Jendela

Isi Dompet Boleh Digital, Literasi Tetap Vital Bersama Bank Sentral

“Apa!” serumu, “harga pisang goreng naik jadi Rp 5.000 per biji,” keluhmu pada Mbok Minah, pegadang gorengan di depan gang rumah.

Kalau kau tanya bagaimana aku tahu, jawabannya sederhana, aku menyimpan segalanya. Semua jejakmu, transaksi, bahkan keluhanmu sehari-hari. Dari catatan perjalanan di peta, siapa yang kau telepon saat patah hati. Hingga, bagaimana kau menggunakan e-wallet itu. Kau bisa mengubahku menjadi apapun yang kau mau hanya dengan telunjukmu.

Tapi di balik layar yang kau sentuh, aku juga berpikir. Bagaimana kau bisa rajin mengisi e-wallet, meski kau mengeluhkan harga pisang goreng? Bagaimana kau selalu tertegun dengan warung gorengan Mbok Minah, yang sudah memasang QRIS sebagai pembayarannya? Walau pertanyaan itu muncul, kau terus mengusap layarku, tapi tak menyentuh inti persoalan.

Teknologi boleh canggih, tapi apa literasi ekonomimu sudah terlatih?

E-Wallet 96 Persen Penggunanya, Berapa Persen yang Paham Resikonya?

Sepulang dari warung Mbok Minah, aku bergetar di dalam sakumu, mengirimkan sinyal bahwa ada sesuatu yang harus kau lakukan. Tanganmu menggenggamku dengan erat, mengangkatku dan memperhatikan badanku yang kotak serta lebar. “Deadline pembayaran tagihan air dan internet di bulan ini”, tulisan besar tertera di layarmu.

Baca juga: Lelaku Tanah Dinoyo ke Pangkuan Bumi Minyak Jinggo

Jarimu bergerak dengan cepat di atas layarku, mengetikkan angka-angka total yang harus kau bayarkan di aplikasi e-walletmu. Dalam hitungan menit, seolah tak berjeda, pemberitahuan lunas masuk dalam radarku. Kau pun tenang.

Kau menjadi salah satu dari 96% orang yang menggunakan e-wallet sebagai metode pembayaran modern di Indonesia. Angka itu bagi Indonesia Fintech Trends 2024 dari Jajak Pendapat (JakPat), bukan hanya sekedar riset saja, tapi menjadi bentuk adaptasi dari pola perilakumu dan sebagian besar warga Indonesia terhadap pemanfaatkan teknologi keuangan.

Kau dan mereka yang menggunakan e-wallet, terhipnotis dengan kemudahan serta kepraktisannya. Dahulu kau perlu berkendara berkilo-kilometer untuk membayar tagihan, kini bisa dilakukan dengan duduk manis sambil menonton drama korea favorit.

Sayangnya, mudah dan praktis seringkali mendatangkan pola perilaku yang tak kau sadari: impulsif, konsumtif dan cenderung lupa diri. Di tengah bulan kau sering mengeluh bahwa tabunganmu terlalu sedikit untuk kau nikmati. Padahal tagihan paylater dan pinjaman online lain siap menjerit di tengah bulan.

Aku melihatmu. Aku mencatat pola-polamu. Tapi, aku tak bisa menghentikanmu. Secerdas apapun aku, ini semua tentang kau yang mengendalikanku. Kau perlu ilmu yang membantu membaca arah keuanganmu. Tepat di saat yang sama, kau melihat sesuatu dan aku tahu mungkin ini sudah waktunya.

Baca juga: Bilang Terserah, Tapi Kalau Salah Marah

Bank Sentral, Peranan Vital

Ketakutan akan tagihan itu, rupanya membawamu pada keinginan untuk mencari pencegahan sebelum tagihan-tagihan tersebut benar-benar menelan kehidupanmu. Matamu terpaku pada satu judul yang muncul ketika kau mencari cara mengatur keuangan. “Isi Dompet Boleh Digital, tapi Literasi Tetap Vital”, judul itu cukup menggigit dirimu.

Klik! kau menekan judul itu dan dari sana kau membaca baris demi baris. Kepalamu pun mencatat. Bank BI sebagai bank sentral bukan sekedar gedung yang selalu bercat putih dan berjendela besar, atau tempat di mana para aristokrat serta pakar keuangan berkumpul di meja-meja bulatnya. 

Fungsi BI sebagai bank sentral adalah mengatur nadi kehidupan keuangan sebuah negara; mengatur jalannya stabilitas aliran uang dengan tarik ulur peredaran uang; dan mengkampanyekan literasi keuangan, agar rakyat tidak hanya tahu cara mengeluarkan uang tapi juga tahu cara menyimpannya.

