Penulis : Dinda Pranata
Ketika memotret sebuah pintu coklat yang kokoh itu, aku terpaku sejenak. Cukup lama aku memandangi layar kameraku sebelum menekan tombol shoot. Aku menurunkan kameraku di sisi tubuh. Sekali lagi menatap pintu coklat dengan tulisan everlasting di atas daun pintunya. Dalam benakku sejak kapan sebuah pintu kokoh berwarna coklat tua itu terasa begitu lucu?
Bagiku, pintu di depanku itu terasa seperti komedi visual, bukan sesuatu yang mengintimidasi. Bukan juga sebuah keindahan kontras antara pintu itu dengan sekelilingnya yang penuh warna dari pot bunga di depan. Sekali lagi aku mengarahkan lensa kamera pada pintu coklat itu. Dan … Cekrek! Tanpa pikir panjang aku membidik obyek pintu itu.
“Huaaa!” suara tangis seorang anak perempuan dari arah belakang, membuatku terhenyak sejenak selepas memotret. Aku membalikkan tubuh. Seorang anak perempuan jatuh tersungkur karena rok panjang yang dikenakannya terinjak. Aku mencari si lanang yang ternyata masih bermain dengan teman sekolah agak jauh dari tangisan si anak perempuan itu. Pada saat yang sama, ternyata kelucuan pintu itu terjadi ketika aku memperbesar gambar foto dan mendengar suara anak-anak.
Mengapa Pintu Everlasting yang Tertutup Rapat?
Tanggal 25 Agustus 2025 yang lalu, aku berjuang mengatasi rasa frustasi. Si Lanang lima hari demamnya naik turun, di hari pertama suhu tubuhnya sudah 40,8 derajat. Ocehannya sudah tak karuan yang membuatku panik dan membawanya ke sebuah klinik. Beruntungnya langsung di tangani meski aku menggunakan BPJS dengan segala kesan negatif yang ada.
Aku berhadapan dengan sang dokter wanita. Kukira akan kedatangan itu akan membuatku lega, tapi entah karena aku sedang panik, pertanyaanku yang keliru atau memang dokter itu yang jawabannya ‘terlalu menggampangkan’ kondisi anakku.
Baca juga: Sound Horeg Meriah, tapi Ada Kepala yang Pasrah
“Dok, kuku kakinya agak biru dan dingin. Apa itu baik-baik saja?” tanyaku
“Tidak apa-apa, Bu. Itu karena demam adiknya saja,” jawabnya.
“Tapi suhu anak saya di atas 40, apa baik-baik saja padahal sudah saya kasih paracetamol paginya?” tanyaku. Jantungku menggedor keras. Tanganku yang gemetar, kusembunyikan di sisi tubuh sambil menggenggam erat baju. Dokter hanya berkata tidak apa-apa.
“Tapi, dia mengigau, Dok! Apa benar tidak perlu ke IGD?” tanyaku sekali lagi. Sekali lagi dokter hanya menjawab karena demamnya saja dan jika dengan minum obat panasnya tidak turun dokter memintaku pergi ke IGD di rumah sakit terdekat karena klinik itu belum menyediakan IGD 24 jam.
Aku pulang ke rumah dari klinik, tidak tenang. Pikiranku sudah kacau di hari pertama itu. Sesampainya di rumah aku menyuapi lanang makan meski tiga suap dan memberinya obat puyer. Selama hampir lima jam aku mengopres, mengecek suhu yang turun 2,5 derajat sebelum naik kembali 1 derajat di pukul empat sorenya.
Baca juga: Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Gratis Itu Masalah?
Saat memandang pintu tersebut, aku jadi bertanya mengapa pintu layanan kesehatan itu terasa tertutup rapat? Jauh dari kata everlasting yang megah untuk pasien sepertiku yang merasa ‘digampangkan’ dalam situasi seperti itu. Apakah aku sudah gagal menilai kondisi anakku ataukah sistem pintu layanan kesehatan yang gagal mendiagnosa kesehatan?
Kegagalan Ibu atau Kegagalan Sistem Layanan, Mengapa Urusan Layanan Kesehatan Terasa Rumit?

