Jendela

Pungutan Sukarela tapi Ribut Karena Tak Rela

“Orang-orang membutuhkanku, tapi aku juga bisa jadi biang keladi kemelaratan.”

Aku berpikir begini, bukan tanpa sebab. Sejak aku lahir ke dunia, semua orang menggunakanku. Mereka juga mengelukanku dan bahkan ada yang memujaku. Seolah aku ini lebih hebat dari kekuasaan dan lebih benar daripada kebenaran itu sendiri.

Namun di balik kehebatannya diriku, ada rasa rendah diri. Tak sedikit mereka menggunakanku sebagai tameng kehormatan, dan standar nilai ‘tahu diri’. Seringkali namaku terucap saat rapat warga kompleks; rapat di ruang kelas bersama walimurid; bahkan dalam brankas-brankas tersembunyi yang terbuka dalam persidangan. Mereka menyebutku sebagai pungutan sukarela meski akhirnya menjadi gonjang-ganjing.

Aku melipat tubuhku, sembari diam-diam menangkap ironi dari balik saku setiap orang.

Pungutan Sukarela di Kertas Membuat Pilu Isi Dalam Tas

Pagi di tahun 2021, Pak Joko duduk di teras, berteman dengan semilir angin yang menggoyangkan pucuk daun mangga, serta aroma pahit kopi luwak olahan sang istri menembus rongga hidungnya. Dari teras, Pak Joko melihat Ismail, remaja SMP yang keluarganya baru pindah ke lingkungan itu dan bapaknya baru saja dirumahkan. Pakainnya lusuh, seperti seterika tak pernah menyentuhya.

Baca juga: Healing Jiwa, Dompet Terluka

“Mau kemana, Le?” panggilnya, sambil beranjak dari kursi kayu jati di terasnya.

Ismail yang mendengar panggilan itu pun menghentikan langkah, dan membalikkan badan. “Mau bantu ibu belanja di pasar, Pak,” jawabnya lirih.

Pak joko berjalan menuju gerbang dan membukanya. “Oh iya, bapak nitip edaran ini buat bapakmu,” kata Pak Joko, si RT.

Mata Ismail membelalak membaca surat edaran itu. Ia menelan ludah. “Kami harus bayar ya Pak?” Tangannya gemetar menerima surat edaran yang berbunyi ‘Perihal: Biaya Urus Surat Pengantar RT’. Takut.

“Biayanya seikhlasnya, Le. Sukarela saja kalau memberi,” sahut Pak Joko. Sorot matanya tajam dan nada suaranya pun menusuk.

Baca juga: Jendela Di Senja Hari, Apa yang Kita Lihat?

“Bayar lima puluh ribu atau seratus ribu, juga bisa,” kata Pak RT itu, “biasanya kalau mau cepat warga sini bayar seratus sampai seratus lima puluh ribu.”

Pemuda itu menelan ludah. Berat. Meski katanya se-ikhlasnya, nyatanya pungutan sukarela itu tidak bisa benar-benar ikhlas.

Bangun Ruang Bernama Diam yang Multi-Perspektif: Plural Ignorance

Rasanya pagi itu terasa melambat, sementara burung pipit bernyanyi pelan di atas pohon. Kontras dengan suasana di bawahnya yang hidup di tahun 2025, di mana semua orang dituntut untuk bergerak lebih cepat. Aku diam berdiri di warung Mbok Yem, berjajar dengan benda yang serupa denganku. Motor matic lama keluaran tahun 2011. Menunggu penumpang yang bisa kuantar ke mana pun.

“Aku tak yakin ikut wisuda, Bim!” seru Mojo, pemilikku yang punya rambut seperti bakwan jagung itu. Mereka terdiam lama.

“Jangankan 750 ribu, uang 150 ribu saja sudah besar buat keluargaku,” lanjutnya lagi. Memecah keheningan.

Baca juga: Lomba Luka, Siapa Pemenangnya?

