Jam dua belas kurang dua puluh satu menit. Di antara rak-rak yang menjulang penuh tumpukan buku, satu sudut di pojokan jadi tempat di mana lampu baca satu-satunya yang menyala.
Ruangan yang kusebut perpustakaan itu, terlihat lebih hidup ketika gelap. Dari sisi luar, sesekali aku bisa menikmati bayang dahan pohon yang menari saat angin bertiup di rak-rak buku. Sesekali, aku bisa menikmati tonggeret yang memanggil pasangannya ketika musim kawin tiba.
Tapi malam itu terlalu hening untuk tengah malam di perpustakaan rumahan ini. Kupasang headset sambil bersandar pada punggung kursi. Rasanya sudah lama aku tak mendengarkan radio tengah malam, sejak radio tua itu benar-benar pensiun. Cukup lelah mengikuti arus zaman, begitu pikirku.
Tengah malam memang bukan waktunya untuk mendengar orang bercakap-cakap. Seperti perasaanku yang terasa hampa, setelah kumenutup halaman 367 dari sebuah buku. Perpustakaan Tengah Malam.
Perpustakaan tengah malam di dalam rumah ini memang hidup, tapi aku yang di dalamnya terkurung dalam rasa ambivalen. Ketika membuka halaman-halaman buku Perpustakaan Tengah Malam pertama kali, aku tak bisa merasakan apapun selain kosong. Aku menduga Nora Seed (si tokoh utama dalam novel ini) akan kecewa ketika aku mengatakan ini.
Baca juga: Kitalah yang Ada di sini Sekarang by Jostein Gaarder
Namun ketika mendekati keputusannya untuk menelan banyak pill sekaligus di malam hujan itu. Aku seperti kehilangan nafas. “Mengapa harus saat hujan?” keluhku. Setengah diriku tak terima, karena bagiku hujan adalah saat-saat yang menyenangkan. Hampir sama dengan musim semi di negara-negara barat sana.
Aku tetap meneruskan membaca. Kertas-kertas terus bergesekan. Ceritanya semakin pekat. Ketika aku menemukan alasannya menelan pil-pil itu untuk menyerah pada hidupnya. Aku kembali kosong. Kali ini kosong yang berbeda. Semacam perasaan kasihan atau sedih, atau barangkali gabungan di antara keduanya.
Sampai sebuah kalimat di antara beberapa baris tulisan, cukup membuatku ulu hatiku meradang lima detik.
Aku membuat hidup semua orang lebih buruk (Nora Seed)
Perpustakaan Tengah Malam – halaman 40
Di perpustakaan kecil milikku, lagu Lee Hi sampai pada bagian bridge-nya. “Tak perlu meresahkan bagaimana nafas orang lain,” gumamku. Barangkali Mrs. Elm (si pustakawati yang membantu Nora) setuju dengan gumamanku. Aku melirik buku bersampul biru gelap itu. Lagu Lee Hi berganti pun berganti. Tidak dengan ulu hatiku setelahnya.
Baca juga: Dua Belas Pasang Mata yang Menatapku Lebih dari Dua Belas Detik
Bayangan dahan pohon menari di rak-rak kayu mahoni. Entah apa yang sedang mereka rayakan. “Apa kau sedang merayakan aku yang sudah melahap satu buku dua hari ini?” hiburku pada diri sendiri. Meski mungkin itu bukan pencapaian yang luar biasa.
Aku menatap buku di atas meja kayu jati di depanku. “Barangkali ada banyak orang seperti Nora Seed di luar sana.” Aku ingat bagaimana Nora Seed merasa hidupnya penuh penyesalan bahkan ketika dirinya berada di ambang batas mati dan hidup. Di keduanya.
Saat ia tiba di perpustakaan itu pertama kali dan bertemu dengan mantan gurunya (si pustakawati Mrs. Elm), buku yang ditunjukkan padanya adalah buku penyesalan. Bagaimana penyesalan-penyesalan dalam diri Nora Seed sebenarnya lebih banyak berhubungan dengan tujuan orang lain, bukan tujuannya sendiri. Pada akhirnya, itu menggerogoti kehidupannya.
Sementara lagu Lemon milik Kenshi Yonezu terus menghibur gendang telingaku, membuat otakku berusaha menangkap makna-makna lirik berbahasa jepang itu. Saat lagu itu mengalun, aku jadi teringat Mrs. Elm.
Tutup buku itu. Kau harus melakukannya sendiri. (Mrs. Elm)
Perpustakaan Tengah Malam- halaman 57
Kata-kata Mrs. Elm tumpang tindih dengan lirik klimaks dari Kenshi Yonezu itu.
どこかであなたが今
わたしと同じ様な
涙にくれ 淋しさの中にいるなら
わたしのことなどどうか 忘れてください
Terjemahannya: Jika kau sekarang di suatu tempat sama sepertiku, menangis dan kesepian.