Pukul lima sore masih di tanggal 25 Agustus 2025, aku membawa lanang ke rumah sakit. Aku tak sempat menyuapkan sesendok nasi ke perutku hanya berbekal segelas susu, aku berangkat ke rumah sakit.
“Mbak anak saya suhunya 39,6. Apa bisa ke IGD?” tanyaku. Namun bukanya mempersilakan bagian administrasi mengatakan, “suhu tubuhnya tidak 40 derajat, Bu. Kalau masih 39,6 derajat perlu diagnosa dokter apakah perlu ke IGD apa tidak,” jawabnya. Kepalaku seperti dihantam batu keras-keras.
“Tadi siang suhunya 40,8. Sekarang 39,6 derajat. Apa itu tetap tidak bisa ke IGD?” tanyaku agak meninggi. Tak sabar.
“Kalau tadi suhunya 40,8 harusnya saat itu dibawa ke IGD, Bu. Ini dapat nomor antrian nomor dua puluh satu untuk dokter XYZ di ruang empat,” kata bagian administrasi. Dalam hati aku membatin, apakah jika demam ke IGD ada aturan minimun suhu tubuhnya?
Baca juga: Judul yang Penuh Harapan Tanpa Jaminan Realita
Aku tahu saat itu sedang kesal tapi, tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu antrian.
Tik tak! bunyi jam dinding berdetak. Bau obat bercampur karbol lantai, juga bunyi derit bangku besi yang dingin begitu riuh. Sangat kontras dengan ruang praktik dokter yang masih gelap dan senyap.
Dokter anak itu terlambat lebih dari satu jam. Tanpa pemberitahuan oleh pihak rumah sakit pada pasien yang sudah menunggu sejak matahari belum terbenam. Sekali lagi aku bertanya dalam hati, mengapa pintu layanan kesehatan yang katanya prioritas dan adil itu terasa tak tergapai, tidak hanya untukku tapi juga mereka yang menunggu seorang dokter yang kedatangannya saja terlambat.
Air mata menggenang di kedua sudut mataku. Menatap Lanang yang bahkan tak mampu mengangkat tubuhnya sendiri. Meringkuk dalam pelukan seorang ibu yang saat itu separuh dirinya merasa gagal. Dan, separuhnya lagi merasa marah dengan sistem layanan kesehatan yang terlihat kokoh tapi rapuh dan justru memperdalam rasa gagal di tengah perjuangannya. Sampai sebuah gumamanku yang setipis helaan nafas, tak kusangka terdengar oleh seorang ibu.
Berapa Banyak Nyawa yang Tertolong dari Satu Jam Absennya Seorang Dokter?
Pertanyaan itu muncul dalam gumamanku dan hanya dijawab oleh ibu di sebelahku, “banyak, Bun! Seringkali mereka (petugas medis) yang terlambat, malah menyudutkan dan menyalahkan pasien karena terlambat membawa ke rumah sakit ketika kondisi pasien kritis. Tapi, mereka tidak sadar bahwa mereka juga melakukan hal serupa,” lanjutnya.
Baca juga: Bilang Terserah, Tapi Kalau Salah Marah
Aku terdiam. Rasanya bibirku kelu untuk bisa bersuara lagi. “Belum lagi selembar kertas rujukan dan kuatnya uang bisa menentukan apakah mereka bisa mendapatkan akses layanan atau tidak,” kata ibu itu lagi sebelum beranjak berdiri karena namanya pertama kali disebut oleh perawat yang berdiri di depan ruang praktik empat saat dokter sudah datang pada pukul setengah delapan. Satu setengah jam lewat jam praktik dokter yang seharusnya.
Aku merasakan bulu tipis anakku meremang, di antara panas kulitnya saat bersentuhan dengan kulitku. Aku menawarkan air minum dan sebuah pisang untuk ia makan, sambil menerka di mana aku pernah mendengar kata-kata ibu di sebelahku itu.
“Pasien atas nama Michael!” suara pengeras suara di apotek bergema. Sementara aku menyuapkan sedikit demi sedikit pisang pada Lanang aku bergumam, “Michel Foucault–Biopower.”
