Home / Jendela

Ekologiverse Versi Irfan Yuta Pratama di Dunia Kedua

Senjahari.com - 20/10/2025

Eceng Gondok dan Irfan Y. Pratama

Penulis : Dinda Pranata

Tampaknya pagi ini matahari sedang terbakar semangat. Belum juga mencapai lintang empat puluh derajat, sinarnya sudah terasa terik dan membuat pori-pori kulit melebar, meski aku hanya berjalan santai di sekitar rumah. Berpeluh, basah.

Beberapa bulan terakhir, aku hampir lupa kalau aliran sungai kecil di dekat rumah sudah lama tak riuh. Mungkin aku yang terlalu larut pada berita-berita pagi yang membuat napas sering tertahan: tentang tarif pajak, politik dunia, dan data diri yang melayang di dunia kedua. Atau mungkin sungai itu memang sedang tertidur panjang karena kemarau belum menemukan ujungnya.

Dari ratusan meter jarak pandang, mataku menangkap hamparan hijau yang tak pernah kulihat sebelumnya. Di ujungnya, sesuatu seolah memanggilku untuk mendekat—kecil, mungil.

Aku mengenalinya. Ia mengingatkanku pada dunia kedua itu.

Perang Tarif Dan Irfan Yuta Pratama di Dunia Kedua

“Jadi kita hanya bertukar data berdasarkan UU Perlindungan Data Pribadi kepada negara yang diakui bisa melindungi dan menjamin menjaga data pribadi,” kata Hasan Nasbi, yang kubaca dari laman kompas.

Baca juga: Diskusi Sehat Bubar, Anggota Barbar

Di tepi pagi, telunjukku terasa kaku. Aku bertanya seperti apa data yang ditukar dengan tarif itu? Dari pertanyaan itu, tidak ada satupun jawaban yang muncul. Hanya gamang.

Telunjukku terus menggulir ke media sosial lain. Di saat yang sama cuplikan suara dari Happy Salma ketika memberi introduksi di Malam Anugerah Satu Astra, menggema di telingaku. “Awanio, sebuah cloud enabler platform yang berdiri dengan percaya diri tahun 2016. Platform yang memungkinkan UMKM mengelola data, menurunkan biaya operasional dan mampu menghapus batasan yang ada di depan mata,” suara intonasi Happy Salma membuatku terhenyak. Kagum.

Aku terkesima dengan bagaimana ia bisa menghadirkan solusi untuk permasalahan manajemen data di Indonesia lewat Awanio. Aku mencari lebih banyak, kutemukan beberapa cuplikan wawancara Irfan yang menyebutkan tentang kata kedaulatan teknologi. Sebuah frasa yang menyadarkanku bahwa bukan tidak mungkin Indonesia berdikari atas teknologi managemen data tanpa harus bergantung pada raksasa-raksasa global.

Ketika aku meresapi kata itu, aku tahu bahwa ada dunia selain dunia nyata, yang punya kendali atas politik, otonomi, dan lingkungannya sendiri. Aku kemudian menyebutnya dunia kedua atau dunia maya.

Kesadaranku kembali saat menatap bunga eceng gondok yang ada di depanku, ia seperti tertawa menatapku yang memiringkan kepala. Warna ungu di bagian tengahnya seperti mata yang mengamatiku terbujur kaku dengan kamera di tangan. Matanya itu seolah ingin bertanya, “Hei Nona! apa kau ingin memotretku atau ingin mengatakan sesuatu padaku?”

Baca juga: Sound Horeg Meriah, tapi Ada Kepala yang Pasrah

“Ekologiverse di Dunia Kedua!” seruku padanya. Tanaman eceng godok itu hanya diam. Barangkali ia terheran-heran dengan bahasaku. Karena, setelah mengucapkan itu aku meminta izin padanya untuk memotret dan buru-buru mengeluarkan penjelasan yang tak bisa kuucapkan di depan enceng gondok itu.

Lantas aku mengejar aroma kopi yang tertinggal di meja kerja.

Ekologiverse dan Sebuah Dunia Dimana ‘Awan’ Bergerak

Sudah lebih dari 675 kata kuketikkan pada aplikasi word di laptop. Namun … kata ke-676 mendadak hilang dari kepala. Blank.

Mataku beralih dan membuka halaman lain. Foto eceng gondok. Kuamati bunga merah muda pada layar laptopku, sementara asap kopi sesekali melongok seperti turut menyaksikan hasil jepretanku. Asap itu lalu naik, berubah menjadi uap, dan akhirnya… “awan,” gumamku.

Seperti mengingat memori lama di lemari arsip amygdala-ku. “Ekologi Media …,” kataku lagi. Sebuah nama yang terasa begitu akrab. “Marshall McLuhan!” seruku, “the medium is the message.”

Baca juga: Bilang Terserah, Tapi Kalau Salah Marah

Pengembangan cloud enabler platform oleh Irfan Yuta Pratama, mengingatkanku pada konsep ekologi media milik Marshall McLuhan. Menurutnya, media “awan” bukan hanya alat, tapi lingkungan hidup baru yang dapat membentuk cara manusia berpikir dan berelasi bahkan bisa menata ulang keseimbangan sosial, ekonomi serta budaya.

Tanganku terasa gatal. Bukan karena semut yang berkeliling di sekitar kopi, tapi isi kepala yang terus menggedor untuk bebas berkata di layar laptop. Tak tik tak tik! Tanganku mulai mengetik.

