Di Kopi Teras Miring, Raka menggulir linimasa ponselnya. Tagar #KaburAjaDulu memenuhi berandanya, ajakan yang ramai ada di media sosial. Dahi mengerut, kepala sesekali miring, hingga sebuah tepukan di punggung hampir membuatnya tersedak saat hendak menyeruput kopi. “Are you okay, Beb?” Sina, kekasihnya, terkikik.
“Bab, beb! Kira-kira dulu dong kalau mau ngagetin!” Raka mendengus, menghapus noda kopi di kemejanya, “untung nggak tersedak cangkirnya!” kata Raka lagi. Sina cengar-cengir, membantunya mengambilkan tisu. Tatapan Sina beralih ke layar ponsel Raka. “Kau ikutan drama hastag kabur-kaburan ini?”
Raka menggeleng dan Sina menghela nafas. “Masih ingat kau sama Isma?” tanyanya kemudian
Mendengar nama itu, jantung Raka mendadak ingin berhenti, karena nama itu mengingatkan ia pada satu kejadian yang hampir saja terlupakan.
Dua puluh tahun lalu, di Warung Bakso Perliman, Raka dan Isma duduk berhadapan, mangkuk bakso masih mengepul di hadapan mereka. “Dua tahun lagi kita jadi mahasiswa. Kau mau kuliah di mana?” tanya Isma, suaranya penuh semangat.
Baca juga: Ketahuan Salah, Ngeles Biar Lolos Dari Masalah!
“Aku mau jadi guru aja, Is. Kalau kau?” Raka balik bertanya.
Isma menyendok baksonya sebelum menjawab, “Aku pengen ke Oxford, ambil sastra atau sosiologi.”
Raka menghentikan kunyahannya. “Ngapain jauh-jauh ke Inggris? Jurusan itu banyak di sini.”
“Masalahnya bukan cuma jurusan, Ka. Kualitas pengajaran di sana beda. Aku pernah lihat video kelas di Oxford—penuh diskusi, nggak ada ospek-ospek pakai marah-marah kayak di sini,” jelas Isma berapi-api.
Perdebatan mereka semakin memanas. “Ini bukan cuma soal ospek, Ka. Di sini, orang harus #KaburAjaDulu baru mereka dapat penghargaan. Inovasi sering dipandang sebelah mata. Coba lihat peneliti kita, atlet, atau seniman—baru dielu-elukan setelah sukses di luar negeri.”
Baca juga: Judul yang Penuh Harapan Tanpa Jaminan Realita
“Itu masih asumsimu aja, kan. Banyak kok mereka yang sukses di dalam negeri sendiri kayak artis-artis yang masuk jadi anggota DPR atau banting setir jadi politisi. Itu kan juga bagian dari sukses tanpa harus keluar negeri,” sanggah Raka. Isma terdiam sejenak berusaha menunggu Raka melanjutkan perkataannya. “Lagian kalau kau harus belajar jauh-jauh ke luar negeri, itu artinya kau nggak punya jiwa nasionalisme!” lanjutnya ketus.
“Astaga! Nasionalisme itu nggak ada hubungannya sama kamu pergi keluar cuma buat belajar. Kamu memang nggak pernah belajar sosiologi di kelas tapi kamu bakal tahu kalau apa yang aku sampaikan itu sebenarnya sudah tercatat dalam sejarah-sejarah kita dan kita ini sebenarnya cuma ngulangi hal yang sama seperti dulu!” jawab Isma.
Dan sejak saat itu hubungan mereka tidak pernah sama dan berakhir dengan kata putus. Dan Raka kembali menatap cangkir yang kopinya tak lagi hangat. “Kini aku tahu maksud Isma.” Perkataan Raka membuat Sina menatapnya sayu.
Sina tersenyum kecil, meski ada sedikit rasa cemburu saat Raka mengenang cinta pertamanya. Tapi ia tahu, bukan salah Raka jika ingatan itu muncul.
“Kita ini hanya mengulang kesalahan yang sama dari sejarah, Ka,” ujar Sina, menyesap kopinya. “Termasuk pejabat-pejabat yang bilang kabur aja, kalau perlu nggak usah balik, seolah mereka nggak butuh orang-orang kompeten di negeri sendiri.”
Baca juga: Berdiri Seperti Pahlawan, Isi Kepala Jadi Sorotan
“Dulu aku dan Isma di SMA belajar teori Exit, Voice, and Loyalty dari Hirschman. Di teori itu menjelaskan gimana masyarakat merespons keadaan sosial mereka. Exit, mereka yang memilih keluar dari sistem—pindah kewarganegaraan, kerja di luar negeri, atau menarik diri dari politik. Voice, mereka yang menyuarakan ketidakpuasan, kayak pakai hashtag #KaburAjaDulu atau protes kebijakan. Dan Loyalty, mereka yang bertahan dengan harapan keadaan membaik,” jelasnya.
“Dan Isma memilih exit?” tanya Raka, suaranya melemah.
Sina menghela napas. “Setelah satu kejadian yang bikin dia yakin untuk kabur.”
