Asep menyan majegau
Larik ke-2 Kidung Wargesari (Pengayat Warga Sari)
Cendana nuhur dewane
Mangda Ida gelis rawuh
Mijil saking luhuring langit
Sampun madabdaban sami
Maring giri meru reko
Ancangan sadulur, sami pada ngiring
Asap dupa masih membumbung ke udara, ketika suara ayah yang teduh menyanyikan kidung ini selepas menghaturkan sembah pada Hyang Widhi. Di antara bunga-bunga milik ibu yang berwarna-warni, asap dupa itu tampak kontras. Kelabu tapi terus terbang hingga menghilang.
Kidung ayah berhenti sampai di tengah-tengah. Ada interupsi dari seorang anak berusia sembilan tahun. Aku. “Kenapa kita harus pakai bunga, dupa dan tirta kalau sembahyang?” tanyaku.
Di taman itu, berhadapan dengan padmasana, ayahku menatapku lekat-lekat. Tersenyum. Senyumnya bersembunyi di balik kumis tebal yang perlahan membawaku merasa bahwa alasan aku masih beragama hindu, bukan hanya karena ayah-ibu beragama hindu, tapi lebih dari itu.
Di taman itu, ketika bulan purnama terlihat indah. Bulat sempurna. Di bawah kaki langit yang seolah mempersilahkan kami membicarakannya, ayah berkata, “karena bunga, dupa, tirta atau kalau ada buah-buahan, semuanya ciptaan Tuhan. Kita mempersembahkan itu kembali kepada Tuhan sebagai rasa terima kasih atas alam yang Shang Hyang Widhi ciptakan.”
“Kalau tidak pakai itu, apa Hyang Widhi tetap senang?”
Ya, tentu saja pertanyaan itu mengundang tawa dari ayah. Di antara asap dupa dan canang sari buatan ibu, aku kira akan melupakan jawaban ayah. Ternyata jawaban itu menancap sampai saat ini. “Tentu saja, karena ada banyak cara untuk menyenangkan Shang Hyang Widhi. Bahkan jika kamu cuma berdoa dengan tulus.” Jawaban itu seperti sebuah akar yang tumbuh di taman kepalaku.
Ketika semakin dewasa, ada banyak hal yang membuatku merasa bahwa jawaban ayah yang sederhana mendadak menjadi rumit. Entah karena aku harus berhadapan dengan banyak orang hindu yang bermacam-macam atau karena aku terlalu naif menyederhanakan pola-pola ajaran. Aku pun mulai bertanya, “apakah kesederhanaan dari ajaran itu mustahil ada?”
Sampai di akar pertama yang ditanam oleh ayah bertemu dengan tanah. Tepatnya saat aku bertemu dengan seorang profesor (meski bukan seorang pedanda), tapi beliau memberiku perspektif lain tentang: agama hindu dan humaniora.
Nama beliau Prof. Ida Bagus Putera Manuaba, di masaku kuliah tahun 2009 beliau adalah Wakil Dekan III yang mengurus bagian kemahasiswaan dan seorang dosen di jurusan Sastra Indonesia. Karena sering berurusan dokumen kemahasiswaan untuk organisasi, aku jadi cukup sering bertemu dengan beliau dan beberapa kali berdiskusi tentang sastra. Tidak lama. Tapi kata-kata beliau lah yang menjadi salah satu hal dasari mengapa rubrik taman ini ada.
Beliau bilang, “sastra itu untuk semua. Bisa mempertajam lahir dan batin seseorang. Dari belajar sastra kamu juga belajar bagaimana menjadi lentur, bukan keras tapi tetap tahu batas.” Dari sanalah terasa Gong-nya. Mengapa selama ini aku merasa bahwa sebenarnya ajaran hindu itu bisa kok lebih sederhana, lentur dan tidak selalu berhubungan dengan dogmatisasi.
Rubrik taman ini hadir sebagai bentuk gabungan antara humanisme spiritual dimana aku dan kalian para pembaca hindu, bisa duduk bersama untuk saling belajar agama hindu, meningkatkan spiritualitas tanpa merasa tergurui.
Di rubrik ini akan ada banyak sekali artikel tentang dasar-dasar beragama hindu seperti Catur Purusha Artha, Fenomena Miskonsepsi Catur Warna dan Kasta, kaitan filsafat stoa dan agama hindu sampai cerita-cerita yang terdengar remeh tapi masih berkaitan dengan filsafat hindu sendiri.
Di tengah kerasnya dogma rumit yang harus diteriakkan saat ingin memperdalam agama hindu, seringkali membuat kita jadi tidak punya cukup waktu untuk mempertanyakan, “bisakah ajaran ini lebih lentur dan sederhana tanpa kehilangan kesakralannya?”
Senja Hari selalu berharap bahwa rubrik taman ini bukan sekedar ruang membaca, tapi bisa menjadi ruang singgah dan teman spiritual yang menyenangkan. Buat teman-teman hindu yang ingin mencari tahu hakikat agama hindu, yang ingin berdiskusi secara sehat tanpa harus dihakimi, termasuk untuk mereka yang lelah dengan segala dogma-dogma dan mencari tempat yang lebih lentur untuk menyelam bersama sesuai dengan ajaran dharma.
Semoga rubrik ini menjadi titik baru bagaimana kita sebagai pemeluk agama hindu bisa menghadirkan ajaran agama hindu yang teduh tapi tetap sakral. Bukan dengan menghardik. Bukan juga dengan memaksa. Seperti taman yang rindang, tapi tetap mengakar kuat pohon bernama Hindu Dharma.
View Comments
kalau bicara soal keyakinan, itu semua pada dasarnya mengajarkan kebaikan hanya media dan jalan yg berbeda, itu sih menurut saya mah
tapi saya salut banget dengan pendapat sastra itu untuk semua. Betul bisa mempertajam lahir dan batin seseorang, jika dipelajari sebaik mungkin. dengan kita mempelajari sastra berarti kita juga belajar bagaimana menjadi lentur, bukan keras tapi tetap tahu batas...