Home / Serambi

Politik Rupa dari Miss Cucurbitaceae di Sela Tiang Listrik

Senjahari.com - 19/09/2025

Bunga pare dan Kisah Tak Biasa

Penulis : Dinda Pranata

Kratak … Kratak … Suara langkak kakiku menyentuh batu koral putih yang mulai kusam di samping rumah. Halaman itu tidak luas seperti rumah di depan atau belakangku, tapi cukup ramai oleh dedaunan yang berkasak-kusuk macam ibu-ibu kompleks.

Aku berjongkok mengambil daun pandan untuk nasi yang ada di magicom. Namun, sesuatu menarik pandanganku dalam radius sepuluh meter di depan mata. Letaknya tidak strategis. Warnanya mencolok.

Sosok itu tampak seperti superstar, dengan matahari yang menytorot tepat ke arahnya seperti lampu sorot. Aku berjalan mengendap. Ingin tahu tapi tidak ingin mengganggu. Dan, ketika langkahku hanya berjarak dua meter, sosok itu menyadari kehadiranku. Tidak marah, malah mereka mengundangku dalam pembicaraan absurb itu.

Miss Cucurbitaceae dan Estetika Rasa

Sekali lagi wussshh … Angin menggerakkan semak di sekitarnya dan tentu saja si bunga kuning itu. Sebuah suara muncul bersama dengan angin.

“Baik para penonton, kali ini saya bersama dengan Miss Cucurbitaseae, yang menjadi wakil dari tanaman timun-timunan,” kata rumput teki yang ada di sebelah bunga kuning itu. Mataku beralih dari bunga kuning ke rumput teki sambil membatin, oalah … ada acara beauty pegeant di sini.

Baca juga: Kumbang Jerapah dan Kisah Tak Penting di Gulungan Daun

“Halo penonton semua. Saya Momordia Charantia, Miss Cucurbitaseae dari keluarga Pare. Saya mewakili tanaman timun-timunan seperti timun, labu, melon dan sejenisnya di acara Miss Flora 2025. Terima kasih,” jawab si bunga kuning yang ternyata bunga dari bakal buah bernama pare.

“Wah, kalau kita lihat ya bunga pare ini agak …,” rumput teki bergerak tak tentu arah, mirip mengamati si bunga mungil yang ia wawancarai, “tak biasa daripada peserta lain seperti mawar merah, frangipani atau miss Zinia,” lanjutnya lagi.

Debu dari kilau matahari tampak beterbangan, seperti glitter cahaya yang memberi rona pada bunga pare ini. Bunga kecil berwarna kuning itu tertawa kecil lewat gerakan ujung daunnya yang ke atas dan ke bawah, “tentu saja aku berbeda. Aku memang tidak sewangi mawar, warnaku juga tak semencolok Miss Asteraceae bahkan keanggunanku tak seperti bunga frangipani. Tapi …,” ia menghela nafas, ujung kelopaknya bergerak sebelum melanjutkan gong kata-katanya,”rasa indah itu cuma bukan soal kecantikan atau estetika.”

“Tapi semua orang tidak menampik bahwa Miss Rosaceae selalu mengambil hati banyak orang. Lalu apa yang membuat dirimu merasa cantik Cucurbitaceae?” tanya rumput teki.

Ketika aku menyaksikan awal perbincangan itu, senyum tersunggingku mengembang. Aku merasa bahwa bunga kuning kecil itu terlalu percaya diri untuk tampil di ajang miss flora pagi itu. Tak kusangka, kepercayaan dirinya itu justru hadir menggelitik rasa malu pada diriku sendiri.

Baca juga: Penangkap Embun yang Tak Dikenal

Siapa yang Berada di Balik Politik Rasa Ini?

Bunga Pare dan Politik Rasa

Sekali lagi daun bunga pare bergerak pelan. Entah mengapa gerakannya itu seperti magnet keanggunan. “Aku cantik karena aku tumbuh di tempat yang tidak terduga,” jawab bunga pare itu.

Para serangga seperti kupu-kupu, belalang bahkan para kontestan tampak tersenyum menampik. Seperti menertawakan Miss Cucurbitaceae.

“Maksudmu seperti terjepit di sela tiang listrik?” tanya si rumput teki, gerakan pangkal daunnya yang ke kanan kiri, mirip seperti orang celingukan.

