embun yang Tak Dikenal

Koro menyerang lebih dulu. Hantamannya keras. Memilin leherku. Terguling seperti biji yang terlepas dari tangkai. Sial. Aku tergeletak dengan kaki ke atas. Pose yang sangat… sangat tidak jantan. Bahkan, aku mulai mendengar para serangga sedang menertawakanku.

Rupanya Koro ikut menertawakanku. Menatapku dengan gaya sombongnya. “Menyerahlah! Kau tidak bisa mengalahkanku!” katanya mengerdilkanku.

Aku mencoba bangkit. Sulit. Tubuh kumbang memang tidak dirancang untuk adegan aksi seperti film para manusia. Di saat yang sama, aku melihat Biba. Aku mengutuk diriku sendiri, sangat memalukan Giri! Namun, hal yang tak disangka, justru membantuku secara ajaib.

Jejak di atas langit membuat daun bergetar. Warna langit berubah aneh. Mungkin itu bayangan seekor burung. Atau entahlah … aku tak memikirkan lebih.

Aku melihat Koro panik. Ia menoleh ke langit dan lehernya bergetar. Tanda bahwa ia tidak sejantan kelihatannya. Di saat itulah, aku berpikir itu satu-satunya kesempatanku mengalahkan Koro. Dengan seluruh tenaga yang tersisa aku membalikkan tubuhku, berlari dengan kaki tipisku dan melompat. Menghantamkan leherku ke arah Koro. Dassshhh!

Baca juga: Daun Bulat yang Tak Pernah Menjadi Koin

Nyaris aku tak percaya. Gerekanku ternyata membuat Koro terpental. Terhempas ke ujung daun. Diam. Pingsan. Atau mungkin malu. Aku tak tahu.

Ia mati? tanyaku dalam hati. Aku mencoba berdiri, tubuhku yang penuh luka gemetar. Aku menatap Koro di ujung daun tapi ia masih tergeletak. Lalu kualihkan mataku ke titik lain: si Biba.

Dan kalian tahu apa yang kulihat? Dia menunduk pelan, dan untuk kedua kalinya, dia tersenyum. Lebih hangat. Meski rasanya tubuhku hancur seperti habis kerja rodi, tapi tak apalah, yang penting semesta mendukungku hidup bersama Biba. Hore!!

Di saat setelah itu, baru aku sadar apa yang tadi tak kusadari tentang bayangan di atas kepala para kumbang jerapah.

Manusia, Daun Salam dan Waktu yang Tak Pernah Sama

Kumbang Jerapah Infografis

Catatan hari ke 24.

Baca juga: Rancak Bumi Lawang, Lahir Mentega Tengkawang

Hari ini, aku dan Biba bergantian menggulung daun. Satu demi satu. Kami pilih yang paling lentur, belum terlalu tua, belum terlalu muda, setidaknya daun itu cukup melindungi calon anak-anak kami.

Aku suka melihat Biba saat ia menggulung daun. Sabar. Penuh rasa. Aku sering memperhatikannya bersenandung kecil, entah lagu siapa. Samar-samar kudengar lirik-liriknya begini, “untukmu yang belum lahir, kami buatkan rumah kecil ini… uhuk! uhuk!” aku berusaha menirukan nyanyian Biba, tapi maaf aku tak pandai bernyanyi, karena kami memang bukan burung atau lebah yang bisa punya pita suara.

Aku merasakan getaran samar dari daun yang kududuki. Cukup kencang. Tapi aku yakin itu bukan angin. Lalu kulihat di atas langit, warna yang sama seperti saat aku bertarung dengan Koro. Putih tapi ada warna hitam. Itu manusia.

Aku nyaris saja mati. Manusia itu mengambil daun tepat satu tangkai di bawahku. Tangannya cepat. Suaranya berat. “Syukur aku menanam daun salam,” gumamnya, “astaga! aku harus cepat! Andai sehari bisa 30 jam!”

