Gerbang

Gerbang Tradisi dan Simbol Antar Lelaku

Gerbang itu besar dan pekat. Sebuah gerbang besi yang berdiri gagah di depanku seperti penjaga batas tempat aku berdiri. Ketika kusentuh besi dingin itu terasa menjalar ke urat syarafku. Kudorong perlahan. Kukira akan butuh tenaga, namun gerbang itu terasa cukup ringan untuk gerbang besi seukuran dua meter lebih.

Aku berjalan maju ke depan. Suara ranting kering berderak. Lalu diikuti suara samar angin yang menyambutku ketika melintasi gerbang. Dingin. Tapi, terasa mengundang untuk masuk lebih dalam. Ada rasa penasaran pada debu yang terlihat bercahaya. Tapi … apakah benar itu debu? apakah itu hanya kunang-kunang yang bergerombol? entahlah.

Semakin aku berjalan maju, udara semakin dingin. Menggigit kulit. Sebuah suara dan suara genta bersamaan berbunyi. Teng teng! teng!

“Warna merah untuk selatan. Warna putih untuk timur. Hitam untuk barat. Dan kuning untuk utara. Jika kau di tengah apa warnamu?” suara gong kemudian terdengar. Aku membuka mata.

Gerbang Tradisi dan Cara Alam Berkomunikasi

Rupanya, mimpi tentang genta dan warna itu terus membekas. Satu-satunya mimpi di usia empat belas tahun yang masih bisa kuingat sampai sekarang. Entahlah … mungkin mimpi itu terasa aneh apalagi untuk usia empat belas tahun yang masih sering mimpi oppa Hyun Bin atau Lee Min Hoo.

Baca juga: Ketika Blogger Terlalu Luas Untuk Diselami. Ada Crafter yang Cukup Indah Untuk Dipahami

Apa aku punya pikiran bertanya pada primbon seperti orang-orang tua dulu? Tidak, Kisana! Jujur aku bukan orang yang percaya ramalan atau semacamnya sejak kecil. Aku hanya mengingatnya dan mecatatnya dalam diary harian seperti pengalaman umum. Ketika beranjak dewasa, mimpi genta itu datang lagi dengan wujud yang beda (tepat ketika papa dan mama sudah dipanggil Tuhan). Aku sadar mimpi itu adalah simbol dari apa yang kupikirkan. Ia bisa jadi sebuah kode hanya ketika kau sadar.

Jejak-jejak ketidaksadaran akan kode itu, menjelma menjadi bentuk-bentuk tertentu dalam mimpi. Kadang bentuknya samar, tapi ada juga yang rasanya begitu nyata, seperti suara genta, aroma tanah basah, kilatan warna, bahkan perasaan ketika berada di dalam mimpi. Dan ketika kita bisa mengingatnya dan mulai menyadari maknanya, seperti ada klik yang tidak bisa dijelaskan.

Apa yang kuimpikan waktu itu, bisa jadi adalah cara semesta berbicara kepadaku dalam bahasa yang paling lembut. Dengan cara yang absurd. Acak.

Rupa-rupa Gerbang di Senja Hari

Nyatanya, bukan cuma mimpi yang dipenuhi simbol seperti itu. Budaya dan tradisi kita pun demikian. Penuh kode, isyarat, dan simbol yang tak selalu jelas maknanya. Seperti haruskah kita menyampaikan kritik dengan basa-basi, atau alasan kenapa nenek-nenek kita dahulu nginang. Setiap kebiasaan itu menyimpan pesan, yang barangkali tidak lagi kita dengar karena terburu oleh waktu dan modernitas.

Itulah kenapa rubrik ini bernama Gerbang, yang artinya ruang narasi yang membahas bagaimana budaya menyimpan pesan-pesan simbolik bagi kehidupan. Gerbang tradisi, tempat kita menyusuri kembali pesan-pesan dari alam atau leluhur tentang apa yang dibutuhkan. Agar, siapapun memahami kebijaksanaan dari tradisi atau budaya meski era sudah berganti rupa.

Baca juga: Rancak Bumi Lawang, Lahir Mentega Tengkawang

Di rubrik ini kita tidak hanya membahas budaya modern yang khas masyarakat urban. Tapi sesekali senja hari akan memperlihatkan rupa-rupa dari tradisi lain di masa yang lain. Bisa itu mitos, legenda atau bahkan ritual-ritual nenek moyang yang mungkin tidak kita temui lagi. Punah.

Sesekali kita juga akan menyusuri tradisi masyarakat di pesisir, hutan, atau pegunungan. Bukan untuk membandingkan. Tapi untuk melihat bahwa setiap sisi luar perkotaan punya jiwa yang sama. Jiwa yang ingin bersuara lewat caranya sendiri.

Sapaan Senja Hari

Gerbang senja hari menyapamu, bukan untuk menggertak atau memaksa agar berjalan dalam tradisi yang sama. Tapi, kami ingin mengajakmu untuk sama-sama merenungkan kisah-kisah budaya yang seringkali menyimpan kearifan lokal tentang manusia dan alam semesta.

