Taman

Ketika Pikiran Memilih Berjarak dengan Noda

Ngik Ngik Ngik!

Suara kain basah yang mengeluh saat dipakai untuk membersihkan kaca jendela di tepi pagi. Suara keluahnya mengalahkan suara cicit burung pagi yang tampaknya sedang berbaris dan berbagi gosip di atas kabel listrik. Mirip dengan pikiran ibu yang membersihkan kaca pagi itu.

Kulit tangan ibu yang mulai ditarik usia itu memegang kain lembab itu bergerak tak tentu arah. Acak. Kadang ke atas, ke bawah, serong kanan-kiri bahkan bergerak memutar membentuk spiral. Gerakan itu menciptakan hening dalam ritual paginya, yang membuka pertanyaan paling kuno dari awal harinya.

“Apa yang harus aku bersihkan hari ini?” begitu katanya.

Benarkah Bersih Itu HARUS bebas Noda?

Kicau burung sudah mereda, tampaknya mereka tahu apa itu waktu. Matahari sudah tak malu bersinar meski, cahayanya mirip mata yang baru saja bangun. Samar. Tangan ibu yang tadinya memegang kain lembab kotor bekas membersihkan kaca, kini bersih dan wangi. Tanpa noda atau mungkin … debu.

Baca juga: Taman di Antara Kidung Wargasari

Asap dupa dan canang sari yang ia bawa dalam nampan bulat besar, seolah menjadi ritual sakral bagi jiwanya. Ketika si ibu menarikan telapak tangannya di atas kepulan asap, asap dupa itu seperti patuh padanya. Membawa serta doa-doa pemurnian jiwanya pada Sang Pencipta. Dan tepat gerakan itu selesai dilakukan. Matanya terbuka.

Ngiiing!

Suara teriak keheningan memanggil apa yang tak ia sadari sejak lama. “Kadang, kita tak akan tahu apa itu bersih, sebelum kenal apa itu noda.” Ia menghela nafas sejenak, “lalu mengapa banyak orang yang mengharapkan kesucian, sementara mereka enggan menerima nodanya?”

Si ibu berambut kelabu itu masih berdiri di depan Padmasana sanggahnya. Menatap asap-asap yang membumbung di atas kepala, sekali lagi mempertanyakan asap-asap dupa itu. “Tidakkah asap dupa itu adalah noda bagi udara murni di sekelilingnya. Tapi mengapa tak ada satupun yang menganggapnya noda?”

Ingatannya kembali pada filsafat yang pekak-kumpinya ajarkan. Tri Kaya Parisuda. Begitulah nama filsafat yang ia ingat. “Ah! Barangkali mereka tak berani menggatakan asap dupa itu noda bagi udara yang murni. Mungkin merasa tabu sudah menyimpang dari salah satu ajaran tri kaya parisuda,” katanya lagi.

“Tapi bukahkah dunia kita, tidak benar-benar bersih? Selalu saja ada noda yang menempel baik di jalan ataupun dalam pikiran,” katanya lagi. Seolah menggugat nilai ‘bersih’ pada asap dupa yang perlahan memudar ketika ia naik lebih tinggi.

Ulu hatinya perlahan mengembang. Mungkin sebuah jawaban masuk melalui sel-sel memori yang bekerja seperti roda. Namun, belum sempat jawaban itu ia olah, ibu itu memutar badan dan meninggalkan sanggahnya di belakang.

Bersih Bukan Tanpa Noda, Tapi Memilih Berjarak Dengannya

Matahari sudah cukup tinggi delapan derajat, perlahan bergerak menuju arah barat. Gluduk gluduk weerr! Suara mesin cuci berdengung nyaring saat menggiling pakaian-pakaian penuh noda di dalamnya. Ibu berambut kelabu itu berjongkok di depannya. Memperhatikan tabung yang memutar, dan menjungkir-balikkan pakaian.

“Kenapa aku sering sekali mendengar saran orang seperti ‘positif thinking lah’, ‘jangan egois lah’ atau ‘jangan marah’ pada seseorang, terasa seperti meminta dengan buru-buru orang untuk menghindari noda-noda itu? Tapi ….,” ia menghentikan kata-katanya. Dadanya seperti dicengkeram erat oleh tali tipis yang ia tak tahu apa namanya. “Belum sempat ia mengolah noda-noda itu, noda itu terus bertumpuk dengan noda baru yang akhirnya sulit untuk dibersihkan,” lanjutnya lagi.

