Jendela

Negara Kaya, Tapi Kok Merana Ya!

Orang bilang tanah kita tanah surga,
tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Orang bilang tanah kita tanah surga,
tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Lagu koes plus itu terdengar sampai ke telinga Bona dari speaker warung kopi di sebelah kamar kostnya. Matanya menatap lembaran kertas di atas mejanya, tapi kepalanya jauh melayang pada berita yang ia terima pagi ini. “Tanah surga?” gumamnya. “Jika Indonesia tanah surga, kenapa masih banyak orang yang merana untuk sekedar makan?” lanjutnya

Maaf Untuk Efisiensi, Kami Harus Mengurangi Karyawan

Maaf untuk efisiensi, kami harus mengurangi karyawan kontrak hari ini.” Itu adalah bunyi pesan yang ia terima sebelum berangkat kerja pagi itu. Seketika ia merasakan berat pada bahu dan kepalanya. Suara speaker yang keras dari warung kopi sebelah kost-nya benar-benar kontras dengan apa yang ia rasakan saat ini.

Pintu kamarnya diketuk oleh seseorang dan ketika membuka ternyata Rahmi sedang berdiri di depan kamarnya. “Kau belum berangkat kerja?” tanya Rahmi yang hanya dijawab dengan gelengan kepala. “Pekerjaanku ‘diefisiensikan’,” lirihnya.

Rahmi mentap buku yang tak jauh dari pintu. “Kau pasti memikirkan nasibmu sambil mendengarkan musik dari warkop sebelah,” kata Rahmi dan masuk ke dalam kamar, lalu duduk di ranjang berseprai kuning. Bona mengikuti Rahmi dan duduk di kursinya mengarah ke Rahmi.

Baca juga: Belajar Sih Nggak Harus dari Pakar, Tapi Jangan yang Asal Viral!

Bona tersenyum kecut, “semua itu rasanya seperti paradoks negara kaya,” katanya lagi. Rahmi mengangguk, “kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara seperti Kongo, Venezuela, Nigeria pun mengalami itu. Negara yang sering kali menjargonkan ‘negara kaya’ justru rakyatnya tidak semuanya mendapat imbas dari kekayaan negara.”

Mereka semua terdiam. “Beberapa orang bahkan menyebutnya kutukan,” kata Rahmi kemudian sambil meraih buku dengan judul Replubik milik Plato di meja Bona.

Kutukan Negara Kaya, dan Korupsi yang Merajalela

Rahmi melanjutkan, “Kau masih kata Bu Dian?”

Dahi Bona menyengit, mengingat-ingat Bu Dian, dosen kajian ilmu sosialnya. “Ah, tentang kutukan sumber daya!” seru Bona kemudian. “Sebuah teori yang bilang negara yang kaya akan sumber daya kayak minyak, gas, atau mineral, justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan kesejahteraan masyarakat yang lebih rendah, daripada negara yang kurang sumber daya. Bisa kita bilang itu seperti paradoks,” jelas Bona kemudian.

Rahmi menghela napas dan mengangguk sembari memperbaiki posisi duduknya di kasur Bona. “Ada banyak faktor kayak ketergantungan ekonomi yang mana fokus berlebihan pada sektor sumber daya alam. Lalu fluktuasi harga komoditas yang membuat harga sumber daya alam cenderung tidak stabil di pasar global, dan menyebabkan pendapatan negara tidak menentu. Selain itu …,” kata-kata Rahmi terpotong oleh Bona.

Baca juga: Healing Jiwa, Dompet Terluka

“Selain itu pengelolaan yang tidak baik dan korupsi, menyebabkan masyarakat luas tidak bisa merasakan manfaat sumber daya itu. Dan akhirnya menyebabkan konflik sosial dan politik.” Nada suara Bona sedikit meninggi.

“Kau masih ingat, Bu Dian sempat menyebut Kleptokrasi?” tanya Rahmi kemudian. “Kleptoprasi memperburuk Resource Curse, kan!” sahut Bona.

Mata mereka bertemu, seolah bisa mengingat kasus yang baru saja terlintas di benak mereka.