Dalam bingkai Ekologi Media, sistem cloud memperlihatkan empat wajahnya: ia meningkatkan kemampuan manusia mengelola data (Enhance); menggeser cara lama dalam menyimpan informasi (Obsolesce); menghidupkan kembali semangat gotong royong digital (Retrieve); dan membawa ketergantungan serta menciptakan kolonialisme data (Reverse). Mirip dengan kondisi di Indonesia, yang masih banyak bergantung pada ekosistem teknologi dari perusahaan raksasa global.

Lalu, di titik ini muncul kebutuhan akan kedaulatan teknologi dan Irfan Yuta Pratama lewat Awanio hadir sebagai navigator jarak jauh, arsitek ekosistem digital yang menuntun “awan” bergerak untuk berpihak pada kemandirian kepemilikan sebuah ekosistem teknologi. Mulai dari kepemilikan infrakstruktur, operasional, bahkan residensi dari managemen data di Indonesia.

“Eceng gondok, meski sering dianggap gulma, mampu menyerap polutan dan menjaga keseimbangan ekosistem sungai. Begitu pula Awanio (yang menyerap ‘polutan’ data seperti ketidakefisienan dan ketergantungan pada teknologi asing) untuk menciptakan ekosistem digital yang mandiri,” gumamku.

Baca juga: Belajar Sih Nggak Harus dari Pakar, Tapi Jangan yang Asal Viral!

Ekologiverse dan Kedaulatan Teknologi

Irfan Yuta Pratama Satu Astra 2024
Profil Irfan Yuta Pratama dalam cuplikan wawancara Bloomberg Technoz. Credit: Bloomberg Technoz

Aku terus menggali, seperti merasa pemahamanku tentang kedaulatan teknologi ini masih sebatas di permukaan. Berbagai laman berita dan acara talkshow kuperhatikan. Sampai aku membaca beberapa artikel bahwa Awanio menggandeng anak-anak lokal dari berbagai daerah Indonesia untuk berkesempatan dalam program magang, kegiatan bootcamp dengan komunitas hingga kolaborasi riset dengan universitas dan lembaga teknologi lokal.

Awanio tidak berhenti hanya sebagai perusahaan dengan pencapaian TKDN 98,68 persen saja, tapi turut serta membangun keberlanjutan ekologi digital nasional lewat program-program digitalisasi sektor ekonomi. Mulai dari UMKM hingga layanan instansi atau lembaga dengan anggaran yang efisien.

“Bukan tidak mungkin, di tangan tim Awanio teknologi lokal bisa mencapai ranah global,” kataku lirih. Tentu saja aku bicara begini, bukan tanpa bukti. Dalam sesi pemaparannya, Irfan mengatakan bahwa saat ini sudah ada 50 Leading Technology Partner dan lebih dari 5000 end customer yang menggunakan awanio. Terbaru, September 2025 lalu, Awanio meneken kemitraan strategis dengan Techna-X Berhad dan PMBI Technology Sdn. Bhd. Asal Malaysia untuk kolaborasi membangun pusat inovasi, kurikulum pelatihan, dan melakukan pertukaran talenta di bidang komputasi awan, virtualisasi, dan AI.

Dan tiba pada paragraf akhir, jariku berhenti sejenak. Pada detik ke empat belas, sebuah kata terlintas dalam benakku seperti air di bawah eceng gondok yang kupotret, mengalir pelan. “Barangkali inilah yang kusebut ekologiverse, gabungan antara ekologi dan dunia metaverse. Tempat di mana dunia maya, teknologi, dan alam semesta memiliki kesadaran baru lewat ekologi digital,” kataku menutup serangkaian cerita dunia keduaku.

Aku percaya bahwa cerita Irfan Yuta Pratama ini masih berlanjut, sesuai dengan keberlanjutan prinsip yang ia bawa. From Local Innovation to Global Impact.

Baca juga: Isi Dompet Boleh Digital, Literasi Tetap Vital Bersama Bank Sentral

Kupandangi lagi foto eceng gondok di layar, ternyata di daun eceng gondoknya ada sebuah bayangan samar. “Mungkinkah itu awan?” tanyaku pada diri sendiri.

Closing Senja Hari

Gimana nih gengs cerita inspiratif dari Irfan Yuta Pratama ini? Kita pasti punya pandangan tentang kedaulatan digital kan ya, dan gimana sih kedaulatan digital itu versi kalian sendiri? Yuk bagikan pendapatmu di kolom komentar ya. And as always, komennya dengan bijak ya, semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.

Have a nice day! Jya mata ne~

Source:

Soetrisno – van Eymeren, Margaretha M. B. (2013). Media Komunikasi dan Dampaknya terhadap Kebudayaan: Analisis Pandangan Herbert Marshall McLuhan. Jurnal Komunikasi dan Media, Vol. 1, No. 2, hlm. 87–98

Logan, R. K. (2021). Marshall McLuhan’s General Theory of Media (GToM), His Laws of Media; Comparing Three Kinds of Law. New Explorations: Studies in Culture and Communication, 2(1).

Easa, K. (2019). Marshall McLuhan’s Understanding Media: The Extensions of Man (An Analysis of How the Medium is the Message Challenges Conventional Thought About Man’s Relationships with Technology). Tobruk University

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/10/03/irfan-y-pratama-dan-misi-kedaulatan-cloud-untuk-indonesia

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7364201/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Kedaulatan digital harus dipelajari untuk menjamin keamanan data penguna. Pelan-pelan tapi pasti biar data negara kita nggak kecolongan lagi (eh)

1 Response