Penulis : Dinda Pranata
Resolusi tahun 2022 menulis buku
Resolusi tahun 2023 menerbitkan buku
Resolusi 2024, 2025, 2026 ……..
Hujan mengguyur kota menjelang waktu tidur matahari. Aku memandangi jalanan yang lenggang di kota Bung Karno. Pohon-pohon yang kulewati tampak berjalan menjauh ke belakang, mirip tahun-tahun yang sudah berjalan di belakang. Tapi pohon-pohon itu tak sekalipun menjerit bahwa ia hanya sekedar pohon jalanan.
Mataku menutup sejenak. Kusandarkan dahiku pada kaca jendela mobil. Dingin. Hujan mengetuk jendela itu. Membangunkan satu pertanyaan yang selalu meninggalkan ambivalensi dalam ulu hati di akhir tahun.
Baca juga: Ketika Lentera Tak Harus Dengan Api
Bukan Anti-Resolusi, Tapi ….
“Apa resolusimu tahun depan?” tanya orang-orang yang sering kutemui di bulan Desember. Aku hampir-hampir tidak pernah mempunyai jawaban untuk itu.
“Astaga, kau kaum anti-resolusi ya!” seru sebagian besar jawaban orang yang menerima jawabanku. Aku bahkan tidak pernah men-dikotomi-kan orang-orang dengan sebutan kaum resolusi atau kaum anti-resolusi. Terlalu sempit.
Aku hanya bisa menyunggingkan senyum. Hanya mengangkat alis atau bahu. Lalu hening.
Sering juga beberapa orang dengan polosnya akan berkata, “astaga! kau akan jalan di tempat tanpa resolusi.” Tapi benarkah aku akan jalan di tempat ketika waktu terus maju? Aku bisa menggeleng keras bahwa itu tidak benar. Aku tetap bergerak karena seluruh alam di sekitarku bergerak. Pagi ke malam, bangun ke tidur, melihat orang bergerak ke berpikir. Menghadapi masalah ke menyelesaikan masalah. Lalu apakah itu jalan di tempat?
Tak sedikit juga yang akan berkata, “gila! Lu kayak orang nggak punya tujuan.” Sekali lagi aku hanya menggumam, apakah tujuan harus dalam bentuk resolusi? Tapi lagi-lagi hanya mengulum senyum dan mengembalikan suaraku kembali ke perut.
Baca juga: Sertifikat Influencer Ada Untuk Siapa di Panggung Utama?
Entah sejak kapan resolusi menjadi lebih penting, dari perjalanan yang menjadikanku ada di sepanjang tahun. Ketika klakson di perempatan jalan berbunyi, kusadari kalau aku sudah lama menatap tetesan hujan yang ada di kaca. Pertanyaan itu bahkan tertinggal lebih lama di perempatan Bendogerit Blitar.
Kecemasan Akan Ketertinggalan

Di perempatan Bendogerit, aku melihat mobil berjejer di sisi-sisi jalan. Mobil berwarna keperakanku melaju dan mobil-mobil yang berjejer itu perlahan-lahan menghilang. Tertinggal. Atau, setidaknya itu yang aku lihat. Aku menyunggingkan senyum kembali.
“Mirip kan?” gumamku sambil menatap jalan yang ada di depanku. Suamiku menatap ke arahku yang duduk di kursi penumpang. “Apa yang mirip?” tanyanya heran.
Aku menatap ke arahnya. Tersenyum tipis sembari menggeleng. “Pasti ada yang sedang mengganggu pikiranmu, kan?” tebaknya. Dan begitulah, Surya. Ia jadi lebih peka ketika aku menjadi pendiam sepanjang perjalanan.
“Nggak ada sih. Cuma mikir apa aku punya resolusi untuk tahun depan,” jawabku sambil tersenyum lebar.
Baca juga: Logika Jungkir Balik Khas Warga Komplek
“Kau memikirkan resolusi? tumben,” sahutnya tak percaya. Ia tahu, terlalu asing baginya ketika aku membicarakan resolusi. Aku mengendikkan bahu. “Apa ada yang bertanya resolusi padamu?”
“Banyak sih,” jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi aku nggak pernah serius memikirkannya.”
Kami hening sejenak. Perempatan Bendogerit yang penuh dengan rumah-rumah, kini berubah menjadi petak-petak sawah. “Lalu apa yang membuatmu memikirkan resolusi secara serius?” tanya Surya kembali.
Aku masih diam menatap petak-petak sawah yang penuh dengan padi-padi hijau itu. “Entahlah,” jawabku. Aku benar-benar merasa penuh. Bukan penuh karena apa yang kutahu, tapi penuh atas ketidaktahuanku. “Apakah resolusi justru bentuk kecemasanku akan ketertinggalan? ataukah ketakutanku jika aku bukan siapa-siapa?”
