Kala manusia pemburu pengumpul pertama menjejakkan kaki di pantai Australia, saat itu pula Homo Sapiens memanjat ke anak tangga puncak rantai makanan dan setelahnya menjadi spesies paling mematikan dalam empat miliar tahun riwayat kehidupan di planet Bumi.
Homo Sapiens, Prof. Yoval Noah Harari
Kutipan kata-kata seolah begitu satir dan pahit saat terdengar oleh kita yang begitu bahagia dengan kelahiran. Padahal mayoritas masyarakat menyadari bahwa kelahiran tidak hanya membawa bahagia tapi juga masalah.
“Lantas apa harus aborsi?”
“ataukah harus membiarkan diri melajang tanpa suami/istri?“
“benarkah populasi justru meningkatkan polusi?”
Baca juga: Penangkap Embun yang Tak Dikenal
“ataukan jangan-jangan populasi itu sendiri adalah polusi?”
Tunggu dulu, jangan buru-buru menghakimi ketika mendengar tentang kelahiran atau status kepemilikan anak dengan masalah yang mungkin terjadi. Bagaimana kita melihat populasi berkaitan dengan polusi?
Kalau dari KBBI polusi adalah pencemaran lingkungan baik tanah, air, udara dan lainnya yang dilakukan oleh benda, aktivitas atau senyawa berbahaya. Sedangkan populasi adalah keseluruhan jumlah manusia/makhluk hidup dalam suatu tempat atau wilayah tertentu. Kalau kita tarik garis lurus maka, mungkinkah menyebut populasi manusia sebagai polutan.
Sebagian besar orang atau kita (mungkin) akan merasa tersakiti bahkan marah ketika menyebut manusia adalah polusi itu sendiri. Tapi pernahkah kita merenung bagaimana itu bisa terjadi padahal manusia juga yang bisa mengurangi polusi itu? Dan ironisnya lagi, manusia adalah yang paling dekat dengan alam itu sendiri.
Jika kita menakar populasi dari tahun 1700-an yang notabene adalah masa-masa revolusi industri, maka populasi dunia kala itu ada di angka 610 juta jiwa dan semakin meningkat dalam kurun waktu satu abad menjadi 1 miliar juta jiwa. Dan di tahun 2020 angka populasi sudah hampir 7,8 miliar jiwa. Dengan banyak populasi dunia ini, seolah ruang bumi makin terisi dan bumi semakin padat.
Baca juga: Aku Memang Makhluk Kotor, Tapi Bolehkah Aku Berharap Manusia Mendoakanku?
Tapi bukankah bagus, kelahiran yang tinggi akan membuat bumi terisi penuh dan tidak senyap? Memang apa masalahnya sih?
Kelahiran manusia tak hanya membuat sepi jadi meriah, tapi juga hadirnya pemenuhan kebutuhan dari hampir 8 miliar orang di bumi. Belum lagi pola pikir dan ambisi yang tak terbatas dari masing-masing individu yang berbeda dan terkadang tidak sesuai dengan sumber daya alam yang kian terbatas. Di negara-negara berkembang contohnya Indonesia, India dan lainnya, tingkat kelahiran manusia ini masih menjadi salah satu isu yang cukup krusial. Belum lagi slogan-slogan yang digelontorkan bahwa banyak anak banyak rezeki, juga stigma akan keputusan ingin punya anak atau tidak, setidaknya masih mendominasi percakapan basa-basi.
Peningkatan tingkat kelahiran di negara berkembang seperti Indonesia, menyebabkan banyak masalah seperti menyangkut masalah yang berhubungan dengan lingkungan, sosial dan budaya. Masalah-masalah tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga jika tidak diatasi dengan penekanan jumlah penduduk maka akan berimbas pada kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Bagaimana jika kita merunut kejadian demi kejadian dari masalah kelahiran manusia ini? Saat manusia lahir membutuhkan sumber makanan yang berasal dari alam, akhirnya mereka mengupayakan menanam tumbuhan, mendomestikkan hewan agar pasokan makanan tetap terjaga. Manusia juga tidak hanya butuh makanan, tapi juga hunian sehingga mereka perlu menebang hutan untuk mencukupi kebutuhan lahan sebagai tempat tinggal, berkebun juga beternak.
