Duarrrr!
Rumah itu riuh, saat guntur menyambar bahkan di pagi yang cerah. Kontras sekali. Aku melihatnya terpaku di depan ponsel. Matanya mengambang di antara tulisan-tulisan kecil di layar. Hingga, sebuah tulisan besar-besar tercetak di kanvas putih layar itu. Aku mengejanya, “DA-SAR E-GO-IS!” kataku lirih.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya padaku. Aku bisa merasakan getaran emosinya sampai padaku. Lewat sorot mata, kerut wajah dan jantung yang berdebar.
“Jahat banget, dia yang utang tapi lebih galak dariku,” katanya penuh penekanan. Alisnya naik di satu level ketinggian.
Aku menghela nafas. Menyadari mungkin ini bukan hanya kisahnya, tapi bisa saja kisahku dan kisah orang di luar yang tak sempat diceritakan.
Baca juga: Pungutan Sukarela tapi Ribut Karena Tak Rela
Namun bukan kebetulan aku di sampingnya. Di samping, seorang yang sudah lama kukenal. Banyak yang bilang dia itu murah hati pada yang kesusahan utamanya pada keluarga, teman dekat bahkan tetangga dekat. Tapi, aku juga meradang karena kelakuannya. Jengkel.
“Ih! Lu sih! Kenapa pake ngasih pinjaman!” keluhku.
“Kasihan lho! Waktu itu anaknya sakit dan suaminya habis di-PHK,” jawabnya. Nafasnya naik turun. “Dia generasi sandwich juga,” imbuhnya.
“Emang lu nggak generasi sandwich?!” geramku. Aku tahu mungkin amarahku tidak pada tempatnya. Tapi … batinku terpotong oleh kata-katanya.
“Dia memelas saat menelponku. Katanya, kalau uang belanjanya habis buat biaya anak sakit dan orang tuanya di kampung. Sementara berasnya habis. Dia sampai bilang ‘please! cuma kamu yang bisa bantu aku’. Lha, gimana aku nggak iba?” Ia memintaku memahaminya.
Baca juga: Logika Jungkir Balik Khas Warga Komplek
Aku melihat sorot matanya saat itu. Mendung. Tapi alisnya terlihat geram. Mulutnya mengatup rapat. “Aduh!” kataku mengadu sambil tepok jidat, “logika lu malah ngutang sama realita.” Aku mendesah berat. Bahuku rasanya ikut terasa kaku.
“Lu itu bukan yayasan amal. Juga, bukan celengan dadakan. Lu lihat instastory-nya kan,” kataku lagi. Kami terdiam sejenak. “Jadi gini, gue mau cerita sesuatu,” kataku sambil mengubah posisi dudukku. “Apa yang lu lakuin ini banyak terjadi di luar sana dan buat susah hidup lu sendiri.”
“Jadi, aku salah ya kasih pinjaman?” tanyanya takut-takut.
“Bukan itu! Ini lebih dari sekedar kasih pinjaman. Lebih dalam dari itu,” kataku lagi dengan suara lebih dalam. Lirih. Dan, dia tahu aku sudah mulai bicara serius.
“Self serving bias,” kataku padanya. Alisnya berkerut seolah mencari pemahaman tentang apa yang kukatakan. “Lu mungkin amnesia, atau mungkin ingatan lu lagi sembunyi di dapur, gue nggak ngerti. Tapi gue jelas-jelas ingat lu pernah baca artikel judulnya Adarusa Marah, Pemberi Utang Resah. Bahkan di sana, jelas-jelas bilang kondisi peminjam uang galak ke pemberi masuk dalam self-serving bias.” Aku mengingatkannya.
Baca juga: Bilang Terserah, Tapi Kalau Salah Marah
“Kok kamu bisa ingat? Aku aja yang baca nggak ingat,” katanya pelan sambil garuk-garuk kepala. “Tapi, mengapa kondisi peminjam uang galak ke pemberi dianggap self serving bias?” tanya lagi. Ia memiringkan kepalanya. Bingung.
