Pojokan

Review Bukan Pasar Malam: Dari Filsafat, Profesi Sampai Politik

Bukan Pasar Malam merupakan novel dari Pramoedya Ananta Toer yang terbit pada tahun 1955 dan mengalami cetak ulang setelah dilarang beredar tahun 1999. Buku ini tidaklah tebal seperti buku milik Pramoedya yang lainnya. Dengan ketebalan kurang lebih 106 halaman, buku ini bisa dinikmati dalam waktu sehari atau dua hari saja.

Seperti apa sih sinopsis dan review Bukan Pasar Malam?

Pramoedya Muda dan Kematian

Dengan sudut pandang “aku” yang di sini adalah Pramoedya saat muda, bekerja di kota besar sebagai seorang juru tulis harus mendapatkan kabar buruk dan mengharuskan dirinya pulang ke kota Blora. Kabar buruk itu ia terima melalui surat yang sampai padanya dengan mengabarkan bahwa sang ayah, terbaring sakit akibat TBC. Awalnya ia enggan pulang, namun keadaan ayahnya yang sekarat dan membuatnya mau tidak mau harus berkunjung ke Blora.

Dari Jakarta, ia pergi ke Blora dengan kereta api bersama dengan sang istri. Setelah sampai di Blora, ia menggunakan delman menuju rumahnya. Sesampainya di Blora, ia melihat keadaan rumah yang begitu buruk hampir-hampir bisa dikatakan rumahnya nyaris roboh. Ketujuh adiknya menyambut kedatangan tokoh aku ini, namun salah satu adik perempuannya tidak ikut menyambutnya dan memilih berada di dalam kamar karena penyakit TBC yang tertular dari ayahnya.

Tak lama setelah kedatangannya, ia menengok sang ayah yang ada di rumah sakit, hatinya tersayat melihat bagaimana ayahnya yang gagah itu jadi kurus karena penyakitnya. Ia jadi teringat bagaimana sang ayah, begitu disegani oleh orang meringkuk lemah di ranjang rumah sakit. Kondisi ini membuat pamannya menyarankan untuk pergi ke dukun. Namun, meski ke dukun pun ayahnya ternyata benar-benar tidak dapat tertolong. Akhirnya dengan berat hati “aku” membawa sang ayah untuk pulang ke rumah.

Baca juga: Buku Tentang Freud, Kelamin dan Serigala Betina

Selama merawat sang ayah di rumah, banyak pembicaraan yang begitu dalam mulai dari politik hingga filsafat yang mengguncang jiwa aku. Awalnya ayahnya menunjukkan perubahan baik dari kondisinya, namun perlahan kondisinya memburuk kembali, hingga akhirnya sang ayah harus meninggal.

Apa yang ada dalam novel ini?

Bukan Pasar Malam: Kisah Para Veteran Perang dan Kehidupannya

Ketika membaca ini, awalnya aku kira novel ini menceritakan tentang keadaan genting di masa revolusi menghadapi PKI. Meski berhubungan dengan kondisi genting paska revolusi, namun kisah novel ini lebih banyak menyorot kehidupan sosial para ex-pahlawan yang sudah membela negara paska revolusi terjadi.

Dalam novel Bukan Pasar Malam, pembaca akan diajak untuk bertemu dua tokoh utama yaitu ayah dan aku, yang mana posisi keduanya bisa dikatakan berimbang dalam isi cerita.

Aku dalam novel ini (Pramoedya) memberikan kritik keras terhadap pemerintah yang pada masa setelah revolusi PKI (ORBA), seolah melupakan para veteran perang dan pahlawan tak terkenal yang sudah membantu Indonesia.

Baca juga: The Girl on Paper, Kisah Cinta Penulis dan Tokoh Novel

Kisahnya sudah banyak kita baca di berita nasional tentang para veteran perang yang masih berada dalam kemiskinan dan tidak mendapatkan hal yang setimpal atas jasanya.

