Malam itu, sebuah video berdurasi 90 detik membanjiri timeline. Seorang pria mengklaim bahwa sebuah susu merek Panda Sakti bisa menyembuhkan penyakit akibat serangan virus berjenis ATMH-99. Paryono yang sedang duduk di ruang tamu, dengan seriusnya memandangi layar ponselnya itu, bahkan saat teman satu kost-nya si Kirun memanggilnya, ia tidak menyahut.
Kirun heran dengan keterkejutan Paryono saat dirinya menepuk bahu teman satu kost-nya ini. “Iki lho, videone seru! Jare nek ngombe susu Panda Sakti, iso bebas teko virus ATMH-99. (Ini lho, videonya seru! Katanya minum susu Panda Sakti, bisa bebas dari virus ATMH-99),” sahut Paryono.
Si Kirun kemudian ikut melihat isi video itu dan dengan helaan nafas panjang ia menggelengkan kepalanya. “Ojok polos-polos, Par! (Jangan jadi orang terlalu polos!)” seru Kirun. Ia kemudian mengingat kembali bahwa ada hal besar yang sering tak terlihat di permukaan sebuah layar sebesar kepalan tangan itu.
Si Paryono terlibat diskusi dengan si Kirun, mereka berdua berdebat tentang bagaimana video itu bisa menarik orang untuk menyimpan, mengomentari, merepost bahkan me-react klaim video itu. “Lha nek ancen nggak bener, lapo wong-wong kuwi nyimpen sampe ngirim ulang video-ne? (kalau memang nggak bener, kenapa orang menyimpan sampai repost videonya?” tanya si Paryono yang memang kurang begitu paham cara kerja media sosial.
“Ngene lho, Par! Iku jenenge strategi marketing. Sing ngomong kuwi opo nggawe data? opo ngomong karo pakar kesehatan? opo wong kuwi duwe ilmu sing mumpuni? (Gini lho, itu namanya strategi marketing. Yang bicara tadi apa pakai data? orang itu bicara dengan pakar kesehatan? apa dia punya ilmu yang mumpuni?)” tanya balik si Kirun. Si Paryono menggelengkan kepala, karena ia tidak tahu.
Baca juga: Ibu Rumah Tangga Serasa Wanita Kantoran
“Tapi kan, mosok belajar kudu teko pakar, mosok sing ngomong kudu pinter ilmu ne! (Tapi, masak belajar harus dari pakar, masak ngomong juga harus punya ilmunya!)” seru si Paryono. Lalu, si Kirun tersenyum tipis dan melanjutkan, “ancen nek belajar kuwi iso teko sopo ae, tapi iku cuma sebatas berbagi pengalaman, gudhuk ngewenehi klaim-klaim sing kudu di-riset. (Kalau belajar bisa kok dari siapa saja, tapi sebatas berbagi pengalaman, tapi kalau memberi klaim tertentu harus melalui riset.)”
“Tapi, nek ancen nggak onok bukti ilmiah Susu Panda Sakti iso gawe awak sehat, kok iso sampe langka nang endi-endi, hayo? (tapi kalau memang tidak ada bukti ilmiahnya, kenapa bisa sampai langka di mana-mana, ayo?)” tanya Paryono.
“Dolanmu kurang adoh, Bruh! (Mainmu kurang jauh!)” seru Kirun. “Nek kuliah makane ojok mbolosan, iku sing kapanane dibahas nang kelase Bu Siti. (Makanya kalau kuliah jangan bolos, kemarin sudah ada pembahasan di kelas Bu Siti),” ujar Kirun lagi. Paryono menyengitkan dahi, menunggu Kirun menjelaskan.
Si Kirun kemudian menjelaskan ulang materi kelas dari Bu Siti. “Saiki awak dewe iku, ono ndek masa sing viral iku sing dirungokno sementara sing pakar iku kurang dirungokno. (Sekarang kita ada pada masa, yang viral akan didengar, sementara yang pakar itu kurang didengar),” jelas Kirun. “Masa e awak dewe ono ndek teori post-truth. (Masa kita sekarang itu ada dalam teori post-truth),” lanjutnya.