“Oh jadi daun yang kutinggali bernama daun salam,” kataku seolah menjawab si Manusia. Di balik mataku yang setitik ini, aku menyaksikan gerak-gerik manusia itu yang tak ubahnya sama dengan manusia-manusia yang berlalu-lalang setiap pagi. Cepat dan mengeluh seolah waktu tak pernah cukup bagi mereka.

Baca juga: Serambi Untuk Pemakaman Di Sudut Kecil

Sementara aku hanya kumbang jerapah, yang hanya lahir untuk mengulung daun. Bahkan ketika akhirnya usiaku 1,5 bulan (atau mungkin kurang dari itu), akhir dari riwayatku di bumi, aku tetap menggulung daun. Waktu yang kupikir tak cukup tenyata tetap cukup untukku. Entah ini harus kusyukuri atau tidak, kadang aku cuma berpikir dengan otakku (yang entah dimana letaknya) bahwa hidup kadang tak selalu tentang banyak waktu tapi mengapa dan untuk apa dijalani.

Adegan yang Tak Penting dan Cerita Berikutnya

Catatan Manusia di Hari ke 17.
Matahari ternyata lebih cepat bersinar di hari ini tapi suhu kota Malang ada di 16 derajat. Biasanya pukul 05.20 dia malu-malu untuk menampakkan wajah bangun tidurnya. Tapi, tidak hari ini.

Kepulan nasi kuning sudah beraroma gurih di atas magic com. “Sial aku lupa!” seruku. Otakku menggertakku ada satu bumbu dapur yang belum kumasukkan. Daun salam. Aku membuka engsel pintu yang sepertinya ikut membeku di hari itu. Kreet!! Bahkan minyak engselnya membeku.

Kemudian aku bergegas keluar, setengah berlari ke pohon daun salam yang ada di samping rumah. Mataku menatap beberapa daun menggulung di pohon itu. “Apa kau juga kedinginan?” tanyaku pada sang daun.

Ada yang menarik. Tiga ekor kumbang yang tak kutahu namanya sedang berada di satu daun paling muda. Entah sedang apa. Mungkin mungkin bermain. Salah satunya terlentang dengan kaki menghadap ke langit. Sungguh geli. Ingin sekali kuberi nama Giri yang merupakan plesetan rasa geliku.

Aku menepuk jidatku. Terdistraksi. Sebelum rasa penasaranku terkikis, aku mengambil ponsel di dalam saku celana tidurku. Cekrek! Aku memotret salah satu dari ketiga kumbang itu yang kuberi nama Giri.

“Akan aku tanyakan pada BOTak siapa kamu,” kataku. Aku buru-buru memasukkan kembali ponselku. Mengambil daun salam di daun teratas.

Setelah pekerjaanku selesai, aku menyimpan foto itu dalam folder tubuh Si BOTak (si asisten pintarku). Di balik tubuh si BOTak aku tahu siapa si kecil itu, dan betapa aku menghargai cerita tak pentingnya lewat daun-daun yang menggulung.

Invitasi

Gimana nih gengs ceritanya? pernah nggak ngelihat kumbang satu ini di pucuk-pucuk daun muda? Atau kamu mau kasih kritik dan masukan terhadap ceritanya juga boleh kok. Feel free for any comment about this. Tapi, tetep yaplease pakai bahasa yang bijak biar nggak menyinggung sesama komentator di kolom komentar. Semata-mata juga melindungi jejak digital kalian agar tetap bersih!

Have a nice day! Jya mata ne~~

Source:

https://entomologist.net/beetles/177-trachelophorus-giraffa.html

https://www.iucnredlist.org/species/pdf/193724158

https://www.idntimes.com/science/discovery/6-fakta-kumbang-jerapah-betina-gulung-telurnya-dengan-daun-01-hgxjz-ltydzw

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Belum pernah lihat kumbang jerapah di sekitar rumah, apakah mungkin karena gak ada tanaman salam? Gede atau kecil ya mbak? Adanya kepik atau kumbang coklat biasa.

