Kepada Yang terhormat @agandashbor99
di tempat.
Tak usah perkenalan. Aku ini sertifikatmu dan aku ingin mengajukan komplain atas perilakumu. Apa kau ingat hari ke-215 dari awal tahun? Kau mati-matian mengejarku untuk naik level sebagai profesional berkelas?
Belajar memahami kosakata, yang level kesulitannya lebih dari sekedar menghafal kamus KBBI. Aku yang kau peroleh dengan bangga. Terbingkai dalam bingkai kaca seperti benda keramat. Tapi … kenapa akhir-akhir ini aku tampak tak lagi nikmat. Atau, malah turun derajat?
Dengan kertas berstempel emas dan nomor seri 126.779, aku lahir dari seminar di sebuah hotel. Betul, hotel yang harga per malamnya, setara dengan kelas sertifikasi yang kauikuti. Eksklusif. Di balik semua upayamu mengejarku, aku kalah telak dengan alogaritma media sosial.
Baca juga: Diskusi Sehat Bubar, Anggota Barbar
Dan, ketika makin hari engagement-mu turun lima belas persen, kalah saing dengan konten receh di FYP, Kau tak lagi menganggapku penting. Lalu apa gunanya aku direbutkan? Apa ada yang salah dari sertifikat dan kompetensimu di dunia nyata?
Salam hangat,
Sertifikatmu.
“Cih! Sertifikat pengeluh!” seruku. Di balik layar hitam dengan ribuan baris kode, aku merekam segalanya. Mencatat segala aktivitas, preferensi pengguna sampai jam mereka menggunakan ponsel. Tercatat rapi olehku, meski kau membacaku tak lebih dari sekedar huruf acak.
Rumit. Mirip pikiran orang-orang politis.
Baca juga: Ibu Rumah Tangga Serasa Wanita Kantoran
“harusnya kau bangga pada labelmu!” tegurku lagi, “betapa kau ini diributkan bahkan oleh orang-orang berkerah kaku. Dengan jargon yang bersertifikatlah yang punya suara dan tempat.”
Angka dan hurufku makin panjang. Aku tahu sedang tegang. Baris tubuhku berusaha menyesuaikan ekspektasi pengguna umum dan tentu saja ekspektasi pekerja politis.
“Apa kau sadar, hei Sertifikat … bahwa kita ini sedang bermain di area abu-abu. Di mana permainan politis lewat kebijakan bisa saja mengubah data menjadi senjata!” seruku kesal akan ocehannya.
Lewat kamera yang terpasang di perangkat tubuh gawai-gawai, aku menatap. Kesal pula aku pada manusia. “Dan kau para otak di tubuh hidup, sesekali nyalakan senter!” seruku pada akhirnya, “jangan kau melumat berita seperti melumat daging presto. Sesekali mengunyah dan menikmati itu perlu, tapi tetap perhatikan kandungan gizinya. Apa kau tak sayang akan label cerdas yang terselip dari citra otak itu?”
Dengan serat-serat kabel di perangkat tubuhku yang menegang, aku tahu, banyak cara-cara manipulasi yang bisa manusia lakukan untuk mem-bypass, alogartima alamiku. Aku bisa tahu dari bagaimana mereka menjadikan konten-konten hoax dan manipulatif sebagai ‘yang disukai’ pengguna.
Baca juga: Pungutan Sukarela tapi Ribut Karena Tak Rela
Dan barangkali satu orang (atau mungkin beberapa dari mereka) mengaitkanku dan si sertifikat pengeluh itu dengan Pierre Bourdieu. Kode-kodeku membaca jari-jari itu mengetikkan huruf demi huruf sampai terbaca: Cultural Capital & Symbolic Power.
Asap kopi membumbung tinggi, menciptakan efek basah pada kulit kaca di tubuhku. Dan ketika huruf itu terbaca. Aku tersedot dalam permainan seseorang yang mengetik itu.
Ketika aku tersedot masuk ke dalam fasad itu, nafasku seperti dilempar entah darimana. Membuat paru-paruku yang menyempit mendadak melebar. Mataku menegang seperti hendak copot. Kupikir aku salah baca apa yang ada di depanku: SERTIFIKASI INFLUENCER.
Aku membaca paragraf demi paragraf dengan bahu yang naik turun. Di tengah artikel, kutemukan kalimat: wacana ini digagas demi ekosistem digital yang lebih sehat.
Sekali lagi kepalaku menegur keras, “sehat menurut siapa?”. Lalu sisi lain ikut berkomentar, “kalau ada sertifikat kan, orang nggak sembarang bicara tanpa dasar!”