Aku ingat saat kuliah seorang profesor berbicara tentang Michel Foucault yang punya konsep humaniora bernama Biopower, yang menjelaskan bagaimana kekuasaan modern tidak lagi hanya soal menghukum, menekan atau menindas saja. Tapi juga, soal mengatur kehidupan manusia sehari-hari dalam bentuk hubungan kuasa atas tubuh dan populasi. Seperti bagaimana negara, institusi atau otoritas mengatur cara kita hidup: kapan jam sekolah mulai, bagaimana hidup sehat, berapa jumlah anak yang ideal, bahkan sampai standar makanan yang kita makan, lewat program-program dan seperangkat aturan administrasi.
Dan ketika pintu coklat bertuliskan everlasting itu tertangkap kameraku. Aku sadar bahwa komedi visual yang kuanggap lucu itu ternyata adalah benturan pengalamanku dengan jargon layanan kesehatan yang terasa begitu mewah, tapi nyatanya masih jauh dari baik dalam praktiknya. Terlebih pada hal yang membuatku agak … skeptis dengan layanan tenaga medis setelah ini.
Baca juga: Belajar Sih Nggak Harus dari Pakar, Tapi Jangan yang Asal Viral!
Dokter dan Pasien adalah Setara, Bisakah Itu Terjadi?
Sayangnya, aturan yang dibuat oleh pemerintah (yang katanya demi kebaikan bersama) seringkali meleset, tidak tepat sasaran dan tidak pada tempatnya. Beberapa pihak seringkali menggunakan penekanan administrasi untuk menekan pihak lain. Sehingga, pintu layanan kesehatan yang mewah dan jargon besar yang harusnya tergapai, malah jauh dari tangan yang ingin membukanya. Terlampau jauh.
Seperti pada kasus dokter terlampat datang tanpa pemberitahuan. Aku merasa betapa timpangnya relasi ini. Dokter menajdi otoritas tunggal yang menentukan apakah seseorang sakit, sementara pasien dipaksa tunduk dan menunggu otoritas itu datang tanpa bisa berbuat apa-apa. Dalam sistem semacam ini, keadilan dan kesetaraan hanyalah jargon. Pada titik itulah birokrasi layanan kesehatan tidak lagi berkeadilan, setara dan menjunjung nilai kemanusiaan.
Pada kasusku, akses diagnosa yang kurang tepat, jawaban dokter yang ‘ugal-ugalan’ sampai surat rujukan yang sulit keluar karena benturan aturan kuota rujukan dari BPJS per harinya, menambah rumitnya akses percepatan layanan kesehatan. Termasuk kualitas dokter yang kurang baik menambah beban rasa sakit semakin bertubi-tubi.
Tidak bisakah dokter dan pasien itu setara karena saling membutuhkan? Apakah ini karena overpopulasi profesi dokter di wilayah perkotaan ataukah defisit dokter yang kurang berdedikasi atas sumpahnya dalam menyelamatkan pasien? Terdengar kejam. Tapi bisakah kita memikirkan segala kemungkinan yang ada dengan ikhlas dan sadar?
“Bunn!” panggilan Lanang (yang saat ini sudah sembuh dan selesai bermain bersama dengan temannya), mengalihkan duniaku yang terus berputar dan terbentur di hari pertama Lanang demam. Aku mendesah pada potret pintu everlasting itu dan mematikan kameraku. Meraih tangan Lanang dengan kepalaku masih terus bertanya-tanya, kapan pintu layanan kesehatan bisa terjangkau dan adil sesuai jargonnya.
Gimana nih gengs ceritanya? Pernahkah punya pengalaman kurang menyenangkan terkait layanan kesehatan? Yuk bisa di share di kolom komentar, siapa tahu pengalamanmu bisa membuka mata banyak pihak yang harus berbenah. Tapi tetap ya dengan bahasa yang bijak, tanpa menyudutkan. Semata-mata biar jejak digital kalian tetap bersih.