Menarik banget cerita Giri yang harus gelut dengan Koro untuk memperebutkan Biba. Hidup memang pernuh perjuangan ya, bahkan di dunia kumbang…

Dari cerita ini kita belajar, bahwa cinta itu memang harus diperjuangkan dengan penuh usaha dan tenaga. Bahkan ketika tubuh dan nyawa menjadi taruhannya. *Ciaelah, hahahaha
Seru banget mbak baca penjabaranmu tentang kumbang jerapah ini, jadi berasa tulisan fusion antara buku sains dan buku novel, dan nggak boseniiiin lho.

Satu hal yang bikin aku sedih adalah, aku gak pernah ketemu kumbang ini di dunia nyata, kecuali di taman serangga. Itupun, seringkali sudah hanya berbentuk awetannya saja. Pertanda bahwa lingkungan biologis di sekitar kita tidak baik-baik saja. heuheu

As usual mbaaaaa, ceritamu selalu dibalut menarik ❤️❤️❤️❤️❤️. Aku JD tahu ttg kumbang jerapah, dan cara hidupnya. Agak nyesel Krn dulu zaman kecil aku malah suka mempermainkan mereka 😞. Padahal durasi hidup udahlah ga lama yaaa….

Tp dulu aku nemuinnya di atas daun, yg ga tergulung, dan kebanyakan yg leher pendek. Yg leher panjang aku malah ga inget pernah jumpa

Baru tahu ada spesies kumbang jerapah. Bagus yaa. Jika usia 15 hari dianggap dewasa maka usianya pendek apa gimana?
Seru baca kayak gini. Jadi belajar biologi lagi.

Kumbang saja berjuang untuk mendapatkan cintanya, gimana kamu? #eh

Selalu “hadir” disetiap tulisanmu, menyentuh setiap nadi logika dan rasa. Kali ini aku diam ketika membaca hidup bukan soal banyak waktu tetapi mengapa dan untuk apa ada. Aaah waktu-waktu belakangan kalimat itu seperti keramat.

Lalu, terbayang dengan gulungan daun salam yang pernah aku jumpai. Merasa bersalah mengambilnya apalagi membuangnya begitu saja, sedangkan itu mahluk ciptaan hidup untuk menghubungkan system kehidupan. Walau hanya 1.5 bulan tetap punya tujuan.

Lagi,
Terima kasih untuk madu logika, yang melahirkan nurani yang hangat dalam tulisanmu.
Makin banyak hal-hal yang tak pernah terpikirkan jadi mengetahuinya. Kali ini tentang gulungan daun sebagai pelindung anak kumbang.

Bambang Irwanto

Saya baru tahu kalau ada kumbang jerapah Mbak. Karena Memang lehernya panjang kayak jerapah. Dan yang jantan lehernya lebih panjang dari betina dan jadi senjata andalan ya. Tugasku juga unik menggulung daun untuk telur-telur mereka. Berita yang menarik dan Dan ada pengetahuan juga. Kalau disesuaikan ceritanya, bagus juga untuk bacaan anak-anak Mbak.

Kasihan bener si Koro kepental. Dia kenapa gak salto aja sih, kan biar gak mental gitu hehe.

Sepertinya daku belum pernah berdua dengan kumbang jerapah deh Kak Din. Atau mungkin udah pernah tapi belom kenalan sama dia, bahwa dia adalah kumbang jerapah tapi kumbang yang lain, eh 😄

Apakah yang tertangkap kamera hanya Giri, Biba dan Koro? Oh, iya, mereka baru saja mempersiapkan tempat untuk melindungi calon anak2nya… Karena alam pun berbaik hati memberikan apa yang mereka butuhkan sehingga tidak perlu terbirit2 seperti manusia yang berharap waktu ada 30 jam dalam sehari.

Dari judulnya aja udah bikin mesem mesemmmm……kumbang jerapah? Lucu amatttttt.
Tapi pas dibaca, eh malah nancep ke sukma (eiiittsss).