Kritik yang diberikan oleh Pram tidak hanya masalah kondisi para veteran peran. Tapi, termasuk kondisi perekonomian dan perpolitikan yang lebih menguntungkan pihak-pihak yang pro terhadap penguasa kala itu.

Dilema Eksistensi Bak Jailangkung

Kutipan Bukan Pasar Malam Halaman 53

Pertanyaan yang pernah muncul dalam benakku saat melihat ayahku menghadapi sakaratul maut adalah, “mengapa manusia harus menghadapi kesendirian saat meninggal?”

Pertanyaan ini juga menjadi salah satu tema utama dalam novel ini, yang menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk yang pada akhirnya akan kembali kepada kesendirian saat kematian tiba.

Pengalaman ini rupanya juga pernah Pak Pram rasakan ketika menyaksikan ayahnya meninggal. Saat lahir, kita datang ke dunia tanpa membawa apa-apa, dan saat kembali pada-Nya, kita pun akan pergi tanpa apa-apa. Kesendirian ini seolah menjadi kenyataan tak terelakkan dalam siklus hidup manusia.

Pernyataan tentang eksistensi manusia inilah yang menyoroti ironi kehidupan manusia dengan sangat tajam. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan dan interaksi sosial yang kompleks, pada akhirnya setiap individu harus menghadapi momen paling pribadi dan sunyi dalam hidupnya—kematian.

Hal ini membuat kita merenungkan makna kehidupan yang sejati, sekaligus mengingatkan bahwa dalam kesendirian itu, esensi manusia sebagai individu menjadi semakin jelas terlihat.

Apa yang Senja Hari rasakan ketika membaca ini?

Review Bukan Pasar Malam by Senja Hari

Ketika membuat review Bukan Pasar Malam (dan sampai tulisan ini kuketik) jujur bukan sesuatu yang mudah. Untuk mendapatkan insight review Bukan Pasar Malam yang cukup, Aku membaca buku ini sebanyak dua kali dalam kondisi emosional yang berbeda. Pertama aku membaca dalam kondisi emosi yang cenderung netral (normal tanpa ada perasaan emosional) saat pertama kali membelinya. Kesan pertama dalam kondisi normal aku sulit mencerna alur dari novel ini, selain karena bahasanya yang masuk dalam tata bahasa, isinya pun cenderung sangat filsafat sehingga dalam kondisi normal dan bukan pembaca aktif akan kesulitan mencernanya.

Lalu kedua kalinya aku membaca beberapa hari setelah meninggalnya papa. Pada momen ini ada rasa ‘klik’ yang tercipta ketika membaca kedua kalinya. Aku merasa bisa memahami novel Bukan pasar Malam ini lebih baik. Itu karena pengalaman emosional pembaca dan buku yang kubaca berada dalam satu frekuensi yang sama.

Pada pembacaan pertama, aku bisa mengambil point-point penting dari buku ini. Mulai dari kritik perpolitikan yang cenderung tidak bijak pada orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah orde baru; Lalu kenyataan veteran perang yang masih ada yang berada dalam kemiskinan; Ketimpangan perekonomian yang membuat masyarakat kelas menengah ke bawah makin sulit dan susah terangkat.

Pada pembacaan kedua, aku mengambil point-point penting yang sifatnya lebih emosional. Mulai dari kenyataan bahwa manusia tetap akan sendiri ketika kematiannya; perbedaan mendasar dari kematian dan kelahiran (satunya identik dengan kesedihan, satunya lagi rasa bahagia); termasuk realita kehidupan yang tak terbantahkan bahwa di dunia ini, pandangan subyektifitas masih mendominasi.

Invitasi dan Diskusi

Meski Bukan Pasar Malam ini bukunya tipis banget, tapi jangan salah bahwa buku ini termasuk buku yang kaya akan makna. Tebalnya hanya 104 halaman, tapi perlu pembacaan yang berulang supaya pembaca bisa benar-benar dapat insight yang berbeda. Sisi dukanya ketika membaca buku ini malah bikin aku teringat mendiang papa dan segala upayanya buat namatin aku sekolah.