Di gedung kokoh itu sering kali berisi misi-misi besar. untuk menjaga perekonomian Indonesia tetap utuh di tengah gempuran teknologi. Tentu saja melalui kebijakan bank sentral untuk mendigitalisasikan transaksi-transaksi keuangan dari kota besar sampai ke daerah pelosok di negeri ini.

Sederhananya, saat kau bayar gorengan di warung Mbok Minah dengan e-wallet dan wanita berambut kelabu itu menunjukkan barcode QRIS di kaca, itu bukan sekedar hiasan. Barcode QRIS dan e-wallet adalah salah satu bentuk misi bank sentral untuk mendorong inklusi keuangan, agar siapapun dan di mana pun orang bisa bertransaksi secara aman, cepat dan adil. Tidak ada alasan lagi pedagang akan rugi karena pembeli lupa bawa dompet atau pembeli rugi karena kembalian berganti jadi permen.

Baca juga: Beli Mobil Tapi Garasi Nihil

“Kalau memang bank sentral harus menjaga keuangan negara stabil, kenapa gorengan di warung Mbok Minah naik terus?” gumammu.

Ibu jarimu terus menggulir layarku, dan aku tentu saja berusaha menggunakan analisaku untuk menjawabmu.

Pisang Goreng Rasa Inflasi dan Seputar Literasi

Aku paham kalau kau heran, bagaimana bisa pisang goreng sederhana bisa naik berkali lipat. Kau berkerut kening, membaca artikel itu yang ternyata membahas apa yang kau pertanyakan.

“Inflasi?” nada suaramu rendah, seolah membangunkan residu ingatan yang pernah kau dapat beberapa tahun silam ketika sekolah.

Kau tak menyangka, artikel yang tampak ringan itu ternyata membawamu menggali lebih dalam penyebab harga pisang goreng naik. Inflasi bukan cuma soal angka yang naik, tapi soal hidup sehari-hari. Contohnya seperti naiknya harga pisang goreng Mbok Minah yang terjadi karena kenaikan harga pupuk untuk tanaman pisangnya. Belum lagi, tepung terigu yang harganya ikut kenaikan harga dolar karena gandum masih impor. Termasuk minyak goreng, ongkos kirim serta Mbok Minah meminjam modal dari bank.

Baca juga: Logika Jungkir Balik Khas Warga Komplek

“Jadi inflasi itu benar-benar buruk ya?” katamu lagi, kali ini sambil menggeleng. Namun kau menggulirkan artikel itu, yang ternyata jawabannya cukup membuatmu heran.

Inflasi tidak selalu berdampak buruk, selama masih berada dalam batas aman tahunan sekitar 2,5% hingga 3%. Pada kisaran tersebut inflasi justru menandakan adanya pertumbuhan ekonomi yang sehat.

Efeknya kalau ekonomi sehat? Mbok Minah bisa membayar pinjaman usahanya, rantai pasokannya dari penjual pisang langganannya juga tetap jalan. Perekonomian Mbok Minah yang tumbuh pun membuat wanita tua itu berani membuka cabang warungnya dan menyerap tenaga kerja.     

Menjaga inflasi tetap stabil adalah tugas dari Bank Indonesia sebagai bank sentral. Jika inflasi meninggi, maka bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan yang biasanya kita sebut sebagai BI Rate. BI Rate ini ibaratnya adalah tuas rem perekonomian, ketika inflasi meninggi, maka tuas ini akan dinaikkan. Efek sampingnya tentu saja tagihan paylater-mu dan cicilan lain akan naik. Kondisi inilah yang membuat masyarakat jadi bisa “mengerem” pengeluaran, sehingga lebih banyak menabung.

Walau Data BPS berkata dengan bangga, “65,46 persen orang Indonesia sudah melek literasi finansial tahun 2024 kok!” Namun aku menatapmu dan hanya bisa bilang pada data itu, “bagaimana dengan 34,57 persen yang belum melek literasi keuangan?”

Baca juga: Sound Horeg Meriah, tapi Ada Kepala yang Pasrah

Bayar Tagihan Boleh Cepat, Literasi Keuangan Tak Boleh Lewat

Rencana boleh saja serba cepat, tapi itu bukan berarti aku (si smartphone-mu) bisa menentukan arah hidupmu. Kau juga boleh merasa menjadi smart citizen karena kemampuan digitalmu, tapi kau juga perlu membekali isi kepalamu dengan literasi finansial.