Bunga pare mungil itu menggerakkan kelopaknya. Tanda mengiyakan. “Adakah dari para ratu kecantikan ini bisa tumbuh di tempat tidak strategis? atau sederhananya, adakah dari para tumbuhan yang selalu diagungkan berani berdiri di tempat tidak estetis? Aku kira tidak banyak. Dan aku salah satu yang berani melakukan itu,” katanya lagi.

Penonton pun mendadak diam. Kupu-kupu yang berebut hinggap di mahkota Miss Apocynaceae, kini melayang pelan, tak berani hinggap. Bunga mawar yang selalu menebarkan senyum lewat aromanya pun seakan menutup pori-porinya. Menahan nafas sambil sedikit berkomentar lirih, “halah! sok iye lu!”

Baca juga: Aku Memang Makhluk Kotor, Tapi Bolehkah Aku Berharap Manusia Mendoakanku?

“Aku sering mendengar manusia berkata ‘indah itu harus besar, harum, dan mencolok. Sementara, nikmat itu harus manis, gurih, dan sensasinya membuat orang mau makan terus’,” suara bunga pare terdengar lembut tapi tegas, “namun mereka lupa tidak semua yang manis itu selalu sehat, tidak semua yang berkelopak besar dan mencolok itu tidak berduri. Kadang dalam rasa pahit seperti buah pare, ada kenikmatan yang tak manusia kenal.”

Rumput teki menyahut dengan nada menggoda, “bukankah manusia adalah juri dari kontes ini? Mereka yang bertubi-tubi menulis prosa untuk mawar, meronce kalung dengan bunga frangipani, bahkan memberi artikulasi suara pada bunga dandelion?”

“Itulah politik rasa,” jawabnya lugas, “ada tangan-tangan tak terlihat yang menentukan apa itu indah dan nikmat. Sementara kami yang tumbuh di sudut-sudut tiang listrik, sela paving block, tanah retak, atau kayu lapuk, dianggap tak berhak masuk panggung kecantikan,” jawabnya.

Mendengar jawaban bunga kuning mungil itu nafasku berat. Egoku membuncah.

Politik Rasa dan Standar Umum yang Berlaku

Bunga Pare dan Standart Politik Rasa

Ketika aku mendengar sentilan bunga kecil itu, ingatanku kembali pada Pierre Bordieu yang materinya sudah lewat dari empat belas tahun kukenal. Bordieu bilang kalau rasa dan kecantikan bisa menjadi alat klasifikasi sosial dan simbol dari bagaimana selera dan rasa terbentuk oleh siapa yang berkuasa.

Baca juga: Jamur yang Datang Untuk Mati Perlahan

“Jadi kamu ingin mengubah pandangan para juri tentang kecantikan?” tanya si bunga Mawar, nada suaranya agak meninggi dan duri-durinya tampak kaku. Seperti ingin terlepas dari kulit batangnya. Ia tidak terima jika standar umum itu dihilangkan.

Dengan nada lembut tapi lugas, “aku tidak bisa mengubah cara pandang manusia. Tapi …,” ia menghela nafas panjang, “aku ingin mengajak para kontestan di sini untuk tidak merasa angkuh sampai merendahkan mereka yang tak sesuai dengan politik rasa secara umum,” lanjutnya.

“Bisa kau terangkan maksudmu, Miss Cucurbitaceae?” tanya si rumput teki.

Aku tidak bisa mengubah penilaian manusia yang sudah terbentuk karena kebiasaan dan pola pikir bahwa yang populer adalah yang cantik atau nikmat, yang tak populer adalah yang kurang nikmat dan tak pantas dapat sebutan cantik. Tapi aku bisa mengubah pola pikir para tumbuhan seperti kalian karena bahasa kita sama. Bahasa tumbuhan,” jawabnya lagi.

Semua mendadak hening. Angin semilir menggoyangkan tubuh-tubuh mereka yang hening itu, seolah angin ingin menyampaikan pesan si bunga pare. Ia pun melanjutkan, “Berapa banyak dari kalian yang rela menjadi tidak orisinal. Ya, sebut saja saat batang-batang kalian tak lagi tumbuh dengan satu warna, kalian menjalani operasi ‘pencangkokan’ agar tubuh kalian indah dengan kelopak beraneka warna. Tidakkan itu sama dengan manusia yang juga rela menjadi tidak orisinal karena ingin mengikuti standar kecantikan umum? Begitu pun dengan lidah mereka yang terbiasa dengan bumbu tak alami, sehingga akhirnya mengorbankan tubuh-tubuhnya sendiri.

