Ruang dapur terdengar sepi dan sederhana. Rapi tapi juga semerawut. Aku terdiam ketika jam berjalan pelan menuju ke angka empat pagi. Lima menit sebelum kegaduhan dimulai. Di ruang yang ukurannya hanya sepuluh keramik berjejer, aku menemukan kenyataan bahwa ruang itu bukan hanya perkara kerapihan dan kebersihan. Tapi menjadi ruang politis yang menentukan siapa pemimpin yang menentukan batas ruang.
Saat jam panjang menyentuh angka dua belas, kegaduhan mulai. Di tengah kegaduhan yang tak pernah cuti itu, satu kalimat dari seseorang menggelitik telinga lewat bibirku. “Benarkah ruang bagi perempuan itu tak pernah ada, selain ruang ‘bersama’?”
Tak tek! Blub blub! Kaldu sup sudah mendidih, wortel sudah teriris. Aku memasak bersama dengan riuh huruf-huruf yang berterbangan di dalam kepala. Virginia woolf. Tentang kritiknya yang lembut tapi mengandung speaker bombastis dalam gendang telinga.
Huruf-huruf itu memaku di amygdala. Ketika membaca saat Ruang bagi Perempuan, Woolf menyadari mengapa di masa sebelum dan masa ketika dirinya berkarya masih banyak ruang-ruang yang tak seluruhnya terbuka untuk perempuan. Ruang tak selalu ada meja dan kursi, kadang bagi Woolf sendiri ruang itu berarti harga diri, kreativitas, produksi karya, termasuk politik suara.
Di era abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20, ruang-ruang publik tak ramah pada perempuan. Cemooh. Pembatasan. Sering pula kritik merendahkan tanpa jeda berseliweran, dalam dunia kreatifitas kaum perempuan. “Mengapa tak banyak penulis perempuan di eranya?” tanyanya dalam buku Ruang Bagi Perempuan itu. “Itu karena mereka harus menolerasi ruang bersama yang penuh bising, untuk sekedar berfikir secara kreatif.”
Baca juga: The Will to Meaning, Lebih dari Sekedar Mencapai Sesuatu
Mungkin ada benarnya, batinku. Blub! blub! Kumasukkan buncis ke dalam sup. Lalu, panci kututup. Aku teringat tak banyak penulis perempuan yang sejahtera di masa itu.
Bronte bersaudara? Mereka hidup dalam kemiskinan dan beban emosional.
Jane Austen? Tidak juga, ia hidup dalam tekanan keluarga meski ia lahir dari keluarga berkecukupan.
Aku membuka tutup panci itu, segera uap panas yang pekat menguar bersama aroma merica. “Ruang bebas berkreasi bukankah membuka kebebasan finansial. Jika itu tertutup?” tanyaku lagi. Srupttt! aku mencicipi kuah kaldu itu. Kurang rasa.
Kuambil garam dari botol bumbu di rak berwarna coklat. Sejumput saja lalu kutabur di atas kuah. Didihan kuah bergolak seperti ironi pada masa Wolf menulis esai Ruang Bagi Perempuan.
Baca juga: Mana yang Lebih Sulit, Obsesi Cinta atau Obat Kolera?
Kebanyakan perempuan tidak memiliki karakter sama sekali (Alexander Pope, dalam buku Ruang bagi Perempuan)
Aku mengangkat panci. Mendesah sekali lagi. Jika Woolf hidup di era sekarang, apa yang akan dia tulis tentang wanita modern? Terkejutkan dia atau justru … aku menggeleng tak melanjutkan. Membiarkan kekosongan itu terisi cerita lain. Tapi apa?
Wajah hitam masih basah, tapi api sudah melahap dasarnya. Menerbangkan sisa air sampai wajah mengering. Akhirnya wajan itu menelan minyak goreng bening untuk kepentinganku. Entah mengapa aku jadi lebih banyak membayangkan Virginia Woolf duduk mengamatiku di meja makan.
“Apa kau akan setengah terkejut melihat perempuan sudah banyak berubah?” tanyaku.
Sreengg!
Baca juga: Review Bukan Pasar Malam: Dari Filsafat, Profesi Sampai Politik
Minyak meletup ketika tempe kumasukkan ke dalamnya. “Ruang bagi perempuan Virginia Woolf mungkin bukan yang pertama, juga bukan yang terakhir. Pertanyaan tentang ruang yang merdeka untuk perempuan itu seperti apa? Tidak ada yang tahu.”
Tubuh tempe itu perlahan coklat. Masih setengah matang. Kalau aku ingat lagi tubuh tempe itu mengingatkanku pada bagian dari buku Virginia Woolf. Sangat jarang perempuan yang berani menulis penggambaran dirinya secara utuh.
Ruang bagi perempuan, terasa seperti menunjuk diriku sendiri. Selama ini aku pun tak banyak menyadari tulisan-tulisan tentang perempuan di era itu kebanyakan datang dari kaum laki-laki. Sebut saja misalnya dalam dunia psikologi dan fiksi klasik abad ke-17 sampai ke-19.