Kadang ketika kita menyelami, kita akan melihat bahwa budaya yang berbeda punya satu fokus yang sama. Yaitu kebaikan untuk manusia dan semesta.

Jika kamu merasa cocok dan ingin tahu lebih banyak tentang rubrik ini, mari kita duduk bersama. Berdiskusi dan saling mendengar. Karena dengan begitu, kita tidak menjadi berburuksangka pada budaya yang berbeda dengan yang kita miliki.

Baca juga: Jamu Rasa Sepat dan Satu Tablet Kilat

Have a nice day! Jya Matta ne~

View Comments

  • Bicara tentang gerbang, dari beberapa kali pengelanaanku mengunjungi daerah wisata, yang aku pelajari dan ketahui kemudian, gerbang tak hanya menjadi pintu akses dan menutup akses terhadap sesuatu, tapi menjadi simbol dan bukti peradaban. Kayak misalnya aku main ke Benteng Mehrangarh, ada 7 gerbang yang masing-masing punya maknanya. Salah satunya Lolapol/gerbang besi yang merupakan gerbang terakhir ternyata menyimpan sebuah tanda sati (Sati atau suttee adalah tindakan bunuh diri spiritual di agama Hindu saat seorang janda mengorbankan dirinya dengan duduk di atas tumpukan kayu pemakaman sang suami.)

    Menarik banget tulisan ini, bahas satu hal yang jarang diperhatikan oleh orang kebanyakan. Thanks for sharing, ya.

  • Aku ndak sabar mbak menanti tulisanmu di rubrik ini yaa. Karena aku tau, Indonesia itu punya banyak sekali etnis, suku dan tentunya ragam budaya. Tiap budaya punya personalisasi, simbolisasi, pesan serta maknanya masing-masing. Itulah indahnya Indonesia. Makanya daku gak sabar si menyelami penjelasan dari Mbak Dinda yang selaluuu saja punya sudut pandang berbeda, hehehe

    Tapi sejujurnya, aku iri lho sama orang yang bisa bermimpi. Soalnya kalo aku hampir gak pernah mengalami fenomena bernama mimpi. Tidurku tuh ibarat tombol skip. Kayak cuma merem.. trus tau-tau udah jam 4 pagi. udah, gitu aja tiap hari.
    Entah ini tuh tidurnya pules atau justru kualitas tidurku jelek kali ya. Gatau dah hehehe

  • Aku sampe inget2 apa ada mimpiku yg kebayang trus sampai skr, cuma kok ya ga ada yg berkesan banget .

    Tapi bicara budaya , setuju kok... Walau kadang berbeda antara daerah, tapi tujuannya kan sama. Sebenarnya pengen mengajarkan hal yg baik ke manusia utk bersikap benar pada alam, hewan dan pada ujungnya kembali ke Tuhan. Mungkin ada beberapa yg menyimpang agama, cuma ya balik lagi ke diri masing2.

    Aku sendiri, selama budaya itu ga lari dari track agama, masih mau melakukan kok. Kayak budaya atau tradisi nujuh bulanan, ga ada yg salah toh. Tapi kalau sudah menyimpang, hanya saja masih dilakukan oleh orang tertentu, ya sudah, aku hormati. Tapi aku ga bakal ikut melakukan. Ini contohnya kayak pakai pawang hujan . Yg mana keluarga suamiku masih ada yg percaya begitu. Dalam hal ini mah, terserah mereka, Krn itu keyakinannya.

  • Suka bagian ini: budaya membawa simbolik-simbolik bagi kehidupan.
    Baguss banget kalau di blog Senja Hari ada rubrik budaya. Supaya netizen (khususnya gen z) tetap bisa mengenal kebudayaan indonesia. Jangan sampai terlupakan...

    Karena waktu zaman kecil kita dulu bangga banget ya bisa nari tradisional, pakai kostum cantik. Sekarang? Entahlah....

  • Kadang budaya tradisi itu mempunyai tujuan yang sama sebenernya untuk memberi kebaikan pada suatu masyarakat namun mungkin dalam perkembangannya saja kadang kita yang salah kaprah salah mengertikan makna dibalik setiap budaya dan tradisi tersebut,,,
    Aku sendiri suka memperlajari sejarah budaya karena jadi semacam masuk ke dunia yang berbeda begitu meski kadang cerita yang disajikan hanya dongeng mitos yang sepertinya di luar nalar namun saya cenderung menerima nya begitu saja tanpa harus mengkritisi

  • Mbak Dinda, baca tulisanmu ini bikin aku merenung.

    Ya, kadang hal-hal yang terlihat sepele seperti mimpi atau kebiasaan lama yang kita anggap “hanya tradisi”, ternyata bisa menyimpan pesan yang dalam. Saya jadi ingat betapa sering kita melewatkan sinyal-sinyal kecil karena terlalu sibuk mencari jawaban yang “jelas dan logis”. Padahal, bisa jadi yang tak kasat mata justru lebih jujur dalam menunjukkan arah.

    Terima kasih ya mbak, sudah membuka ruang untuk melihat dunia dengan cara yang lebih halus dan penuh rasa.