Kirun menjelaskan lagi bahwa Teori Post-Truth itu lebih menggambarkan kondisi di mana emosi dan opini pribadi lebih dominan daripada fakta objektif. Orang jadi lebih percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, meskipun tidak ada bukti ilmiahnya. “Iku terjadi gudhuk mak pleng ngono ae, onok sebab e, Bruh! (Kondisi itu tidak terjadi begitu saja, tapi ada sebabnya),” kata Kirun.
Baca juga: Asal Kata Toast yang Bikin Istri-istri Pada Ngambek!
“Salah sijine yo! Mergo nek awak dewe bukak Medsos, alogartima-ne kuwi tergantung opo sing kene senengi. Dadine yo sudut pandang e mek teko opo sing mbok yakini. (Salah satunya datang dari alogaritma media sosial yang muncul berdasarkan preferensi pengguna, sehingga sudut pandangnya hanya datang dari apa yang kita yakini).” jelas si Kirun.
“Dadi sing populer luwih menang suoro ketimbang sing pakar maksudmu? (Jadi maksudmu yang populer lebih menang suara gitu?),” tanya Paryono. Pertanyaan itu diikuti oleh anggukan kepala Kirun. “Tapi sakjane faktore yo akeh, nggak mek perkoro menang-menangan. Kompleks, Bruh! (Tapi, sebenarnya faktornya banyak, tidak cuma masalah siapa yang didengar. Kompleks lah)!” Kirun menggelengkan kepalanya.
Kirun kemudian menjelaskan kalau fenomena influencer viral yang cenderung lebih menang daripada para ahli itu faktornya saling terkait. Mulai dari efek ketidakpercayaan publik terhadap akademisi atau lembaga, lemahnya legitimasi lembaga seperti media/institusi karena tekanan ekonomi dan publik, sampai efek echo-chamber yang memperkuat bias individu di media sosial.
“Terus piye carane aku ben nggak keblowok? (Terus gimana caranya agar aku nggak terjebak)?” tanya Paryono dengan sedikit memiringkan kepalanya.
“Yo carane, ojo kesusu percoyo! (caranya, jangan gampang percaya)!” seru Kirun sambil menepuk bahu temannya itu.
Baca juga: #KaburAjaDulu, Giliran Sukses Diaku-aku
Ia memberi tahu Paryono untuk lihat dulu siapa yang bicara. Misalkan dia seorang influencer kecantikan dan mengklaim produk kecantikan yang ia pakai bebas merkuri. Cek dulu kebenaran klaimnya, dengan mencari sumber lain tentang produk kecantikan itu. Ini pun berlaku bagi informasi dari pihak lain di berbagai bidang.
“Kowe kudu ngurangi moco berita-berita sing klik bait, Bruh! Ojok angger viral langsung di-share utowo langsung percoyo! (Kamu harus ngurangi baca berita yang klik bait. Jangan setiap ada berita viral langsung share dan percaya)!” kata Kirun.
Pakar dan Viral bisa jadi fenomena yang sangat banyak di dunia digital dan informasi. Dari fenomena ini ada pandangan yang menarik salah satunya adalah Belajar dari siapa saja itu sangat perlu, karena bisa jadi pengalaman orang itu bisa kita jadikan pelajaran dan atau (mungkin) cara orang tersebut bisa cocok dengan kondisi kita.
Tapi sekali lagi, untuk mengemukakan klaim tertentu (yang biasanya berupa kesimpulan suatu hal), perlu riset yang cukup panjang. Seperti alat apa yang ia gunakan, metode ada yang ia pakai, termasuk bagaimana proses pengolahan data sampai klaim itu terbentuk. Ada batas yang jelas, yang harus kita perhatikan. Batas yang perlu kita ingat adalah belajar tentang pengalaman dari orang lain dan tidak mengambil kesimpulan terlalu jauh atas pengalamannya. Berhasil di kita belum tentu berhasil pada yang lain, jadi jangan asal klaim secara berlebihan.