Kleptorasi, Birokrasi dan Korupsi

Bona dan Rahmi masih terpaku dalam diam, otak mereka berputar memikirkan bagaimana “tanah surga” yang katanya milik Indonesia bisa tetap membuat banyak rakyatnya sengsara. “Poinnya ada di pemerintahan yang mana para pemimpin menggunakan kekuasaan politik untuk mengambil kekayaan publik demi keuntungan pribadi. Dan, kasus pertamina itu masuk salah satu contoh Kleptokrasi,” sahut Bona

Rahmi mengangguk, “Kasus yang mirip dengan kasus Patra Niaga ini sempat kubaca waktu lalu. Tahu kasus PDVSA yang melanda venezuela di tahun 2023? Kalau kamu baca kasus itu benar-benar mirip sama kasus pertamina saat ini dan dari sana kita bisa berkaca, bagaimana sebuah negara yang kaya akan cadangan sumber daya minyak, mineral atau sumber daya apapun yang mereka sebut, bisa sangat rentan akan korupsi, jika …,” sekali lagi kata-kata Rahmi terpotong.

Baca juga: Studi Komparatif Bertema SARA: Apakah Rawan Konflik?

“Jika kleptokrasi ikut campur dalam pengelolaan sumber daya yang sudah buruk itu.” kata Bona tajam.

“Yap! Bisa kita lihat kan dari bagaimana birokrasi yang berbelit dan tidak transparan, bisa menjadi celah kleptokrasi itu masuk untuk mengeksploitasi sumber daya dengan dalih pemanfaatan untuk semua,” timpal Rahmi.

Perempuan berambut panjang itu kemudian beranjak berdiri dan menghela nafas, “siapa sangka negara yang harusnya bisa sejahtera, hanya mensejahterakan segelintir orang,” kata Rahmi lagi dan tersenyum kecut lalu menepuk pundak teman sekelas dan se-kostnya itu.

Invitasi dan Diskusi

Korupsi dan mismanajemen sumber daya alam menjadi penyebab utama mengapa banyak negara kaya tetap berada dalam lingkaran setan ketidakmakmuran. Untuk keluar dari lingkaran ini, negara perlu langkah-langkah strategis yang mencakup reformasi transparansi, diversifikasi ekonomi, serta pemberdayaan masyarakat.

Reformasi Transparansi dan Akuntabilitas menjadi langkah pertama yang krusial. Pemerintah harus memperkuat sistem hukum guna memastikan pengelolaan sumber daya berjalan tanpa penyalahgunaan. Penegakan hukum yang tegas terhadap korupsi serta sistem pengadaan yang transparan akan meminimalkan kebocoran anggaran dan memastikan hasil kekayaan alam dinikmati oleh rakyat.

Baca juga: Pungutan Sukarela tapi Ribut Karena Tak Rela

Selain itu, diversifikasi ekonomi penting agar negara tidak hanya bergantung pada ekspor sumber daya mentah. Investasi dalam sektor manufaktur, teknologi, dan jasa dapat menciptakan ketahanan ekonomi jangka panjang. Dengan begitu, negara tidak rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global yang dapat mengguncang stabilitas ekonomi.

Namun, reformasi tidak akan efektif tanpa pemberdayaan masyarakat. Kesadaran publik untuk mengawasi kebijakan pemerintah, berpartisipasi dalam tata kelola sumber daya, serta menuntut transparansi adalah elemen penting dalam menciptakan perubahan berkelanjutan.

Norwegia menjadi contoh sukses dalam mengelola sumber daya lewat sovereign wealth fund. Keuntungan sumber daya minyaknya, mereka investasikan secara transparan dan berkelanjutan, memastikan kesejahteraan generasi mendatang. Model ini membuktikan bahwa dengan tata kelola yang baik, kutukan sumber daya bisa berubah menjadi berkah.

Bagaimana menurutmu? Yuk kita berdiskusi secara sehat, biar sudut pandang kita makin luas dengan meninggalkan komen di kolom komentar. Ingat untuk stay calm, biar komen kalian nggak menyudutkan banyak pihak ya. Semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih!

Happy sunday!