“Aku kira cuma aku yang mikir begitu,” kata Bimo, teman Mojo yang sama-sama jadi ojek online buat menambah pemasukan rumah tangganya.

“Namun, kita nggak punya pilihan lain selain bayar wisuda sekolah anak-anak kita sesuai dengan surat keputusan komite,” desahnya lagi.

“Itu karena banyak walimurid yang diam sewaktu rapat bersama, Bim!” seru Mojo.

Aku mendengar percakapan itu meski mereka berdua tidak tahu bahwa aku larut berpikir. Resah. “Mereka diam, karena takut berbeda sendiri, nggak kompak, anti-sosial, nggak peduli anak dan semacam itulah,” jelas Mojo lagi.

Aku memahami pembicaraan itu. Aku bisa menebak bahwa mereka sedang membicarakan pluralistic ignorace. Sebuah kondisi saat mayoritas individu dalam kelompok tidak setuju, tapi mereka tetap mengikuti keputusan itu, karena percaya suara diam dalam kelompok artinya sebuah persetujuan.

Baca juga: Beli Mobil Tapi Garasi Nihil

Seandainya aku bisa ikut bicara, aku ingin memberitahu mereka seperti ini, “hei, plural ignorace bisa membuat norma jadi semu atas dalih kesepakatan bersama. Ini termasuk membungkam pemikiran kritis kita mengenai esensi kesepakatan itu.” Selain itu jika Permendikbud No. 44 Tahun 2012 bisa bicara, dia tentu akan marah, karena selaku aturan diabaikan begitu saja.

Namun aku hanya benda, tidak mungkin mereka paham bahasaku.

Invitasi dan Diskusi

Pohon di pinggir kompleks itu sangat rindang, tapi juga berisik. Deru mesin dari jalan di depan kompleks bersahutan; suara penggorengan dari warung Mbok Yem terdengar nyaring; dan kasak-kusuk diskusi di pelataran serta di dalam rumah bisa tertanggkap oleh tubuh mungilku.

Aku memang burung pipit, tapi aku bisa menangkap kegelisahan di balik sepoi angin yang terasa berat. Suara-suara sumbang yang meminta pungutan sukarela, iuran se-ikhlasnya bahkan uang rokok penuh penghakiman dan tatapan sinis tentang besaran angka-angkanya.

Di lingkungan ini, pungutan sukarela bukan lagi tentang partisipasi dengan hati, tapi sudah berubah menjadi hukuman mati bagi hati nurani.
“Cih! Mending hilangkan saja istilah sukarela itu!” seru seorang pria paruh baya yang sedang berteduh di bawah pohonku.

Baca juga: Satu Kotak Harapan, Isinya Kejutan yang Tak Diharapkan

Aku ingin turun dan bicara padanya kalau aku sepemikiran. Ingin kukatakan padanya, “kau boleh menolak karena itu bukan karena kau pelit atau tidak peduli. Mereka saja yang tak mengerti sudah mengubah pungutan sukarela menjadi pungutan liar, termasuk dengan cara-cara yang kotor.”

Jika memang iuran sukarela itu masih ada, maka bebaskan seseorang memilih tanpa harus meributkan berapa jumlah yang mereka beri.

Gimana nih gengs? Pernah ngalami kondisi seperti Pak Joko atau Mojo nggak? Boleh dong share di kolom komentar tentang pengalamannya dan kira-kira solusi dari kalian apa. Eits, gunakan bahasa yang bijak ya, semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.

Happy Monday! Ja, mata~~

Source:
Bangun, Cendera Rizky, and Nareswari Kumaralalita. “Kim Seon Ho, You Are Cancelled: The Collective Understanding of Cancel Culture.” Jurnal Komunikatif, no. 1, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, July 2022, pp. 1–10. Crossref, doi:10.33508/jk.v11i1.3785.
Lütz, Alessandra F., and Lucas Wardil. “The Evolution of Pluralistic Ignorance.” Physica A: Statistical Mechanics and Its Applications, Elsevier BV, Aug. 2024, p. 129920. Crossref, doi:10.1016/j.physa.2024.129920.