Have a nice day! Jya matta ne~
Source:
Dean, M. (2001). The Beginning of a Study of Biopower: Foucault’s History of Sexuality Volume One and Two. Journal of Political Power, 30(2), 211–229. Routledge
https://tirto.id/akar-masalah-malapraktik-medis-berulang-di-indonesia-hdRB
Comment
Aku pernah di posisi ini Mbak
Berkecamuk
Satu sisi merasa bersalah bahkan disalahkan karena gak becus ngurus anak
Dianggap lalai… bayangkan saja bagaimana gemuruh kesal di dada
Siapa yang mau anak sakit
Tambah tantrum karena administrasi sangat “lambreto bangeto” bikin emosi dan sempat marah ke bagian kasir karena sudah bayar tapi tetap disuruh menunggu lama
Padahal di RS lain kalau tak pakai layanan adminitsrasi ribet pin ngeselin, sudah tenang rebahan di kamar pasien
Itulaahh perjuangan ortu memang luar biasa ya
Tetap semangaatt tetap kuattt, walau yhaaa fasilitas utk rakyat memang begitulah.
Pokoke kita usahakan yg terbaik.
saya kira hanya saya yg tinggal di kampung jauh dari perkotaan yang mengalami sedihnya mendapatkan lambatnya penanganan medis, ternyata di wilayah perkotaan juga masih ada dialami ya
Ah iya, kadang klo kita ke fasilitas kesehatan maunya langsung dilayani sat set ya
Tapi ya gitu biasanya yang panjang urusan administrasinya ya
Huhu, baca ini aku pun jadi marah mbak, betapa rumitnya birokrasi. Namun di sisi lain, banyak juga dokter yang bayarannya juga gak seberapa. Tapi sangat jauh lebih banyak pasien yang merasa kayak gini sih, merasa disepelekan dan kurang dilayani dengan baik.
Beberapa waktu ini pun aku akhirnya mengerti, betapa yang memiliki priviledge, memilih untuk berobat di luar negeri. Ya karena sistem kita belum berjalan baik, ditambah dokter yang masih suka “ugal-ugalan” begini. Ah, gemes sendiri baca nya dan bisa ikut merasakan betapa kalutnya perasaan saat itu mbak. 🙁
Karena itu saat beberapa saat lalu banyak yg berobat ke Malaysia, saya tidak menjugde mereka bagaimana, karena itu toh pelayanan media di kita juga masih seperti itu…
Gak stiap orang mencari yg terbaik ya
Selama ini aku pun bertanya-tanya kenapa dokter di rumah sakit sering terlambat? Berbeda dengan dokter di klinik yang hampir selalu tepat waktu. Apalah karena ada hal darurat yang harus mereka urus?
Kalau untuk IGD memang demam yang diterima di atas 40° C atau jika dokter praktik tidak ada, misal hari minggu.
Beberapa kali anakku juga demam tinggi di atas 39°C dan memang harus antri periksa dokter.
sering banget mendapatkan pelayanan tidak menyenangkan dari tim medis, apalagi disini kan di kampung. sebelum apa2 bisa viral, sedih banget memasuki puskesmas itu seolah kita ini pengemis
sekarang mendingan walaupun pakai BPJS saya tetap izin mendokumentasikan, kalau medis rese, mereka seperti keberatan
tapi kalau medis baik, asyik2 saja saya foto atau rekam pun
bawa ponsel berkamera kini senjata saya kalau antar keluarga berobat
sekali gak mendapatkan pelayanan baik, saya posting dan tag bupati Cianjur yang kebetulan sekarang seorang dokter juga
hahaha
Hmmm jadi gak kebayang betapa tega nya layanan yang tidak diperhatikan seperti itu. Apakah adil untuk semua? Atau hanya sebatas orang tertentu?? Hmmm….
Aku membayangkan ada di posisi mba anak demam setinggi itu, wajar sekali minta di kasih tindakan segera dan panik. Semoga hal itu tidak terjadi lagi ya. Peluk virtual.
Pengalaman terkait berobat ke rumah sakit dan puskesmas memang lumayan bikin aku nggak mau bulak-balik karena betul reasonnya kadang nggak masuk logika, minta rujukan pun rumit sekali.
Ada masa saat nggak ada uang buat tambal gigi. Ku coba ke puskesmas dan hmmmp sampe berbulan-bulan bulak balik hanya di kasih obat tanpa di tambal 🥹
Jadi dari pengalaman tersebut aku berpikir keras agar tidak sakit parah dan harus berobat. Semangat yuk semoga kedepannya pihak terkait beneran berbenah. Aku masih optimis bisa lebih baik sebenernya.
