Penulis : Dinda Pranata
Srak srek srak srek!
Lidi-lidi sapu lidi bergesekan dengan paving block. Riuh. Seperti pikiranku yang tak karuan arah. Detik pertama memikirkan menu. Detik ke sepuluh memikirkan cucian seragam. Lalu detik ke lima belas memikirkan masalah hati.
Krak! Krak!
Suara sapu lidi menggesek keras. Gerakannya tertahan antara rumput dan paving block. Ada yang terjepit di rumput basah. Sesuatu yang kering. Tapi bukan perasaan yang setengah patah karena pertengkaran pagi tadi. Daun kering.
Aku berjongkok. Memungutnya. Di balik semak di kejauhan sesuatu menyita mata. Setetes embun bertengger di atas sebuah daun. Kecil dan setitik. Sejenak aku merasa iri. Namun pada siapa?
Baca juga: Kumbang Jerapah dan Kisah Tak Penting di Gulungan Daun
Penangkap Embun, Mengapa Kau Begitu Sabar?
“Rasanya kau perlu melakukan perawatan wajah,” goda si daun. Bentuk daun hampir seperti koin, hanya lebih kecil dan sedikit …. berlilin.
“Ada apa dengan wajahku? Kurasa baik-baik saja,” jawabku dengan sedikit khawatir. Barangkali aku terlalu sibuk dengan pengembaraan pikiran yang tak ada ujungnya, sampai aku melupakan sesuatu yang perlu kurawat.
Jemarinya yang berbentuk hati bergoyang pelan. Tanda kalau dia menggeleng. “Hanya saja wajahmu terlalu ramai oleh hal yang tak terlihat,” jawabnya kemudian.
Aku diam. Merasa jawabannya tepat sasaran. “Ih, sok tahu kau!” ledekku sambil sedikit manyun. Enggan mengakui apa yang dikatakan rumput itu padaku.
“Ngomong-ngomong …,” kataku berdeham, “mengapa ada setetes embun di tubuhmu? Apa kau tidak kedinginan?” Aku penasaran. Mataku pun melihat ke sulur-sulur lain. Tanaman yang serupa dengannya pun melakukan hal yang sama. Menangkap embun.
Baca juga: Serambi Untuk Pemakaman Di Sudut Kecil
Ia bergerak lagi. Kali ini lebih pelan. Sepertinya menjaga agar si embun tidak jatuh terlalu cepat. “Itu tugas kami. Menangkap embun dan menyediakan tempat baginya,” jawab si rumput. Aku memiringkan kepala sambil memeluk sapu lebih erat. “Karena embun tak punya waktu lama untuk melihat dunia ketika cerah,” jawabnya lagi.
“Bagaimana kau bisa sabar …,” gumamku padanya.
“Karena dewa-dewi memberiku anugerah lewat nama yang Mereka berikan,” jawabnya.
“Memang siapa namamu? Aku hanya mengenalmu sebagai gulma,” kataku sedikit ketus. Aku kesal, meski dia kecil, tapi kata-katanya sungguh sempurna untukku. Manusia.
“Manusia memang hanya mengenalku sebagai gulma tanpa nama. Tak perlu dikenal. Tapi utusan dewa memanggilku dengan nama ….,” kata-katanya terhenti. Angin dingin menyapu. Bersamaan dengan suara lirih si gulma.
Baca juga: Aku Memang Makhluk Kotor, Tapi Bolehkah Aku Berharap Manusia Mendoakanku?
Mendengar namanya seketika aku diam. Saat itu juga aku tahu, pada siapa rasa iri ini muncul perlahan. Menggerogoti. Mengendap.
Drymaria Cordata

“ … Drymaria Cordata,” jawabnya lirih bersamaan dengan suara hembusan angin dingin.
Gulma ini benar-benar mampu membuatku iri. Ia kecil, bahkan tubuhnya tak bisa lebih tinggi dari 1 meter. Ia bersulur dan berkoloni dengan kawan-kawannya.
“Seindah apapun kau, tetaplah gulma bagi manusia sepertiku. Terlalu masif untuk tanaman indahku. Dan kau ….,” kata-kataku terpotong olehnya.
“Benalu bagi tanaman yang kau tanam,” katanya getir. Ia bergoyang lagi.
