Home / Serambi

Widuri yang Tangguh, Widuri yang Bermata Peluh

Senjahari.com - 04/11/2025

Widuri, Bunga Semak Tahan Panas

Penulis : Dinda Pranata

Rasanya siang itu, angin pun terlihat malas untuk bergerak. Gerah. Aku tak tahu jam berapa itu, karena aku tak kenal apa itu waktu. Srak! Srak! Seorang perempuan bercelana merah, berjalan pelan. Wajahnya tertunduk. Bersedih? Lelah? Putus asa? atau apalah bahasa kalian ketika melihatnya.

Wanita itu duduk di bawah pohon akasia. Tak jauh dariku. Ia menengadah ke atas pohon. Seperti berdoa pada daun di atasnya. Meski, para daun berkasak kusuk tak tahu apa katanya. Tak lama kemudian … mataku bertemu dengannya. Lalu, tahu-tahu ia berjongkok di depanku. “Bagaimana kau bisa tumbuh di sini?” tanyanya padaku.

Tentu, aku ingin menjawab. Tapi aku tahu dia tak mengerti bahasaku. “Kau tanaman yang kuat. Juga cantik,” katanya lagi. Akarku bergerak. Padahal aku hanya gulma, yang tak punya pilihan lain selain tumbuh. Lantas mengapa mereka berpikir aku kuat? Namun anak itu masih berjongkok hening. Seperti menungguku.

Apa yang Terlihat Tak Selalu Sama

Rupanya suaraku terhisap. Seperti hanyut pada kisah anak perempuan bernama Widuri itu.

Aku bisa merasakan sinar matahari sama mencekamnya dengan ocehan pria itu. Dan, aku menyebutnya Ayah. Tak tahu mengapa pria yang jarang ada di rumah itu, kusebut Ayah. Mungkin karena dia pasangan ibuku. Hanya pasangan. Meski, setiap pulang ke rumah, ia selalu merengek meminta ini itu pada ibu. Tak peduli apakah ibu sedang lelah atau sedang sakit.

Baca juga: Asisten Otak 47 Triliun, Tenun Mikro dan Storygraf-Crafter

Seperti dunia berkutat hanya pada orang itu.

“Ayah,” selaku, “ibu sedang lelah. Biar istirahat dulu,” kataku melunak di siang terik. Aku ingat dia meminta ibu membuatkan secangkir teh, tapi aku tahu ibu lelah. Matanya sembab dan berkantung. Kutahu bahwa ibu menjahit semalaman baju-baju ayah yang sakunya berlubang.

“Halah! Masih bocah, banyak omong!” hardik ayah, “ini urusan orang tua. Main sana di luar!” Telunjuk ayah menunjuk mukaku dan beralih ke pintu teras yang terbuka lebar.

“Bu! Cepat es tehnya! Lelet sekali!” perintah ayah dari ruang tamu.

Aku tahu suaraku terlalu kecil untuk menggantikan suara gelegar ayah saat itu. Lalu kakiku berderap menghampiri ibu di dapur. Aku terhenti di ambang pintu dapur. Bahu ibu naik turun. Aku tahu ibu tak mengaduk teh. Ia menangis.

Baca juga: Rancak Bumi Lawang, Lahir Mentega Tengkawang

“Bu, aku bantu bawakan tehnya,” kataku dari belakang. Tak mau mengagetkan ibu.

Ibu menyeka air matanya. Matanya merah. Sembab semakin terlihat. “Makasih ya, Nak,” ujar ibu sambil berdeham. Suaranya serak tapi ia tetap tersenyum padaku.

Melihat senyum ibu, membuatku ingat betapa cantiknya ibu foto-foto lamanya. Tapi entah sejak kapan kecantikan ibu berubah di mata ayah. Meski di mataku ibu masih secantik itu sampai saat ini.

Aku kira siang itu akan berlalu dengan cepat. Tapi siang-siang berikutnya suara ayah makin keras. Memekik telingaku yang tak lebih dari setengah dari telinganya. Kata-kata ayah semakin liar. Rusak.

Widuri yang Sedang Bertahan, Atau Yang Serupa Dengannya

“Dasar wanita tak punya otak!” hardiknya, “menjahit lubang ini saja tak becus!”

Baca juga: Daun Bulat yang Tak Pernah Menjadi Koin

Aku kaget. Gendangku terasa seperti bola yang kempes. Menclos. Aku melihat Ibu masih berusaha menjelaskan keadaannya. “Nggak ada alasan! Masa menjahit harus aku yang kerjakan! Kau kan punya banyak waktu di rumah!”