Tak ada jawaban dariku atau Surya. Pertanyaan itu sungguh mengganggu dalam sepuluh menit perjalananku.
Baca juga: Tak Harus Sama Tinggi untuk Disebut Pohon
Tekanan Menjadi Manusia
Basement hotel basah dan membentuk cap ban pada lantai semennya. Celana coklatku yang kepanjangan membuatku takut mengenai lantai basah dan mengotori sisi terbawah celana itu. Lebar langkahku tak beraturan. Kadang panjang, kadang pendek.
Aku berdiri menunggu pintu elevator terbuka. Pandanganku menyusuri basement yang remang-remang itu. Hujan deras yang mengguyur kota Blitar. Lalu, lantai semen basement yang tadi kulewati. Ketakutan akan basah pada celana yang tadi kurasakan, barangkali ketakutan itu yang kurasakan saat dulu membuat resolusi, gumamku dalam hati.
Ting! Pintu lift terbuka lebar. Aku melangkah mengikuti Surya di belakang. Pintu lift tertutup dan benda itu mengantarkan kami ke lantai teratas dari hotel.
Aku ingat sejak kecil banyak mendengar bahwa untuk menjadi manusia yang utuh artinya harus ‘menjadi seseorang’. Menjadi seseorang lewat profesi; banyaknya benda berharga yang dimiliki; besarnya pengakuan dari orang lain, atau setidaknya menjadi seseorang lewat standar-standar ukuran orang lain. Bagaimana jika aku berbeda? Bagaimana jika aku memilih tidak menjadi siapa-siapa, tanyaku pada diri sendiri.
“Kau akan disingkirkan dari masyarakat,” kata salah satu kerabatku.
Baca juga: Judul yang Penuh Harapan Tanpa Jaminan Realita
Ingatan itu seperti gong yang memukul di ulu hati. Membuat darahku terasa pecah dan menaikkan semua isi lambung ke tenggorokan. Lift yang kutumpangi tak hanya membawaku naik, tapi juga menaikkan segala ingatan tentang tekanan-tekanan menjadi manusia. Tekanan untuk ‘menjadi’.
Ting! Pintu lift terbuka. Aku melangkah keluar lift itu. Pelan-pelan aku menatap pintu lift tertutup. Membawa serta perasaan campur aduk antara takut dan ragu. Tanpa jawaban.
Mengapa Kita Takut Tak Menjadi Siapa-siapa?
Hujan deras yang tadinya menggedor-gedor atap, kaca dan jalanan di sepanjang jalan kota Blitar, kini perlahan melambat. Ritmenya pelan. Jatuhnya tegak lurus.
Aku menatap jendela yang membentang di depanku. Langit tak lagi kelabu pekat. “mengapa kita takut tak menjadi siapa-siapa?” kataku sambil memandang ke luar jendela.
“Hah!” sahut Surya. Ia baru saja membuka satu botol kaca air mineral. “Menurutmu mengapa kita takut tak menjadi siapa-siapa? maksudku apa kamu juga takut tak menjadi siapa-siapa?” tanyaku padanya.
Surya menyerahkan satu botol kaca yang sudah dibukanya padaku. Berdeham dan berdiri di sampingku. “Tidak juga. Kalau kau bertanya padaku, aku tidak takut tidak menjadi siapa-siapa. Bukankah aku dan kamu adalah bukan siapa-siapa di dunia yang amat sangat luas,” katanya.
“Benar! Kita bukan siapa-siapa di dunia yang amat luas dan di dunia yang dihuni oleh 8,27 miliar orang,” ulangku.
“Lalu, mengapa kita takut tidak menjadi siapa-siapa? mungkin karena kita terlalu banyak melihat media sosial. Tanpa sadar mematok tolak ukur, untuk dicintai, untuk dianggap bahkan diakui. Mungkin saja,” katanya. Ia menatapku dan menepuk punggungku. Gestur sederhana yang cukup menenangkanku.
Mungkin benar, aku tak bisa bekerja dengan resolusi seperti kebanyakan orang. Bukan karena aku anti-resolusi, tapi aku akan tetap menjadi aku di sepanjang tahun. Tidakkah itu resolusi yang cukup? Jika itu tidak bisa dikatakan sebagai resolusi, maka biarkan saja menjadi penegas jika aku masih aku di tahun-tahun selanjutnya.
Closing Senja Hari
Gimana nih gengs sama narasinya? Apakah dari kalian ada yang punya resolusi akhir tahun atau justru tidak menuliskan resolusi akhir tahun? Apapun pilihan kalian, aku tetap percaya kalau kalian sudah hebat karena sudah berjalan sampai saat ini. Kalian bisa berbagi seputar resolusi, harapan atau apa yang jadi pemikiran akhir tahun di kolom komentar ya.
