Jendela

Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Gratis Itu Masalah?

Di sebuah sekolah dasar, Rani menatap kotak makannya: nasi putih, sepotong telur dadar tipis, dan sayur bening. “Makan bergizi gratis,” begitu label yang tertulis di kotaknya. Teman-temannya tertawa kecil dan bergumam, makanan gratis? Rasanya pasti nggak enak kayak kemarin”

Rani yang mendengarnya terdiam. Bukan karena makanannya hambar, tapi karena ia sering mendengar kata “gratis” terasa seperti stempel tak terlihati—seakan-akan yang gratis itu tak cukup baik.

Di sudut ruang, seorang pria berdiri memperhatikan anak kelas lima SD itu. Sesekali bahunya terangkat, dan sedikit mendesah. Pikirannya pun berlayar membawa nama “gratis” yang cukup membebani pundaknya. Mengapa satu kata itu begitu terasa berat di dunia yang semakin luas?

Paradok Makan Bergizi Gratis!

Namanya Gusti, pria yang berdiri sudut ruang kelas itu adalah seorang guru bahasa Indonesia yang cukup sering mendapat keluhan dari murid-muridnya kalau makan bergizi gratisnya nggak enak, lalu sering kali tidak ada buah atau susu seperti janji sebelumnya. Bahkan untuk makan yang baru saja ia saksikan ada saja keluhan dari anak didiknya termasuk rasa daging ayam yang alot (tidak empuk).

Salah seorang temannya Bram, petugas Tata Usaha pun mendekati Gusti yang sedang makan di meja kerjanya. “Kok, lesu begitu, Pak?” sapanya.

Baca juga: Logika Jungkir Balik Khas Warga Komplek

Gusti yang mendengar suara Bram, mengalihkan padangannya dari layar ponselnya. “Bukan apa-apa, Bram,” balasnya, “cuma ya lihat berita ini kok agak miris.” Gusti menunjukkan video anak-anak yang sedang diwawancari oleh salah satu stasiun televisi dan memberikan pendapat bahwa makanan program makan siang gratis itu tidak enak.

Bram, cuma tertawa lirih. “Kan cuma bukan kasus Makan Bergizi Gratis saja, Pak!” tukasnya kemudian dan menarik kursi di depan meja Gusti, lalu duduk berhadapan dengan guru itu.

“Ya, sih. Ini lagi-lagi masalah persepsi kita tentang kata ‘gratis’-nya kan,” tukasnya kemudian. “Sebenarnya bukan kita saja yang mikir gitu, Bram. Di banyak sudut masyarakat kita, memandang kata “gratis” itu sama artinya dengan kualitas rendah. Gratis itu juga bentuk belas kasihan, bukan upaya pemenuhan hak. Asumsinya sederhana: jika tidak membayar, berarti tak ada nilai lebih di dalamnya. Dan persepsi ini, tanpa kita sadari, merembes ke dalam cara kita memandang banyak hal, baik dari penerima atau pun yang menyampaikan kata ‘gratis’ itu.”

“Jadi akarnya di mana?” tanya Bram penasaran. Guru bahasa Indonesia itu pun tersenyum simpul.

Akar yang Ribun di bawah Tanah

“Aku pernah membaca tentang Teori Model Mental dari seorang profesor bernama Philip Johnson-Laird. Inti dari teorinya kurang lebih menjelaskan bagaimana representasi kognitif di dalam pikiran kita tentang dunia bekerja. Asumsi ini membentuk cara kita memahami, menilai, dan merespons suatu fenomena.”

Baca juga: Berdiri Seperti Pahlawan, Isi Kepala Jadi Sorotan

Bram memiringkan kepalanya berusaha menangkap kaitan dengan program MBG ini. Gusti tersenyum simpul lagi, “tidak sedikit orang yang memiliki pikiran bahwa yang gratis itu berkualitas rendah. Baik dari orang yang menerima barang gratisnya sampai yang memproduksi ‘barang gratisnya’.” Bram mengaguk. “Pola model mental semacam ini bekerja tanpa kita sadari, yang menganggap ada harga, ada rasa atau kualitas. Padahal tidak semua barang yang mahal berkualitas bagus dan barang murah kualitasnya buruk, kan.”