Ibu menggeser posisi jongkoknya. Kini ia lebih dekat memperhatikan cucian-cuciannya yang tergilas oleh deterjen dan air yang mengalir dari balik keran dalam mesin. “Mungkin benar bahwa kita harus memberikan waktu agar bisa berjarak dengan noda-noda. Mirip dengan yang kulakukan saat ini,” katanya lagi. Kali ini mesin cuci ikut hening. Tak menggilas cucian di dalamnya. Seperti ikut mendengarkan suara bising ibu berambut kelabu itu.

Panca Yama Brata yang seringkali tergaung sebagai laku kehidupan yang memberi jarak pada ‘noda’.”

Ia menghela nafas, lalu menopangkan dagu pada kedua telapak tangannya. Wing wing wing! Pengering mesin cuci berputar.

“Barangkali inilah yang dharma inginkan sebenarnya. Memberikan ruang jeda pada diri sendiri untuk berjarak pada ‘noda-noda’ lewat laku panca yama brata. Mulai dari tidak menyakiti (Ahimsa); bersedia belajar sepanjang usia (Brahmancari); jujur mengakui ada ‘noda’ dalam diri (Satya); Berani berjarak dengan noda/ ikatan keduniawian (Awyawahara); Tidak mencuri (Asteya).”

Ketika suara klik dari mesin cuci terdengar. Mesin berhenti berputar. Kenop mesin cuci dibuka. Pakaian yang terkena noda pun kini pudar.

“Pakaian ini pun bersih, tapi bukan berarti tak pernah ada noda di sini,” katanya lagi.

Bukan Kesempurnaan, Tapi Kesadaran Bahwa Ketidaksempurnaan Bisa Terolah

uddhared ātmanātmānaḿ
nātmānam avasādayet
ātmaiva hy ātmano bandhur
ātmaiva ripur ātmanaḥ


Terjemahan:
Seseorang harus menyelamatkan diri dengan bantuan pikirannya, dan tidak menyebabkan Diri-Nya merosot.
Pikiran adalah kawan bagi roh yang terikat, dan pikiran juga musuhnya.

Bhagavad Gita Bab 6 Sloka 5

Sebaris makna itu mengendap pelan di bibir ibu berambut kelabu. Sejenak ia biarkan kata-kata suci itu menggulung jantungnya, dan menyentuh sudut-sudut pikirannya yang mungkin belum tersentuh cahaya pagi tadi.

Aroma manis dari dupa cempaka masih menguar. Meski batang-batang dupa sudah tak terlihat lagi bentuknya. Luruh menjadi abu dan asap yang lalu. Di tengah malam di sanggah itu, suara gita meliuk bersama orkes jangkrik di belakang.

Intonasinya meliuk, naik-turun dan sesekali bergetar mirip asap-asap yang beberapa detik lalu mengantarkan doa untuk para lelaku. Ia menutup kitab itu perlahan, menakupkan tangan dan memejamkan mata.

“Om, santi, santi, santi, Om.” Ibu itu mengakhiri ritual hariannya yang sederhana.

“Dharma adalah proses di mana ketidaksempurnaan bisa terolah dengan memberi jeda dan ruang,” katanya, “sama seperti ketika kubersihkan debu di jendela atau mencuci pakaian bernoda siang tadi.”

Ia beranjak dari paving dingin yang basah. “Setiap noda punya kesempatan ditata ulang dengan berjarak.” Lalu pergi meninggalkan sisa debu yang perlahan terbang menghadap yang Bhatara-Bhatari.

Closing Senja Hari

Gimana nih gengs dengan narasinya? Kadang kita sering jumpa sentilan dari orang lain yang mengharapkan kita buru-buru menepis pikiran kurang baik yang masuk itu, tanpa kita sendiri punya waktu untuk mengenali dan mengolahnya.

Nah, jika berkaca dari konsep panca yama brata, kira-kira menurut kalian gimana sih penerapannya pada diri kalian? Bisa dong berbagi di kolom komentar. Tapi … tetap perhatikan bahasamu ya saat berkomentar, semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.

Have a nice day! Jya, mata ne…

Source:
https://kumparan.com/berita-terkini/ringkasan-materi-panca-yama-dan-nyama-brata-dalam-agama-hindu-24I2D1dZPNE/full