“Besti, ke kawasan heritage yuk!” seru Gita, salah seorang teman dari Klungkung, Bali.
“Ogah ah, di sana mau ngapain juga!” seruku ogah-ogahan. Sebenarnya, aku enggan tapi bukan karena panas. Lebih ke bayangan ribetnya parkir semrawut di sisi kawasan itu.
Tapi rayuan Gita, selalu saja membuat ragu menjadi mengangguk.
Debu jalanan belum sepenuhnya turun ke aspal, ketika kendaraan menyapunya kembali naik ke awan. Sisi jalan motor terparkir rapi, tapi tak terlalu rapi. Tentu saja, harus memakan trotoar pejalan kaki, yang bagaimana pun caranya harus mengalah pada kuda-kuda besi itu.
Sebuah gapura besar, berdiri di atas pandanganku. Barangsangkanya pikiranku yang aneh adalah realita yang diindahkan.
Baca juga: Lelaku Tanah Dinoyo ke Pangkuan Bumi Minyak Jinggo
“Mbak, mbak!” panggil seorang wanita tua. Aku menoleh, melihatnya menunjukku dengan mata yang nyaris keluar dari wadahnya. “Kalau masuk kawasan ini ada tarifnya. 5,000 per orang,” katanya sekali lagi.
Tanpa banyak komentar, kurogoh kocek sepuluh ribu dari dompet. Wanita tua yang kuperkirakan usianya enam puluhan itu, memberiku dua kartu pos. Gambarnya dua rumah tua di kawasan itu.
Aku memiringkan kepala sambil menatap kartupos dan jalan di depanku. “Bagus sih …,” gumamku, “tapi apa ini benar-benar bagus atau cuma …,” aku tak melanjutkan kata-kataku. Meski ada ingatan samar, namun aku memilih menelan lagi suara yang hendak keluar. Kembali ke perut.
“aih! Irage, mikir banget! (aih, kamu kebanyakan mikir)!” seru Gita.
Setengah paving, setengah semen. Jalanan di gang itu tak rata. Mungkin sama dengan pikiranku yang berat sebelah. Sepanjang menyusuri gang yang lebih dari satu bentangan tangan ini, terlihat aroma sedap kopi-kopi manis menguar bersama dengan uap kering kemarau.
Baca juga: Ekologiverse Versi Irfan Yuta Pratama di Dunia Kedua
“Din, foto di sana yuk!” ajak Gita. Langkah kaki yang lebar, membuatnya buru-buru menerobos pejalan kaki di sisinya. Dengan satu langkah, ia lalu terduduk di sebuah kursi panjang sebuah rumah. Aku mengikutinya dengan langkah setengah tak bernyawa. Kepanasan. Dengan cepat dan tubuh yang darahnya nyaris tersedot panas, aku memotret. Klik. Suara shutter dengan lirih mengaduh.
Kuperhatikan lagi rumah itu. “Bagus lho!” seru Gita sambil melongok dari sisi samping. “Iya, bagus,” dengan suara yang tersekat di tenggorokan. Rasanya kepalaku agak sedikit konslet. Arus pendek terjadi tengah jam kerja sel-sel di kepala. Rupanya ia sadar. Satu hal yang barangkali terselip di sela-sela memori tentang hal yang ditolak ingatan.
Aku mundur perlahan, membiarkan diriku tersedot pada satu detik yang membeku. Aku terjebak di sebuah ruang bercat hijau pudar. Ruang di Plaza Maliki.
Di lantai dua, aku duduk di meja bundar. Mirip kepala orang-orang yang mengelilingiku saat itu. Sinar dari mesin LCD memantul ke dinding dengan judul besar di tengah “Membaca Kota dari Sudut Pandang Antropologi” dan seperti tagline di bawah judul sebuah tulisan “Pra-Festival Sastra Kota Malang”
Sebuah lokakarya yang kuikuti dengan tanpa sengaja. Di momen antara siang dan hujan itu, seorang peneliti bernama Mas Nino dan Mbak Yayuk, membentangkan realitas yang rasa-rasanya luput dari mata warga pendatang sepertiku.
Baca juga: Tak Harus Sama Tinggi untuk Disebut Pohon
Satu kata yang memantik, “apakah kawasan heritage benar-benar diperlukan? Dan apakah hanya itu satu-satunya cara mereka ‘berdagang’?”
Di tengah arus bisnis travel, di momen itu aku kembali belajar membaca kota yang kudatangi perlahan. Ingatan kota Surabaya, Jogja, Lembang, Bandung, Malang dan lainnya. Hampir di setiap sudut kota atau wilayahnya itu, bersisian dengan kawasan heritage. Awalnya aku ragu menanyakan mengapa harus ada? dan mengapa caranya pun perlu sama?