Baca juga: Kolonivora dan Kota yang Berpesta
Dua tarikan dalam otakku saling serang. Satu menerima, satu lagi mendorong mentah-mentah. Wacana ini apa segenting itu? ataukah hanya wacana gaduh yang diproduksi ulang?
Sekali lagi kupandangi beberapa deretan sertifikasi yang menghiasi dinding ruang kerja. Mereka seperti mengeluh padaku, untuk apa mereka begitu kupertahankan, meski beberapa di antaranya berada di luar kompetensiku. “Kok aku jadi merasa sertifikat ini seperti simbol untuk bisa bicara di depan publik,” gumamku. Aku mendengus ketika modal kapital milik Pierre Bourdieu meluncur di permukaan ingatan.
Aku teringat para aktor di panggung: Ada kreator kecil yang hanya bermodal puluhan follower dan ilmu yang dimiliki; Ada kreator senior yang modalnya mobil tesla dan uang miliaran dalam brankas rahasia; Ada juga jempol manusia yang suka menekan karena sensasi.
Benarkan semua wacana ini memang benar diperuntukkan bagi penikmat? Atau ini hanya tirai yang sebenarnya menyembunyikan apa yang terjadi di balik panggung?
Pertanyaan-pertanyaanku itu terbenam keheningan. Tak mampu bersuara, bisa kukatakan … bungkam.
Baca juga: Adarusa Marah, Pemberi Utang Resah
Sementara itu, fakta lain terus menghantamku berulang kali tentang bagaimana perolehan sertifikasi terjadi. Beberapa orang bebas melenggang hanya dengan membayar upah di bawah meja untuk mendapatkan label “tersertifikasi” (meski produk atau jasanya tidak sesuai).
Kresek kresek! mirip dengan suara erangan kesakitan dari kertas yang kuremas. Kesal. Tanpa sadar aku menggumam, “jika birokrasi dan sistem belum terbenahi, rasanya sertifikasi apapun akan tetap gagal membenahi.”
Aku terhenti cukup lama.
Kadang aku merasa konyol saat berdiri di tengah dua dunia. Wacana sertifikasi untuk influencer kadang kala begitu indah untuk kita tolak. Jargon-jargon demi perlindungan konsumen kerap kali tergaung tanpa perlu didebat.
Tapi ketika masalah muncul di permukaan, sertifikat sering kali bukan satu-satu tolak ukur literasi yang sehat. Aktor-aktor yang bermain di atas panggung media digital, perlu juga membenahi sistem moral dan etika yang kerap kali luput dalam sertifikat.
Maka pertanyaannya bukan lagi berapa banyak atau sertifikat apa yang kau dapat, melainkan …
Seberapa kuat sistem etika moral dari pemilik sertifikat influencer hingga pemberi sertifikat influencer, agar tak lagi bisa didebat!
Sistem etika moral akan menjadi landasan utama dunia yang sehat, meski tanpa perlu sertifikat sebagai lambang kehebatan. Sertifikat influencer tak harus lagi jadi penentu seberapa hebat, alogaritma pun tak perlu terselubung manipulasi. Aktor penuh esensi di atas panggung pun tak perlu resah karena berita mereka bukan sensasional.
Sudahkah kita siap dengan sistem etika moral yang sehat?
Sekali lagi pertanyaannya hanya menyisakan hening. Ngiiiiingg!
Gimana nih gengs ceritanya? Nah, isu sertifikat influencer ini kan masih wacana ya. Menurutmu seberapa perlu sih sertifikat influencer itu? dan apakah menurutmu dengan sertifikat itu bisa membereskan masalah penyebaran berita hoax, penipuan trading dan masalah dunia digital lain? Yuk, kalian bisa berbagi pendapat kalian di kolom komentar.
Eits! Tetap ya dengan cara yang sopan. Semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.
Have a nice day! Jya, matta ne!
Source:
https://nasional.kompas.com/read/2025/11/10/14211871/agar-wacana-sertifikasi-influencer-tak-berujung-pembatasan-berekspresi
https://inet.detik.com/law-and-policy/d-8193508/komdigi-kaji-wacana-sertifikasi-wajib-influencer-ri-sebelum-ngonten
Schirone, M. (2023). Field, capital, and habitus: The impact of Pierre Bourdieu on bibliometrics. Quantitative Science Studies, 4(1), 186–208.
Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. G. Richardson (Ed.), Handbook of theory and research for the sociology of education (pp. 241–258). Greenwood Press.