“Kamu tahu Raihan Fahrizal, model yang dianggap terlalu kurus di Indonesia tapi sekarang melenggang di catwalk internasional?” Raka mengangguk.
“Cerita Isma kurang lebih sama seperti Raihan. Dia itu pernah nulis novel waktu SMA, tapi ditolak karena katanya nggak Indonesia banget. Berkali-kali dia revisi, tetap aja dibilang nggak menjual. Akhirnya dia nekat nerbitin di luar negeri. Boom! Bukunya meledak, menang penghargaan, sekarang dia sering masuk berita nasional, dielu-elukan sebagai aset negara,” Sina tersenyum miris. “Dan dia tetap WNI?”
Baca juga: Diskusi Sehat Bubar, Anggota Barbar
“Ya! Dia nggak pindah kewarganegaraan. Tapi pas dia bikin sesuatu yang inovatif, negaranya malah tutup mata. Sekarang, setelah sukses, menetap di Austria, mereka klaim dia aset bangsa.”
Raka termenung. “#KaburAjaDulu ini sebenernya bentuk voice anak muda yang frustrasi, ya?”
Sina mengangguk. “Nasionalisme itu sering disalahpahami bahwa yang exit tidak nasionalis daripada yang loyal, padahal tidak selalu seperti itu. Bisa jadi yang loyal ingin exit atau vocal tapi mereka terhimpit oleh keadaan yang membuatnya terikat (neglect).” tambah Sina.
Raka masih termenung di ruang kerjanya. Percakapan tentang Isma dengan Sina, teman sekelas Isma yang juga pacarnya ini, membawa Raka ke realitas yang lebih besar: #KaburAjaDulu bukan sekadar tren, melainkan akumulasi dari sesuatu yang tak terlihat—kekecewaan, ketidakadilan, dan harapan yang berulang kali atahkan.
“Negara selalu bangga kalau ada orang Indonesia sukses di luar negeri,” ujar Sina. “Tapi kenapa mereka nggak berusaha mempertahankan orang-orang itu sejak awal, membantu inovasi yang mereka katakan tidak menjual itu,” kata Sina saat senja mulai melipir perlahan dan percakapan yang mengakhiri sekaligus mengingatkan kembali Raka dengan Isma.
Baca juga: Satu Kotak Harapan, Isinya Kejutan yang Tak Diharapkan
“Aku tahu, fenomena ini bukan kasus tunggal. Aku sudah melihat banyak ilmuwan, atlet, hingga seniman yang terpaksa mencari pengakuan di luar negeri. Jika kondisi ini terus terjadi, Indonesia pun akan mengalami brain drain, kehilangan generasi terbaik yang seharusnya bisa berkontribusi untuk negeri sendiri.” katanya pada diri sendiri.
Ia menarik nafas panjang menatap langit yang gelap dari luar jendela. “Mereka yang berdemo melalui media sosial dengan hashtag #KaburAjaDulu, pasti pernah merasa loyal dan vocal, tapi dengan kebijakan pemerintah yang kurang baik membuat mereka merasa khawatir akan masa depannya sendiri termasuk masa depan keluarganya yang ada di negara sendiri. Kenapa pemerintah harus mengeluarkan kebijakan tanpa pertimbangan?” katanya lagi.
“Ah, aku rasa kurang bijak juga aku mengatakan tanpa pertimbangan, akan lebih baik jika aku mengatakan tanpa riset yang mendalam sebelum eksekusinya,” revisinya sambil menggelengkan kepala.
Pemerintah perlu sekali lagi membingkaii ulang arah kebijakannya, tidak masalah untuk menjadi ambisi tapi sadari juga bahwa ambisi pun tetap ada batasan. Tak masalah pula dengan efisiensi anggaran asalkan bendahara-bendahara yang tugasnya mengelola keuangan di berbagai pihak pun inovatif terhadap mana saja bagian yang bisa diefisiensikan.
#KaburDuluAja bukan hanya hashtag, tapi juga wujud vocal mereka yang mengkritisi kebijakan pemerintah, termasuk pejabat-pejabat dan para elit tertentu yang mereka rasa menciptakan narasi yang kurang tepat dalam menyikapi keadaan sosial.
Sementara bagi yang menyuarakan #KaburDuluAja juga perlu bijak ketika menyuarakan ini, tak hanya sekedar mengajak ikut-ikutan exit atau pindah negara tanpa penjelasan lebih lanjut. Karena mengikuti arus tanpa memberikan informasi tambahan. Misalkan tentang trend konten nikmatnya hidup di luar negeri tanpa membeberkan tantangan apa saja yang harus mereka hadapi, juga akan bisa membuat orang lain tersesat dalam pemahamannya.
So, bagaimana nih menurut kalian? Bagi siapapun yang pro dan kontra dengan hashtag ini, mari kita berbagi pandangan di kolom komentar yuk. Tapi pastikan kita terlibat dalam diskusi yang sehat tanpa menyudutkan berbagai pihak ya. Ya, semata-mata agar jejak digital kalian tetap bersih.
Happy Sunday!