Dalam ruangan itu aku hanya bisa menyimak, meski kepalaku sibuk menakar segala macam teori humaniora yang bergesekan dengan penjelasan Mas Nino. Dan satu-satunya yang kuingat adalah ketika aku menuliskan tentang garasi di ruang publik yang membuatku ingin mengumpat. Aku, kita dan mungkin mereka tidak sadar bahwa kita semua sedang meniru penjajah dalam bentuk yang lain.
Sementara itu, kita lupa bahwa kawasan heritage itu tidak selalu berpengertian positif atau netral. Seringkali kawasan itu memikat sekaligus menindas, lalu tanpa sadar kita terjerembab dalam bentuk lain penjajahan. Lamat-lamat kita termangsa oleh ke-kolonialisme-an itu. Perlahan. Tanpa sadar. Menjadi kolonivora.
Lalu, kita berpesta pora wisata di atasnya.
Baca juga: Satu Kotak Harapan, Isinya Kejutan yang Tak Diharapkan
Aku menatap para wisatawan yang sibuk memotret diri. Di depan rumah berkesan vintage, kata mereka. Bagi mereka, rumah itu instagramable.
Lain lagi, dua orang dengan kamera mirrorless memotret secangkir kopi, yang diseduh di sebuah kedai beratapkan genting kusam hitam. Barangkali, itu genting era belanda yang belum terganti. Kata mereka dengan caption media sosial, chill di kawasan heritage.
Tapi pernahkah aku, kita dan mereka bertanya pada bangunan itu seperti apa rasanya menjadi mata yang abadi saat melihat perubahan zaman? Kita menganggap mereka hanya obyek yang tak bisa bicara. Padahal dalam setiap batu bata yang menopang dinding-dinding (yang katanya bangunan vintage itu), ada keringat si ‘bahu miring’ yang memanggul pala pendem bagi tuannya.
Di sela-sela keambiguanku tentang kawasan heritage, muncul kembali pertanyaan tak kalah rumit. “untuk siapa sebenarnya pariwisata heritage ini?” benarkah untuk mereka yang menjadi bagian dari ke-heritage-an itu? Tanpa ada yang menjawab dan sepertinya hanya angin di belakang tengkuk yang mengerti.
Lalu ketika, Gita menarik tanganku, aku mulai sadar. Aku terlalu lama berdiri di depan kursi panjang yang diduduki Gita sambil memegang kamera. “Ayo jalan, aku kegerahan!” katanya lagi.
Baca juga: Logika Jungkir Balik Khas Warga Komplek
Aku melangkah lebih jauh. Kali ini, meski kakiku berjalan di gang kawasan heritage, ingatanku tertahan di momen hening di Plaza Maliki.
Bisa saja, rumah-rumah itu pun ingin menjerit. “Jangan kenang aku sebagai bangunan vintage!” Mungkin rumah tua sebuah titik di peta, ada yang melakukannya.
Gimana nih gengs narasinya? Pernah nggak merasa ada aura atau sensasi aneh ketika memasuki sebuah kota tua atau sebuah gedung peninggalan lama? Nah, tiap orang tentu punya sensasi, yang bisa jadi itu adalah hal perlu kita tanyakan atau cari tahu. Kalian bisa lho berbagi di kolom komentar, tapi tetap ya dengan bahasa sopan. Semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.
So, have a nice day! Jya, mata ne~
Source:
Epafras, L. C. (2012, November). Signifikansi pemikiran Homi Bhabha: Sebuah pengantar teori pascakolonial. Conference paper, Extension Course Filsafat (ECF), Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
https://theconversation.com/potret-gentrifikasi-pariwisata-di-indonesia-ketimpangan-dan-eksploitasi-di-kawasan-konservasi-211527
View Comments
Gaya penceritaannya menarik. Aku seperti sedang membaca novel. Runut dan rampi pula. Kalau menjelajahi kawasan heritage diceritakan seperti ini tentu membuatku tak bosan dan ingin terus-terusan membaca. Terima kasih untuk ceritanya :)
Saya merasa sensasi asing kalau masuk area Cirebon, ga tau kenapa beda aja atmosfer nya. Bukan hanya perkara suhu udara ya, Saya sering pergi ke daerah dengan cuaca yang panas, tapi kalau masuk Cirebon suka berasa masuk sebuah daerah dengan suasana yang berbeda. Unik gitu pokoknya
Bahasannya keren banget, bikin mikir tentang sisi lain kehidupan kota. Kadang memang banyak hal yang terlihat indah tapi menyimpan ironi di baliknya
Sebenernya aku suka kok kalau masuk ke kawasan heritage , asaaal yg terawat yaaa. Krn banyak juga beberapa kawasan heritage yg kumuh mba. Dan kalo masuk ke sana, langsung ngerasa sedih aja. Indonesia itu punya banyak tempat2 oldies, tp sebagian dirawat dan bisa jadi spot wisata, sebagian lagi kayak di ignore. Ga bisa nyalahin warganya juga. Krn aku tahu dengan keterbatasan ekonomi, sudah pasti mereka lebih mentingin perut dulu drpd merawat bangunan tua.