“Maka akan ada pertanyaan lanjutan, Pak,” deham Bram. “Mengapa pemikiran yang seperti itu bisa mengakar kuat?” tanyanya lagi. “Itu karena kita sudah sangat terpengaruh dengan dunia kapitalis yang menganggap nilai dan hasil saling mempengaruhi. Yang membuat produsen, si pembuat barang gratis, membuat barang dengan kualitas ‘di bawah’ dengan memberi secara gratis, lalu yang menerima barang gratisan terpaksa harus menurunkan ekspektasi terhadap sesuatu yang tidak mereka bayar.”

“Contohnya pembuat makanan bergizi gratis ini yang terpengaruh kata gratisnya sehingga kualitasnya kurang dipikirkan dan hasilnya, siswa-siswa mengeluh kualitas makanan yang tidak enak karena ini makanan gratisan,” jawab Bram. “Tidak terkecuali pemerintah, meski mereka mengatakan sudah bekerja sama dengan ahli gizi,” imbuh Gusti.

Jika Tak Ingin Mendapat Label Gimmick, Maka Apa?

“Jika pemerintah tidak ingin mendapat label gimmick dan sangat serius dengan program menantang ini, solusinya adalah framing,” kata Gusti. “Tapi, kau tahu kan framing program itu tidak pernah mudah apalagi sudah mengakar kuat dan melibatkan banyak pihak,” lanjutnya lagi.

“Seringkali orang tidak menyadari bahwa cara kita memandang sesuatu bisa mengubah maknanya secara keseluruhan? Inilah yang disebut framing—sebuah strategi untuk mengemas informasi agar membentuk persepsi yang lebih positif. Framing bukan soal pencitraan atau mengubah fakta, tapi bagaimana fakta tersebut tersampaikan dengan dampak yang lebih kuat,” jelas Gusti.

Baca juga: Studi Komparatif Bertema SARA: Apakah Rawan Konflik?

“Dalam konteks program makan bergizi gratis, framing menjadi kunci untuk menghapus stigma yang selama ini melekat. Program gratis dari pemerintah sering kali mendapatkan pemaknaan kurang positif termasuk orang-orang yang bekerja di dalamnya, yang juga terpengaruh dengan kata ‘gratis’ ini sehingga mereka tidak bekerja dengan maksimal.” Gusti mengambil jeda nafas.

“Dan pemerintah sendiri kurang bijak jika melekatkan kata ‘gratis’ pada program itu, ketika pendanaan untuk makan bergizi ini juga berasal dari uang rakyat kan,” kata Bram.

“Tepat. Sejatinya makan bergizi ini tidak benar-benar gratis. Mereka yang bekerja untuk program ini pun membayar pajak, mereka yang mendapatkan program makan bergizi gratis pun membayar pajak. Sehingga lebih tepat program itu merupakan hak warga negara dan bukan sekedar ‘bantuan negara’.”

“Akan lebih cocok program itu menggunakan nama yang tepat sesuai dengan konteks dan targetnya ya, Pak,” kata Bram dan Gusti mengangguk mengiyakan.

Invitasi dan Diskusi

Ketika Makan Bergizi Gratis sudah berjalan, dan penamaan sudah dikenal secara luas maka tidak mudah untuk me-rebranding nama program itu. Kini tantangan pemerintah tidak hanya masalah pengelolaan dana, tapi juga mengubah persepsi gratis ini tetap sesuai anggaran, tetap bergizi dan utamanya sesuai konteks.

Baca juga: Negara Kaya, Tapi Kok Merana Ya!

Pemerintah bisa saja menerapkan kolaborasi yang maksimal antar dinas di satuan wilayah/regional. Misalkan pemerintah bisa bekerja sama dengan dinas pendidikan untuk mendata mana sekolah-sekolah yang memiliki kantin sekolah dan memaksimalkan penggunaan kantin sekolah alih-alih untuk menggunakan catering. Bagi sekolah-sekolah yang tidak memiliki kantin, bisa memanfaatkan katering yang sudah ditunjuk oleh pemerintah untuk membuat menu-menu makan bergizi.