“Ya, begini! Kalau logika lu ikut kebawa sama uangnya,” kataku geleng-geleng. “Gini deh. Lu kan sudah kasih perpanjangan waktu buat bayar utangnya sebesar satu juta. Tapi, dia minta perpanjangan lagi. Nah, pagi ini lu lihat dia nge-post sandwich elit harga 500 ribu di kota lain. Akhirnya, lu tagih kan uangnya karena lu kira dia sanggup bayar,” kataku dan dijawab dengan anggukan kepala.
Aku melanjutkan, “tapi reaksinya teman lu …,” dia memotong kata-kataku, “malah bilang aku egois. Mana hurufnya besar semua lagi,” gumamnya. Aku tahu dia mulai kesal. Meki begitu, ia masih menahannya.
“Nah!” seruku, “kata-kata yang temen lu yang bilang kalau, lu egois itulah namanya self serving bias.” Dia manggut-manggut kaya ikan lele.
“Peminjam yang galak ke pemberi self serving bias, cenderung menganggap semua keberhasilan karena usahanya. Sementara nih, saat mengalami kegagalan—mereka akan menganggap itu konspirasi nasib. Mekanismenya, nurani sama logika nggak sinkron dan terus membenarkan prilaku lari dari tanggung jawabnya,” jelasku lagi.
Baca juga: Jadilah Turis, Bukan Pelanggar Garis
“Terus aku harus apa? Ikhlasin aja?” tanyanya.
Hening. Pertanyaan ini justru membuatku berpikir lebih dalam. Bukan karena tak tahu jawabannya. Tapi karena …
Homo capax, yang katanya orang pintar bernama Paul Ricoeur, adalah makhluk yang bisa memberi luka dan terluka tapi, juga bisa memilih untuk tidak terus hidup dalam kekecewaan (wounded cogito).
“Kekecewaan itu bisa datang dari:
Dan ketika ia bertanya bagaimana meresponnya di saat itulah … Gong!
Baca juga: Lomba Luka, Siapa Pemenangnya?
“Hubungan sosial itu nggak pernah netral. Membantu teman lu itu bukan hal yang keliru. Namun di satu sisi, lu juga perlu ingat bahwa saat itu lu masih membutuhkan uang untuk kebutuhan,” jawabku. Dia terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Bergemuruh.
“Carol Gilligan bilang, keputusan moral tidak selalu hitam putih, benar dan salah. Ini soal bagaimana lu, gue dan kita, menjaga hubungan sesama tanpa kehilangan diri sendiri,” jawabku, “dia menyebutnya etika relasional.”
“Jadi jika dia tidak mengembalikan aku harus ikhlas?” tanyanya lagi dengan nada rendah. Aku tahu dia kecewa.
Aku menggeleng, “yang bisa menjawabnya adalah lu sendiri. Bukan gue. Lu mau nagih setiap hari, itu hak lu. Lu mau ikhlas juga hak lu. Yang terpenting setelah ini,” kataku lagi, “setelah ini, lu boleh bilang ‘maaf gue masih ada tanggungan’, dan itu tidak akan membuat lu sebagai manusia kejam.”
“Jawaban lu itu menandakan kalau lu sadar akan batas kemampuan lu dan sadar akan resiko di masa depan,” jawabku kemudian.
“Lu dan aku itu sama,” kataku, “kita satu tubuh beda cara pandang. Gue selalu bisa memberi peringatan lewat detak rasa di hati. Meski begitu, keputusan bertindak tetap lu yang pegang. Kalau misalnya, lu mendengar orang yang kata-katanya selalu seperti ini:
Maka, lu harus berhati-hati ketika memberi mereka tanggung jawab,” kataku memperingatkan.
Etika bukan soal siapa menang atau kalah, salah atau benar, tapi bagaimana menjaga rasa manusiawi tetap dalam batas dan tanggung jawab. Aku terdiam. Lalu pada akhirnya, aku mengirim pesan pada temanku: Aku tidak akan menangihmu. Jika kau memang menganggapku teman, maka kau tidak akan mengecewakan rasa percayaku.