Baca juga: Asisten Otak 47 Triliun, Tenun Mikro dan Storygraf-Crafter

Aku yang mendengarnya ikut terpaku bersama dengan para rumput dan tanaman. Isi kepalaku menghardik diri sendiri, “mungkinkah aku terlalu malu pada diriku sampai melupakan apa yang harusnya kubanggakan?”

Bunga Pare yang Terjepit di antara Tiang Listrik

“Jadi apa kau bangga dengan dirimu yang sering manusia bilang tak menarik?” tanya bunga frangipani dari kejauhan. Memecah keheningan di percakapan absurb mereka sampai angin pun ikut berhenti.

“Tentu aku bangga,” jawab bunga pare mantab. “Meski aku mekar untuk sesaat tapi aku menghasilkan buah pare yang menyehatkan untuk konsumsi. Ya …, meski sekali lagi selalu ada perdebatan di meja makan tentang politik rasa. Ada yang suka akan buahku, ada juga yang tak suka. Dan menurutku kecantikan atau rasa tidak pernah abadi, karena politik rasa itu akan berakhir ketika semuanya hilang. Rasa makanan akan hilang ketika masuk ke perut dan rasa cantik akan pudar ketika menua.”

Bunga pare mengakhiri perkataannya. Bunga-bunga di sana pun masih terdiam. Meresapi atau bahkan mengendapkan kata-katanya.

Sementara aku, masih memandangi bunga kecil itu dengan tanda tanya. Mengapa rasanya aku malu berdiri di depan bunga pare yang terjepit di antara tiang listrik itu. Sungguh menjengkelkan.

Gimana nih gengs dengan ceritanya? Sudah punya gambaran dong ya, kalau nggak ada yang tak berharga di semesta. Bahkan untuk hal yang orang pandang tak cantik, tak enak, kadang punya kesan tersendiri di rasa manusia. Kalian bisa lho berbagi cerita di kolom komentar tentang hal-hal yang menurut kalian remeh tapi ternyata penting banget? Tetep ya, komennya yang bijak. Semata-mata biar jejak digital talian tetap bersih.

Have a nice day! Jya, matta ne~

Source:
Murdock, G. (2010). Pierre Bourdieu, Distinction: a social critique of the judgement of taste. International Journal of Cultural Policy, 16(1), 63–65.

Bourdieu, P. (1984). Introduction: Distinction: A social critique of the judgment of taste (R. Nice, Trans.). MIT.

https://www.socfindoconservation.co.id/plant/678?lang=en

Tinggalkan Balasan ke Asri Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Fajar Fathurrahman

Pare adalah salah satu tanaman yang dulu kutanam di halaman belakang rumah kakek, dan ketika buahnya jadi.. rasanya kok happy sekali. hiks, abis baca ini malah jadi kangen Almarhum Kakek dan Nenekku. Andai masih ada, rasanya ingin kembali ke masa-masa dulu daku suka menanam berbagai tanaman di belakang rumah, dan salah satunya adalah pare ini.

Meski pahit, tapi ia punya sejuta manfaat. Dan aku setuju, indah ini tak selalu harus bermakna sama. Adakalanya, keindahan bisa terpancar dari suatu manfaat yang mungkin berbeda. Bukan begitu mbak Dinda?

Setuju mas,
Karena gimana pun nilai indah, cantik dan enak itu bisa datang dari banyak sisi. 😍

Maria Tanjung Sari

Tersentil dengan kalimat “yang populer adalah yang cantik dan nikmat” , secara ga langsung ada kaitannya dengan kondisi di sekitar kita. Jika dikaitkan dengan pare, meskipun pare sendiri terasa pahit di lidah justru punya manfaat positif untuk kesehatan.

Isssssh pare itu sayur ternikmaaaaaat ❤️❤️❤️❤️❤️. Bahkan dengan rasanya yg pahit. Tx to mama yg ngajarin dan membiasakan aku makan sayur sejak kecil, sehingga pas gede skr, memang lebih suka sayuran , trutama yg pahit kayak pare, daun ubi, daun pepaya, bunga pepaya , itu aku sukaaa mba.