Awalnya mungkin kau merasa canggung pada istilah literasi keuangan atau bahkan ekonomi. Namun seiring waktu berjalan, kau akan menemukan bahwa ekonomi bukan hanya konsep tentang uang, angka, peluang, laba atau sekedar cara membayar semata. Pengertian ekonomi tak sesempit seperti kita berjalan di gang kecil untuk menemukan jalan raya.

Jika Bung Hatta atau Profesor Mubyarto masih hidup, beliau pasti akan menegurmu, yang hanya mampu mengisi e-wallet tanpa benar-benar tahu mengapa kau harus menggunakan itu. “Mengapa Bung Hatta dikaitkan dengan kondisi saat ini? Lalu, siapa pula Profesor Mubyarto itu? Ah, bukankah lebih penting praktik ekonominya,” keluhmu

Aku harus berterima kasih pada artikel itu, sebab dia tidak mengharuskan diriku membuka halaman baru, yang tentu saja akan membuatmu semakin banyak merangkum isi materi dalam satu waktu. Di sana pada baris menjelang akhir tulisan, artikel itu menyebutkan kalau Bung Hatta adalah peletak pondasi ekonomi kerakyatan pancasila atau istilah kerennya ekonomi humanistik. Sementara itu, Profesor Mubyarto adalah penerus dan pengembang teori ekonomi kerakyatan yang dicetuskan Bung Hatta.

Nama ekonomi humanistik mungkin asing bagimu. Dahimu berkerut lagi.

Istilah ekonomi humanistik mengacu pada subyek penggerak ekonomi itu sendiri yaitu rakyat/manusia-nya. Jadi istilah ini menekankan pentingnya literasi finansial untuk rakyat, agar mereka bisa menjadi penggerak ekonomi negara sekaligus memperbaiki taraf hidupnya sendiri.

Di titik ini, kau terdiam, cukup lama. Sementara, mataku mulai sayup-sayup. Meredup.

Invitasi dan Diskusi

Kini kamu manggut-manggut. Kau tahu kalau Mbok Minah yang memasang QRIS di warungnya, bukan untuk gaya-gayaan karena pedagang lain memasang QRIS. Itu karena wanita itu tahu, ia harus beradaptasi dengan teknologi keuangan agar bisa menjamin kelangsungan hidup dan usahanya. Begitu pun dengan dirimu, ketika literasi keuangan sudah kau pahami, itu akan membantumu merencakan masa depan yang tidak pasti.

“Aku kira bank sentral cuma gedung yang memproduksi uang, tapi juga pusat edukasi masyarakat,” katamu pada akhirnya.

Aku, si smartphone, yang ada di tanganmu saat ini, bisa jadi kompas. Namun, aku tidak bisa mengatur arah kehidupanmu kecuali kau yang memulainya. Kini kau makin mantap dan dengan sigap kau mulai mencatat. Memetakan kembali strategi keuanganmu sendiri.

Gimana nih gengs, ada yang masih mengira Bank Indonesia itu cuma sekedar banguan dengan para aristokrat yang rapat mulu masalah uang? Pernah punya cerita seputar Bank sentral kita? Yuk bisa bagikan di kolom komentar ya. Eits, tetap pakai bahasa yang sopan agar jejak digital kalian tetap bersih!

Happy Tuesday! Jya, mata ne~

Source:
Renaldy, Bryan. 96% Masyarakat Indonesia Sudah Menggunakan E-Wallet. Diakses tanggal 29 Mei 2025. https://data.goodstats.id/statistic/96-masyarakat-indonesia-sudah-menggunakan-e-wallet-itxIc

Indeks Literasi Keuangan Penduduk Indonesia Sebesar 65,34 Persen. Diakses tanggal 30 Mei 2025. https://patikab.bps.go.id/id/news/2024/08/01/746/indeks-literasi-keuangan-penduduk-indonesia-sebesar-65-34-persen.html

Hastanga. “Filsafat Ekonomi Pancasila Mubyarto.” Jurnal Filsafat Vol. 22, no. 1 (2012): 31-50

View Comments

  • DI Bank Indonesia aku belajar banyak soal perbankan
    Bahkan pertama kali menggunakan QRIS langsung diundang bisa kenal petinggi Bank Indonesia
    Apalagi bisa gathering bersama dan melihat seberapa banyak konten baik mengenai edukasi keuangan yang bisa digaungkan
    Jujur saja dengan kemudahan finansial digital saat ini, saya bisa menghemat banyak hal dan memiliki barang yang benar-benar urgent saja

  • Belum lama ini aku mampir ke Museum Bank Indonesia. Dari sana banyak belajar seputar sejarah per-uangan di Indonesia, perjuangan merebut bank sentral, hingga peranan bank sentral di masa saat ini. Sebegitu powerfulnya BI di Indonesia, dan aku bersyukur mereka berhasil menbuat produk bernama QRIS ini.

