Gerbang

Jamu Rasa Sepat dan Satu Tablet Kilat

“Jamu rasanya sepat!!” Seru si ragil, di depan layar laptop-nya. Namaku terus saja ia serukan ketika aku meluncur dari gelas ke lidah lalu ke tenggorokannya. Seruan itu diikuti dengan dahi dan bibirnya berkerut saat aku perlahan memasuki tubuhnya.

Ibunya cuma geleng-geleng kepala mendengar seruan putranya itu. Meski beberapa kali—anaknya yang tangguh kalau sudah duduk lama di depan pekerjaan—harus bolak-balik menyeduh kopi susu agar matanya bercahaya terang. Namun, Bu Sasono tidak pernah sekalipun melewatkan memberikan jamu.

Sepat rasanya, tapi efeknya sehat,” kata Bu Sasono. Aku ingat wanita tua itu, hampir tak pernah melewatkan jam-jam pagi atau malamnya untuk meracik jamu. 

“Sudah ada obat, kenapa harus pake jamu sih, Buk!” gerutu si Ragil. Bu Sasono tersenyum, “karena ada banyak proses yang tak kau tahu dari meracik jamu,” jawab ibu Ragil.

Cepat Sembuh, Mudah Kambuh

Ragil tidak pernah menyapaku, setidaknya sebelum Bu Sasono datang ke rumahnya. Pria itu lebih mencari kopi instan dan tablet-tablet penghilang nyeri. Ia tak pernah mengizinkan aku keluar, menguar lewat uap teh herbal secang kering dan sereh. Baginya cara itu sudah terlalu kuno dan tak cepat memberi efek pada tubuhnya.

Baca juga: Ketika Blogger Terlalu Luas Untuk Diselami. Ada Crafter yang Cukup Indah Untuk Dipahami

Aku mendengar setidaknya setiap ibunya menelepon, jika ia tidak punya waktu untuk meracik herbal, jamu dan semacamnya. Bu Sasono selalu bilang, “daripada kau minum kopi, coba teh secang dengan sereh dan jahe.” Sayangnya, aku hampir selalu mendengar kalau ramuan ibunya itu, tak bisa membuat dirinya terjaga dan menghilangkan nyeri tubuhnya.

Jujur, saat itu aku benar-benar sedih. Meski hanya mendengar dari gumaman-gumaman Bu Sasono, ketika ia menyeduh teh herbal daun kelor dan sereh. Wanita tua itu seolah bisa melihat bagaimana tubuh putranya yang sedang duduk di depan laptopnya; bahunya yang kaku dengan mata yang berusaha ia jaga agar menyala. “Anak itu tidak akan mendengar tubuhnya meminta jeda,” desah Bu Sasono.

Ada satu malam yang kuingat. Saat itu, Bu Sasono melihat Ragil menatap layar sambil memijit pelipis. Ia menenggak obat sakit kepala dan dua jam kemudian ia menyeduh kopi instan. wanita itu mengelus dada waktu menatap Ragil duduk di kursi empuknya selama berjam-jam, sambil tangannya terus menggabar

Namun, tiga jam berikutnya pemuda itu mengeluh, merasa jarum menusuk-nusuk bahunya. Dan, rasa itu menjalar cepat sampai kepalanya sebelum ia sempat kenal sensasi itu.

Ia menenggak lagi satu tablet, kali ini untuk nyeri bahunya. Dan ia mengulangi itu hingga sekarang.

Baca juga: Subak Bukan Hanya Tentang Pengairan Sawah Di Bali. Filosofinya Dalam!

Pagi itu, setelah Bu Sasono melepon Ragil. “Tak bisa begini terus!” seru Bu Sasono, “ia tidak bisa menyuruh tubuh itu terus sembuh tanpa membiarkan tubuhnya mendapat jeda.” Wanita itu akhirnya beranjak dari kursinya, meletakkan gelas yang belum sepenuhnya habis dan aku yang belum sempat masuk ke tubuhnya. Tapi, kali ini aku tidak marah.

Jamu, Tubuh dan Bumi yang Kembali

Siang itu, Bu Sasono datang ke kontrakan Ragil. Ragil terkejut. Tanpa aba-aba, ibunya langsung merebuskan jahe, serai, dan secang dari toples kaca dapur kontrakan anaknya. Aku meliuk-liuk di atas air mendidih dalam panci.