Ternyata kisah yang ‘katanya gak penting’ bisa jadi pengingat hal-hal kecil yang sering kita lupakan. Suka banget cara nulisnya yang tenang tapi nyentil, bikin ngerasa kayak lagi diajak ngobrol sambil ngeteh pake surabi sore sore.

Kok malah jadi pengen ikutan ngeliatin gulungan daun lebih seksama yaa…. 🍃

Heni Hikmayani Fauzia

Giri dan Biba akhirnya hidup bahagia yaa, punya baby. Saya pas baca awal² tadi kirain ini tentang Jerapah ternyata kumbang yaaa…manudianya namanya siapa mba? Ceritanya baguus…saya sambil bayangin lho pas Giri bertarung dengan Koro….seru sekali mereka duel.

Diah Kusumastuti

Aahhh.. Aku suka ceritanya, Mbak! Bagus! Hehe.
Dari cerita ini pula aku baru tau tentang kumbang jerapah. Dan di rumah aku juga punya pohon salam, lo. Nanti deh aku lihat-lihat lagi, ada gak si Giri, eh si kumbang jerapah. Hihi.
Makasih sharing ceritanya, Mbak 😉

Kalau pagi2 jalan lewat taman gitu aku sering nemu serangga yang aku gak tau namanya. Sesekali juga ketemu kumbang. Tapi gak tau kenapa belakangan jarang nemu kumbang jerapah gitu mbak. Baru tahu mereka hidup di daun salam dan kerjaannya menggulung daun. Aku taunya nemplok di daun aja hehe.
Jujurly aku gak terlalu excited melihat serangga, sama kupu2 juga, tapi kalau liat kucing langsung girang =))
Mungkin belum menemukan keindahan serangga. Tapi krn anak ingin tahunya tinggi jd kadang suka nunjukin hewan2 ini juga ke anakku =))

Aku pernah beberapa kali melihat kumbang yang satu ini. Memang agak berbeda dari bentuk pun, sangat menarik pikirku. Lewat tulisan ini aku jadi lebih mengenal si kumbang Jerapah secara mendetail.

Aku yang tengah merasa serba insecure, semakin tercubit karena hakikatnya setiap mahluk yang ada di bumi selalu punya manfaat, fungsi dan kelebihannya sendiri 😍

Terima kasih ya, selalu menulis dengan penuh makna dan manfaat. Bahkan dari hal yang sering tak diperhatikan banyak orang.

Ya Allah indah sekali cinta mereka.. perjuangan cinta memang begitu berat ya mbak..

maaf ya kumbang, aku gatau pengorbananmu sebegitu berat.. aku pas kecil dulu suka mainan kumbang, dan pasti mereka terpisah dari pasangannya.. kok jadi sedih..

Rumahnya ka Senja mashaAllaa..
Aku langsung tau kalau ini cerita di pagi itu.. Hahaha… berasa kita tetanggaan kali yaa..

Aku gak tau ada yang namanya Kumbang jerapah.
sekilas mirip semut rangrang yaa.. tapi punya tempurung yang kuat seperti kumbang.

Anak aku nih.. hobi main sama hewan-hewan di taman.
Abis ini kudu cari daun salam dulu.. biar ketemu sama 3 diva: Giri, Biba dan Koro.
Aku juga mau punya sahabat kecil penggulung daun.

Kisahnya hangat, menyentuh hatii.. so sweet yaa.. orangtua dimanapun Allaah ciptakan untuk menjadi tempat teraman dan ternyaman bagi anak-anak mereka.

Wah, menarik sekali cerita Giri yang harus gelut dengan Koro untuk memperebutkan Biba.
Namanya juga hidup, y! memang pernuh perjuangan.
Bahkan di dunia kumbang…

Waahh, cintaaa kudu diperjuangkan ngga hanya di dunia manusia ya.
ternyata di universe kumbang jerapah, bisa juga kita bicara soal cinta 🙂
As usual, kereennn sangaatt kak.

17 Responses