Aku memeriksa sekali lagi. Sesekali ragu. Gemetar. Dan akhirnya … Terkirim.
Jadi, Gimana nih gengs! Punya pengalaman dengan cerita yang sama nggak? Kalian bisa lho cerita tips dan trik menolak atau gimana kalian ngadepin kondisi itu, di kolom komentar. Tapi, tetap dong ya dengan bahasa yang bijak. Ya, semata-mata biar jejak kalian tetap bersih.
Happy Sunday! Jya mata ne~
Source:
Hyun, Moonsup, et al. “Self-Serving Bias in Performance Goal Achievement Appraisals: Evidence From Long-Distance Runners.” Frontiers in Psychology, Frontiers Media SA, Feb. 2022
https://plato.stanford.edu/entries/ricoeur/#NarrIdenTurnSelf
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ADARUSA
Josselson, Ruthellen. “Developing a Different Voice: The Life and Work of Carol Gilligan.” Journal of Personality, no. 1, Wiley, Dec. 2022, pp. 120–33.
View Comments
Aku pernah ngasih mbak, dan beragam alasannya. Tapi aku nggak digalakin sih, tapi dia mencoba menjawab dengan alasan mengambang. Tanpa kepastian. Sudahlah. Doakan saja semoga ybs diberi kemudahan membayar hutang. Karena tugas kita adalah menagih sudah terpenuhi.
Kawatirnya pinjamin uang ke orang sih gitu mba, galakan dianya pas ditagih. Makanya klo aku liat2 dulu sih orangnya gimana, apa bener dia butuh banget uangnya dan suka playing victim ga
Di saat sekarang ini, alangkah lebih baiknya untuk tidak pernah meminjamkan uang, tetapi memberikan uang sejumlah yang kita bisa ikhlaskan. Kecil-kecil saja. Daripada nanti terjebak ke dalam lingkaran kebingungan tanpa henti.
Sulit rasanya untuk memberikan nasehat kepada mereka yang utangnya tidak pernah dibayarkan. Saya pernah mengalami hal ini juga, dan nasehat akhirnya sama, ikhlaskan saja, daripada cape sendiri.
Betul sekali. Orang yang ngutang lebih galak dibanding yang ngutangin. Pentingnya buat kita untuk mencoba jadi orang yang gak tegaan sama orang lain...
Aku pribadi belum pernah ada di posisi memberi utang, tapi jadi paham bahwa situasi seperti ini bisa cukup rumit secara emosional. Kadang niat baik bisa jadi bumerang kalau nggak dibarengi dengan batas yang jelas.
Relate banget! Kadang yang minjem malah lebih galak dari yang dipinjami. Penjabaran alasannya logis dan bikin kita lebih hati-hati ke depannya
Sepertinya kalau meminjamkan uang harus siap bahwa yang meminjam mungkin akan butuh waktu, atau bahkan ngga berkesempatan mengembalikan. Kalau sudah seperti ini memang harus ridha sih, misalnya ngga balik. Masalahnya cuma di ego aja ya, kalau lihat orang yang pinjam seperti ngga peka. Tapi biar ngga ada racun hati, ingat aja sih kalau niat baik kita akan dibalas baik juga. Mungkin ngga lewat orang yang sudah meminjam tadi.
Kalau ada yang pinjam selama ada duit kasih aja. Tapi lihat track record dulu bisa dari orang sekitar. Misalnya dia telat bayarnya atau tukang ngutang ya jangan dikasih banyak dramanya
Ternyata ada teorinya ya, kenapa peminjam utang lebih galak. dan yang pasti kalau kasus ngutang itu biasanya membuat hubungan pertemanan atau keluarga jadi renggang. alhamdulillah temenku nggak ada yang ngutang, tapi kalau keluarga besar sih ada, dan emang ngerasain efek buruknya. sampai2 mamaku bilang, klo ada yang ngutang, kita nggak harus kasih pinjaman 100% tapi bisa aja 30% + ikhlas kalau duit itu nggak akan kembali.