“Iya, aku kewalahan beberapa hari ini. Mengepel tak lagi bisa seminggu sekali. Ini musim kemarau.”

“Bah! Kau saja yang tak bisa menghitung waktu!” seru ayah. Ia membanting kemejanya ke kursi.

“Coba saja kau jadi aku, Mas!” bantah ibu. Mata ibu berkaca-kaca lagi. “Aku harus bangun pagi-pagi mengurus keperluan rumah. Mengurus anak. Apa kau pernah melihat aku berkeliaran di cafe-cefe? atau nongkrong di mall pagi-pagi?” tanya ibu lagi, kali ini lebih menuntut.

Aku hanya melihat ayah terdiam. Memalingkan kepalanya. “Aku lelah dengar semua makianmu, Mas. Memang aku tak secantik kawan-kawanmu di kantor. Aku hanya Widuri yang bertahan di dalam rumah. Berusaha tak menuntut pada suami yang bahkan jarang pulang ke rumah. Widuri yang berusaha menyisihkan setiap sen ke kantong-kantong agar dapur tetap menyala. Dan Widuri kecil ini …” kata ibu sambil menunjukku, “tetap bisa bersekolah seperti anak yang lain!” katanya. Kali ini air mata ibu pecah. Seperti kaca.

Baca juga: Politik Rupa dari Miss Cucurbitaceae di Sela Tiang Listrik

Lalu, ketika ibu melihatku. Ibu berjongkok dan memintaku bermain dulu di luar. Katanya, ia akan segera menyusulku. Aku hanya mengangguk. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghibur ibu. Kecuali, aku mengikuti kata-katanya. Bermain di luar rumah. Menantang cengkeraman matahari pukul satu siang.

Pohon akasia di sisi lapangan bola itu menggodaku. Membuatku terhenti dan terduduk hanya untuk bisa menikmati kata teduh. Dan ketika aku melihat kekosongan lapangan itu, mataku tertumbuk pada tanaman indah tak jauh dari pohon kuberteduh. Aku dekati dan kutanya siapa namanya. Tapi sepertinya ia tak tahu bahasaku.

Aku hanya merasa nyaman berjongkok bersama tanaman itu. Meski aku dan dia bisa jadi berbicara dalam bahasa yang berbeda. Lucu sekali.

Dua Widuri yang Menatap Widuri Lain

Di hadapan widuri itu, suaraku tumpang tindih. Seperti terhisap dalam dua tubuh. Mustahil, pikirku.

Aku berkata, “sejak saat itu. Di hadapan widuri ini, aku sadar bahwa ibuku tak akan menyusulku,” kali ini dengan suara Widuri kecil.

Baca juga: Selimut Polusi dan Populasi: Realita Pahit Kelahiran Manusia di Bumi

Aku yang lain, “sejak gadis itu dihadapanku, aku sadar bahwa aku dan dia tak lain hanya sama-sama bertahan,” dengan suara bunga widuri.

Aku berkata lagi dalam suara Widuri kecil, “aku kira ibuku menamaiku widuri, agar dia tak lagi kesepian. Tapi tak lain agar aku belajar bertahan hidup,”

Sementara dengan cepat aku dalam tubuh bunga Widuri itu berkata, “aku kira manusia hanya menganggapku gulma, tapi ada juga yang menilai kucantik.”

Kemudian aku yang dengar tentang Levi Straus berkata, “barangkali tanaman pun perlu mendengar lebih banyak tentang manusia.”

Selanjutnya aku yang lain yang mendengar posthumanis berkata, “barangkali manusia perlu mendengar lebih banyak tentang tumbuhan yang diam.”

Kira-kira seperti itu.

Gimana nih gengs ceritanya? Nggak sempurna, tapi moga ada kesan yang nempel ya di hati.

Tapi nih ngomongin tanaman, ada nggak sih yang cara tumbuhnya bisa kamu ibaratkan dengan perjalananmu? Bisa lho komen di kolom komentar. Tetep ya dengan cara yang sopan, biar jejak digital kalian tetep bersih.

Have a nice day! Ja, matta ne.