Oh, dad! We love you!

Apa ada yang sudah membaca buku ini? Kesan kalian pas baca buku ini gimana sih?

Dan bagi yang belum membacanya, kalian bisa jadikan buku ini sebagai buku wishlist. Aku bisa jamin pak Pram selalu bisa membuat pembaca buka kamus dengan kosakatanya yang kaya.

Mau ninggal komentar tentang buku-buku yang kamu baca juga boleh! Eits, tapi komennya yang sopan ya. Ya, semata-mata biar jejak digital kalian tetap baik.

So, happy monday!

View Comments

  • Luar biasa ya karya pak Pram ini.. terbukti hanya dengan mempersembahkan sebuah buku (kalau boleh dibilang buku saku) yang tak setebal buku lainnya tapi mampu mencipta makna yang begitu berguna.

    • Karena ide dan pemikirannya itu yang dijabarkan melalui cerita dan dibuat sebuah buku kita jadi paham tanpa merasa digurui ya...
      Penulis tingkat tinggi mah lain ya bahasannya serta idenya itu emang luar biasa. Brilian!

  • Wahh bagus nih kayanya alur ceritanya dan klimaknya. Apalagi seputar PKI ini, kayanya seru sih nih...

  • Saya belum pernah membaca novel-novel Pramoedya. Anak-anak saya yang pernah. Tapi, untuk novel yang ini kayaknya belum pernah mereka baca. Kayaknya kalau saya yang baca harus pelan-pelan supaya bisa menghayati tulisan Pramoedya.

  • salah satu wishlist ku pengen kelarin baca salah satu buku Pramoedya Ananta Toer :')

  • Buku "Bukan Pasar Malam" ini adalah sebuah perjalanan intelektual yang menarik. Penulis berhasil menggabungkan berbagai disiplin ilmu, dari filsafat hingga politik, menjadi sebuah narasi yang koheren dan mudah dicerna. Pembahasannya yang mendalam sangat membuka wawasan saya. Sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin memperdalam pemikiran kritis dan memahami kompleksitas dunia saat ini.

  • awalnya aku tertarik pas lihat ttg roman sejarah, tapi pas baca ttg dukanya, aku jadi ragu sekaligus bertambah penasaran. kayanya sih akan dimasukkan ke daftar dulu, tp bacanya kl mental benar-benar siap hehe

  • Pak Pram sudah tidak perlu diperdebatkan kualitasnya. Kekayaan literaturnya juga luar biasa. Yg menyenangkan dari membaca buku lawas (meski edisi baru) adalah mengenang kembali apa yang dulu pernah ada tapi sekarang sudah langka/ tiada lagi.

  • Jadi paham kenapa akhirnya dulu sekali, buku Pram yang ini juga sampai dilarang cetak ulang. Mungkin karena pesan yang didapat lewat proses pembacaa pertamamu itu ya. Bisa jadi memang ketidakadilan yang dibangun penguasa, mau ditutupi agar generasi selanjutnya nggak lagi menyadari.

    Turut berduka atas kehilangan salah satu orang terkasihmu, ya.

    Hmm ... kepikiran nggak sih, kenapa ya jaman dulu itu penyakit TBC paling mengancam nyawa? Bahkan di beberapa film Jepang baik animasi maupun seri lama pun, penyakit ini sering dimunculkan sebagai pertanda kalau kematian akan menghampiri si pesakit dalam waktu sesingkat-singkatnya. Penyakit pernapasan kan? Seperti yang juga bikin kita panik dan waspada sepanjang pandemi beberapa tahun ke belakang.

  • Suka banget nih sama novel-novel yang kayak gini. A
    Ceritanya bikin makin sadar kalau hidup itu ada cobaannya, salah satunya orang tua yang sakit.

  • Wah, review kamu dalem banget, jadi penasaran sama Bukan Pasar Malam! Kayaknya harus baca dua kali juga nih buat bener-bener paham makna di baliknya!