Manusia berpikir melalui rasa dan logika bahkan untuk memenuhi kebutuhannya. Kemampuan berproses inilah yang melahirkan peningkatan ilmu pengetahuan sekaligus kerumitan dan permasalahan bagi bumi. Salah satunya adalah keinginan untuk memenuhi segala keinginan dan mendapatkan segala kemudahan. Dan kondisi itu melahirkan revolusi industri abad ke-18.
Baca juga: Serambi Untuk Pemakaman Di Sudut Kecil
Revolusi industri membuat hutan-hutan yang tadinya untuk pemukiman, beralih ke pembukaan hutan untuk industri. Belum lagi limbah industri yang mereka hasilkan kembali lagi ke alam dan menyebabkan penumpukan di sana sini. Muncullah masalah baru selain populasi yaitu polusi. Selimut polusi ini setidaknya sudah menjadi masalah sejak revolusi industri ini dimulai.
Limbah industri baik itu cair maupun padat kembali ke tanah yang menyebabkan polusi tanah. Limbah tersebut juga kembali ke air dan menyebabkan polusi air. Uap industri berupa gas CO2 kembali ke udara dan menjadikan polusi udara. Selimut polusi bukan hanya pencemaran satu elemen saja tapi seluruh elemen bumi dari air, tanah bahkan suara.
#Selimut polusi membuat bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim. Akibat dari perubahan iklim itu kita banyak menjumpai peristiwa alam yang tak lazim. Seperti hujan hitam di Cina tahun 2016 akibat industri tambang. Bukan hanya masalah cuaca, tapi masalah lainnya.
Coba kita renungkan kembali, mengapa begitu banyak negara yang menggaungkan pengendalian populasi manusia. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah selimut polusi ini semakin tebal dengan mengurangi populasi?
Sudah bukan rahasia umum bahwa satu pohon bisa memberikan dampak baik pada lingkungan. Apalagi jika manusia bisa menanam ribuan, ratusan ribu hingga triliunan pohon dan membentuk hutan. Sehingga hutan bisa sebagai salah satu solusi untuk mengatasi polusi dan perubahan iklim.
Baca juga: Kumbang Jerapah dan Kisah Tak Penting di Gulungan Daun
Sudah banyak penelitian sepanjang berpuluh dekade tentang fungsi hutan dan manfaatnya bagi bumi. Hutan menjadi rumah bagi berbagai tumbuhan dan hewan, gudang produksi oksigen serta penyimpanan karbondioksida; menjadikan bumi lebih dingin dan aman dari berbagai bencana tak lazim. Tak heran banyak negara-negara maju dunia yang mengupayakan hutan buatan ketika hutan alami ini mulai berkurang.
Hutan buatan setidaknya menutupi 2% dari total 7% kawasan hutan global alami (dan diharapkan akan lebih banyak lagi). Walau berbeda dengan hutan alami, hutan buatan membantu mencegah terjadinya perubahan iklim. Meski membantu, konservasi untuk hutan alami tetap harus dilakukan karena keanekaragaman dari ekosistem dunia justru terletak pada hutan alami dunia.
Namun, upaya-upaya yang kita lakukan akan muskil tanpa adanya kesadaran untuk menurunkan populasi manusia. Per satu kelahiran untuk satu pohon dan per satu juta kelahiran, untuk sebidang hutan. Salah satu kebijakan atau aturan yang bisa diterapkan pemerintah negara berkembang untuk mengatasi selimut polusi dan populasi.
Kita bisa mencontoh bagaimana Jepang, Finlandia dan negara maju dalam menaikkan penduduk usia produktif. Negara tersebut memberikan banyak program kesejahteraan yang mendorong pasangan produktif untuk melahirkan. Indonesia bisa mencoba meniru dengan memberikan manfaat kesejahteraan itu, bagi mereka yang hanya ingin melahirkan maksimal dua manusia. Cara ini juga bisa bermanfaat bagi keluarga kurang mampu yang justru ingin memiliki maksimal dua anak.
Manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan rasa. Jadi, Mari #MudaMudiBumi bersama-sama mengurangi polusi dan menjaga hutan termasuk isinya agar manusia tetap bisa bertahan hidup. Dengan semangat #UntukmuBumiku bersama #TeamUpForImpact kita kampanyekan semangat melestarikan hutan dan mengurangi penipisan selimut polusi.
Baca juga: Daun Bulat yang Tak Pernah Menjadi Koin
Salah satu hal hebat dari manusia adalah cara-caranya bertahan hidup. Tapi pikirkanlah cara bertahan hidup yang bijak tanpa menyakiti alam
Dinda pranata
Source:
nature.com
livescience.com
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6850378/
https://www.worldometers.info/world-population/world-population-by-year/
https://www.liveabout.com/how-overpopulation-impacts-the-environment-4172964
https://link.springer.com/article/10.1007/s10677-019-09995-5
View Comments
Di kantor orang tua saya dulu bagi pegawai yang dalam jangka sekian tahun hanya punya dua anak dapat hadiah kalung emas, dapat uang pendidikan sampai kuliah.
Salah satu hal hebat dari manusia adalah cara-caranya bertahan hidup. Tapi pikirkanlah cara bertahan hidup yang bijak tanpa menyakiti alam
Masyaalloh sungguh kata-kata yang indah sekaligus menjadi pengingat 🥰
Entah karena lupa atau memang gak ngerti, atau memang gak peduli?
sebagian orang gak care sama lingkungan. Padahal lingkungan hidup manusia juga memberi kontribusi besar untuk kelangsungan hidup manusia.
Keseell bgt kalau lihat berita orang2 seenaknya menebang pohon di hutan atau buang sampah sembarangan 😦
Manusia cenderung eksploitasi alam sebesar-besarnya untuk kepentingan sendiri. Lupa bahwa ada yang harus dijaga dan dikembalikan ke alam. Akibatnya ya balik ke manusia dalam bentuk bencana.
Kak Dinda keren. Tulisannya berbobot dan pembahasannya mendalam dengan nuansa bahasa yang nyastra.
Tanpa disadari populasi manusia yang bertambah membuat bumi kian diselimuti polusi tanah, air, dan udara.
Kampanye kesadaran menjaga lingkungan demi bumi itu sangat penting digaungkan secara terus-memerus karena manusia kerap lupa.
Dampak bumi yang sakit akibat ulah manusia itu sudah terasa di mana-mana, di kota maupun desa.
Bencana adalah peringatan keras, namun jika diabaikan akan menyapu habis populasi manusia sedikit demi sedikit.
Tidak dapat dihindari manusia memang akan berbuat kerusakan kepada alam, namun kerusakan ini dapat diminimalkan kalau kita disiplin dan cukup ilmu tentang bagimana mengelola alam, ini harus bersama sama dilakukan agar dampaknya signifikan
Banyak juga ya kak, jumlah manusia di bumi ini. Mencapai 8 miliar! dan memang sekarang ini sudah banyak sekali fenomena alam yang sering meresahkan manusia. Polusi juga semakin hari semakin menjadi, dan saya berharap anak cucu kita kelak masih bisa hidup layak tanpa terpapar polusi
Setuju mbak... kalau saya concern ke sampah. Udah nggak relevan lagi slogan buang sampah pada tempatnya, tapi pilah sampah sesuai jenisnya dan berlaku reduce, reuse, recycle. Kasian rasanya liat suatu daerah tiba2 banjir dan sampah yang nggak terpilah dengan baik itu berhanyutan... aakk rawan penyakit sekali itu
Bumi sudah tua dan kita pun menyadari telah banyak perubahan yang terjadi. Namun, seringnya kita memilih untuk abai pada “protes” yang disuarakan Bumi. Padahal bencana alam di mana-mana dan yang paling terlihat adalah cuaca ekstrim. Kita selalu punya pilihan untuk turut andil dalam upaya penyembuhan Bumi, dimulai dari hal kecil dan sekarang juga.
suka quotenya, bertahan hidup yang bijak tanpa menyakiti alam
karena sejatinya alam juga mendukung kehidupan manusia, indahnya kehidupan yang saling mendukung dan saling menjaga