Bagaimana nih program makan bergizi gratis di kota kalian? Boleh dong share pengalamannya di kolom komentar. Kiranya kamu ingin mengkritik tentang program ini pun juga boleh, tapi tetap perhatikan bahasamu ya, biar tidak menyudutkan banyak pihak. Semata-mata agar jejak digital kalian tetap baik.

Happy Monday!

View Comments

  • Ini di mana atau apanya yang salah, ya? padahal menurut hemat saya pribadi, programnya sendiri (MGB) ini sudah cukup baik dan sangat positif.. secara sistem dari pusat mungkin sudah melewati banyak hal yang seharusnya dapat direalisasikan dengan baik dan terarah..

    Jadi sedih juga mengetahui beberapa faktanya di lapangan:(

  • Anak saya sudah kuliah sih kak, jadi nggak tahu kondisi terkini di sekolah-sekolah.
    Tapi menurut hemat saya, niat baik itu harusnya dilaksanakan dengan kontrol kebijakan dengan baik pula, bukan tentang salah penamaan, sih.
    Minimal dari pihak sekolah, kedinasan dan pemerintah daerah setempat harusnya sama-sama punya itikad untuk meberikan layanan terbaik pada program ini, agar program dengan niat baik ini bisa dirasakan kebermafaatannya oleh rakyat, bukan gimmick semata. cmiiw

  • Sejauh ini, saya cuma mengikuti program MBG dari medsos. Pas ramai kemarin, sempat nanya ke adik yang masih SMP, di sekolahnya belum ada program ini.

    Kalau dari saya sih, terlepas dari penamaan, yang penting proses pelaksanaannya transparan dan dipantau dengan baik. Misal nggak cuma menguntungkan perusahaan tertentu yang ditunjuk sebagai pelaksana.

  • aku belum nemuin program makan siang gratis ini sih, cuma tau infonya dari media sosial saja. kbeetulan adek adek yang masih sekolah belum ada program sejenis di sekolahnya

  • Menurut daku semisal mau mengadakan suatu program (apapun namanya) yang membutuhkan biaya besar, maka gunakan strategi jitu dan genjotlah pajak dan efisiensi dari para pejabat, karena mereka yang nota bene penghasilannya ke atas. Bukan menggenjot pajak kalangan rakyat bawah

  • Bagus sekali cara berpikirnya..
    Dengan mere-framing, maka kita bisa membuatnya lebih dicintai.

    Idenya oke juga tuh..
    Seharusnya pihak ketiga yang dilibatkan untuk memasak bukan catering dari tempat lain, tetapi tetap kantin sekolah. Sehingga bisa nge-cut kebocoran penggunaan dana dari sana sini.

  • Ide makan bergizi gratis ini baik
    Namun, pelaksanaan masih sangat tidak optomal
    Saya tim yang nggak setuju makan bergizi gratis ini sih

  • Ekspektasi masyarakat tentang MBG ini memang berbeda-beda ya. Kebanyakan anak-anak di kota mungkin akan beranggapan, karena gratis maka rasanya tidak enak. Sedangkan yang di desa, pelosok, terlebih lagi daerah yang masih minus, mungkin MBG ini adalah sebuah harapan bagi mereka. Sayangnya memang eksekusi program seperti ini tak pernah mudah. Strategi yang tepat seperti pendistribusian dan pengelolaan yang baik perlu dievaluasi sering2 agar dampaknya terasa.

  • Hmm kalau dipikir-pikir benar juga sih. Mungkin bisa diganti istilah gratisnya dengan yang lebih baik. Tapi kalau di kota saya sendiri kayaknya belum masuk program ini.

  • Saya justru belum menggikuti program amakn siang gratis ini, apakah di kota saya sudah jalan atau belum. Namun, yang pasti di sekolah anak saya belum sih.
    Saya cuma merasa program ini kurang tepat sasaran aja, sayang dananya