Kalian bisa berbagi pendapat di kolom komentar tentang fenomena ini kok, kami terbuka untuk pandangan apapun. Tapi tetap ingat, untuk menggunakan bahasa yang tidak menyudutkan agar tetap terbuka ruang diskusi yang sehat. Ini semata-mata agar jejak digital kalian tetap baik.
Baca juga: Bilang Terserah, Tapi Kalau Salah Marah
Happy Sunday!
Source:
Harsin, J. (2018). Post-Truth and Critical Communication. Oxford Research Encyclopedia of Communication
Khairina, J. H. W., Faza, K. R., Haris, M. Z., Kharisma, R. M., & Nayla, Y. A. (2022). Fenomena Echo Chamber di Media Sosial dan Dampaknya Terhadap Polarisasi Politik bagi Mahasiswa. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 9(2), 121-130.
Amanullah, M. G., & Dwisusilo, S. M. (2019). Post-truth and echo chamber phenomena in the Facebook of Jokowi and Prabowo. Opción, 35(Especial No.19), 2186-2211.
View Comments
Susu panda sakti itu susu apanya kok saya belum pernah denger, yang saya tahu susu murni dari bear brand bisa buat nyembuhi penyakit dan menambah kekebalan tubuh.
Duh ya. Sekarang tuh ngeri banget. Orang-orang mudah kemakan berita atau informasi viral. Banyak yang menerima bahkan membagikannya tanpa perlu repot-repot mengonfirmasi kebenarannya. Akhirnya hoax di mana-mana. Miris banget.
Duh ya. Sekarang tuh ngeri banget. Orang-orang mudah kemakan berita atau informasi viral. Banyak yang menerima bahkan membagikannya tanpa perlu repot-repot mengonfirmasi kebenarannya. Akhirnya hoax di mana-mana. Miris banget.
Benar sih. belajar bisa dari siapa saja. Tapi tidak asal viral juga dong ya.
Jadi ingat pada salah satu tahapan di literasi infoemasi teori big6 yang salah satunya adalah cek ricek sumber informasi, siapa penulis dan kapabilitasnya .
Kak..keren sekali tulisan ini. Mengedukasi tapi tidak seperti menggurui! Terima kasih ya..jadi menginspirasi utk menulis seperti ini. Dan aku setuju bahwa belajar dapat dari siapa saja, tapi tetap harus ada dasar sumber terpercaya.
Tapi benar dan setuju sih, biasanya konten pakar lebih terasa beda kemanfaatannya daripada konten viral.. agak mirip memang kalau di beranda, tapi tetep beda rasanya! :)
benar banget nih, kita gak boleh asal share informasi tanpa harus mengetahui fakta dan sumber aslinya. Apalagi sekarang zaman dimana dunia teknologi yaitu AI yg bisa manipulasi text, gambar dan lain-lain.
Kalo menurut daku, belajar ya jangan dari satu guru harus dari banyak hal, jadi ada perbandingan mana yang lebih sesuai dan gak taklid buta gitu apalagi yang apa² kudu viral
Menurutku klo mau belajar ya kudu di ahlinya, meski nggak viral
Kebanyakan yang viral belum tentu benar
Ya inilah dilema kita hari ini. Era informasi yang sangat deras. Tapi kita juga harus bentengi diri untuk nggak dikit-dikit fomo dan cek kredibilitas informasi yang kita terima.
Nah setuju kak.
Kalo udah fomo merasuki, keknya ya diuber² deh tuh yang namanya viral tanpa melihat kredibilitasnya yang seperti apa. Padahal harusnya kan lebih berhati-hati ya