Source:
Delviolin, E. O., & Tangka, G. M. W. (2024). Exit, voice, and loyalty in the Indo-Pacific: Shaping future regional policies. Global South Review, 7(1), 1-18. https://doi.org/10.22146/globalsouth.91046
Farrell, D. (1983). Exit, voice, loyalty, and neglect as responses to job dissatisfaction: A multidimensional scaling study. Academy of Management Journal, 26(4), 596-607. https://doi.org/10.2307/255909
View Comments
Wah, artikelnya menarik banget, Kak! Ngangkat isu yang memang sering jadi bahan diskusi, terutama soal gimana banyak talenta kita yang baru dihargai setelah sukses di luar negeri. Aku setuju kalau fenomena #KaburAjaDulu ini bukan sekadar tren, tapi cerminan dari rasa frustrasi yang udah lama numpuk. Sayangnya, nasionalisme sering disempitkan jadi soal ‘bertahan di negeri sendiri’, padahal kan kontribusi bisa dari mana aja. Artikel ini bikin aku mikir lagi soal pentingnya pemerintah ngelihat masalah ini lebih dalam, bukan cuma bangga pas warganya sukses di luar😁
Semoga #kaburajadulu dimaknai secara positif ya oleh para pemimpin di negara kita. Dengan banyak yang berkarya di LN rasanya akan juga memperluas jaringan secara Internasional, membuat Indonesia semakin dikenal
trend yang aku pantau terus di media sosial, rame banget sih beneran. tapi gimana lagi ya salah satu bentuk kekecewaan masyarakat sama negara yang jadi seperti ini
Orang-orang pintar Indonesia sebenarnya sudah lama pada kabur² dan gak balik ke Indonesia. Mengapa tagar #kaburajadulu batu ramai sekarang yaa
Kadang kita perlu menepi untuk menghimpun energi tuk meloncat lebih jauh. Aku menganalogikannya seperti ini.
Jika dirasa di sini sudah mentok dan siap untuk bertarung di luar, tidak ada salahnya untuk keluar dulu. Jika dirasa bekal sudah cukup dan merasa ini waktunya pulang untuk membangun Indonesia, ya kembali.
Hal ini akan lebih baik dibandingkan tetap di sini tetapi hanya menggerutu tanpa membawa perubahan untuk Indonesia lebih baik
Kepikiran, Indonesia ini "menampung" dan mengakui banyak WNA, sedangkan anak negeri mejadi tersingkir dan kudu #KaburAjaDulu.
Aga miris yaa..
Jadi memang ada yang salah dengan sistem di Indonesia ini.
Kudu diperbaiki agar yang dimaksud dengan "Nasionalisme" bisa berdiri tegak, sesuai dengan maknanya.
Saya memahami #kaburjadulu sebagai proses hijrah. Hijrah itu pasti kembali ke tempat asal. Karena keadaan yang tidak kondusif, kaburajadulu bukan hal yang haram, tidak juga berkaitan dengan nasionalisme, saya setuju itu. Karena nasionalisme itu tidak bisa digeneralisir. Sebelum ramai tagar itu, sudah banyak warga indonesia yang #KaburAjaDulu demi mengumpulkan modal di Ausie misalnya, setelah terkumpul mereka balik lagi ke Indonesia, membangun mimpinya, mendirikan usaha dan punya rumah.
Mengkritisi pemerintah dengan #kaburajadulu menurutku bagus dong :D Pemerintah maupun masyarakat luas harus paham makna nasionalisme yang sebenarnya. Ini kan dampak dari sulitnya memperoleh pekerjaan, PHK di mana2, pendidikan mahal biayanya dan dikurangi anggaran dll. Nanti bisa sukses di luar negeri. Mau jadi kelas kedua, ketiga dll yang penting makmur dan bahagia kan. Banyak kok WNI yang mencapai posisi level tinggi di negeri orang. Anak-anakku pun berpikiran demikian.
sangat relevan dengan kondisi saat ini. Tagar #KaburAjaDulu memang mencerminkan keresahan banyak anak muda. Kakak berhasil mengaitkan fenomena ini dengan teori sosiologi dan sejarah, sehingga pembaca bisa melihatnya dari perspektif yang lebih luas. Ini menarik untuk dibaca sih
Tulisan ini mengangkat fenomena #KaburAjaDulu dengan sangat mendalam dan reflektif. Melalui kisah Raka dan Isma, penulis berhasil menggambarkan dilema yang dihadapi banyak talenta Indonesia yang merasa kurang dihargai di negeri sendiri hingga memilih mencari pengakuan di luar negeri. Pendekatan naratif yang digunakan membuat pembaca dapat merasakan emosi dan konflik batin tokoh-tokohnya. Selain itu, penjelasan tentang teori Exit, Voice, and Loyalty memberikan perspektif akademis yang memperkaya pemahaman kita terhadap fenomena ini. Semoga tulisan ini membuka mata banyak pihak tentang pentingnya menghargai dan mendukung potensi anak bangsa agar tidak terus-menerus kehilangan generasi terbaiknya