Source:

Braidotti, R. (2019). A theoretical framework for the critical posthumanities. Theory, Culture & Society, 36(6), 31–61

https://www.socfindoconservation.co.id/plant/571

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/03/24/widuri-diabaikan-tapi-punya-banyak-khasiat

Tinggalkan Balasan ke Okti Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

*

Post comment

Comment

Baca judul ini jadi pengen nyanyi widuri, elok bagai rembulan, oh sayang.
Ternyata widuri itu nama bunga ya dan ada filosofinya.
Baca ini kok jadi nyesek, di mana istri disetarakan dengan bawahan yang bisa seenaknya disuruh-suruh oleh suami, partiarki banget sih….

Baru mau nyanyi udah diwakili hahahahha….

Jadi tahu bentuknya Widuri mbaaa. Cantiiiik ya ternyata. Aku tahu tanaman Widuri Krn lagunya Widuri di tahun 70an. Mamaku sering putar lagunya hahahahha. Dan jadi keinget aja gitu. Tapi ga kepikir cari tahu bentuk bunganya kayak apa. Eh sekarang jadi keinget lagi. Dan baru tahu dia dianggab gulma juga yaaa.

Ire Rosana Ullail

Wiiiiduuuri….engkau bagai lukisaaaannn…ohhh sayaaanggg….hehe kayaknya kita seangkatan Mbak 😀

Ire Rosana Ullail

Aku melihat memang ada pria yang seperti itu di negeri ini, banyak. Banyak pula perempuan seperti si ibu ini yang memilih diam dan bertahan. Aku harap ia menamai anaknya anyelir, sebuah simbol revolusi Perancis. Kelak bersama ibunya, ia akan menggulingkan kekuasaan sang ayah. Menendang bokongnya hingga ke ujung pagar. Nice story Kak 🙂

Pas baca judul aku jadi keinget sebuah lagu kesukaan alm ayahku loh mbak. Hehehe…
Tapi baca cerita ini aku kok rasanya sedih. Kehidupan seorang ibu rumah tangga dengan suami penganut patriarki emang bisa sesengsara itu. hiks…

Mbak Dinda pintar mengolah kata, aku sudah mau siap-siap tisu lo ini. Kebetulan lagi nyusun buku antologi karya teman-teman yang temanya tentang ibu. Ada yang kisahnya mirip seperti ini dan kumenangis.

Mungkin di musim saat ini, manusia perlu lebih mendengar tanaman, terlihat diam tapi siapa tahu dia sejatinya sering berdialog sama angin. Kemudian angin menyampaikan pada jiwa-jiwa yang kering. Lalu, kata bertahan seperti tokoh utama dalam musim ini.

Dengan segala ceritanya, bertahan sebuah cara untuk jiwa tetap ada. Dan setiap tulisan tersentuh rasa ini, aku berdialog dengan nurani, betapa hebatnya Widuri, diam dan bicaranya memberi cerminan, segalanya punya batas.

Terima kasih untuk sentuhan aksara rasanya, begitu banyak lapisan rasa tercermin dan pengetahuan tentang tanaman kembali bertambah.

Mungkin aku kurang jeli memperhatikan detail tanaman mana yang perjalanan hidupnya kurleb mirip dengan kisah ku. Tetapi Widuri ini kuat dan cantik dimataku. Meski sebagian menganggap nya gulma yang tak berfaedah, aku melihatnya lebih dari itu. Setiap tanaman dan mahluk yang diciptakan pasti punya kelebihan dan fungsi.

Membaca kisah Widuri kecil menghadapi ayah yang temperamental dan melihat ibunya sering dimaki. Membuat hati ku melencos banget. Sedih ya jadi perempuan kalau bertemu lelaki yang tidak tepat. Rasanya keseharian menjadi semakin berat.

Bambang Irwanto

saya baru tahu ada tanaman Widuri atau Biduri. Selama ini saya tahunya dari lagu yang menggambarkan seorang perempuan yang memang terluka. Sama seperti di cerita Mbak Dinda. Tanaman Widuri getahnya juga bisa dijadikan obat sakit gigi

Ceritanya cantik mbaaaa dan aku menyukainya ..langsung terbayang pas bentakan sang ayah seberapa lantangnya hingga mampu membuat ibu menangis dan membuat widuri kecil meringsut pergi…
Aku baru tahu loo kalo itu namanya bunga widuri hehe mungkin sering lihat hanya saja tidak tau nama2 nya ..salah satu kebiasaaanya ingat prang bentuk atau sesuatu tapi untuk nama sering skip kalo tidak berinteraksi secara rutin hehe

Sepertinya daku belum pernah melihat bunga widuri ini, ataupun daunnya.
Padahal ia apik lho, warnanya sendu.
Tapi kenapa widuri yang jadi istri di cerita itu kok sedih ya? Apalagi anaknya yang bernama widuri kok juga nelangsa? Huhu

Please, jangan biarkan Widuri menangis

Manusia dan makhluk hidup lain di dunia ini mungkin sejatinya sama saja ya. Sama-sama bertahan dan berjuang dengan hidupnya.