Khusus pare, justru lebih enak dimakan mentah. Makan pake sambel terasi, nikmaaat 🤤🤤😍

Setuju sih dengan semua yg ditulis. Apalagi zaman dulu kayaknya, di mana produk pemutih masih merajai rak skincare. Kalau skr aku ngerasa mindset orang udah mulai terbuka sih, ga lagi mengagung2kan kulit putih, badan langsing, tapi mulai bisa menerima wanita berambut keriting kulit gelap dan berisi. Bagus malah 👍👍. Karena apapun bentuk sesuatu atau seseorang , sama cantiknya, asalkan dia sendiri nyaman dengan diri sendiri

Aku belum pernah makan pare mentah Mbak. Tapi ada kenalan orang Thailand dan dia bilang di kampungnya kalau makan Pare tuh emang di lalap gitu pake cocolan yang aku lupa namanya. Tapi pare itu emang enak. Kalau aku biasanya ditumis pedas atau diisi pake daging ayam gitu, pengganti tahu bakso. Wkwkwkw.. 😀
Dan sebenarnya aku baru tahu manfaat pare gara-gara search foto ini. Hihihi.. 😀

Wow! Keren banget Mbak. Baru kali ini saya membaca tulisan sains, tapi berkamuflase sebagai tulisan penuh makna kehidupan. Ada kata-kata motivasi dan inspirasi. Keren deh.
Sepertinya saya memang baru berkunjung ke sini deh. Salam kenal yah.

Salam kenal ya Kak. Terima kasih apresiasinya.. 🙂

Tukang Jalan Jajan

Daaaapaaaaat aja idenya ya kak hehehehe, padahal temanya tentang bunga pare. Keren! Bikin mikir juga, ya. Emang bener sih, sering kali kita terjebak sama standar “cantik” atau “enak” yang dibuat orang lain. Padahal, yang biasa-biasa aja, yang tumbuh di tempat nggak terduga, justru punya keunikan dan kekuatan sendiri. Kayak Miss Cucurbitaceae ini, dia ngajarin kita buat bangga sama diri sendiri, apa adanya, tanpa harus jadi mawar atau frangipani.

Ini tulisan klo dibaca sama yang oplas kesindir gak ya? Wkwk. Piss ah, keren miss Cucur ini. Pede, bangga dengan dirinya apa adanya.

Btw aku baru tau klo pare bunganya kuning mungil gitu. Cantik kok meski tak wangi. Terus pare juga klo masaknya pinter bisa jadi hidangan nikmat dan yg pasti.. sehat. Politik rasa tak berguna jika melihat dari sisi kemanfaatannya.

Tergantung oplasnya kak, kalau oplasnya karena alasan medis ya mungkin nggak tersindir sih. Harapannya bukan menyindir siapapun, tapi pengen ngajak buat ‘yuk bisa yuk kita pede dengan kondisi fisik kita atau dengan selera otentik kita. Karena kita itu punya nilai cantik yang nggak harus sama dengan selera ‘pasar’. 😀

Hai bunga pare ms. Cucur yang bukan dalam bentuk kue, karena kamu adalah bunga. Meski daku baru mengenal bungamu ini, tetapi daku suka dengan pare yang diolah baik yang direbus, digoreng maupun digulai hehe

Daku terkesiap dengan penggalan kalimatnya yang ciamik, yaitu tentang keindahan bukan soal kecantikan atau estetika, karena seakan mengena untuk para insan yang kerap kali hanya melihat karena kecantikan, padahal ada banyak hal yang bisa dilihat dari itu.

Waktu SD sering makan buah pare yang sudah matang. Warna dalamnya merah dan rasanya manis. Tanaman itu tumbuh liar dipinggir-pinggir jalan.

Jadi sebetulnya pare tidak selalu pahit. Seprti hidup, semua manis pada waktunya. Tapi saat pahit, tetap bisa dinikmati ya 😁

As usual, indaahh dan magical banget tulisan kamu iniii✨💃

btw akupun sukaaakk pare.

walo rasanya “ada pahit²nya” ya justru itu yg bikin demen, sama kyk kopi kan ☕ kalo kemanisan dan ilang hint pahit-nya malah ga enak🤣

pare juga bagus utk kesehatan, apalagi buat diabetesi…konon bs nurunin gula darah..klo pengin siomay, aku cari penjual yg bawa sayur pare juga 🤣 jadi niqmaaatt, sehat dan ngga ngebosenin

Sukak banget sama kata-katanya “semua manis pada waktunya….” ahhhh, teduh syekali.
Ini yang manis tuh biji yang merahnya pare kah mbak? Aku belum pernah nyoba icip bagian yang merah itu. Masih nunggu pare di sela daun listrik ini berbuah dulu. 😀

Heni Hikmayani Fauzia

Pare itu enak.mba kalau masaknya pinter soalnya jadi gak begitu pahiit. Tapi kalau masih pahit ampuuun deh saya juga gak mau makannya 😆😆