“Akhirnya, aku bebas!” seruku. Aku, si aroma sepat, bergandengan tangan dengan si pedas (jahe) dan si wangi (serai), terbang membelah udara, membawa tubuhku sebagai kabut yang memenuhi ruang. Si Ragil mencium aromaku dan langsung melirik ke arah dapur. Dari sana, ia melihat ibunya datang membawa gelas berisi cairan yang sudah lama tak ingin ia sentuh lagi. Tapi jika ibunya yang membawa, tak ada pilihan lain selain meminumnya.

Aku masuk ke dalam tubuhnya bersamaan dengan gumaman sepat dari mulut Ragil, juga pertanyaan lama yang masih belum ia jawab: “Kenapa harus minum ini, kalau sudah ada obat yang lebih cepat?”

“Meracik jamu itu sama dengan merawat bumi dan isinya,” jawab Bu Sasono sambil duduk. “Kita hanya tahu jamu itu sepat, pahit, dan tidak cepat. Tapi itulah yang ingin diajarkan alam padamu.”

Baca juga: Masyarakat Adat dan Para Pengabdi Modernitas

Aku, si sepat, luluh. Ingatanku melayang ke ratusan tahun lalu. Saat para acaraki kerajaan menyebut namaku dengan penuh hormat. Aku diperebutkan, didoakan. Mereka menuangkanku ke dalam tempurung, tembikar, porselen raja. Aku rasa yang jujur. Aku tulus. Tapi sekarang, aku dihindari. Dianggap mistis. Dikatakan usang dan terlalu kuno untuk dunia yang serba cepat.

Invitasi dan Diskusi

Padahal aku tak pernah berubah. Aku memang tak menjanjikan hasil instan, tapi aku mengajarkan manusia untuk pelan-pelan: mendengar tubuhnya sendiri, sama seperti bumi merawat benih; menyuburkan akar; membesarkan batang; memekarkan daun. Hingga akhirnya, saripatiku bisa hadir sebagai rasa dalam jamu.

Ragil terdiam sejenak. Ia mengamati ramuan kecoklatan dalam gelas di tangannya. Aku masih menari di atasnya, meski perlahan mulai memudar karena uap perlahan mendingin. Aku tak marah. Hanya berusaha sabar. Hingga akhirnya, dalam sekali teguk Ragil menghabiskan cairan itu dan akupun sepenuhnya masuk ke dalam tubuhnya. Melakukan tugasku untuk menenangkan otot serta organ-organnya secara perlahan.

Source:
Nugraha, F., Fahrurroji, A., Anastasia, D. S., & Meilvina. (2025). Red Ginger Effect on Yield Percentage and Antioxidant Activity in Red Ginger–Angkak Combination. Majalah Obat Tradisional (Trad. Med. J.), 30(1), 1–8. https://doi.org/10.22146/mot.89432

Estiasih, T., Maligan, J. M., Witoyo, J. E., Mu’alim, A. A. H., Ahmadi, K., Mahatmanto, T., & Zubaidah, E. (2025). Indonesian traditional herbal drinks: diversity, processing, and health benefits. Journal of Ethnic Foods, 12, Article 7. https://doi.org/10.1186/s42779-025-00267-5

View Comments

  • btw beneran dr sekian banyak jamu ya aku suka banget secang dengan sereh dan jahe gitu... kalau di jogja tu ada yg jual sepat gitu tinggal nyeduh, aku suka dibawain kakak iparku yang dr jogja enak banget di badan

  • Mba keren banget deh tulisannya. Aku suka banget cara mba nulis dari sudut pandang si jamu, unik dan puitis tapi tetep ngena. Rasanya ikut sedih pas dia merasa dilupakan, padahal dia punya niat baik yang pelan-pelan tapi tulus. Cerita Ragil dan Bu Sasono ini juga jadi pengingat halus kalau nggak semua hal harus instan, tubuh dan bumi juga butuh dirawat pelan-pelan. Mantaap ih

    • Benar kak Indah, jadinya kayak dapat pandangan gimana si jamu kalau lagi bicara hehe, apalagi dengan kemasan dialog yang unik ala kak Dinda

  • Aku tertegun lama saat baca kutipan, "meracik jamu itu sama dengan merawat bumi dan isinya" itu. Ah ya bener juga ya, walaupun kalau ingat-ingat zaman penjajahan, rempah (yang sebagian diolah jadi jamu) pun jadi rebutan dan agak berimbas dari tujuan merawat bumi itu.