Baca juga: Rancak Bumi Lawang, Lahir Mentega Tengkawang
“Bagi manusia aku adalah gulma. Tentu saja semacam parasit yang menggerogoti tanaman indah manusia yang dirawat dengan hati,” jelasnya lagi. Kami berdua diam sejenak. “Aku tak terlihat menawan di kebun manusia. Mereka memandangku tak pantas berdampingan dengan tanaman indah seperti asoka atau mawar. Tapi tak apa,” katanya lagi, “karena memang seperti itulah aku.”
“Mengapa kau tidak marah?” tanyaku heran.
“Untuk apa aku marah. Aku sudah terbiasa hidup tanpa nama, meski sebenarnya Tuhan memberiku nama seindah itu,” katanya diiringi dengan seulas senyum. Tulus.
“Apa Tuhan memberitahumu arti namamu sendiri?” Gulma itu mengangguk dengan menggerakkan batangnya.
“Namaku berasal dari kata Drymos artinya hutan. Tuhan menamaiku karena aku tangguh hidup di daerah lembab dan bisa berteman dengan air. Termasuk embun ini. Dan Cordata, punya arti daunku yang berbentuk hati. Kata para dewa, itu harapan Tuhan agar aku menjadi setulus-tulusnya tumbuhan yang bisa berteman dengan mereka yang rentan,” jawabnya.
Baca juga: Selimut Polusi dan Populasi: Realita Pahit Kelahiran Manusia di Bumi
“Meski kau gulma. Ternyata kau cukup sombong,” kataku melunak. Rasa iri itu masih tertinggal, meski aku tahu dibalik tangguhnya gulma itu, ada rasa tak berdaya yang tersimpan.
“Justru harusnya kami yang bilang begitu pada kalian,” tanyanya. Kali ini ia yang heran. “Kalian lebih besar dari kami. Lebih berumur panjang dari kami. Bahkan kalian bisa dengan mudah menjerabut kami dari atas tanah. Bagaimana kalian bisa merasa aku lebih sombong dari kalian?”
Kali ini perkataannya menekan dadaku. Bukan karena iri, tapi karena hal yang bahkan tak kusadari sebelum pertanyaan itu muncul.
Jiwa yang Besar untuk Wadah yang Terlalu Sempit
Kemudian di titik percakapan itu aku mulai menclos, bahwa tak semua hal besar datang dari wujud yang besar pula.
“Karena di balik tubuh kami besar, tapi sebenarnya jiwa kami merasa kecil,” jawabku dengan nada yang lebih rendah. Hampir-hampir tak terdengar.
“Aku kira kita berkebalikan,” katanya kemudian, “kau merasa kecil di dunia yang luas ini, sementara aku terpinggirkan di wadahku yang sempit ini.” Ia bergoyang. Aku memperhatikan dahannya yang terjepit di antara paving block.
“Tapi kita bisa saling membantu,” katanya kemudian. Aku mengangkat alis.
“Aku ingat beberapa manusia punya nama lokal untukku. Ada yang bilang namaku cemplonan, randa nunut dan berbagai nama lain.”
“Lalu?”
“Banyak ahli yang mengambil nyawa tanaman sepertiku demi membawa perubahan bagi ilmu pengetahuan. Dan, aku tidak akan marah karena itu.”
“Memang apa manfaatmu? Aku tidak pernah dengar,” kataku berusaha meyakinkan diri.
“Dari cerita leluhurku terdahulu, kami punya kandungan alkaloid, polifenol, saponin, cordatamine, tanin, termasuk vitamin A, B, C dan protein. Dan karena kandungan itu, kami biasa dipakai untuk mengobati bisul bahkan jadi sayuran,” jawabnya.
Aku terdiam sejenak. Berpikir.
“Jika kau mencoba memanfaatkanku, setidaknya kau bisa membantu bumi untuk lebih sehat. Kau tahu kan, entah berapa banyak pencemaran dari pabrik kimia yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Kami hening sejenak. Angin berhembus pelan, menggerakkan daun drymaria itu.
Invitasi dan Diskusi
Tes! Embun pagi itu pun jatuh ke paving block dan terserap ke pori-pori paving.
“Embun itu …,” aku bergumam bersamaan dengan si gulma menyahut.
“Lagipula….,” sahutnya saat itu, “kau tidak perlu menjadi besar untuk duniamu, hanya untuk membuatnya berubah. Cukup dari dirimu. Satu orang yang konsisten, bisa menyelamatkan dunia yang cukup besar.”
