Di sebuah coffee shop yang hangat, Sarah membuka media sosialnya sambil menunggu pesanan tiba di atas mejanya. Jari-jarinya yang lentik dengan pewarna kuku merah muda, berhenti sejenak ketika melihat sebuah foto.
Temannya, Dila, tersenyum lebar bersama seorang pria tampan yang ia tahu sebagai kekasihnya. Mereka memamerkan pose berpelukan di taman di depan resor mewah. Halaman hijau, pohon rindang dan bunga-bunga yang bermekaran. Begitu memukau mata Sarah.
Padahal, beberapa hari lalu, Dila meneleponnya dan berkeluh kesah tentang pertengkarannya dengan sang kekasih. “Setelah dibohongi berkali-kali, mereka masih bisa tersenyum lebar seperti itu,” gumamnya. Tapi, apakah hanya perasaan iri dari Sarah yang masih melajang?
Sarah menarik napas panjang dan mengusap layar ponselnya, mencerna foto Dila dan kekasihnya yang tampak bahagia. Tiba-tiba, ia merasa Dila sudah berbohong tentang ceritanya. “Apanya sih yang kecewa, buktinya dia masih bisa mesra banget sama cowoknya,” gerutunya.
Jari Sarah masih bermain di atas layarnya, menggulirkan satu foto ke foto lainnya, bahkan sampai pesanannya sudah di atas meja, matanya masih memindai. Dari foto temannya, wanita berusia tiga puluh tahun tersebut, merasa seolah sudah tahu segala hal tentang hubungan pasangan itu.
Baca juga: Isi Dompet Boleh Digital, Literasi Tetap Vital Bersama Bank Sentral
Inilah yang orang sebut dengan thin slice judgment, sebuah proses di mana seseorang membuat penilaian cepat hanya berdasarkan informasi yang sangat terbatas. Termasuk beberapa foto di media sosial.
Sarah mendesah dan menutup aplikasi media sosialnya, Lalu telunjuknya dengan cepat beralih ke aplikasi youtube. Ia membuka salah satu judul yang begitu menggelitiknya. “Dilihat sekilas, langsung dinilai tuntas,” katanya lirih. Wanita berambut blonde itu membukanya, mendengarkan dengan seksama.
Matanya terus menatap video itu dan kepalanya berusaha mencerna setiap informasi. Dari video itu Sarah menyadari bahwa saat ini perasaannya sedang campur aduk antara rasa ingin memiliki pasangan, juga rasa ingin melenyapkan beban hidupnya yang selalu datang silih berganti tanpa istirahat. “Ini sama dengan isi jurnal The Perils of Pondering, kalau emosi bisa mempengaruhi penilaianku,” desahnya.
Sarah mengambil cup kopinya, mencium aromanya yang membuat perasaannya merasa lebih baik. Aroma manis dari creamer dan aroma wangi kopi lokal arabica merasuk ke dalam paru-parunya. Matanya mendadak terbuka, seolah ia mendengar nada klik di dalam kepalanya. “Bisakah aku …?” kata-katanya menggantung di udara yang bercampur dengan kepulan asap kopi di depannya.
Malam hari sebelum tidur, Sarah menatap langit-langit kamarnya dari atas ranjang. Ada rasa gelisah setelah menonton video itu, anehnya kegelisahan itu bukan karena foto Dila. Namun karena hatinya. “Bisakah aku menghentikan caraku memandang ini?” pikirnya. Ia memiringkan tubuhnya sambil memeluk guling, yang jadi tumpuan pelukannya malam itu.
Baca juga: Judul yang Penuh Harapan Tanpa Jaminan Realita
Tanpa sadar, Sarah sudah terjebak dalam thin slice judgment. Dalam hitungan detik, dia bisa menyimpulkan bahwa kehidupan Dila lebih indah—hanya dari sebuah potongan-potongan foto.
Dering ponselnya mengalihkan pikirannya. Nama Dila muncul di layar ponselnya, perempuan berpiyama itu memandang sejenak, dan jemarinya sedikit bergetar karena keraguan. Namun akhirnya dia menekan tombol hijau di layarnya.
Tangis Dila pecah saat Sarah menjawab teleponnya. Suaranya serak dan sesegukan. “Aku … Aku … Lelah, Sarah!” katanya terbata-bata, “Aku lelah berpura-pura tersenyum di depan kamera. Kalau saja bukan karena endorsment itu, aku tidak akan menemani Boy ke resort itu,” lanjutnya.
Deg! Dada Sarah terasa terhantam palu besar. Begitu ngilu. Ia masih terdiam tidak bisa menjawab.
“Lukaku masih terlalu dalam, ketika aku melihatnya tidur dengan wanita lain di depan mataku,” ujarnya sambil menangis. Suara angin dan deburan ombak bisa Sarah dengar, dari arah belakang Dila. “Tapi dia masih belum jadi suamimu, kan,” kata Sarah lirih.