Ceritanya sedih. Tapi nyata banyak terjadi di luar sana. Semoga kita semua dijauhkan dari pasangan yang semena-mena seperti itu agar anak-anak kita tidak bernasib seperti widuri kecil.

Btw aku baru tahu wujud bunga widuri. Lebih tepatnya baru tahu kalau widuri nama tanaman hehehe

semakin ke bawah bacanya semakin nyesak dan sedih ya, perempuan kadang selalu menjadi posisi yang paling salah jika terjadi sesuatu di rumah, sementara laki-laki mereka dengan bebas menyalahkan perepuan, padahal namanya rumah tangganya keduanya andil sama, ga bisa bayangkan sakitnya sang ibu kepada bapak yang marah-marah dan maki-maki. dialog soal temen kantor, cafe, membuat ceritanya menjadi lebih berwarna

aku punya teman namanya Citra Widuri.
ternyata ia pribadi yg sangat kokoh dan tangguh
miriipp banget ama karakter tanaman ini
cerita yg menggugah bangett

Dalem banget makna ceritanya tapi ditulisnya tetap ringan dan ngena. Suka banget gimana sosok ibu dan bunga Widuri digambarkan: sama-sama kuat, tapi tetap lembut. Bagian akhirnya juga bikin mikir, kadang yang kelihatan diam justru yang paling banyak menanggung. Kayak relate aja gitu sama orang-orang saat ini. Huhu.

Nyesek banget, kalau tanaman gulma memang diciptakan seperti itu ya tapi Bu Widuri dulunya mekar jadi layu karena ulah suaminya.. ah sedihnya..

Aku bener-bener terpukau dengan penggambaran ka Dinda mengenai Posthumanisme.
Sebuah pengetahuan baru buatku yang ternyata berasal dari filsuf Francesca Ferrando.

Kadangkala, kita bisa tidak ingin menjadi yang orang lain inginkan yaa..
Cukup menjadi diri sendiri dan dihargai sebagai pribadi yang utuh.
Jadi inget sama Raisa dan Hamish Daud.
Huhuhu.. kenapa cobaa nyasar ke gosipan??

Ah Widuri yang malang
Memang kita hidup di dunia itu harus tangguh ya
Karena kadang dunia bisa terlalu keras dan kejam

Heni Hikmayani Fauzia

Saya jarang sekali mendengar kata Widuri,,,ternyata tanaman yaa….Saya taunya Widuri itu judul lagi yang dinyanyikan oleh Broery Marantika. Beragam sekali yaaa jenis tanaman yang ada di bumi ini dan ada khasiatnya pula. Saya jarang nemu nih tanaman widuri di lingkungan sekitar saya.

Aku auto nyanyi baca judulnya: Wiii du riiii… hehehe
Ternyata nama bunga yaa 😀
Btw scene keluarga Widuri mengingatkanku pada adegan film2 tahun 80-90an di mana patriarkinya masih kenteeeelll sekali. Tapi salut kalau perempuannya nggak diem aja melainkan melakukan perlawanan, minimal ngomong dan membela anaknya.
Semoga nasib Widuri kecil di masa mendatang membaik, itu pun kalau Widuri besar bisa kabur dari sang ayah keknya yaaa.

Diah Kusumastuti

Selalu menarik sih baca cerita di sini, hehe..
Idenya bisa aja dan keren, sih. Yang ini bisa aja menemukan kesamaan nasib antara manusia dan bunga widuri. Yahh.. Hanya bisa memilih bertahan.. Tapi yakinlah ada manfaat yang bisa dibagikan untuk sesama 🙂

“Apa yang Terlihat Tak Selalu Sama” baca judul pertama aja langsung menohok #gagalfokus jadi galau huhu

Kisah Bunga Widuri ini ditulis puitis dan menyentuh. Seperti membaca refleksi kehidupan yang halus tapi dalam. Banyak sekali nilai yang bisa dibawa pulang setelah membaca cerita ini

Hmmm… jadi bayangin deh bentuk widuri seperti apa, hehehe. Jujur belum pernah ngelihat nya atau aku udah pernah lihat tapi gak tahu namanya…cerita bersambung kah ini…hhehee

Bunga yang sederhana tapi tangguh ya. Cerminannya bener-bener relate sama kehidupan kita yang kadang harus tetap bertahan di situasi sulit.