Ntahlah sebenernya tanggung jawab siapa. Tapi suatu tempat vintage yg dijadikan objek wisata menurutku masih lebih baik, Krn bisa membantu kehidupan warga sekitarnya juga. Selain memanjakan mata dan membayangkan kehidupan di zaman dulu nya
Menarik kak narasinya, gas ke cerpen, hehehee. Btw aku belum pernah ke tempat itu sih. Ke tempatku aja gak pernah main main sekitarnya, hehehe
Menurutku setiap tempat, setiap bangunan, setiap lokasi punya auranya sendiri. Beda-beda. Kalau sensasi aneh saat memasuki gedung atau kawasan lama juga sering. Ada yang auranya tenang, ada juga yang auranya mencekam. Biasanya ini juga pengaruh pencahayaan dan kelembaban. Hahaha ngomong apa sih saya. Pokoknya begitu lha.
Saya suka mengunjungi kawasan apapun termasuk kawasan heritage. Karena setiap kawasan selalu punya kisahnya sendiri. Dan saya suka "mendengar" masing-masing kisahnya.
Hmm.. Aku dan anak-anak sebetulnya suka melihat bentuk bangunan kota tua gitu, terkesan gagah dan memang kokoh. Pernah juga sih kepikiran, bangunan ini tuh sudah berdiri jauh sebelum kita ada dan mereka adalah saksi sebenarnya saksi sejarah, sayang mereka gak bisa berbicara jadi gak bisa menceritakan apa yang sebenar-benarnya terjadi sepanjang mereka berdiri.
Nah, aku mikirnya mereka justru suka dijadikan tempat wisata kayak gitu karena artinya mereka jadi berfungsi dan bermanfaat lagi serta sering dikunjungi lagi. Walaupun iya sih, kebanyakan untuk foto-foto, walau ada juga yang memang menyimak sejarah dari bangunan itu sendiri.
Begitulah, aku pribadi menganggap bangunan tersebut bisa bersinar lagi setelah lama tidak dihiraukan (menurut akuu yaa)
Din, aku tuh terdiam sejenak untuk kalimatmu ini ,
>>Tapi pernahkah aku, kita dan mereka bertanya pada bangunan itu seperti apa rasanya menjadi mata yang abadi saat melihat perubahan zaman?<<
Kebayang aja bagaimana bangunan itu melihat banyak peristiwa dan ia jadi saksi bisu. Mungkin ada yang semena-mena memakai tempat itu dengan di luar nalar, tanpa ada rasa hormat. Atau bisa jadi ia juga jadi melihat insan datang dengan senyum tapi sejatinya hatinya terluka. Aku membayangkan menjadi bangunan itu.
Yang paling kupikirkan, seberapa banyak yang datang benar-benar menghormatinya dan sungguh menikmati klasiknya. Tanpa jadi ajang pamer. Aaaah selalu membaca tulisanmu jadi berpikir lebih dalam.
Iya ya mbak, kadang ada aja orang yang nggak bisa melihat nilai dari bangunan2 itu. Bahkan ada lhooo yang emang bener2 nggak suka lalu berusaha menghancurkannya. Udah banyak kejadian2 gitu.
Makanya perlu perhatian masyarakat dan tentu saja pemerintah yang punya regulasi supaya bangunan2 tersebut tetep terawat dan awet.
Aku salah satu yang suka sama bangunan2 vintage gitu mbak. Lebih ke mengagumi, wow, kokoh ya sampai sekarang berdiri, gak kyk bangunan baru yang gampang retak bahkan ambruk.
Suka bikin bertanya2 ini arsiteknya siapa, siapa yg membangun dll.
Namun di satu sisi perawatannya emang gak murah, jadi sepertinya keberadaan wisatawan2 itu "dibutuhkan" supaya bisa membiayai perawatan gedung2 itu kali ya. Suka sedih kalau ada bangunan tua gak terawat gitu. Bahkan kalau sampai dirobohkan huhu.
Di sisi lain buat wisatawan mungkin juga bisa memperkaya pengetahuan tentang sejarah kali ya.
Saya paling suka kalau memasuki kawasan atau tempat bernuansa heritage. Seperti masuk ke lorong waktu. Dan sensasi itu saya dapatkan kalau benar-benar kawasan atau tempat itu ada sejak dulu. Misalnya kawasan kota tua. Itu selalu ada sensasinya, membayangkan bagaiman dulu hiruk pikuknya kawasan itu. Sebaliknya kalau pas ke sana sepi, agak merinding juga. Seperti merasa diawasi oleh orang-orang Tempo Doeloe. Makanya kalau ke tempat seperti ini, harus permisi-permisi juga.