Baca juga: Berdiri Seperti Pahlawan, Isi Kepala Jadi Sorotan
“Meski belum, tapi dalam waktu seminggu lagi kita menikah. Dan itu pukulan berat untukku,” jawabnya.
Sarah tak bisa berkata-kata. Rasa nyeri di dadanya sekaligus rasa bersalah menghalangi bibirnya untuk bersuara. Andaikan saja …., batinnya.
Telepon dari Dila meninggalkan Sarah dalam bayangan rasa bersalah sebelum tidurnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba membungkam pikiran negatifnya. “Take a breath, jangan buru-buru nge-judge,” gumamnya. Ini adalah langkah pertama: berhenti sejenak sebelum menarik kesimpulan.
Ia bergumam kembali sambil memandangi layar ponselnya. “Meski terlihat indah di layar Hp, tapi aku harus ingat ada yang tak terlihat di belakang gambar itu,” katanya pada diri sendiri.
Kalau dijabarkan urutannya untuk menghindari thin slice judgement akan seperti ini: tarik nafas, sadari itu hanya foto, dan terakhir tutup ponsel kalau pikiran “hakim” itu masih menghantui.
Baca juga: Satu Kotak Harapan, Isinya Kejutan yang Tak Diharapkan
Sarah menuliskan itu dalam note dalam Hp-nya, meng-capture-nya dan menjadikannya sebagai profile layar ponselnya, sebagai pengingat thin slice judgment yang sudah ia lakukan. Sarah tersenyum sambil melihat layarnya dan menarik selimutnya.
Di dunia digital yang serba cepat ini, kadang kita hanya butuh mengingat satu hal: setiap orang punya perjalanan yang tak terlihat, dan setiap senyum mungkin menyimpan cerita yang belum selesai.
Source:
Ambady, Nalini. “The Perils of Pondering: Intuition and Thin Slice Judgments.” Psychological Inquiry, no. 4, Informa UK Limited, Nov. 2010, pp. 271–78. Crossref, doi:10.1080/1047840x.2010.524882.
https://www.spectroomz.com/blog/thin-slice-judgements-autism
https://www.simplypsychology.org/thin-slicing-psychology.html
View Comments
Thin Slice Judgment, tambah pengetahuan baru. Di dunia berita kita mengenal clickbaith, orang-orang yang tidak mau literasi, akan mengambil kesimpulan di awal. Padahal belum tentu isinya menunjukkan sesuai dengan judulnya. Orang-orang politik menyebutkan sumbu pendek. Dan istilah psikologi, saya baru tau, Thin Slice Judgment, nice artikel. Tambah pengetahuan membaca artikel ini.
Jadi relate dengan buku yang baru saja selesai saya baca. Disana juga mengulas tentang media sosial. Kita sebagai pengakses media sosial jangan terlalu terpengaruh dengan apa yang dikatakan di medsos. Media sosial harus bisa kita kontrol.
benar sekali, dizaman sekarang ini tolak ukur atau menilai kehidupan seseorang biasanya dilihat hanya dari medsos, tentang thin slice judgment sangat penting yaa sebagai pengingat jika kita itu tidak bisa memandang seseorang hanya dengan melalui hal semacam itu. bagus banget artikelnya, menambah sudut pandang dan pengetahuan pembaca
Menarik bgt tulisannya..betul kita tuh sering bgt langsung menilai melihat potongan kecil hidup org di medsos dan terpengaruh..:(
Saya suka sekali membaca pengetahuan baru seputar media sosial dan humaniora yang kekinian. Tulisannya sangat cocok sebagai konten yang dibuat seorang akademisi, peneliti di bidang media komunikasi/humaniora, atau penulis berbakat. Ini menambah pengetahuan baru.
Pembahasan yang menarik. Dan ini terkadang seringkali terjadi di kehidupan keseharian sebagai realita yang salah kaprah yah, kak?
Hmm.. Sarah yang beruntung, semoga Sarah selalu bahagia dengan apa yang ditemukannya dalam cara mengambil tindakan dan keputusan selanjutnya.
Waah waah...tanpa banyak Komen, kayaknya aku adalah bagian dari thin slice judgement ini ya. Bahaya banget. Akayaknya butuh dilatih lagi hati ini biar nggak kayak Gini. Lebih realistis, lebih masuk logika, yang paling penting lebih wise.
Dunia tipu-tipu, kehidupan tak cukup dinilai dengan yang tampak di media saja. Apa yang ditampilkan di media sosial emmiliki maksud dan tujuan masing-masing dari pemilik media sosial tersebut. Ah tak perlu menilai
aku suka dengan kalimat "setiap orang punya perjalanan yang tak terlihat, dan setiap senyum mungkin menyimpan cerita yang belum selesai." mbak..
dan socmed emg ladang komentar sih ya, better gak usah dilihat, kecuali unk happy-an aja :D
Ini kenapa artikelnya relate banget ya. Setuju banget sama quotesnya. Kita tuh sering tertipu sama tampilan media sosial orang. Padahal kita sendiri juga penipu karena menampilkan yang baik-baik aja. Huhhh.