Aku sendiri masih berusaha optimis dengan kondisi layanan kesehatan di Indonesia Mbak La. Harapanku semoga beberapa tenaga medis yang kurang berdedikasi ini benar-benar berbenah, jadi nggak menenggelamkan mereka-mereka yang berdedikasi atas sumpah dokternya. 🙁
Hmmm, bikin nyesek memang Kak.
Apalagi kalo misalnya harus membandingkan layanan kesehatan kita dengan negara lain, di mana di sana memikirkan nyawa pasien yang utama.
Pernah daku lihat di fyp ada konten tentang gercepnya layanan kesehatan dan juga drakor yang dokternya itu sat set menangani pasien, eh tetiba komen netijen apa coba Kak: “kalo di Konoha mah yang ditanya urus dulu administrasinya… Ada asuransi ga… ” Huhu.
Semoga dah ya ada perubahan ke arah positif
Cerita tentang pintu everlasting dan antrian administrasi ini unik banget, ada nuansa reflektif sekaligus satir. Jadi ikut mikir tentang realita sehari-hari
aku bacanya jadi emosi mbak, kadang pasien ini kayak “dipinggirkan”sama fasilitas kesehatan, padahal kesehatan pasien udah perlu tindakan serius, tapi malah ada yang masih ditempatkan di IGD, nggak segera dipindah ke ruangan lain untuk penanganan lebih serius.
apalagi kalau anak kita udah demam tinggi, tapi pelayanan terasa lambat, rasanya kayak mau marah, tapi kita tahan-tahanin. Yang mana petugasnya juga gitu gitu aja, kayak slow banget.
aku cukup sering alami hal-hal yang memang bikin emosi terkait fasilitas kesehatan. Pernah dulu mau urus surat rujukan kayak mbulet aja, yang mana udah jelas kaki aku pake gip, dan terbatas jalannya, masih disuruh bolak-balik
Nah itu mbak Ai, waktu itu terasa seperti diping-pong. Aku paham banget dokternya mau menenangkan hanya tidak sesuai dengan teknis medisnya, misal kalau sudah panas tinggi di atas 40 derajat harus dibawa atau ditangani di IGD padahal di klinik pertama itu ada IGD meski nggak 24 jam. Namun masih bisa dipakai karena pasien datang pas siang hari. Semoga layanan kesehatan ini bener-bener berbenah, biar semaju negara tetangganya. 🙂
Aku tertegun dan nalarku melayang pada banyak hal tentang system hidup yang sejujurnya sangat tidak adil walau sejatinya semuanya dibuat untuk kebaikan bersama. Aturan atau administrasi dibuat untuk segala sesuatu menjadi tertata, tetapi nyatanya begitu banyak aturan itu membelenggu dan menjauhkan dari tujuan.
Din, ketika dirimu bertanya soal suhu dan benturan administrasi serta keterlambatan seorang dokter, aku seakan berada disana dan ingin sekali berkata kencang pada hidup, kemanakah keadilan? sedang apakah dia? Semarah itukah pada kami yang seringkali angkuh menjujung tinggi pada aturan tapi melupakan tujuan, tidak sadar akan flesibelitas sebuah kekuatan terbesar? banyak tanya berkecamuk dan ingin menumpahkan pada keadaan.
Tetapi semuanya bisu dan serpihan prasangka baik itu di tata dengan tertatih. Puji Tuhan akhirnya kalimat itu hadir ketika lanang sudah sembuh. Peluk sayang untukmu Dinda dan Lanang serta keluarga terkasih. Terima kasih sudah berjuang untuk tetap kuat walau kehidupan terlihat semakin carut marut. Banyak doa baik untuk kita semua.
Sebel sekali kalau pelayanan kesehatan dan birokrasi saling terkait.
Tingkat kesulitannya bikin orang pen ngamook.. tapiii alih alih ngamookk.. biasanya perempuan cenderung meneteskan air mata, tanda segala kekesalan yang membuncah.
Pengalaman aku kalau ke RS cuma sebatas ditanya, “Pakai BPJS, asuransi atau pribadi?”
Nah.. gini aja cukup bikin bete yaa..?!?!