View Comments

  • Bedanya pungli dan pungutan sukarela ini harusnya lebih disosialisasikan ya

  • Akupun bingung memaknai sukarela ini, karena kalo dikasi kecil disana yang ngoceh, dikasi besar isi dompet kita sendiri gak kuat, heheh.. memang istilah sukarela ini emang paling cocok buat sedekah dijalan ajalah, sedekah sama orang tak dikenal, bukan dilingkungan tempat tinggal kita

  • aaah akhirnya ada yang memiliki keresahan yang sama. sebenernya kata "sukarela" ini sungguh ambigu. karen apada kenyataannya ya akan seperti "dipaksa" untuk sama.

    • Malah kayak seperti alih² sukarela padahal mah ada unsur paksaan memberi uang dengan nominal yang ditentukan.
      Semisal memang beneran sukarela, y kan nggak bakalan ada model begitu

  • Pluralistic Ignorance
    Ahaaa, ternyata ada istilah nya yaaa
    aku kerap kali berjumpa situasi ini, tapi yaahhh atas nama dalih "Daripada ribut ribut" biasanya aku milih untuk diem ajaaa
    padahal dampaknya gak main2 yaa...karena kondisi ekonomi tiap orang kan berlainan...ga bisa dipukul rata

  • Ah soal itu sudah mengalaminya bertahun tahun
    Namun, suara tetap kalah sama yang punya duit
    Terseok-seok pun tak ada yang mau tahu
    Makanya saya tuh sangat menghormati Komite kalau mau mendengar dan tak sekadar didengar saja

  • Iya, namanya sukarela mestinya ya terserah yg memberi. Saya mendingan dibilang ini iuran wajib karena mesti bla bla bla. Misalnya iuran sampah, kan tukang sampahnya juga harus dibayar. Kl ada yg tidak sanggup rutin, baiknya sih diobrolin bersama ya. Jd jangan keputusan sepihak. Pernah sih ngalamin, yg ada jd kesel juga. Apalagi kl kyk di artikel ini: serelanya minimal 50K. Itu mah gak rela banget :(

  • Sebenarnya kalau dibilang sukarela ya harusnya sesuai kemampuan si pemberi sumbangan ya kak. Aku pun misal ada donasi semacam itu, akan menyumbang sesuai kemampuan finansial. Meskipun ada yang menyumbang di atasku tapi jika tak ada uang lebih bagaimana donk. Yang penting ikhlas menyumbang kan namanya juga pungutan sukarela

  • Sumbangan sukarela yang tak suka dan tak rela. Kalau ditempatku jadi adu gengsi, kalau ngasih dikit malu, kalau ngasih besar nggak ikhlas. Pada akhirnya ini bukan soal keikhlasan tapi ajang penyelamatan muka. As long as kita di Indonesia dilema sumbangan sukarela sepertinya susah untuk dihentikan. Ya, solusinya menurutku adakan sumbangan dengan nominal tertentu aja. Setidaknya kita tidak berlindung di balik kata-kata yang kontra :D

  • Pungutan sukarela tapi kalau yg dipungut gak rela jadi kayak pungli gak sih? soalnya kalau minta dana gitu kan harus sepersetujuan semua ya

  • aku paling ga suka ama pungutan sukarela gini, tp pas dikasih seikhlasnya malah ngomel2 menganggab itu terlalu kecil. trus pake kata2 kalo mau cepet dilakuin setidaknya ksh 150k.. berarti kan memang sengaja... kalau bisa aku laporin, bakal aku laporin sih..

    heraan, ada ga tahu apa yg begitu itu jatuhnya haram, krn ga ada keikhlasan dari pemberi...

    untungnya ketua RW di sini ga ada yg begitu... kalopun mungut sumbangan dari warga dia ga pernah maksa harus berapa..