Aku tersenyum mendengarnya. “Dasar keras kepala!” seruku. Namun aku menyadari, kata-katanya tidak salah, malah banyak benarnya. Kadang kepalaku dan rasa egoku saja yang menghalangi mengambil satu langkah kecil. Drymaria Cordata ini (yang namanya bahkan tak dikenal), punya peran menyelamatkan embun dan siapapun yang ada di bumi.
Gimana nih gengs, pernah melihat tanaman ini di sela-sela tanaman? Pernah membayangkan bagaimana jadinya, jika setangkai tanaman bisa bicara? Kalau tanaman bisa bicara, menurutmu apa yang ingin mereka katakan pada manusia? Bagikan dong di kolom komentar. Apapun cerita kalian, yuk kita berdiskusi secara sehat dan berkomentar secara bijak. Ya, semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.
Source:
Devkota, Anjana, et al. “Drymaria Cordata (L.) Willd. Ex Schult. Caryophyllaceae.” Ethnobotany of Mountain Regions, Springer International Publishing, 2020, pp. 1–9
https://www.socfindoconservation.co.id/plant/174
Comment
“Jiwa yang Besar untuk Wadah yang Terlalu Sempit”, suka banget sama kalimat ini :’)
Kau tidak perlu menjadi besar untuk duniamu, ahaaayyy quote yg relatable dengan banyak orang nih mba.
Nampol bangeett, karena memang kebanyakan manusia ambis untuk gedeeeeee alias tajiiirr gitu kan, padahal yha nggak harus gituuu… siapa yg ngewajibin siik?
Abis baca ini, langsung teringat sama salah satu lagu terbaru adhitia sofyan yang sedang kuputar menerus akhir-akhir ini. Liriknya kurang lebih seperti ini.
“Saksikan hidupmu bagai kisah layar kaca, kau bukan pemainnya”
“Persilakan dirimu duduk di kursi pemirsa, kau bukan pemerannya.”
Kurang lebih, isinya senada dengan apa yang mbak sampaikan. Bahwa kita gak perlu besar hanya untuk mengubah dunia. Justru, yang terbaik adalah dengan menerima kita apa adanya, dan berusaha untuk melakukan hal terbaik demi diri kita sendiri.
Makasih mbak, renungan yang nyesss sekali ya di pagi hari
Kadang kita cuma menikmati embun
Tapi tak mau banyak tahu soal embun ini bertengger di daun jenis apa
Baca ini nambah wawasan
Setidaknya besok besok kalau hunting foto bisa foto dengan dekat lagi daunnya
Aku tauuuu tanaman Ini, tp ga pernah tahu namanyaaa 🤣. Cantiiik juga nama latin dia ya mbaaa. Tadi aku cek di google, mau liat lebih jelas, dan ternyata BHS lokalnya cemplonan 😁.
Malah baru tahu dia banyak manfaat termasuk bisa sebagai obat dan dimasak loh. JD ga hanya sebatas gulma yaaa. 👍. Selalu suka cara mba menuliskan sesuatu. Krn semua ditulis story telling bangettttt. Bacanya jadi betah
Aihhh, makasih Mbak Fanny. ❤️
Aku justru pas moto juga salfok sama gulmanya. Pas di searching kok nama lokalnya lucuk sih “cemplonan”. 🙈
Sebenarnya ya. Kalau kita mau mengkaji, banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari tumbuhan liar. Katakanlah Drymaria Cordata ini. Dia bisa mengobati bisul. Kebayang ‘kan gimana sakitnya bisul. Kita bisa mengobatinya tanpa obat-obatan kimia, Beibs.
Mungkin pernah, tapi diabaikan begitu saja karena “hanya” gulma kak. Ternyata meski ia parasit, ada manfaatnya juga ya, bahkan buat sumber makanan kita dan sampai obat.
Ternyata yang kita anggap hama dan pengganggu punya nama yang cantik. Pernah liat daunnya tapi nggak tahu namanya. Nggak perlu jadi besar ya, cukup jadi diri sendiri aja. Kita bersinar dengan cara kita sendiri. Suka banget sama kata-katanya,.daunnya malah jadi terlihat “wah”.
Aku salah satu orang yang selalu berpikir andai tanaman bisa bicara, karena aku suka ngajakin mereka ngobrol kalau di rasa lagi mumet banget. Rasanya tuh lebih menentramkan walau mereka tak bisa menjawab hehehe, agak aneh tapi itu salah satu yang suka ku lakukan ngomong depan tanaman.
