Kebanyakan orang suka jadi penonton dalam kehidupan orang lain. Ini tidak terbatas hanya suka menonton tetangga yang sedang kasmaran tetapi juga menonton drama atau film dari kucing yang bertengkar di teras rumah. Kita jadi kepo banget menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya, utamanya saat ketegangan memuncak seperti dalam film yang biasa kita tonton. Bisa dibilang kita hebat dalam hal ngepoin banyak hal.
siapa sangka kalau di balik efek kepo ini, ternyata ada fenomena konyol yang buat kepoin orang jadi hal yang menyebalkan. Sebut saja efek bystander. Eh … apa itu efek bystander? Kenapa itu bisa jadi nyebelin dan hmm … sedikit berbahaya dalam situasi tertentu.
Kadang kala kita ini enggak sadar kalau punya jiwa-jiwa yang kritis. Bayangkan ada kucing tetangga yang lagi kasmaran di depan rumah, kita saja bisa kepo, “siapa sih yang punya kucing?” Sampai kadang rasa kepo itu sendiri, membuat kita bak akun gosip profesional yang tak pernah kelewatan info investigasi. Saking jiwa kritis kita lagi dipuncaknya, malah hal-hal remeh dan enggak berguna yang sering kali memicu keingintahuan dan pergerakan tubuh kita.
Tapi masalahnya hal-hal remeh itu apa bawa manfaat buat kehidupan kita? Jawabannya tergantung. Kalau menurutmu jadi cameo yang cuma ndomblong (bengong) di pojokan, bisa membuatmu jadi terkenal seperti akun gosip. Ya silakan sih! But, tindakanmu itu tidak akan berdampak baik malah buat kamu jadi orang yang mengesalkan.
Inilah yang kita sebut sebagai efek bystander yang artinya bahwa semua orang ini kepo akan sesuatu hal yang menarik perhatian tapi enggak bergerak alias cuma jadi penonton dan menunggu orang lain untuk mengambil tindakan terlebih dahulu. Istilah ini diambil dari sebuah tragedi kekerasan yang terjadi di New York, Amerika Serikat tahun 1964.
Singkat cerita nih, ada seorang wanita bernama Kitty Genovese yang pulang larut malam selepas bekerja. Saat dekat di kawasan rumahnya, seorang pria kemudian menyeretnya ke arah belakang apartemennya dan melecehkannya. Meski beberapa saksi mata melihat dan mendengar teriakannya, namun mereka hanya menyaksikan tragedi pembunuhan itu terjadi tanpa mengambil tindakan.
Atas kasus yang sangat menghebohkan media masa ini, muncul penelitian mengenai pola perilaku manusia dan psikologi sosial. Mereka adalah John Darley dan Bibb Latané di tahun 1968. Dua peneliti ini menggunakan metode eksperimen yang melibatkan situasi-situasi di mana seseorang membutuhkan bantuan.
Contohnya, seseorang yang pingsan di tengah jalan atau orang yang mengalami serangan jantung. Hasil penelitian yang mereka lakukan menunjukkan, bahwa semakin banyak orang yang hadir dalam situasi tersebut, semakin rendah kemungkinan seseorang akan memberikan bantuan. Mereka menyimpulkan bahwa adanya banyak “penonton” membuat setiap individu cenderung merasa enggan/bingung memberikan bantuan.
Menurut banyak penelitian yang terus berkembang atas fenomena ini, ada setidaknya dua faktor penting yang mempengaruhi kondisi bystander ini. Pertama adalah faktor individual (misalkan saja terkait pemahaman mengenai situasi yang terjadi, kondisi emosional individu, termasuk tinggi/rendahnya empati individu). Lalu faktor kedua adalah faktor eksternal (misalkan pemecahan tanggung jawab/ merasa apa yang terjadi bukan dari tanggung jawab individu; situasi yang tidak jelas; suara mayoritas yang bertindak/ kondisi di mana tidak ada yang membantu seseorang, maka secara otomatis membuat orang lain merasa itu bukan masalah besar).
Sebenarnya dalam momen genting atau darurat manusia memiliki respon freeze dimana otak manusia berada dalam mode yang mencerna situasi yang terjadi. Tapi mode freeze ini enggak bisa dipakai terus-menerus ya. Kalau kita freeze dan tak segera “meleleh” kita bisa membuat kondisi sekitar jadi kacau. Saat kita jadi pemain cadangan sambil nunggu wasit melakukan tindakan, ada dampak yang kita tinggalkan lo.
Terus mau sampai kapan kita jadi pemain cadangan yang enggak guna?
Sudah saatnya kita jadi pemain utama dalam sebuah kegentingan. Jangan mau untuk terus jadi penonton atau cameo dalam aksi nyata di sekitar kita. Meski tak ada sorot kamera yang mengarahkan gaya atau naskah percakapan, kita bisa lo jadi bintang laga di film kita sendiri. Mulai dari hal yang sederhana dengan mengedukasi diri saat terjadi keadaan darurat. Ini lah pentingnya pendidikan keselamatan diajarkan/ditanamkan sejak dini dan enggak cuma sekedar memberi tahu langkah-langkah semata, tapi sekalian praktek.
Misalkan saat ada tetangga yang jatuh pas di depan rumah, kita bisa menawarkan minuman atau sekedar membantunya berdiri tegak lagi. Atau pas lagi di jalan ada kecelakaan, kita bisa dengan sigap menelpon ambulan untuk minta pertolongan dan bukan malah memotret si korban dan menyebarkan di media sosial. Dengan langkah kecil ini, kita sudah belajar untuk menon-aktifkan mode bystander. Meski ini hal yang sederhana, tapi enggak banyak orang yang bisa melakukannya dengan berani lo apalagi di era sekarang yang dikit-dikit ada kamera tersembunyi di saku penolong.