Tempe kubalik lagi. Coklat keemassan. Kusaring dan kubaringkan dalam piring. Sekali lagi tubuh tempe itu mirip dengan bagaimana kemerdekaan perempuan berubah warna bukan bentuk. Selalu ada ruang kosong yang harus dibiarkan untuk ruang bersama (aturan, batas diri, relasi, pengalaman, bahkan keputusan hidup). Jika Virginia melihatku memasak dan di depannya ada Laksmi Pamutjak, Kitab Kawin dan ruang bagi perempuan bisa saling mengisi jeda kosong yang tak diketahui Virginia Woolf.
“Memang perempuan sudah banyak berubah. Kita bisa melihat mereka pergi berkerja seperti laki-laki. Mereka bersekolah dengan bebas seperti laki-laki. Tapi, ruang khusus untuk merdeka atas otonomi diri masih belum utuh,” kataku lagi.
Baca juga: Life Lesson, Karena yang Negatif Tak Harus Selalu Positif
Tit tit tit tit! Magicom berbunyi. Nasi sudah matang. Aku menatap sekeliling dapur, menerka-nerka apa saja yang sudah kulakukan sebagai perempuan di ruang bersama itu. “Bagaimana sejarah akan mencatat aku? Tukang masak atau pengambil keputusan?” Aku menelan mentah-mentah kalimat itu kembali ke perut.
Tutup magicom kubuka, aroma daun pandanwangi dan asap dari nasi yang baru masak. Aroma itu tertinggal dan asap menghilang. Seperti sejarah wanita di masa lampau yang hampir-hampir tidak pernah tercatat. Mereka tertinggal untuk dilupakan, atau berusaha dibungkam. Itulah mengapa Virginia Woolf berusaha berteriak ketika ia memberikan materi di Universitas Oxbridge kala itu.
…Tokoh ‘Aku’ hanyalah istilah yang sesuai untuk seseorang yang tidak memiliki wujud nyata. … Tugas kalianlah mencari kebenaran ini dan memutuskan bagian darinya yang layak dipertahankan. Kalau tidak ada, tentu kalian akan membuang semuanya ke keranjang sampah dan melupakannya. — Virginia Woolf, halaman 6
Ketika aku mengingat kata-kata itu, suara Pramodya yang bukunya lewat berbulan-bulan yang lalu kubaca. Datang seperti menjewerku, “tuh, apa kubilang! Jangankan ruang untuk menciptakan fiksi yang bebas, ruang sejarah Indonesia pun kadang tak pernah benar-benar mencatat bagaimana nasib-nasib wanita. Lupakah kau pada Jugun Ianfu?”
Tanganku kepanasan. Untung tak sampai melepuh, saat sebutir nasi panas menempel di ibu jariku. “Bahkan ruang privat wanita pun (tubuh, batin, dan kebebasan hidup), harus tunduk pada otonomi bersama (politik, kekuasaan, struktur, dan dominasi). Ruang khusus terasa seperti barang mewah yang tak pernah bisa diimpikan,” kataku. Lalu aku meletakkan piring dengan nasi panas di atas meja makan.
Pintu kamar terbuka. “Bunda!” panggil Koko dari arah belakang. Aku memutar badan sambil bergumam, meski zaman berubah, apakah ruang-ruang khusus itu benar-benar bisa kumiliki? Koko baru bangun dan lari menghampiriku. Memelukku erat.
Bus sekolah sudah menjemput Koko. Langkahku perlahan mengecil ketika memasuki pelataran rumah. Bahuku yang tadinya lentur, kembali kaku. Aku berhenti sejenak di ambang pintu ruang tamu. Diam.
Rumah yang kutinggali bertahun-tahun ini bagi perempuan sepertiku, ibuku, nenek, buyut-buyutku mungkin adalah pembatas tembok yang mengekang diri mereka. Kekangan yang datang lewat aturan, tata krama, tuntutan domestik sampai dengan mitos-mitos politis rumah tangga.
Aku merogoh saku. Mengambil kunci pintu dan ponsel di dalamnya bergetar. Notifikasi grup ibu-ibu kompleks datang dari berbagai arah. Banyak meme-meme berupa gambar wanita; berita-berita gosip tentang selebriti perempuan; predikat trophy wife yang terus terkirim, seperti ruang-ruang di koridor yang tak ada ujungnya. Aku menyadari sudah banyak perempuan yang bisa berbicara, bekerja, bersuara, bahkan membangun dunia versinya sendiri. Sesuatu yang mungkin akan membuat Virginia Woolf terdiam sejenak, entah kagum atau justru curiga.
Mungkin pertanyaan tentang “menjadi utuh” memang belum bisa terjawab. Ia terus berpindah dari ruang ke tubuh, dari batin ke layar, dari internal ke eksternal. Ruang yang menjadi untuh bisa saja adalah sesuatu yang terus-menerus harus ditawar, dinegosiasikan, dan diperjuangkan. Bukankah begitu polanya?
Pintu ruang tamu terbuka dan pertanyaan itu akhirnya tak kubawa masuk ke dalam rumah.