Eits tetap ya dengan bahasa yang sopan dan bijak, agar jejak digital kalian tetap bersih.
Have a nice day! Jya, mata ne~
Source:
https://www.thementalwellnesscenter.com/new-blog/2024/12/20/resolutions-or-social-pressures-rethinking-the-push-for-perfection-in-the-new-year
Oscarsson, M., Carlbring, P., Andersson, G., & Rozental, A. (2020). A large-scale experiment on New Year’s resolutions: Approach-oriented goals are more successful than avoidance-oriented goals. PLoS ONE, 15(12), Article e0234097.
Comment
Sejak kuliah, saya sama seorang sahabat saya tiap akhir tahun tu pasti bikin resolusi barengan. Jadi kita ke kafe gitu atau tempat makan buat ngobrol, kira-kira tahun depan mau ngapain aja dan target apa aja ya yang pengen dicapai?
Kalau buat saya yang orangnya memang lebih suka sesuatu yang terstruktur dan terencana, saya jadi lebih tenang aja ketika udah bikin resolusi atau planning untuk tahun depan. Bukan berniat untuk harus menjadi siapa-siapa atau takut tidak menjadi siapa-siapa, pure karena pengen punya mind mapping aja supaya bisa menentukan step by step menuju ke goals-nya.
Resolusi itu penting mbak, tapi bukan segalanya. Menurutku itu hanya bentuk sugesti saja agar satu tahun berikutnya bisa berjalan sesuai dengan harapan. Meskipun ya pada praktiknya, orang-orang cenderung akan melupakan dan sibuk dengan urusannya masing-masing.
Yang terpenting menurutku sih, sebisa mungkin ya yang masuk akal. Nganu, yang achieveable gitu lho. Jangan malah yang terlalu berlebihan ngimpinya. Takutnya kalo gak kesampean, malah sendu sendiri ngoehehehe
Bisa saja memang kita seakan gak menganggap penting resolusi. Namun, bagi yang lain resolusi adalah hal yang perlu ada sebagai peta masa depan, biar tahu arah tujuan ke depannya mau ke mana.
Jadinya ya balik ke diri masing-masing sih, mau punya resolusi ataupun nggak, pastikan jalani hidup dengan bahagia #SemangatCiee
Di usia menjelang 40 sepertinya saya sendiri sudah tidak terlalu ngoyo dengan resolusi, semua berjalan alami, alhamdulillah tidak stagnan.
Tapi iya, kita pernah di posisi merasa tertekan sebagai manusia karena lingkungan sekitar yang menormalisasi sebuah pencapaian. Kita di persimpangan antara antara mengikuti arus atau berdiri dengan paham yang kita miliki. Semua memiliki konsekuensi masing-masing dan jelas kita harus siap menerimanya
Sejak ada COVID aku belajar bahwa tidak apa-apa menjadi mediocre. Berhasil bertahan dari penyakit ganas aja udah alhamdulillah. Gak gila karena gonjang-ganjing Dunia aja udah alhamdulillah.
Resolusiku cuma ingin lebih rajin olahraga dan beberes rumah.
Dulu aku selalu bikin resolusi. Tp udah 2 tahun ini males mba 🤣🤣. Krn dipikir2, kita bisa bertahan hidup di dunia yg makin eror ini aja, udah suatu pencapaian hebat. Ga perlu lah pake resolusi yg kdg malah bikin stress Krn ga tercapai. Trus malah lupa dengan target2 penting lainnya yg ga masuk dlm list resolusi.
JD aku belajar utk mengalir aja mba. Nikmati apa yg kita bisa capai. Sekecil apapun, itu berarti. Krn semakin ga mudah utk bertahan di dunia begini.
Kalau temen2 ku banyak yg udh sukses dlm hal financial, aku udh ga kepikir kesana. Bukan Krn udh kaya banget, tp Krn aku mau menikmati setiap sen yg dikumpulkan. Dengan traveling, kuliner. Capek ah ngumpulin asset doang, tp ga bisa dinikmati 🤣.
resolusi itu harapan, tidak salah kita punya , dan tidak pun tidak masalah ya ka. Itu menurut aku, jadi kadang aku juga males ah mikirin resolusi bikin pening kepala, life goes on aja lah ya , ku perbaiki yang harus diperbaiki, hubungan ku dengan pencipta, hubungan ku dengan sesama. kita betul bukan siapa2 di dunia yang luas ini, nnti kalau merasa jadi siapa-siapa ah pasti repot
7 Responses