Kebanyakan rumah sakit seperti ini ya Mbak Len.. Rada kesel juga sih dan kadang dibeberapa rumah sakit tuh pelayanan antara yang umum, BPJS atau asuransi tuh bisa beda banget. Dan dalam beberapa kasus tuh penanganan medis antara BPJS dengan non-BPJS kualitasnya sangat jauh. Ini bikin kita yang ikutan BPJS tuh makin bertanya-tanya juga.. 🙁
Alhamdulillah si Lanang sudah sembuh dan ceria bermain kembali. dan saya paham sekali perasaan Dinda saat posisi dsn situasi kemarin. Semua orang tua pasti akan panik saat anaknya sakit. Apalagi dengan demam tinggi dan sudah menggugah. Apalagi dokter juga telat datang sampai 3 jam tanpa alasan yang jelas. Harus segera ada tindakan cepat agar orang tua tenang. Sehat-sehat terus Lanang
Memang sering yaa saya membaca cerita² atau orangnya bertutur langsung tentang kualilats layanan IGD ini. Harusnya jika sudah ke IGD dah gak udah tanya ini itu, harus langsung dilayani saja. Faskes 1 dll sudah tidak usah dihiraukan karena padien masik ugd.
Aku pernah jjuga kok menunggu dokter penyakit dalam datang satu jam kemudian. Antrian pasien udh sangat banyak. Mau marah tapi kita ga bisa berbuat apa-apa hanya bisa terdiam menunggu dengan pikiran masing-masing. Lalu dokter ketika aku bertanya juga terkesan ketus. beneran kecewa banget
Awal tahun ini aturan BPJS berubah lagi, hanya boleh dirujuk ke satu poli, jika harus lebih dari satu poli, pilih salah satu yang lainnya mengikuti. Untung saja ibu saya sudah dinyatakan sembuh dari poli penyakit dalam jadi hanya ke poli jantung saja
Ya namanya juga BPJS, antri nya panjang dan harus telaten mondar mandir bagi saya yang juga bekerja akhirnya ada yang cuti ada juga yang izin terlambat karena antar ibu periksa, ya mau gimana lagi
Jadi keinget dulu anakku pernah demam juga lebih dari 4 huhu. Meski paham teori tetep aja sebagai ibu pasti ada panik2nya.
Soal layanan dokter dan fasilitas medis memang kalau di Indonesia keknya masih ada gap ya. Ada daerah surplus tenaga dan fasilitas medis ada juga yang terbatas.
Sedih juga karena nakes2 gajinya sebenarnya kecil apalagi kalau di luar daerah, sehingga gak heran lho kalau ada dokter nyambi jualan gitu misalnya.
Salah sistem di sini sebenarnya. Gak tahu kapan masalah ini selesai.
Berharap masyarakat gak jadi korbannya.
Semoga kita semua selalu sehat yaa, khususnya anak2, jangan sakit di negeri yang sakit ini T.T
Kayanya kalo cerita pengalaman kesehatan apalagi ketimpangan pemakai bpjs itu gak kehitung ya. Tapi pada akhirnya aku menandai rs mana yg berlaku adil dan baik, setara seperti yg kaka bilang itu utk jadi langganan rs ku
Aduh pengen peluk jauh deh. Gak kebayang kalau ada di posisi ini.
Sepertinya banyak orang yang mengalami pengalaman tak menyenangkan saat berobat, entah di puskesmas atau ke rumah sakit. Kadang seding kalau budaya dan cara melayani tenaga kesehatan kita masih buruk dan terkadang memandang siapa pasiennya, mau berobatpun harus berurusan sama sakit hati.
Emang nyebelin banget alur alur birokrasi seperti itu. Ini kan mengenai kesehatan ya dan mayoritas masalah kesehatan itu sifatnya ya emergency, sudah pasti semua orang gak siap akan kedatangan penyakit. Tapi masalahnya diperumit oleh birokrasi begini jadi aneh banget
Saya juga punya beberapa pengalaman tentang lambatnya layanan medis, sangat membuat shock untuk datang lagi ke tempat yang sama sebenarnya
Kadang memang suka bingung kenapa ya dokter itu datangnya suka telat? Harusnya sih dikasih tahu gitu lo sama adminnya kalau dokternya bakal telat. Bicara soal igd juga kadang memang bikin kesal dengan segala administrasinya. Apa nggak bisa pasien ditangani dulu baru administrasi belakangan?