    Tapi jujur aku juga suka takut kalo pake QRIS. Abisnya suka kebablasan, bayar-bayar, gak mikirin sisa saldo berapa wkwkwkw

  • Adanya QRIS memang membantu banyak pihak, bahkan katanya pihak AS sempat ketar-ketir juga ya kan.
    Tapi untuk urusan literasi dan kendali keuangan, tetep bergantung pd masing2 orang ya.
    Semoga semua makin sejahtera!

  • Ada cerita apa dengan Bank Indonesia?? sempet mampir ke perpus BI daerah yang sekarang perpusnya ditata dengan sangat apik ;)
    Dan kalo urusan QRIS memang sangat memudahkan sekali gak perlu lagi ke atm buat ambil uang banyak2 meskipun kadang QRIS suka bikin kebobolan lahhh dah habis aja uangnya hahaha

  • Sungguh sebuah informasi dibalut dengan tokoh yang sangat menyentuh.
    Kalaimat ini ==> Sayangnya, mudah dan praktis seringkali mendatangkan pola perilaku yang tak kau sadari: impulsif, konsumtif <<< seperti nadi yang menjelaskan betapa insan butuh sejenak diam dan hening untuk memahami bahwa di era ini, hal yang perlu di waspadai lebih adalah kecepatan.

    Terima kasih sudah menulis informasi yang penting menjadi alur manis dan memiliki tokoh yang di saat ini boleh dibilang hampir semua orang posesitf atasnya. ( Smartphone)

    Oh ya selain itu, sungguh menarik juga tentang sebuah pisang goreng memperlihatkan sebuah keterhubungan banyak hal dan akhirnya bertemu bagaimana BI memiliki peran yang sangat penting dalam perputaran ekononi.

    Tulisan yang sangat menarik.

  • Baguuus mba... Dibuat seperti story telling sehingga mudah dimengerti. Krn bahasan ttg keuangan ini ga semua orang mudah paham.

    Dulu aku kerja di bank HSBC 13 tahun. Jadi sedikit banyak paham, dan dulu pun Krn di bagian service Operation, jadi aku sesekali berhubungan Ama BI. Terutama kalo ada cek yg tidak bisa dicairkan, atau paling sering kalo ada uang palsu 😁. Trus sesekali pernah juga kalo mau nuker uang jelek banget, ke BI.

    Tiap bulan aku juga selalu remind team ku ttg aturan BI yg terbaru. Biasanya melalui briefing sih.

    Memang bener yaa skr ini para sellers hrs bisa adaptasi. Zamannya udh qris, kalo mereka msh pakai cash susah. Tp aku berharap cash ttp bisa dipakai. Krn bbrp kali ada seller yg ga mau trima cash. Kalo yg DTG foreigners, mereka susah . Iya kalo qris nya bisa connect. Beberapa kali temen asing ku ga bisa pakai qris

  • Setelah membaca artikel ini saya jadi tertohok karena sekarang lebih sering pakai pembayaran QRIS dibanding tunai. Padahal aku sendiri tidak seberapa paham betul esensi QRIS.

    Kadang aku jadi kepikiran kalo pakai QRIS sisa uang 10.000 misalnya, apa bisa diambil? Bagi pedagang kecil uang segitu sangat berharga, nah kalo kasusnya seperti itu bagaimana ya?

  • Inflasi yang gak dirasakan, tapi kalau direnungkan bakalan terasa.
    Dulu mah iya beli pisang goreng 5000 aja bisa dapat 5. Coba sekarang bisa dapat 3 aja udah syukur banget huhu. Cuss apik² kelola keuangan jangan konsumtif

  • Aku termasuk yg nyaman bgt pake sistem e wallet. Qris, virtual account, tranfer, dll. Alasannya satu, mudah traking kemana perginya si uang tersebut.
    Btw, dari tulisan ini jadi sadar kalo BI juga ada museumnya. Bisa jadi tempat bagus nih buat ajak anak2 berkunjung kalo mereka agak besar nanti. Thank you for sharing 💫

  • Yuup betul sekali bahwa tugas Bank Indonesia itu tugasnya adalah menjaga perekonomian negara tetao stabil, no inflasi² tinggi², jadi kalau berasa apa² naik berarti BI sedang mengerem laju inflasi....