Cita2ku kalau dah pindah rumah nanti, kebetulan ada sedikit tanah bisa dimanfaatkan, pengen nanem pare hehe. Dulu pernah punya tapi gagal nanemnya.
Aku suka pare biarpun rasanya pahit. Biasanya sih beraninya menumisnya pakai cabe rawit yang banyak sih.
Pernah liat yutub orang makan pare di LN dia jadikan lalapan tanpa dimasak. Kyknya enak bener itu 😀
Hihihi kalau dianggap cantik emang kek subjektif ya, tergantung selera. begitu pula pare ini, udah bentuknya gak menarik, rasanya gak disukai sebagian orang, jadi ya banyak yang gak suka.
Tapi jangan khawatir pendukung fanatik pare pasti akan membelanya habis2an kalau dicela =))

Wah, rencana pindah rumah mbak. Lancar² terus ya rezekinya nanti di rumah yang baru. ❤️❤️
Aku tahunya orang makan pare mentah² kek lalapan itu di Thailand mbak, salah satu temenku ada yang orang sana. Kalau makan pare mentah belom berani sih, paling banter dimakan sama somay atau ditumis pake lombok yang banyak. Hehehe…
Dan setuju banget kecantikan tuh subyektif dan dari sisi mana aja cantik itu bisa terlihat. 😍😍

Hihihi seru banget bacanya deh aku Mbaa
Btw aku tim yang makan somay ga pake pare, soalnya berasa hidup makin pait gitu *apasih wkwkw

Bambang Irwanto

Kontes kecantikan yang luar biasa. Membuka mata dan hati. Bahwa benar. Orang selama ini menganggap dan menilai dari luaran saja. Padahal yang tidak bagus dipandang mata justru lebih Bagus. Bahkan yang perlu digarisbawahi, orang rela ikut-ikutan padahal mengorbankan dirinya. Saya pun awalnya tidak suka pare. Pahit. Tapi setelah saya coba. Eh.. ternyata enak dan pastinya bermanfaat. Pare juga bisa dimasak berbagai variasi. Saya suka tumis pare pakai ebi . Pare disantap atau pare isi Kambu kelapa atau ikan tongkol.

Hikmah Khaerunnisa

Bahasa yang penuh makna, pare memang pahit namun banyak manfaat yang terkandung di dalamnya.. dan walau pahit pare banyak disukai, termasuk akuuu hehe

Hal-hal remeh tapi ternyata penting banget? banyaak! Hahaha.
Se-simple mulai dari sapaan / senyum, mencium aroma dan udara, minum air putih & tidur cukup, kasih ucapan tulus ke seseorang daaaaan paling penting: jeda sejenak.
Tapii yaah, pare enak lho walau pun bentuknya kurang cantik dan rasanya pahit (tapi pahitnya masih sopan menurutku wkwk) malah manfaatnya lebih banyak dari pada yang lain.

PS: Buat Bunga Mawar kurang-kurangin ya julidnya. Thank you.

Ah selalu suka dengan tulisan mbak
Selalu memberikan cerita menarik yang menghadirkan hikmah mendalam
Memang semua yang diciptakan di dunia ini tak ada yang sia-sia ya mbak

Nah, nah, yang di pikirkan bunga pare ini mestinya melekat pada setiap orang ya. Tetap merasa cantik luar dalam dan saling mensupport satu sama lain tanpa menghakimi dan membuat standar cantik itu mesti ini, itu, ini, itu hehehe.

Pagi-pagi mata jadi segar melihat bunga berwarna kuning dengan segala semangat baiknya. Semoga saja kita manusia bisa lebih menjaga orisinalitas yang telah diberikan sama pencipta yaa. Bersyukur dan semangat dengan kelebihan diri serta menerima setiap kekurangan diri dan tidak sibuk mencari validasi. Yuk semangat yuk, kamu, aku cantik dari luar dan dalam. Tetap autentik gengs.

Ngliat pare, aku selalu inget sama Bapak rahimahullah…
Bapak duluu suka banget makan pare. Dan mungkin uda saking biasanya yaa.. malah gak kerasa paitnya dan selalu menyarankan aku buat makan juga. Meanwhile.. aku makan pare bareng siomay dan bumbunyaa ajaa.. aku igit igiiitt saking paitnyaa..

MashaAllaa yaa..
Allah maha besar dengan segala ciptaanNya di atas bumi ini.

24 Responses