Sebenarnya dilema juga sih kak. Harapannya tertangani dulu pasien yang sedang sakit dan butuh pertolongan. Karena beberapa kali nemenin orang sakit yang urgant juga mentok-mentok ditanyain administrasi dulu. 🙁
Aku pernah Mbak, saat mentalku break down dan sudah mengarah pada fisik: susah tidur hingga jantung berdebar sebelum diarahkan ke psikolog aku diarahkan ke dokter umum dulu eh malah dinasehatin kalau udah stress kerja ya keluar aja gampang. Itu insomnia katanya. Aku pengen marah pada saat itu juga di ruang dokter, dan tidak diarahkan ke psikolognya. Entah sebenarnya di pelayanan itu ada psikolognya entah tidak ada. Kesal sekaliii.
Baca ini jadi ikut kebawa emosinya. Karna bapakku sendiri punya riwayat paru2 kadang masih kontrol, dan dokternya sering banget telat huhuhuhu. Apalagi pengguna bpjs, kayak bisa diitung jari deh yng bener2 ngelayani dengan sepenuh hati
Fasilitas dan layanan kesehatan di negara kita sudah cukup baik walaupun memamng belum merata pada kenyataannya. Kehadiran dokter dan nakes lain tampaknya kurang jumlahnya, sedangkan orang2 yang sakit butuh pertolongan selalu meningkat. Seharusnya hal2 administratif mesti dipercepat agar makin banyak pasien yang dapat dibantu.
Saya setuju dengan ini. Nakes terbatas dan tidak seimbang dengan jumlah penduduk Indonesia.
Seringkali Pasien dianggap obyek yang harus memenuhi syarat dalam adminitrasi agar mendapat layanan optimal. Ini yang terkadang mempersulit bagi mereka yang hidup di pelosok.
Jadi ingat pengalaman bolak balik saat mengantarkan (almarhum) ayah ke rumah sakit setiap pekannya dan hampir setiap kunjungan dokternya selalu telat bahkan pernah disuruh datang besoknya lagi oleh perawatnya karena dokternya tidak bisa masuk. Padahal jarak dari rumah ke rumah sakit di daerah kita lumayan jauh dan selagi menunggu dokter, almarhum ayah kondisinya sambil menahan rasa sakit dan sering meringis menahannya berjam-jam
Kurasa ini akan sangat relate banget sama banyak orang. banyak juga orang tua yang sering sering khawatir sama akses layanan kesehatan di tempat baru. Rasanya kayak jargon “melayani” itu cuma hiasan pintu, padahal di dalamnya penuh birokrasi dan antrian yang menguras emosi. Salut sama perjuangan semua orang tua demi mencari kesembuhan anak yaaaah Semoga anak anak kita sehat terus ya. Ini jadi tamparan keras buat sistem yang harusnya everlasting dalam melayani, bukan malah bikin stres pasien!
Mirisnya, kasus seperti ini masih banyak sering terjadi. Saya juga heran sekaligus gemes, kenapa jalur untuk berobat begitu ribet. Harus bersabar menunggu kedatangan dokter, melalui berbagai proses admisnistrasi yang panjang, belum lagi harus terpaksa mengantri untuk bisa bertemu dokter.
Ah, kapan kondisi seperti ini bisa membaik, ya?
Barusan kemarin aku melihat langsung di sebuah RS swasta terkenal, seorang bapak dibentak-bentak perawat di ruang admistrasi. Kayake sebab pwrsyaratan yg kurang atau gimana. Ya Allah, ali yg cuma dengar saja kesal, apalagi si bapak itu.
*aku (bukan ali) 😁🤣
Selalu sedih kalau udah tentang administrasi mendapatkan layanan kesehatan
Se-kureng ini lho di Indonesia tuh
Liat di negara lain bahkan gratis 100% segala layanan dan fasilitas tu kayak, iri gituuuu
Ah bacanya bikin aku nyesek kebayang gimana cemasnya dirimu harus berhadapan dengan prosedur yang rumit.. semoga keadaan Indonesia membaik ya.. semoga kita selalu sehat aamiin
Ini pake bepejees apa umum, Kak? Kalau digitukan aku nyerah dan cari RS lain aja. Kok pasien disepelekan, nangis jadinya.
43 Responses