Tidak banyak manusia yang bisa “berkomunikasi” dengan makhluk lain—baik hewan, apalagi tanaman. Biasanya malah dianggap aneh. Padahal, menurutku ini justru salah satu trait penting yang perlu ditumbuhkan: melihat makhluk lain sebagai sesama penghuni Bumi, bukan sekadar objek di bawah manusia.

Sejak kecil kita sering dicekokin gagasan bahwa manusia adalah makhluk paling mulia. Dengan mindset seperti ini, manusia bertindak seolah-olah punya hak istimewa atas seluruh planet. Dan ini sebenarnya bermasalah. Mindset seperti ini perlu banget ditransformasi.

Manusia, hewan, dan tumbuhan—semuanya diciptakan Tuhan (atau hadir lewat proses alam) dengan perannya masing-masing. Tidak ada yang hidup sendirian. Manusia tidak mungkin bertahan hidup hanya dengan manusia saja; kita bergantung pada seluruh jaringan kehidupan.

Semua makhluk berhak untuk hidup di Bumi ini. Kalau kita bisa melihatnya dengan cara seperti itu, menekan keserakahan, dan lebih menghargai kehidupan lain, mungkin dunia bisa jadi tempat yang jauh lebih baik.
Walaupun jujur saja… kadang semua ini terasa seperti utopia yang sulit tercapai.

Keren kak bisa bikin cerita fiksi kayak gini. Aku udah familiar dengan nama Widuri, tapi baru tahu kalau itu adalah nama bunga, berkat blog ini. Dan baru tau juga bentukan bungan Widuri.

Yuni Bint Saniro

Pada dasarnya gulma memang bisa tumbuh di mana saja. Cuma memang, jarang yang bunganya cantik. Kadang memang cantik tapi jarang terlihat.

Widuri nih kombinasi epik. Dia bisa tumbuh dan bertahan dengan kondisi apapun. Terus, bunganya cantik juga.

Tapi, emang nggak bisa dipungkiri. Banyak yang menganggapnya sepele. Seperti ayahnya Widuri kecil yang selalu menganggap sepele ibu Widuri.

Jadi itu bunga widuri dalam gambar diatas ya? Baru lihat sih bunga widuri itu seperti itu ternyata

Bingung kalau memposisikan perjalanan hidup saya jika diibaratkan dengan tanaman, tanaman apa ya? Hehe…

udulnya puitis banget! Langsung terbayang sosok Widuri yang kuat (tangguh) di luar, tapi ternyata menyimpan banyak beban dan kesedihan di matanya (mata peluh). Aku suka karakter yang punya kontras kayak gini. Ini pasti cerita tentang perjuangan yang mengharukan. Penasaran sama kisahnya Widuri!

Rasanya udah lama ga baca cerita dengan diksi seperti ini. Menarik tiap susunan kalimatnya.
Bicara mengenai bunga widuri selain memiliki kesan sederhana juga melambangkan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup dikarena mampuannya tumbuh subur di tempat yang keras

Ternyata Widuri itu nama Bunga.. taunya dari penggalan lirik lagu lama, sy kira nama orang

Aku jadi inget lagu jadul mengenai Widuri ini..
Kan mereka elok bagai rembulan yaah..hihihi~
Tapi terlebih dari itu, aku baru tau kalau banyak yang menganggapnya gulma. Padahal bunganya cantik nian..
Dan manfaatnya luar biasa karena bisa digunakan sebagai tanaman obat kusta dan rajasinga jika diolah dan direbus.

aku baru sadar widuri itu nama bunga dan kayaknya bukan bunga yang sering kutemui, nih. cerpennya bagus nih mbak dan mungkin menggambarkan hal-hal yang dirasakan beberapa perempuan di luar sana

Baca ini saya teringat ada sebuah judul lagu Widuri. Lagu lama sih. Sebenernya itu lagu era gen Baby Boomers. Bukan generasi saya. Cuma karena itu lagu sering dinyanyiin keluarga yang dari era itu. Dulu kata Widuri itu populer banget. Sampai ada yang bikin jadi nama anak.

36 Responses