Penemuan buku ini sebenarnya nggak sengaja, karena pas lagi scrolling buku yang mau dipinjam di aplikasi Ipusnas. Tahu-tahu judul buku The Man Who Loved Books Too Much nongol di daftar scrolling, copy-nya pun banyak jadi nggak perlu ngantri.
Buku The Man Who Love Books Too Much ini sebenarnya berkisah tentang mereka yang mencintai buku. Tapi ada banyak hal unik yang aku temukan dari buku ini yang berkaitan dengan nilai buku, fanatisme, kondisi psikologis hingga budaya serta moral.
Seperti apa sih sinopsisnya? Apa yang bisa kita bedah dari buku ini (terlepas dari kisahnya yang nyata)? Dan bagaimana review buku The Man Who Loved Books Too Much?
Penulis kisah ini yaitu seorang jurnalis yang memang menyukai buku sejak kecil. Salah satu buku yang turun temurun ia miliki yaitu buku sang nenek yang berjudul Anne of the Green Gables. pandangan akan buku semakin besar, sejak ia bertemu dengan salah seorang temannya John Widdle yang memiliki buku Kräuttenbuch. Ia kemudian melakukan riset dan menemukan fakta mencengangkan terkait pencurian buku.
Penelitiannya terkait pencurian buku mengarahkannya pada Ken Sanders—seorang relawan yang menjabat sebagai kepala keamanan di Asosiasi Pedagang Buku Antik Amerika. Sejak tahun 1999 Ken Sanders mengepalai devisi keamanan asosiasi itu dan dengan bekal informasi dari Sanders, ia mendapatkan informasi mengenai pencurian buku langka di beberapa agen buku langka di Amerika. Pencuri itu bernama John Gilkey.
Baca juga: The Will to Meaning, Lebih dari Sekedar Mencapai Sesuatu
John Gilkey terkenal cerdik dan alasan ini mendorong Allison berani mewawancarai Gilkey yang ada di penjara.
Lalu apa yang bisa kita bedah dari kisah pencurian buku langka ini?
Menakar Nilai Sebuah Buku
Dalam beberapa kisah di The Man Who Loves Book Too Much menjelaskan sebuah fenomena yang bernama bibliomania. Mungkin bagi yang awam, bibliomania itu semacam fenomena keranjingan baca buku yang udah ke taraf akut.
Nah, fenomena ini ternyata mulai banyak terjadi sejak Johannes Guttenberg menemukan mesin cetak dan mampu mencetak manuskrip dengan lebih efisien. Sebagai akibatnya kemajuan dari percetakan, maka semakin semakin beragam literasi yang ada. Seperti contohnya karya sastra berbentuk prosa, naskah drama dan lainnya. Salah satunya adalah seorang bibliomania dari Prancis bernama Guglielmo Libri.
Baca juga: Kenanga yang Memecah Batuan Adat di Novel Oka Rusmini
The Man Who Loved Books Too Much juga memberitahu kita bahwa sebuah buku terkadang tidak hanya bisa kita artikan sebagai benda. Buku-buku tertentu bagi beberapa pihak memiliki nilai investasi yang besar, misalkan saja bagi para kolektor buku atau agen bisnis barang antik. Pada beberapa hal, nilai investasi buku tidak hanya berasal dari tingkat popularitas penulisnya saja lho. Tapi juga karena keunikan jenis kertas, cetakan awal buku, hingga yang paling sepele adalah tekstur sampul buku yang sudah tidak diproduksi lagi.
Nah para kolektor serta agen yang mengumpulkan mereka ini, memiliki kemampuan untuk menaksir nilai investasi buku tersebut hanya dengan menyentuh sampul, menghirup aroma kertas hingga melihat jenis tulisan yang terukir di dalam buku. Buku-buku tersebut secara ajaib akan berteriak pada para kolektor bahwa nilai mereka tidak bisa sembarangan, bisa bernilai hingga puluhan ribu serta ratusan ribu dolar.
Buku The Man Who Loved Books Too Much ini, juga menghadirkan sisi gelap seorang pecinta buku. Sisi gelap itu berhubungan dengan psikologis para pecinta buku yang sudah ke taraf akut dan nggak bisa terkontrol. Dalam dunia psikologis kita mengenalnya sebagai -mania atau dalam konteks ini adalah bibliomania. Orang yang mengalami bibliomania ini memiliki kecenderungan untuk terus membeli buku tanpa ada keinginan untuk membaca atau memanfaatkannya.
Kondisi ini termasuk dalam obsesif kompulsif yang menurut penelitian psikologis terkait dengan masalah gen, stress, situasi lingkungan sosial hingga penggunaan obat tertentu. Pada buku ini kondisi para bibliomania lebih terkait pada situasi lingkungan sosial tempat mereka tinggal. Seperti pencuri buku langka yang diceritakan oleh penulis bahwa lingkungan keluarga John Gilkey sendiri mendorongnya untuk mencuri barang bekas yang menurutnya bernilai.
Lalu, gimana review buku The Man Who Loved Books Too Much versiku?
Baca juga: Review Super Parent: Mengasuh, Mengasihi dan Empati
Review buku ini sebenarnya ada di goodsread. Kalau dari goodreads buku ini mendapat rating 3,43 dari 5. Kalau versiku buku ini justru kuberi rating 4,5. Kok bisa ya?
Dalam setiap babnya, penulis melompat dari kisah satu tokoh ke tokoh lain. Meski pembahasannya masih satu garis lurus, tapi membuat bingung pembaca untuk menyelami pemikiran satu tokoh mengenai satu hal. Misalkan tentang “pulau harta karun” atau Treasure Island. Bab ini menceritakan Gilkey memberikan alamat Treasure Island pada agen penjualan buku langka. Lalu penulis tiba-tiba melompat menjelaskan pulau Treasure Island di Amerika Serikat. Mestinya tidak perlu diceritakan dan hanya fokus saja pada aksi pencarian buku yang hilang.
Penulis buku ini nggak menjelaskan lebih lanjut mengenai aksi pencurian buku itu dengan alasan itu terakhir kalinya ia bertemu dengan Gilkey. Bahkan di beberapa situs, berakhirnya masa pencurian oleh Gilkey tidak terjawab. Apakah ini artinya si pencuri sudah insaf? We hope so ya!
Kalau kalian mau baca bukunya secara gratis, bisa mencarinya di aplikasi Ipusnas. Atau bagi yang lebih suka memiliki bukunya, bisa cari di toko buku online. Selamat membaca dan menyelami kisahnya!
View Comments
Pernah baca buku ini dan setuju hal yang bagus dari buku ini enak dibacanya karena dituturkan seperti fiksi. Dikenalkan dengan dunia baru terkait buku dan dapat rekomendasi buku-buku yang menarik.