Enggak usah khawatir akan dicap sok atau norak saat kondisi bystander kita non-aktif. Cukup ingat bahwa kita enggak sedang audisi atau mengikuti lomba untuk menunjukkan siapa yang terbaik di sini. Kita menon-aktifkan mode bystander ini semata-mata memang karena ingin lingkungan jadi lebih baik. Ini tandanya kita sudah selangkah lebih maju dari mereka yang mengatakan hal negatif tentang kita.
Setelah baca ini, yakin masih mau pakai mode bystander lebih lama? Yuk, kurangi efek bystander dengan berani beraksi! Jangan sampai momen-momen berharga dalam kehidupan kita cuma sebatas layar piksel. Kita punya potensi untuk bikin dunia jadi tempat yang lebih baik, satu tindakan kecil tapi berani sekaligus!
Kalian yang pernah ada dalam fase bystander ini boleh kok bercerita seputar pengalamannya? Kalian yang juga pernah jadi korban orang-orang bystander juga boleh kok berkomentar? Ini termasuk dengan kalian yang kontra dengan isi artikel di atas ya. You are welcome untuk memberikan pendapat.
Tapi apapun komentar kalian, tetaplah berkomentar dengan sopan tanpa menyudutkan pihak lain ya. Ini semata-mata supaya kalian tetap punya jejak digital yang baik.
So, happy Monday!
Source:
https://www.britannica.com/topic/bystander-effect/Diffusion-of-responsibility
https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/bystander-effect-adalah/
https://www.verywellmind.com/the-bystander-effect-2795899
View Comments
Baru tahu tentang efek bystander. Iya juga kebanyakan kalau ada yang kena musibah di tengah jalan, misalnya jatuh, yg ada orang kalau nggak ngetawain, nontonin, atau malah memvideokan.
Sebuah artikel yang menarik kak, setidaknya butuh empati tidak hanya simpati saat menghadapi suatu kasus dan memang sebaiknya dibentuk saat masa anak-anak, karena untuk membentuknya butuh proses yang lama dan panjang
iya nih apalagi di era sekarang orang malah sibuk bikin video kalau ada kejadian yang seharusnya sigap memberikan bantuan. semoga saja saya bisa menjadi orang yang aktif dan tidak sekadar jadi bystander saat hal seperti itu terjadi
Aku baru tau ada istilah bystander ini, meskipun ternyata sering ngeliat kondisi ini di mana-mana. Yg bikin paling sebel itu kalau ada orang kenapa2 bukannya nolong duluan malah videoin duluan. Terus viral deh pake caption aneh2, kadang gak nyambung konteksnya. Jadi ngerasa gak aman ada di luar rumah. Ini efek trend viral2 gt juga gak sih? Semua orang kebelet viral?
Iya beberapa kali saya melihat orang acuh aja padahal di depannya ada seseorang yang memerlukan bantuan
Segitunya ya sikap manusia jaman sekarang
Saya kalau lagi jalan ada yang kecelakaan gak bisa nolong, bukan ga mau, tapi saya gak kuat kalau lihat darah gitu. Bisa pingsan. Ntar bukan saya yang nolong, malah saya yg harus ditolong. Nambah beba orang jadinya
Hehehe
Dilemmanya pada insiden seperti kecelakaan, kadang orang jadi takut membantu karena khawatir disalahkan Kak. Karena yang mengerikannya, saat ada kejadian seperti itu banyak juga orang yang gak tahu justru memprovokasi sekitarnya dan berakibat fatal ke orang yang berniat membantu. Tapi sebenarnya memang sebisa mungkin jangan jadi bystander sih, setidaknya jika tidak bisa langsung turun tangan, segeralah aktif mencari petugas atau orang di sekitar untuk sama-sama membantu.
Sejujurnya untuk kasus gawat yang kejadiannya sangat cepat, misal kecelakaan, kejahatan seperti perampokan, aku bukannya Bystander, tapi seringkali blank, kudu apa yang dilakukan. Namun yang aku lebih heran, orang sekarang tuh paling seneng viral. Jadi, inget banget pas ada kejadian kecelakaan tahun baru di Surabaya, yang orang-orang menikmati tahun baru di atas rel tapi relnya posisinya tinggi, saat kereta lewat, mereka desek-desekan, dan sampai ada yang jatuh.
Kejadian kaya gini tuh bukannya sebaiknya ada yang nolong yaa?
Engga ee.. semua pada ngerekam dan exklusif menyebarkannya ke medsos. Huhuhu.. Sedih lihatnya.
Bystander yang freeze ini cukup menyebalkan sih. Cuma nonton doang, ngebantu kagak. Giliran nanti bergosip orang lainnya paling banter. Tapi ya itu, banyak yang kayak gitu, kalau ada orang yang sedang kesusahan atau memerlukan pertolongan malah dilihatin saja tanpa menolongnya. Padahal, kalau bisa menolong, satu nyawa bisa terselamatkan atau tidak jadi dilecehkan.
Semoga rasa empaty kita makin tinggi jadi tergerak atau action untuk menolong mereka yang membutuhkan bantuan.
Jujur, aku Baru tahu tentang efek bystander ini
Memang miris ya, orang hanya bisa melihat tanpa mau beraksi
Insightful banget kak. Fenomena ini saat ini makin sering terjadi. Istilanhnya videoin dulu baru ditolong