    Aku pribadi suka banget minum jamu, walau nggak yang terlampau pahit haha, masih suka jamu yang standar dan nyaman di lidah kayak beras kencur gitu.

  • Aku sampai sekarang selalu membiasakan anakku meminum jamu. Meskipun terasa pahit, tapi yang ku tahu pasti khasiatnya itu nyata. Biasanya kalau badan terasa pegal dan lelah, jamu adalah pelarian utamaku. Bukan obat-obatan atau suplemen yang biasanya direkomendasikan orang.

    Dan aku setuju “Meracik jamu itu sama dengan merawat bumi dan isinya". Sebab, dengan meracik jamu, kita akan jadi lebih mengenal alam lebih dekat. Betapa jutaan jenis tanaman telah Tuhan ciptakan untuk menjadi manfaat bagi hidup manusia, dan tugas kita adalah merawatnya dengan baik.

  • Wah, aku bacanya berasa ikut nyicip jamunya langsung. Bikin kebayang rasanya dan suasana saat minum jamu itu, apalagi diselingi satu tablet kilat

  • Aku bersyukur banget mama ngajarin kami minum jamu dari kecil mba. Dimulai dari beras kencur, lalu naik tingkat ke kunyit asam. Sampai akhirnya yang pahit2. Apalagi dulu aku sering sakit. Berobat ke dokter iya, ke shinshe juga. Dan biasanya ramuan dari shinse itu pahiiiit bangettt. Pernah sekali aku sampe muntahin saking ga kuat pahitnya. Tp hrs terus diminum. Berkat itu, sakit haid yg aku rasain , sampe kayak mau pingsan tiap dapet, hilang. Samasekali mba, ga pernah muncul lagi sampe usiaku segini.

    Tapi ada 1 jamu yg aku ga kuat minumnya. Kalo mama udh ngerebus ini, ampuuun deh, langsung tahan napas, soalnya bau dia sampe ke ruangan lain.

    Rebusan sirih.

    Omg, baunya sih yg bikin aku ga kuat utk minum. Baru sampe ujung lidah, udah muntah. Memang ga bisa .. tp mama santai banget kalo minum itu. Direbus dalam kuali tanah liat. Mama memang sejak muda rajin minum jamu.

    Pas abis lahiran aku dipaksa buat minum jamu meneer yg sekaleng besar harus habis hahahha.

  • Aku juga masih suka minum jamu..tapi yang gak pahit yaa hehehe..jamu favoritku kunyit asam karena rasanya yang manis asem nyegerin apalagi kalo dh masuk kulkas makin seger tuuuu..bisa jadi alternatif minuman manis namun menyehatkan yaaa..kalo teh2 sere jahe ini aku juga suka karena aromanya yg segar dan rasanya juga segar pula tapi belum pernah klo bikin sendiri biasanya beli atau dibikinin ibuk kaya si ragil ini ;)

  • “Kita hanya tahu jamu itu sepat, pahit, dan tidak cepat. Tapi itulah yang ingin diajarkan alam padamu.”

    Kalimat itu membangkitkan rasa dalam logikaku. Tidak cepat tapi itu yang di ajarkan alam. Terbangun sebuah permikiran, alam diciptakan untuk kelangsungan hidup, dan insan sebagai pilotnya. Mengapa kini pusat dari kehidupan seakan asing?

    Tulusnya alam yang sudah bertugas dengan seadil-adilnya, terlupakan dan semoga saja dengan tulisan ini para insan mengingat kembali pada akar.

    Ah Jamu, bersamamu logikaku jauh meluas dan lupa berterima kasih. Kamu adalah kesayanganku. Karenamulah aku males bertemu dokter atau apapun itu yang mereka sebut modern.

    Terima kasih juga untuk rangkaian aksara yang begitu indah. Ditunggu cerita lainnya.

  • Udah lama gk minum jamu, pas baca artikel ini jadi keingat sensasi rasa jamu buatan nenek di desa.