Tolong, lupakan saja diriku.
Ulu hatiku yang awalnya meradang perlahan tertusuk. Bukan menjadi luka, tapi … sesuatu yang membuatku merasa sudah salah jalan. Sama seperti Nora Seed yang merasa tersesat untuk memenuhi harapan-harapan orang lain. “Apa aku bisa kembali pulang?” tanyaku pada bayang pohon itu. Tak ada jawaban dan lagu pun terhenti. Aku tak tahu lagu apa selanjutnya yang akan diputar oleh radio tengah malam itu. Aku menunggu.
Aku beranjak berdiri dan mengambil buku karya Matt Haigh itu. Memasukkan ponsel ke saku dan pada langkah pertama menuju ke rak yang ada di sebelah meja, lagu Fixed You dari Coldplay masuk memanjakan pikiranku yang (sedikit) sentimentil.
Baca juga: Ketika Uang Cuma Numpang Lewat, Perhatikan Kesehatan Mental si Uang!
Rak kayu mahoni bercat putih tak bergeming. Aku memasukkan buku berjudul Perpustakaan Tengah Malam itu ke dalam rak ketiga dari atas secara acak. “Setidaknya buku-buku ini tak sebanyak buku dalam perpustakaan itu yang tak bisa terbaca,” gumamku.
Barangkali Nora Seed yang terlalu lama terkungkung dengan harapan orang lain pada akhirnya merasa bebas memilih kehidupan imajinernya di batas antara mati dan hidup itu. “Tapi itu lebih baik kan, daripada dia hanya meratapi dan menyesali kehidupannya,” kataku. Itu lebih seperti komentar untuk diriku sendiri daripada komentar untuk Nora.
“Lagipula….,” aku terhenti beberapa saat, “kita tidak bisa selalu mencapai apa yang kita mau. Selalu adalah kata yang terlalu jumawa, kan.”
Aku tahu, meski sudah mengambil jalan yang tepat sekalipun, hidup kadang membawa hasil yang berbeda. serangkaian kejutan dari kemungkinan yang tak terbatas.
Hanya ada satu cara untuk menata papan. Ada sembilan juta variasi setelah enam langkah pertama. Lalu setelah delapan langkah ada 288 triliun posisi berbeda. Kemungkinan-kemungkinan itu terus berkembang. (Mrs. Elm)
Perpustakaan Tengah Malam – Halaman 249
Lirik Fixed You membuatku merinding bukan karena dingin tengah malam, tapi mungkin ada alasan mengapa aku membaca buku Matt Haigh dua hari lalu. Meski awalnya aku hanya membaca hanya karena kupikir itu buku dengan genre baru dari Matt Haigh. Rupanya buku itu ingin aku mempelajari langkah-langkah mentalku yang keliru.
Fixed You akan berakhir dan aku menatap meja kosong di pojokan. Sudut yang nyaman karena tak selalu mendapat sorotan. Cahaya di arah belakang seperti menarikku. Aku kembali.
Aku merebahkan diri di atas ranjang. Meski tubuhku lelah tanpa banyak aktivitas, keliaran isi kepala selalu ingin saling berteriak meminta didengar. Aku tak punya pilihan atas kegaduhan itu. Hanya berbaring saja. Kadang itu cukup.
Hindia mengalun di dalam telinga. Lagu itu membantuku meredam kuatnya suara-suara kepala yang saling meminta diperhatikan. Katanya secukupnya. Aku bergumam, “kita semua gagal. Ambil sedikit tisu, bersedihlah secukupnya,” menirukan lirik Lagu Hindia sambil menerawang ke langit kamar.
“Secukupnya yang seperti apa?” tanyaku lagi. “Barangkali Nora tak paham, secukupnya seperti apa. Hingga … hingga ia terbawa terlalu dalam.” Aku mengerjapkan mata perlahan. Dan, bunyi jangkrik perlahan menghilang.
Baca juga: Review Buku The Man Who Loved Books Too Much
Kata secukupnya, hanya kita yang tahu. Tak ada takaran berapa lama atau berapa banyak. Mrs. Elm pun bakal setuju. “Bukan begitu, Mrs. Elm?” tanyaku. Tapi tak ada jawaban. Hanya jangkrik yang nyaring.
Gimana nih gengs resensi bukunya? Apa ada yang sudah baca buku karya Matt Haigh ini, yang judunya perpustakaan Tengah Malam? Kalian yang udah atau belum baca, bisa berbagi seputar isi resensi ini di kolom komentar. Eits, tetap ya dengan bahasa yang sopan dan bijak, semata-mata agar jejak digital kalian tetap bersih.
Have a nice day! Jya, Matta ne~