Jujur aku beberapa kali melihat tanaman Drymaria Cordata, cuma memang aku nggak terlalu perduli aja. Padahal ia punya fungsi yang ciamik nih dan jarang di ketahui juga.
Aku sampai cari tahu lebih detail ini tanaman, penasaran. Jujur belum pernah lihat dan ternyata bisa buat sembuhin bisul. Sepertinya memang perlu ya lebih kenal tumbuhan yang bisa membuat pengobatan, supaya minimalis kimia dalam tubuh. Soalnya boleh dibilang aku anti kimia jadi kalau sakit suka agak lama sembuhnya.
Suka banget dengan kalimat, tidak perlu menjadi besar untuk mengubah duniamu. Ah seandainya banyak pihak paham makna itu, yakin dunia akan jauh lebih sehat.
Ingin kusampaikan pada daun itu, terima kasih sudah sabar pada embun, yang dia sendiri juga begitu rendah hati pada mentari. Rela hilang karena mentari itu hadir.
Sepertinya pernah melihat bentuknya. Walau ya begitu deh kak Dinda, daku gak engeh sama namanya. Maklum aja belum ta’aruf buat saling mengenal satu sama lain, jadinya gak bisa sahabatan eh wkwkwk
Jujurly, saya tidak pernah melihat tanaman ini di rumah. Tapi, setelah membaca kalau drymaria cordata sering dianggap gulma; jika sampai ada di halaman rumah dan tumbuh tumpang tindih sama tanaman lain, kemungkinan besar akan saya cabut dan buang ke tempat sampah. Jika mereka bisa bicara pasti saya akan diprotes beramai-ramai dengan menasehati bahwa tanaman seperti manusia, hadir di dunia ini dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Adalah hal yg gak bijak kalau gak mencari tahu dulu apa kelebihannya sebelum membuangnya begitu saja 🙂
Semua ciptaan Tuhan pasti ada manfaatnya dan mempunyai value termasuk gulma yang sayangnya dimata manusia hanya terlihat sebagai benalu dan tumbuhan stak bermanfaat.
Realita ini sama persis dengan ciptaan Tuhan yang bernama manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Sayangnya sebagian manusia sering menilai value sesama manusia hanya dengan mata kepala bukan mata hati.. akibatnya value manusia hanya sebatas yang tersurat bukan yang tersirat
baca blog ini jadi mikir, kadang yang kecil itu justru yang paling bijak, ya! Si Drymaria Cordata ini bener-bener ngasih pelajaran hidup yang nampol. Kita sering anggap remeh ‘gulma’, padahal mereka punya cerita dan makna sendiri. Keren banget bisa dapet insight dari obrolan sama daun!
Ini pikiran khas emak-emak banget ini. Duh… Mau masak apa ya hari ini? Belum cucian numpuk, habis nyuci setrikaan masih sudah menunggu hahaha.
Dan ternyata.. gulma ini punya nama yang bagus sekali ya Mbak. Terus dia mempunyai banyak manfaat juga. Yess sekali ini. Untuk jadi berarti dan bermanfaat maka tak perlu harus besar dan kuat.
Kalau tanaman bisa bicara akan saya jadikan teman curhat mbaa….asyiik kali yaa ngobrol sama mereka , kaya percakapan gulma dan tokoh di tulisan ini. Serasa menasehati diri sensiri saat membacanya
Ooo yaa dia kecil2 dan keknya merambat ya. Biasanya gak cuma di tanaman tapi sepertinya di sela2 lantai teras terutama rumah yang gak berpenghuni keknya. Dan emang kadang bisa merusak sih.
Wow ternyata bisa dimakan dan ampuh mengobati bisul ya hehe. Emang Tuhan Maha Baik, kadang manusia gak paham, mengira apaan sih gulma kan ganggu, cabut aja.
Ternyata tak ada yang diciptakan sia2, semua ada makna dan fungsinya 😀
Kebayang ga ya kalau tanaman bisa bicara, bisa jadi mereka komplain kepada manusia karena adanya sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab merusak tanaman. Mereka juga makhluk hidup kan
Baru denger namanya, Drymaria cordata. Namanya cantik, ternyata dia gulma ya. Tapi semua yg hadir di dunia ini pasti ada manfaatnya kok, ia tercipta tidak sia-sia. Kalaupun terlihat merugikan, itu karena manusia aja belum berhasil menemukan sisi positifnya. Disitulah peran para peneliti untuk menemukan manfaatnya.
20 Responses