Source:
Fleming, David A., et al. “Understanding the Resource Curse (or Blessing) across National and Regional Scales: Theory, Empirical Challenges and an Application.” Australian Journal of Agricultural and Resource Economics, no. 4, Wiley, June 2015, pp. 624–39. Crossref, doi:10.1111/1467-8489.12118.

Haugaard, Mark. “Kleptocracy, Authoritarianism and Democracy as Ideal Types of Political Power.” Journal of Political Power, no. 3, Informa UK Limited, Mar. 2023, pp. 345–78. Crossref, doi:10.1080/2158379x.2023.2194712.

View Comments

  • Setiap kali buka media sosial, isinya cuma korupsi dan korupsi. Padahal kalau uang korupsi dipakai buat bayar utang negara, negara kita bisa lebih maju. Koruptor emang kejam.

  • Sesungguhnya aku merasa MBUH banget dengan negara beberapa waktu ini. Jadi rakyat tuh megap-megap banget deh. Semoga kita tetap bisa waras dan yang atas pada taubat dan kena batunya deh

  • Kampungan! itulah yang terbersit di benak saya ketika membaca dan atau mendengar berita pejabat korupsi. Bukankah mereka sudah berkecukupan, bukankan mereka berpendidikan, bukankah mereka sejak awal menjadi pejabat disatukan oleh visi misi? kenapa jadi korupsi? bukan hanya soal transparansi atau diversifikasi ekonomi atau pemberdayaan. Karena mentalnya telah rusak. Apalagi hal itu terbiasa dilakukan sejak masih dini. Siapapun akan terjebak. Apalagi ketika perubahan dan revolusi mental hanya sekadar tagline dan retorika politik. Maka korupsi tidak akan pernah hilang dari negeri ini.

  • Selagi banyak penjilat dan kerja karena asal bapak senang, selama itu kondisi negara akan berada dalam kehancuran
    Mayoritas beragama, tapi tidak mengamalkan ajaran sejatinya setiap agama mengajar kebaikan, bukan?

  • Korupsi itu menghancurkan negeri. Sekaya apapun jika masih ada pejabat yang suka korupsi ekonomi akan selalu terganggu susah maju.

  • Tulisan yang bikin mikir! Ulasannya tajam tapi tetap enak dibaca. Jadi makin sadar soal kondisi negara kita.

  • Sedih banget emang baca berita dari awal 2025 sampai maret ini bertubi-tubi berita yang nggak mengenakkan. Saya yang kerja di pemerintahan sebagai staf biasa, juga merasakan dampak keterlambatan sebagian gaji dan adanya efisiensi. Tapi emang nggak bisa ngapa-ngapain, karena hanya sebagai pekerja biasa. Pemangku kebijakanlah yang membuat aturan ini dan itu. Semoga kedepannya ada kebijakan yang lebih baik dari para penguasa di negri ini.

  • Duh ini topik yg selalu bikin miris, apalagi sejak akhir-akhir ini efisiensi seperti menjadi jargon pemerintah kita.
    Semoga siapapun yang terdampak dibukakan pintu rezeki seluasnya ya

  • Pemberantasan korupsi di negara kita hanya sebatas angan. Semua malah bebas mengambil, nggak peduli hak org lain demi utk memperkaya diri sendiri. Apalagi pejabatnya malah nggak kasih contoh. Plus kabinetnya gemuk tanpa efisiensi anggaran lagi.

    Eh malah yang dipangkas justru anggaran yg notabene lbh penting utk hajat org banyak. Ya tggu saja adzab yg kuasa kpd negeri ini. Kalo aku sih, nggak mau minta ampunkan para pemimpin negara ini yg korup. Biar aja negara diadzab, tapi kita diselamatkan dr adzab tsb.

  • Masyarakat sendiri sekarang jadi ngerasa trust issues banget sama pemerintah.
    Asal muncul kasus baru, bawaannya komen "Pengalihan isu apa lagi ini?"
    Giliran korupsi dibuka secara blak-blakan dengan jumlah fantastis, gak ada yang berani menyentuh kepala dan seluruh korupsi ini kenapa bisa terjadi.
    Ini kan namanya sistemnya uda bobrok.

    Uda susah mau dibersihin juga.. orang pungli itu terjadi dari sistem terkecil sampai ke sistem terumit di pemerintahan ini kok.